CINTA ISTRI
Kalau
seseorang sudah terjatuh dalam fitnah Jatuh Cinta, maka jalan
yang terbaik adalah menikah.
Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَا مَعْشَـرَ الشَّـبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْـبَاءَةَ؛ فَـلْـيَـتَـزَوَّجْ، فَـإِنَّـهُ أَغَـضُّ لِـلْـبَـصَـرِ،
وَأَحْـصَـنُ لِلْـفَـرْجِ، وَمَنْ لَـمْ يَـسْـتَـطِـعْ؛ فَعَـلَـيْـهِ بِالصَّـوْمِ،
فَـإِنَّـهُ لَـهُ وِجَـاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara
kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (berpuasa), karena
shaum itu dapat membentengi dirinya.”
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari
(no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), dan lain-lain]
”Maka
(dalam hadits ini) beliau (Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) menunjukkan
kepada orang yang jatuh cinta kepada dua cara pengobatan: yang ASLI (menikah)
dan yang PENGGANTI (berpuasa). Disini beliau memerintahkan kepada yang ASLI;
dan ini adalah pengobatan yang beliau letakkan bagi penyakit ini, maka selama
seorang mampu untuk menggunakan obat ini, tidak sepantasnya untuk berpaling
kepada selainnya.
Ibnu
Majah meriwayatkan dalam (kitab) Sunan-nya, dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu
‘anhumaa-, dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda:
لَـمْ يُــرَ لِلْـمُـتَـحَـابَّــيْـنِ
مِـثْـلُ الـنِّـكَاحِ.
“Tidak pernah terlihat dua orang yang
saling mencintai seperti (yang terlihat dalam) pernikahan.”
[Shahih:
HR. Ibnu Majah (no. 1847), al-Hakim (II/160), dan al-Baihaqi (VII/78).
Lihat: Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 624) karya Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani –rahimahullaah-]
Makna
inilah yang diisyaratkan oleh Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- setelah
menghalalkan (menikahi) para wanita; baik (wanita) yang merdeka maupun yang
budak -ketika dibutuhkan-, (Allah isyaratkan) dengan firman-Nya:
يُرِيدُ
اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا
“Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat
lemah.” (QS. An-Nisaa’: 28).
Maka
disini Allah menyebutkan bahwa Dia memberikan keringanan kepada manusia dan
Allah mengabarkan tentang kelemahan manusia; ini menunjukkan bahwa manusia
lemah dalam menanggung syahwat (wanita) ini. Dan bahwa Allah meringankan
(beratnya syahwat) ini dengan menghalalkan bagi manusia: (menikahi)
wanita-wanita yang baik; dua, tiga, atau empat. Dan Allah juga membolehkan bagi
manusia (untuk menggauli) budak wanita miliknya yang dikehendakinya. Kemudian
Allah membolehkan baginya untuk menikahi budak-budak wanita -jika memang
dibutuhkan- sebagai pengobatan bagi syahwat ini, dan sebagai bentuk keringanan
dan rahmat (kasih sayang) bagi makhluk (manusia) yang lemah ini.”
[Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (IV/221-cet. Daarul Fikr)
karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Maka
harus diketahui bahwa cinta kepada istri termasuk cinta yang
bermanfa’at, karena bisa membantu untuk melaksanakan keta’atan kepada
Allah. Dengan menikah, maka seorang laki-laki bisa menjaga dirinya dan
istrinya, sehingga dirinya tidak menginginkan wanita-wanita yang haram baginya,
jiwanya tidak menginginkan selain istrinya. Maka semakin kuat dan sempurna
kecintaan diantara suami istri, semakin sempurna pula maksud dan tujuan ini.
[Lihat: Ighaatsatul Lahfaan (hlm. 401-Mawaaridul Amaan) karya Imam
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Ketika
Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ditanya: Siapa orang yang paling anda
cintai? Beliau menjawab: “’Aisyah.”
[HR. Muslim (no. 2384), dari ‘Amr bin al-‘Ash -radhiyallaahu ‘anhu-]
“Maka
tidak tercela bagi laki-laki untuk mencintai istrinya -bahkan sangat cinta
kepadanya-, kecuali jika (kecintaannya) tersebut menyibukkannya dari kecintaan
kepada yang lebih bermanfa’at baginya -yakni kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya-, serta (jangan sampai kecintaan kepada istri) mendesak kecintaan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena setiap kecintaan yang mendesak kecintaan
kepada Allah dan Rasul-Nya -sehingga melemahkan dan menguranginya-; maka
kecintaan seperti ini adalah tercela. Sebaliknya, jika (kecintaan kepada istri)
tersebut bisa membantu (menambah) untuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan
bisa menguatkannya; maka kecintaan seperti ini adalah terpuji.”
[Ighaatsatul Lahfaan (hlm. 401-Mawaaridul Amaan) karya Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar