Sabtu, 25 Februari 2017

35- CINTA KARENA ALLAH (AL-MAHABBAH FILLAAH)



CINTA KARENA ALLAH (AL-MAHABBAH FILLAAH)
   
Yaitu: Cinta kepada apa-apa yang dicintai Allah dan cinta kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah. Ini temasuk kesempurnaan iman.

[Lihat: Fat-hul Majiid (hlm. 390) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh -rahimahullaah-]

Maka, masuk dalam kategori Cinta Karena Allah adalah:  Cinta kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan beliau harus kita cintai melebihi kecintaan kita kepada anak-anak kita, orang tua kita, bahkan seluruh manusia.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَا يُـؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُـوْنَ أَحَبَّ إِلَـيْـهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ، وَالـنَّاسِ أَجْـمَعِـيْـنَ.

“Tidaklah beriman seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/275), dan An-Nasa-i (VIII/114-115), dari Shahabat Anas bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu-]

Bahkan, demi sempurnanya kecintaan kita kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, kita harus mencintai beliau melebihi kecintaan kita kepada diri sendiri.

Sebagaimana yang tedapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-, yaitu sebuah hadits dari Shahabat ‘Abdullah bin Hisyam -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: “Kami mengiringi Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apapun selain diriku.’ Maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: ‘Tidak, demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, (hal itu belum cukup-pent) hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’”

[Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6632)]

Akan tetapi, “barangsiapa mengklaim (mengaku) cinta kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tanpa mutaaba’ah (mengikuti sunnah beliau-pent), dan tanpa mendahulukan perkataan belian dari perkataan selain beliau, maka dia telah berdusta (dalam pengakuannya). Sebagaimana firman (Allah) -Ta’aalaa-:

وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ

“Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (Allah dan Rasul).” Kemudian mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang beriman.” (QS. An-Nuur: 47).

Maka (dalam ayat diatas), Dia (Allah)  menafikan (meniadakan) keimanan dari orang yang berpaling dari ketaatan kepada Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

[Fat-hul Majiid (hlm.386-387) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh –rahimahullaah-]

Dan juga termasuk BUKTI cinta kepada Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah: “menolong Sunnah [perkataan, perbuatan, dan ketetapan] beliau, membela syari’atnya dan membantah orang-orang yang menentangnya, serta memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar (amar ma’ruf nahi munkar).”

[Fat-hul Baari (I/83-cet. Daarus Salaam) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani -rahimahullaah-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar