[Penetapan Sifat Datang Bagi
Allah]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah
berkata:
[1]- Pembahasan Ayat Pertama
{هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ
اللهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلَائِكَةُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ ...}
“Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu
kecuali datangnya Allah bersama malaikat dalam naungan awan, sedangkan perkara
(mereka) telah diputuskan…” (QS. Al-Baqarah: 210)
Ayat ini berisi ancaman atas orang-orang
yang terus-menerus berada di atas kekafiran dan penentangan mereka, dan terus
mengikuti syaithan, maka Allah ancam bahwa: mereka tidaklah menunggu melainkan
datangnya Allah ‘Azza Wa Jalla dalam naungan awan, untuk memutuskan
perkara mereka, dan hal itu terjadi pada Hari Kiamat.[1]
Disebutkan dalam ayat ini bahwa: Allah ‘Azza
Wa Jalla datang dalam naungan awan, yakni: bersamaan dengan awan, karena
disebutkan dalam ayat yang lain (ayat keempat berikut) bahwa: ketika Allah
turun; maka:
{...وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّمَاءُ
بِالْغَمَامِ...}
“…langit pecah mengeluarkan kabut putih …”
(QS.
Al-Furqaan: 25)
Jadi maknanya bukanlah: Allah dinaungi
oleh awan sehingga awan meliputi-Nya, maka ini tidak mungkin. Karena Allah Subhaanahu
Wa Ta’aalaa adalah Maha Luas.[2]
Maka ayat ini dengan tegas menunjukkan
sifat datang bagi Allah pada Hari Kiamat nanti.
[2]- Pembahasan Ayat Kedua
{هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ
الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ...}
“Yang mereka nanti-nantikan hanyalah
kedatangan malaikat kepada mereka, atau kedatangan Rabb-mu, atau sebagian
tanda-tanda dari Rabb-mu…” (QS. Al-An’aam: 158)
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa
mengancam orang-orang kafir dengan salah satu dari 3 (tiga) perkara ini:
(1)- Datangnya Malaikat; yakni: untuk
mencabut nyawa mereka. Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَلَوْ تَرَى إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِيْنَ
كَفَرُوا الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوْقُوْا
عَذَابَ الْـحَرِيْقِ}
“Dan sekiranya kamu melihat
ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir sambil memukul wajah
dan punggung mereka (dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang
membakar.” (QS. Al-Anfaal: 50)
Dan ketika malaikat datang
untuk mencabut nyawa mereka; maka taubat tidak diterima dari mereka,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ
يَقْبَلُ تَوْبَةَ العَبْدِ مَا لَـمْ يُغَرْغِرْ
“Allah menerima taubat hamba selama nyawa belum di
kerongkongan.”[3]
(2)- Datangnya Allah pada Hari Kiamat untuk
memutuskan perkara mereka. Maka inilah waktu pembalasan dan buah dari amalan, dan
dalam keadaan ini mereka tidak dapat meloloskan diri dari apa yang telah mereka
perbuat.
(3)- Datangnya
sebagian tanda-tanda dari Allah, yaitu terbitnya matahari dari barat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَقُوْمُ
السَّاعَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِـهَا، فَإِذَا طَـلَعَتْ مِنْ
مَغْرِبِـهَا آمَنَ النَّاسُ كُلُّهُمْ أَجْـمَعُوْنَ فَيَوْمَئِذٍ: {...لَا يَنْفَعُ
نَفْسًا إِيْـمَانُهَا لَـمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْـمَانِـهَا
خَيْرًا...}
“Tidak akan tegak Hari Kiamat sampai
matahari terbit dari barat, jika matahari terbit dari barat; maka seluruh
manusia beriman, sedangkan pada hari itu: “…tidak berguna lagi iman seorang
yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan
imannya itu…” (QS. Al-An’aam: 158)[4]
Jadi, ketika matahari terbit dari barat;
maka taubat tidak lagi diterima. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تَنْقَطِعُ
الْـهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ، وَلَا تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِـهَا
“Hijrah tidak akan terputus
sampai terputusnya taibat, dan taubat tidak akan terputus sampai matahari
terbit dari barat.”[5]
Maka inti dari ayat ini -dan
juga ayat sebelumnya- adalah: memperingatkan orang-orang yang mendustakan
tersebut agar jangan sampai mereka kehilangan waktu untuk bertaubat, dimana
mereka nantinya tidak mampu lolos dari balasan amalan mereka.
[6]
Ayat ini menunjukkan atas
penetapan sifat datang bagi Allah, dan tidak mungkin untuk ditakwilkan kepada
datangnya perintah atau adzab, karena Allah menyebutkan tiga perkara:
(1)datangnya malaikat, (2)datangnya Allah, dan (3)datangnya sebagian ayat-ayat
Allah.[7]
[3]- Pembahasan Ayat Ketiga &
Keempat
{كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الأرْضُ دَكًّا
دَكًّا * وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا}
“Sekali-kali tidak! Apabila bumi
diguncangkan berturut-turut (berbenturan), dan datanglah Rabb-mu; dan malaikat
berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr: 21-22)
Ayat ini menunjukkan atas datangnya
Allah pada Hari Kiamat untuk memutuskan perkara, dan ketika itu para malaikat
berbaris-baris sebagai bentuk pengagungan kepada Allah. Dan ketika Allah
datang; maka langit pecah mengeluarkan kabut putih, sebagaiamna disebutkan pada
ayat yang keempat:
{وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّمَاءُ
بِالْغَمَامِ وَنُزِّلَ الْمَلَائِكَةُ تَنْزِيْلًا}
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika)
langit pecah mengeluarkan kabut putih dan para malaikat diturunkan (secara)
bergelombang.” (QS. Al-Furqaan: 25)
Dan dalil-dalil telah menunjukkan bahwa
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa datang, turun (ke langit dunia), dan
mendekat (pada hari ‘Arafah), sedangkan Dia tinggi berada di atas ‘arsy-Nya
terpisah dari makhluk-Nya.
Maka semua ayat ini menunjukkan atas
perbuatan-perbuatan Allah secara hakiki. Adapun anggapan bahwa ini adalah majaz
(kiasan); maka ini (1)akan meniadakan Allah dari perbuatan-perbuatan-Nya, dan (2)peniadaan
ini muncul dikarenakan keyakinan bahwa: kalau Allah datang; berarti sama dengan
(datangnya) makhluk; dan ini merupakan bentuk penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya. Intinya bahwa semua ini nantinya akan mengarah kepada pengingkaran
dan ta’thiil (menolak) sifat-sifat Allah. [8]
[4]- Buah Yang Dapat Dipetik
Dari Mengimani Sifat Datang Bagi Allah
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata:
“Buahnya adalah: rasa takut terhadap
situasi (ketika datangnya Allah) ini. Dan ini merupakan keadaan yang agung,
ketika datangnya Rabb ‘Azza Wa Jalla untuk menghukumi di antara
hamba-hamba-Nya, dan ketika malaikat turun…Dan beriman dengan hal-hal yang
agung semacam ini pasti melahirkan rasa takut kepada Allah Subhaanhu Wa Ta’aalaa
dan mendorong manusia untuk istiqamah di atas agamanya.”[9]
[1]
Lihat: “Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (hlm. 146), karya Syaikh Khalil
Harras rahimahullaah.
[2]
Lihat: “Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (I/275), karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[3]
HR. Abu Dawud (no. 3537)
[4]
Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 4635) dan Muslim (no.
157), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[5]
HR. Abu Dawud (no. 2479).
[6]
Lihat: “Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (I/276-277), karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[7]
Lihat: “Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (hlm. 146), karya Syaikh
Khalil Harras rahimahullaah.
[8]
Lihat: “Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (hlm. 146), karya Syaikh
Khalil Harras rahimahullaah.
[9]
Lihat: “Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (I/282-283), karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar