Selasa, 24 Oktober 2017

PONDASI & KAIDAH TARBIYAH

[1]- Dan yang dimaksud dengan Tarbiyah adalah: men-tarbiyah (membina/mendidik) kaum muslimin di atas Islam yang telah di-tashfiyah (dimurnikan), agar jiwa mereka sampai kepada kesempurnaan yang sesuai dengannya; sedikit demi sedikit.
[2]- Murabbi (yang mentarbiyah) secara hakiki adalah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, karena Dia lah Yang menciptakan makhluk dan Yang memberi berbagai pemberian, sebagaimana Dia kabarkan pada penutup surat Al-Qur’an:
{قُلْ أَعُوْذُ بِــرَبِّ النَّاسِ * مَلِكِ النَّاسِ * إِلٰـهِ النَّاسِ}
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia, Raja manusia, Sesembahan manusia.” (QS. An-Naas: 1-3)
Dan hal tersebut juga telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اَللّٰهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِــيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada diriku, dan sucikanlah ia; sebab Engkau adalah sebaik-baik Rabb yang menyucikannya, Engkau Pelindung dan Pemeliharanya.”[1]
Oleh karena itulah: Tarbiyah dinisbatkan kepada Ar-Rabb (Allah) Tabaaraka Wa Ta’aalaa; sehingga dikatakan: Tarbiyah Rabbaniyyah.
[3]- Di antara yang menunjukkan atas pentingnya Tarbiyah adalah: firman Allah Ta’aalaa yang menjelaskan tugas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
{كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul (Muhammad) dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 151)
Dan Allah berfirman:
{لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunah). Dan sungguh, sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)
Dan Allah berfirman:
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Dia-lah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunah). Dan sungguh, sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Demikianlah Allah jelaskan tugas Rasul; yaitu: Ta’liim (Pengajaran) dan Tazkiyah (Penyucian). Dan itulah yang dimaskud dengan Tashfiyah dan Tarbiyah, karena tidak akan ada ilmu (yang diajarkan) kecuali dengan Tashfiyah, dan tidak akan terwujud penyucian (jiwa manusia) kecuali dengan Tarbiyah.
[Silahkan lihat kembali pengertian Tashfiyah dan bidang-bidangnya di link berikut: ]
[4]- Pondasi-Pondasi Umum Untuk Tarbiyah Rabbaniyyah:
a. Bersifat Rabbani secara tujuan (ikhlas karena Allah) dan secara wasilah/perantara (menggunakan syari’at Allah)
Allah Ta’aalaa berfirman:
{مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ}
“Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah, dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia: “Jadilah kamu penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Jadilah kamu orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan kitab, dan karena kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran: 79)
b. Tarbiyah (untuk menyucikan jiwa) tidak memiliki cara-cara khusus selain syari’at-syari’at Islam secara keseluruhan (tidak seperti orang-orang Shufi yang memiliki cara-cara tersendiri untuk menyucikan jiwa).
Tatkala telah tetap dalam prinsip Manhaj Rabbani dengan pemahaman Salaf umat ini yang shalih: bahwa (Allah) yang mensyari’atkan tujuan; tidak akan lupa terhadap cara (untuk mencapainya). Oleh karena itulah: Tarbiyah Rabbaniyyah (yang bertujuan untuk menyucikan manusia) tidak memiliki amalan-amalan khusus atau aturan-aturan yang berkaitan dengan sifatnya; selain syari’at-syari’at Islam.
Maka sungguh, jalan yang bisa menyampaikan kepada Tarbiyah Rabbaniyyah dan Tazkiyah Imaniyyah adalah: ibadah; yaitu: istilah yang mencakup segala apa yang Allah cintai dan ridha-i, berupa perkataan dan perbuatan, baik yang lahir (tampak pada anggota tubuh) maupun yang batin (tidak tampak/dalam hati).
Allah Ta’aalaa berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
“Wahai manusia! Beribdahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)
c. Tarbiyah Rabbaniyyah adalah sesuai dengan fitrah manusia.
Allah Ta’aalaa berfirman:
{فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ...}
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus;…” (QS Ar-Ruum: 30)
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ
“Setiap anak yang dilahirkan adalah dilahirkan di atas fitrah.”[2]
Oleh karena itu; maka Tarbiyah Rabbaniyyah berdiri di atas kesiapan jiwa manusia untuk pelatihan dan pembinaan. Dan oleh karena itulah Allah Ta’aalaa bersumpah atas pondasi yang kokoh ini dari awal Surat Asy-Syams sampai firman-Nya:
{وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا * فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا * قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا * وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا}
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10)
Dari sinilah Tarbiyah Rabbaniyyah tegak di atas penjagaan dan pengawasan terhadap fitrah manusia. Di antaranya adalah sifat-sifat fitrah yang sepuluh (sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits-pent), dan haramnya merubah ciptaan Allah; karena hal itu merusak fitrah. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan terhadap semua bakat dan kesiapan manusia, kemudian mengarahkan semua itu kepada kesempurnaan yang sesuai dengannya.
d. Menghadirkan gambaran yang jelas tentang Allah, alam semseta, dan kehidupan (berdasarkan Al-Qur’an & AS-Sunnah).
Asas ini dibangun di atas dua rukun yang penting:
Pertama: Menghadirkan gambaran ini dengan sempurna.
Kedua: Mengikat gambaran ini dengan gerakan (kehidupan) manusia, dan mengubahnya menjadi kekuatan pendorong untuk mewujudkan tuntutan agar manusia menjadi pemimpin di muka bumi di atas Manhaj Allah yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[5]- Kaidah-Kaidah Tarbiyah Rabbaniyyah:
a. Menyatukan sumber pengambilan (agama); karena hal itu merupakan penjaga dari kesesatan, dan pengaman dari penyimpangan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تَرَكْتُ فِـيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَـنْ تَضِلُّوْا مَا إِنْ تَـمَسَّكْـتُمْ بِـهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُـنَّــتِـيْ
“Saya tinggalkan dua perkara untuk kalian yang kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnah-ku.”[3]
b. Memurnikan sumber pengambilan (agama) dari hal-hal yang mengotorinya -sehingga membuat keruh kejernihannya-, dan dari hal-hal yang mencampurinya -sehingga merusak keindahannya-.
c. Menerima (agama) untuk dilaksanakan dan dipraktekkan; sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:  “Kami mempelajari sepuluh ayat dan kami tidak melampauinya sebelum mengamalkannya.”[4]
Amatlah indah perkataan seseorang:
وَعَالِـمٌ بِعِلْمِهِ لَـمْ يَعْمَلَنْ        مُعَذَّبٌ قَبْلَ عُبَّادِ الْوَثَنْ
Seorang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya
akan diadzab sebelum para penyembah berhala
c. Seorang Murabbi hendaknya seorang ‘alim rabbani, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’aalaa:
{إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ...}
“Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para (ulama) rabbani dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya…” (QS. Al-Maa-idah: 44)
Dan firman Allah Ta’aalaa:
{لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ}
“Mengapa para (ulama) rabbani dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (QS. Al-Maa-idah: 63)
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلٰكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَـمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّـخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالًا، فَـسُـئِلُوْا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا، وَأَضَلُّوْا
“Sungguh, Allah tidak akan mencabut ilmu dari para hamba, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sampai ketika Dia tidak menyisakan seorang ulama pun; maka orang-orang menjadikan orang-orang bodoh sebagai tokoh-tokoh mereka, maka ketika mereka ditanya: mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”[5]
d. Bertahap dalam Tarbiyah, sebagaimana dalam firman Allah Ta’aalaa:
{...وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ}
“…Akan tetapi (dia berkata): “Jadilah kamu orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan kitab, dan karena kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran: 79)
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu menafsirkan (orang-orang rabbani) itu dengan berkata: “Ahli hikmah dan para ulama (ahli ilmu).”[6]
Maka hikmah dan ilmu menuntut untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Oleh karena itu Imam Al-Bukhari berkata dalam Kitab Shahih-nya: “Kitab Ilmu, Bab: Berilmu sebelum berkata & beramal. Dan dikatakan: Rabbani adalah: yang mentarbiyah manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum yang besar.”
e. Mengikat orang yang ditarbiyah dengan Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan individu, syaikh (guru), kelompok, papan nama, dan slogan. Sehingga ketika menerima syari’at; maka dalam keadaan pasrah, sehingga membuahkan amalan yang istiqamah, dan dia (orang yang ditarbiyah) itu akan menjadi orang yang mengagungkan Allah Tabaaraka Wa Ta’aala, dan mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itulah Allah mencela orang-orang yang merusak kaidah ini. Dia berfirman:
{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ}
“Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan pendeta-pendeta (Nasrani) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya diperintahkan untuk beribadah kepada satu sembahan (yaitu: Allah); tidak ada yang berhak diibadahi (dengan benar) selain Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31)
f. Memberikan perhatian kepada orang yang ditarbiyah, terus mengawasinya, dan meluruskan perilakunya; sebagaimana dalam Surat Al-‘Ashr:
{وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, serta saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran. (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
-diterjemahkan oleh: Ahmad Hendrix, dari “Al-Jamaa’aat Al-Islaamiyyah” (hlm.547-552- cet. th. 1425 H/2004 M), karya Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali hafizhahullaah, dengan sedikit perubahan urutan & penambahan-



[1] HR. Muslim.
[2] Muttafaqun ‘Alaihi.
[3] Hadits Shahih dengan penguat-penguatnya; sebagaimana saya jelaskan dalam kitabku: “Majma’ul Bahrain Fii Takhriij Ahaadiits al-Wahyain”.
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya dengan sanad yang shahih.
[5] Muttafaqun ‘Alaihi.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad yang hasan. Dan disebutkan oleh Al-Harbi dalam “Ghariibul Hadiits” dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang hasan.


PELAJARAN ‘AQIDAH RINGKAS



‘AQIDAH SHAHIHAH
Bekal Setiap Muslim dan Muslimah
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah
Disampaikan pada acara Dauroh Muslimah
Hari Sabtu-Ahad, 25-26 Shafar 1430 H/21-22 Februari 2009 M
Di Masjid Imam Ahmad bin Hanbal, Bogor

Pembahasan 1
Definisi dan Pengertian Aqidah
Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah[1]
A. Definisi ‘Aqidah
Aqiidah (اَلْـعَــقِــيْــدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu ((اَلْــعَــقْـــدُ yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (اَلــتَّــوثِــيْــقُ) yang berarti menguatkan, al-ihkaamu (اَلْإِحْـــكَامُ) yang artinya mengokohkan atau menetapkan, dan ar-rabthu biquwwah (اَلــرَّبْــطُ بِــقُــوَّةٍ) yang artinya mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islammiyah adalah: keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta’aalaa -beserta apa-apa yang wajib bagi-Nya; berupa:  bertauhid[2] dan taat kepada-Nya-, beriman kepada malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, Hari Akhir, serta takdir baik dan buruk, dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliah yang ditetapkan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shahih.
B. Definisi ‘Aqidah Salaf
Menurut bahasa (etimologi), Salaf (الــسَّــلَــفُ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama[3]. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan salaf seseorang, maksudnya: kedua orang tua yang telah mendahuluinya.
Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti: generasi pertama dan terbaik dari umat (Islam) ini, yang terdiri dari: para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, Sebagaimana sabda Rasulullah shallaallaahualaihi wa sallam:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِـيْ، ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ...
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[4]
Semua (orang) yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik; maka ia berada di atas manhaj (cara beragama) para Salaf. Maka setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj meraka -disepanjang masa-; mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf.
Jadi, ‘Aqidah Salaf adalah: ‘Aqidah yang mengikuti manhaj (jalan) para Salafush Shalih.
C. Definisi ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah: mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan ber-ittibaa’ (mengikuti) Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum.
As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah: jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah: petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.
Disebut Al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.
Jadi, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang ittibaa’ (mengikuti) Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaaifah al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), dan al-Ghurabaa’ (orang-orang yang asing).

Pembahasan 2
Definisi dan Pengertian Tauhid, beserta Pembagiannya[5]
Tauhid dalam bahasa Arab adalah: menjadikan sesuatu itu hanya satu.
Tauhid dalam ilmu syar’i (terminologi) adalah: mengesakan Allah ‘Azza Wa Jalla terhadap sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam  Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma’ dan Sifat-Nya. Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah saja. Yakni, hendaklah seorang hamba meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah sajalah Rabb dan Pemilik atas segala sesuatu. Dia-lah satu-satunya Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Dialah yang berhak disembah tidak ada ssekutu bagi-Nya, dan setiap sesembahan selain-Nya adalah bathil. Dia memiliki sifat yang penuh dengan kesempurnaan dan suci dari segala aib dan kekurangan, serta bagi-Nya al-Asmaa-ul Husnaa (nama-nama yang indah) dan sifat-sifat yang tinggi.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membagi tauhid menjadi tiga, yaitu: Tauhid Rubuubiyyah, Tauhid Uluuhiyyah, dan Tauhid al-Asma’ wash Shifaat.

Pembahasan 3
Islam Adalah Agama Tauhid[6]
Definisi Islam adalah:
اَلْاِسْــتِـسْــلَامُ للهِ بِالـتَّوْحِـيْدِ، وَالْاِنْـقِـيَـادُ لَـهُ بِالطَّاعَةِ، وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّــرْكِ وَأَهْلِهِ
“Berserah diri kepada Allah dengan cara mentauhidkan-Nya, tunduk patuh kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan (atas segala perintah dan larangan-Nya), serta membebaskan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.”[7]
Jika kita kembali kepada Al-Qur’an; sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kita bahwa ‘aqidah seluruh Rasul adalah tauhid, dakwah mereka dimulai dengan Tauhidullaah dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka bawa.
Maka, hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para Nabi -termasuk Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah: bagaikan pondasi sebuah bangunan, dan bagaikan ruh bagi badan. Karena bangunan tidak akan tegak tanpa adanya pondasi, dan jasad tidak akan berdiri dan hidup kecuali dengan adanya ruh.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, demikian pula seluruh Nabi dan Rasul shalawaatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Di antara contohnya adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu ketika diutus ke Yaman.

Pembahasan 4
Keutamaan dan Keagungan Tauhid
Jika kita kembali kepada Al-Qur’an; sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa telah memberitahukan kepada kita bahwa ‘aqidah seluruh Rasul adalah tauhid, dakwah mereka dimulai dengan Tauhidullaah, dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka bawa. Oleh karena itu, tauhid memiliki keutamaan dan keagungan yang sangat banyak, di antaranya:
1. Allah akan menghapus dosa-dosanya (orang yang bertauhid).
2. Allah Ta’aalaa akan menghilangkan kesulitan dan kesedihannya di dunia dan akhirat.
3. Allah akan menjadikan dan menghiasi dalam hatinya rasa cinta kepada iman serta menjadikan di dalam hatinya rasa benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.
4. Tauhid merupakan satu-satunya sebab mendapatkan ridha Allah, dan orang yang paling bahagia dengan syafa’at Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mengucapkan “Laa Ilaaha Illallaah” dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.
5. Allah Ta’aalaa menjamin akan memasukkannya ke Surga.
6. Allah Ta’aalaa akan memberikan kemenangan, pertolongan, kejayaan dan kemuliaan.
7. Allah Ta’aalaa akan memberikan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
8. Tauhid akan mencegah seorang muslim kekal di Neraka.
9. Tauhid merupakan penentu diterima atau ditolaknya amal manusia.
10. Orang yang bertauhid akan mendapatkan rasa aman dan petunjuk.

Pembahasan 5
Definisi dan Pengertian Iman, serta Rukun-Rukunnya menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah[8]
Termasuk prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa: iman adalah perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena perbuatan dosa dan kemaksiatan.
Dasar-dasar keimanan menurut Ahlus Sunnah wal Jam’ah terangkum dalam keimanan dan kepercayaan kepada keenam rukunnya, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihis salaam ketika datang kepada beliau untuk bertanya tentang iman, maka beliau menjawab:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir, dan engkau beriman kepada Qadar (Takdir) baik dan buruknya.”[9]
Keenam prinsip keimanan tersebut adalah rukun iman, maka tidak sempurna iman seseorang kecuali apabila ia mengimani seluruhnya menurut cara yang benar, yang ditunjukkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka barangsiapa yang mengingkari satu saja dari rukun iman ini; maka ia telah kafir.
Pertama: Iman kepada Allah Ta’aalaa
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat tentang keberadaan Allah, (Rabb) yang disifati dengan semua sifat kesempurnaan dan sifat kemuliaan, satu-satunya Rabb yang berhak diibadahi, dan hati merasa tenteram dengan-Nya dengan suatu ketenteraman yang berbagai pengaruhnya terlihat dalam perilaku manusia, komitmennya dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya, Iman kepada Allah adalah asas dan inti ‘aqidah Islamiyyah. Jadi, ia adalah pokok, dan semua rukun-rukun ‘aqidah dihubungkan kepadanya atau mengikutinya.
Beriman kepada Allah Ta’aalaa artinya: berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga, serta beri’tiqad dengan beramal dengannya, yaitu (1)Tauhid Rubuubiyyah, (2)Tauhid Uluuhiyyah, dan (3) Tauhid al-Asmaa’ wash Shifaat.13
Kedua: Iman kepada Malaikat
Ahlus Sunnah mengimani adanya Malaikat yang ditugaskan Allah di dunia dan di akhirat. Malaikat adalah alam ghaib, mahkluk, dan hamba Allah. Malaikat sama sekali tidak memiliki keistimewaan Rububiyyah dan Uluhiyyah. Allah menciptakannya dari cahaya serta memberikan ketaatan yang sempurna serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan itu.
Dalil bahwa malaikat diciptakan dari cahaya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, ia berkata bahwa Rasulullah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُوْرٍ، وَخُلِقَ الْـجَانُّ مِـنْ مَـارِجٍ مِنْ نَـارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِـمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan dari apa yang telah disifatkan kepada kalian.”[10]
Malaikat adalah mahkluk Allah yang besar seperti disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, seperti sifat para Malaikat yang memikul ’Arsy.
Malaikat tidak membutuhkan makan dan minum, seperti kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dengan tamu-tamunya yang ternyata mereka adalah Malaikat. Malaikat adalah mahkluk yang sangat taat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Jumlah Malaikat sangat banyak, dan tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah.
Iman kepada Malaikat mengandung empat unsur:
1. Mengimani wujud mereka.
2. Mengimani nama-nama Malaikat yang kita kenali.
3. Mengimani sifat-sifat mereka yang kita kenali.
4. Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang sudah kita ketahui.
Ketiga: Iman kepada Kitab-Kitab
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beriman dan meyakini dengan keyakinan yang pasti bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah menurunkan kepada para Rasul-Nya: Kitab-kitab yang berisi perintah, larangan, janji, ancaman, dan apa yang dikehendaki oleh Allah terhadap mahkluk-Nya, serta di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Kitab-kitab yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah: Al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Nabi Ibrahim, dan Shuhuf Nabi Musa.
Iman kepada Kitab-kitab mengandung empat unsur:
1. Mengimani bahwa Kitab-kitab tersebut benar-benar diturunkan dari Allah.
2. Mengimani Kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya.
3. Membenarkan seluruh beritanya yang benar (belum diubah-ubah oleh manusia).
4. Melaksanakan seluruh hukum yang tidak di-nasakh (dihapus) serta rela dan berserah diri kepada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya maupun tidak.
Keempat: Iman kepada para Rasul
Ahlus Sunnah beriman kepada Rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Ar-Rusul (اَلــرُّسُــلُ) bentuk jamak dari kata rasul (رَسُــوْلٌ) yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud “rasul” di sini adalah orang diberi wahyu untuk disampaikan kepada ummat.
Rasul yang pertama adalah Nabiyyullah Nuh ‘alaihis salaam, dan yang terakhir adalah Nabiyyullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setiap ummat tidak pernah sunyi dari Nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’aalaa yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang diperbaharui.         
Para Rasul adalah manuasia biasa, makhluk Allah yang tidak  mempunyai sedikitpun keistimewaan Rububiyyah dan Uluhiyyah serta mereka pun tidak mengetahui perkara yang ghaib. Para Rasul juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan; seperti : sakit, mati, membutuhkan makan dan minum, dan lain sebagainya.
Iman kepada para Rasul mengandung empat unsur:
1. Mengimani bahwasanya risalah mereka benar-benar dari Allah Ta’aalaa.
2. Mengimani nama-nama Rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan dalam Al-Qur-an dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam As-Sunnah yang shahih.
3. Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.
4. Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir: Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus Allah Ta’aalaa kepada seluruh manusia.
Kelima: Iman kepada Hari Akhir
Hukum beriman kepada Hari Akhir adalah wajib.
Allah dan Rasul-Nya sering menyebutkan tentang iman kepada Allah dan Hari Akhir, hal ini menunjukkan pentingnya beriman kepada Hari Akhir. Orang yang tidak beriman kepada Hari Akhir; berarti ia tidak beriman kepada tempat kembali. Orang yang tidak beriman kepada Hari Akhir berarti ia tidak beriman kepada Allah.
Termasuk iman kepada Hari Akhir, yaitu: mengimani tentang adanya fitnah kubur, adzab kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di padang Mahsyar, ditegakkannya Mizan (timbangan), dibukakannya catatan-catatan amal, adanya Hisab, Al-Haudh (telaga), Shirath (jembatan), Syafa’at, serta Surga dan Neraka.
Keenam: Iman kepada Qadar (Takdir Baik dan Buruk)
Golongan yang selamat, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beriman kepada Qadar yang baik maupun buruk. Iman kepada Qadar meliputi iman kepada setiap nash tentang qadar serta tingkatannya. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla.
Iman kepada qadar memiliki empat tingkatan:
Pertama: Al-‘Ilmu (Ilmu), yaitu mengimani bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, Dia mengetahui segala sesuatu.
Kedua: Al-Kitaabah (Penulisan), yaitu mengimani bahwa Allah telah mencatat seluruh Takdir makhluk di Lauh Mahfuuzh.
Ketiga: Al-Masyii-ah (Kehendak), yaitu mengimani bahwa apa yang dikehendaki Allah; pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah; tidak akan terjadi.
Keempat: Al-Khalq (Penciptaan), yaitu mengimani bahwa Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu.

Pembahasan 6
Perusak-perusak Aqidah[11]
Pertama: Al-Istighatsah (meminta tolong dikala sulit) kepada selain Allah.
Seperti Istighatsah kepada: Jin, orang yang sudah meninggal (apakah orang yang meninggal itu Nabi, wali, habib, atau lainnya), pohon, batu, jimat-jimat, dan sebagainya.
Kedua: Mengada-adakan ritual-ritual tertentu kepada selain Allah.
Hal ini dilakukan dengan beragam bentuk seperti: thalab al-madad (meminta bantuan), menyembelih hewan sebagai persembahan, bernadzar dan memohon syafa’at (pertolongan) kepada selain Allah, thawaf pada selain Ka’bah, mengusap-usap kuburan, ruku’ kepada selain Allah, dan sebagainya.
Ketiga: Memiliki keyakinan-keyakinan tertentu yang tidak ada dasarnya dari syari’at Allah Ta’aalaa.
Seperti berkeyakinan bahwa orang mati terbunuh pada suatu tempat; maka pada tempat itu pula ruh orang tersebut keluar gentayangan pada malam hari untuk menakut-nakuti manusia, takut kepada orang mati, selalu mengucapkan: “Maaf wahai penguasa, saya akan lewat tempat ini!” dan sebagainya.
Keempat: Memiliki keyakinan-keyakinan tentang hari-hari tertentu tanpa dalil.
Misalnya berkeyakinan bahwa hari Jum’at dan Selasa adalah hari yang (naas) sial.
Kelima: Memiliki keyakinan-keyakinan yang salah tentang Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Misalnya berkeyakinan tentang adanya Nur Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpindah-pindah dari tulang sulbi para Nabi, bahwa nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat menjaga anak-anak, berkeyakinan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk Allah yang pertama, Nabi datang ketika dibacakan maulid, dan semacamnya.
Keenam: Memiliki keyakinan-keyakinan tentang benda-benda tertentu tanpa dalil.
Seperti memiliki keyakinan tertentu yang berhubungan dengan batu-batu keramat, batu cincin, pohon keramat, jimat, tali penolak bala, gelang, daging, ikan, dan sebagainya.
Ketujuh: Memiliki keyakinan tentang organ-organ makhluk tanpa dalil.
Seperti memiliki keyakinan tertentu yang berhubungan dengan plasenta (ari-ari), tulang, darah, dan selainnya.
Kedelapan: Mempercayai kata-kata dukun dan paranormal.
Termasuk juga berkeyakinan bahwa syaithan dapat menumbuhkan sebagian tumbuhan, memohon perlindungan bagi dua pengantin dangan cara-cara tertentu.
Kesembilan: Memiliki keyakinan-keyakinan yang salah tentang benda-benda langit.
Misalnya memiliki keyakinan tertentu tentang matahari, rasi bintang, ramalan nasib, turunnya hujan, batu, meteor, dan sebagainya.
Kesepuluh: Keyakinan-keyakinan salah seputar kehidupan rumah tangga.
Seperti berkeyakinan bahwa jika sebuah wadah pecah berarti akan membawa kejelekan, tidak merasa senang jika dikaruniai seorang anak perempuan, beranggapan sial karena banyak tertawa, beranggapan sial dengan padamnya lampu saat seseorang datang ke rumahnya, mencium uang, mencium roti ketika menemukannya di tanah, keyakinan tertentu tentang gunting, peniti, dan cermin, keyakinan tertentu tentang menyapu rumah, seperti: berkeyakinan bahwa menyapu rumah pada malam hari dapat mewariskan kefakiran, dan sebagainya.
Kesebelas: Memperingati perayaan-perayaan yang bukan dari Islam.
Seperti perayaan musim semi, peringatan hari raya Ibu, perayaan hari ulang tahun, perayaan tahun baru, merayakan hari raya yang bid’ah, maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan sebagainya.
Kedua belas: Bersumpah dengan selain Nama Allah.
Seperti bersumpah dengan makhluk, dengan benda-benda tertentu, dan sebagainya.
Ketiga belas: Memiliki keyakinan-keyakinan tertentu yang berhubungan dengan hewan.
Misalnya berkeyakinan salah tentang musang, burung gagak, burung tekukur, kura-kura, bunglon, beranggapan sial karena suara burung hantu, gagak, dan rajawali, merasa sial melihat kucing mati, ular lewat, dan sebagainya.
Keempat belas: Mengucapkan perkataan-perkataan tentang Allah tanpa ilmu.
Seperti mengucapkan: “Allah ada di mana-mana.”
Atau mengucapkan: “Ya Allah, mengapa Engkau cabut nyawa kekasihku?”
Atau mengucapkan: “Ya Allah, mengapa hanya aku yang Engkau timpakan musibah?”
Kelima belas: Lebih mengutamakan cara (petunjuk) orang kafir daripada cara orang muslim.
Seperti menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (penolong) dengan menjadikan mereka sebagai orang yang diajak musyawarah, memulai salam terhadap Ahlul Kitab, dan semacamnya.
Keenam belas: Memberikan nama-nama yang mungkar kepada anak.
Seperti memberikan nama dengan ‘Abdul Maujud, ‘Abdul ‘Ali, ‘Abdun Nabiy, ‘Abdur Rasul, dan lain-lain.

Nasehat dan Penutup
A. Wajib berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, dan meninggalkan firqah-firqah sesat.[12]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنّـِيْ قَدْ تَـرَكْتُ فِـيْـكُـمْ شَـيْــئَــيـْنِ لَـنْ تَضِلُّـوْا بَـعْـدَهُـمَا: كِـتَابَ اللهِ وَسُـنَّتِـيْ
“Sesungguhnya aku tinggalkan dua perkara kepada kalian, yang kallian tidak akan sesat selama kalian berpegang kepada keduanya, yaitu: Al-Qur-an dan Sunnahku.”[13]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Al-Qur-an dan As-Sunnah kepada umat Islam. Namun setiap firqah yang sesat mengakui bahwa mereka berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, baik Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, dan firqah-firqah sesat lainnya. Maka harus ada timbangan yang jelas dalam pernyataan berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah tersebut; yakni: berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman siapa??? Karena kalau menurut pemahaman masing-masing golongan atau ra’yu (pendapat) para tokoh; maka yang terjadi adalah seperti yang kita lihat saat ini, yaitu timbul ratusan pemahaman, bahkan bisa ribuan pemahaman dan perpecahan di tengah kaum muslimin, dan hal ini akan terus bertambah. Allaahul Musta’aan (Allah-lah yang kita mintai pertolongan).
Jalan menuju kepada Allah hanya satu, yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya ridhwanullaahi ‘alaihim ajma’iin.
B. Jangan terpengaruh dengan syubhat-syubhat yang selalu menyambar[14]
Seorang Muslim tidak boleh mengikuti apa yang tidak dia ketahui, Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَلَا تَقْفُ مَا لَـيْـسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُـؤَادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا}
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati; semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Israa’:36)
Oleh karena itu bila ada syubhat; maka kembalikanlah dan tanyakanlah kepada ahlinya, tanyakan kepada orang-orang yang berilmu, tanyakan kepada orang-orang yang paham Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf. Allah Ta’aalaa berfirman :
{...وَلَـوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ...}
“...(Padahal) apabila mereka mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka; tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri)...” (QS. An-Nisaa’:83)
Berbagai syubhat yang diteriakkan oleh para penyeru kebathilan dan membuat manusia lari dari dakwah Salafiyah: semunya adalah fitnah, dusta, bohong, mengada-ada, dan lemah. Yang harus diingat bahwa syubhat meskipun “kuat”, dia akan tetap seperti buih. Adapun ilmu yang bermanfaat; maka akan tetap kokoh. Allah Ta’aalaa berfirman :
{...فَأَمَّا الزَّبَـدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ...}
“...Adapun buih; maka akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia: akan tetap ada dibumi...” (QS. Ar-Ra’d: 17)
C. Selalu memohon kepada Allah agar dikuatkan iman dan takwa, serta agar ditetapkan di atas Islam dan Sunnah[15]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a:
يَـا مُقَلِّبَ الْـقُلُوْبِ، ثَــبِّـتْ قَـلْـبِـيْ عَلَى دِيْــنِكَ
“Wahai Rabb, yang membolak-balik hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.”
اَللّٰهُمَّ مُصَـــرِّفَ الْـقُلُوْبِ، صَــرِّفْ قُـلُـوْبَــنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Ya Allah, yang mengarahkan hati, arahkan hati-hati kami untuk taat kepada-Mu.”
D. Manfaatkan Waktu Sebaik-baiknya![16]
Waktu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan adalah lebih mahal daripada emas, karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak menyia-nyiakan waktu luangnya untuk bercanda, bergurau, bermain-main, nonton TV, baca koran, membaca buku-buku atau majalah yang tidak bermanfaat, dan melakukan hal-hal lainnya yang tidak bermanfaat. Karena setiap waktu yang terbuang; maka ia tidak akan pernah bisa diganti. Barangsiapa yang lalai terhadap waktunya; maka semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana orang yang sakit merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نِـعْـمَتَانِ مَـغْــبُوْنٌ فِـيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang manusia banyak tertipu dengannya: nikmat sehat dan waktu luang.”[17]
E. Bertaqwa kepada Allah Ta’ala![18]
Allah Ta’aalaa mewasiatkan taqwa kepada ummat terdahulu dan ummat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam melalui Firman-Nya:
{...وَلَقَدْ وَصَّـــيْنَا الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللهَ...}
“...Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang telah diberi Kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu: agar bertaqwa kepada Allah...” (Qs. An-Nisaa’: 131)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اتَّـقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْــبعِ السَّـــيِّـــئَـةَ الْـحَسَنَـةَ؛ تَـمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بـِخُلُقٍ حَسَـنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik; niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan buruk tersebut, dan bergaullah antara sesama manusia dengan akhlak yang baik.”[19]
F. Jadilah seorang Muslimah, Seorang istri, Seorang Ibu yang Shalihah!24
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا: الْمَرْأَةُ الصَّالِـحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri yang shalihah.”[20]

-diedit kembali oleh: Ahmad Hendrix-


[1] Lihat buku penulis: “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, terbitan Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta.
[2] Tauhid ar-Rubuubiyyah, al-Uluuhiyyah, dan al-Asmaa’ wash Shifaat.
[3] “Lisaanul ‘Arab” (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H).
[4] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Shahabat ‘Abullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[5] Lihat buku penulis: “Prinsip Dasar Islam”, terbitan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
[6] Lihat buku penulis: “Tauhid Jalan Menuju Keadilan dan Kemakmuran”, terbitan Media Tarbiyah, Bogor.
[7] Lihat: “Al-Ushuuluts Tsalaatsah”, oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullaah.
[8] Lihat buku penulis: “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, terbitan pustaka Imam Syafi’i, Jakarta.
[9] Shahih: HR. Muslim (no. 8) dari Shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallaahu ‘anhu.
[10] Shahih: HR. Muslim (no. 2996 (60)).
[11] “Kalimaatun Naafi’ah fil Akhtaa’ Asy-syaa-i’ah: Tsamanuun Khatha-an fil ‘Aqiidah”, karya Syaikh Wahid Abdus Salam Bali hafizhahullaah, dengan diringkas dan ditambah.
[12] Lihat buku penulis: “Mulia Dengan Manhaj Salaf” (bab 12), terbitan Pustaka At-Taqwa. Bogor.
[13] Shahih: HR. Al-Hakim (I/93) dan Al-Baihaqi (X/114) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyaallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2937)
[14] Lihat buku penulis: “Mulia Dengan Manhaj Salaf” (bab 12), terbitan Pustaka At-Taqwa. Bogor.
[15] Lihat buku penulis: “Do’a dan Wirid”, terbitan Pustaka Imam asy-syafi’i, Jakarta.
[16] Lihat buku penulis: “Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga”, terbitan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
[17] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6412), At-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), Ad-Darimi (II/297), Al-Hakim (IV/306), dan lainnya, lafazh ini milik aAl-Bukhari, dari Shahabat ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[18] Lihat buku penulis: “Taqwa Jalan menuju Sukses Abadi”, terbitan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
[19] Hasan: HR. Ahmad (V/153, 158, 177), At-Tirmidzi (no. 1987), Ad-Darimi (II/323), dan Al-Hakim (I/54), dari Shahabat Abu Dzarr Al-Ghifari radhiyallaahu ‘anhu.
[20] Shahih: HR. Muslim (no. 1467).