‘AQIDAH SHAHIHAH
Bekal Setiap
Muslim dan Muslimah
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah
Disampaikan pada acara Dauroh Muslimah
Hari Sabtu-Ahad, 25-26 Shafar 1430
H/21-22 Februari 2009 M
Di Masjid Imam Ahmad bin Hanbal, Bogor
Pembahasan 1
Definisi dan
Pengertian Aqidah
Menurut Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah[1]
A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqiidah (اَلْـعَــقِــيْــدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu ((اَلْــعَــقْـــدُ yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (اَلــتَّــوثِــيْــقُ) yang berarti menguatkan, al-ihkaamu (اَلْإِحْـــكَامُ) yang artinya mengokohkan atau menetapkan, dan ar-rabthu
biquwwah (اَلــرَّبْــطُ
بِــقُــوَّةٍ) yang artinya mengikat dengan kuat.
Sedangkan
menurut istilah (terminologi): ‘Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang
tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
Jadi,
‘Aqidah Islammiyah adalah: keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada
Allah Subhanahu wa Ta’aalaa -beserta apa-apa yang wajib bagi-Nya; berupa:
bertauhid[2]
dan taat kepada-Nya-, beriman kepada malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya,
Hari Akhir, serta takdir baik dan buruk, dan mengimani seluruh apa-apa yang
telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang
ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih,
serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara
amaliah yang ditetapkan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’
Salafush Shahih.
B.
Definisi ‘Aqidah Salaf
Menurut
bahasa (etimologi), Salaf (الــسَّــلَــفُ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan
lebih utama[3].
Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan salaf seseorang, maksudnya: kedua
orang tua yang telah mendahuluinya.
Menurut
istilah (terminologi), kata Salaf berarti: generasi pertama dan terbaik dari
umat (Islam) ini, yang terdiri dari: para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in,
dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang
dimuliakan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, Sebagaimana sabda Rasulullah shallaallaahu
‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِـيْ، ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ...
“Sebaik-baik
manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang
sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[4]
Semua
(orang) yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, para Shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik; maka ia berada di atas manhaj (cara beragama) para Salaf. Maka
setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj
meraka -disepanjang masa-; mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada
Salaf.
Jadi,
‘Aqidah Salaf adalah: ‘Aqidah yang mengikuti manhaj (jalan) para Salafush
Shalih.
C.
Definisi ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah adalah: mereka yang menempuh seperti apa yang pernah
ditempuh oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat
radhiyallaahu ‘anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka)
berpegang dan ber-ittibaa’ (mengikuti) Sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum.
As-Sunnah
menurut bahasa (etimologi) adalah: jalan/cara, apakah jalan itu baik atau
buruk. Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah:
petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan
maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang
mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.
Disebut
Al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah
dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang kepada)
al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti
apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.
Jadi,
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang ittibaa’ (mengikuti)
Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar
(jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul
Atsar, dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaaifah
al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun
Naajiyah (golongan yang selamat), dan al-Ghurabaa’ (orang-orang yang
asing).
Pembahasan 2
Definisi dan
Pengertian Tauhid, beserta Pembagiannya[5]
Tauhid
dalam bahasa Arab adalah: menjadikan sesuatu itu hanya satu.
Tauhid
dalam ilmu syar’i (terminologi) adalah: mengesakan Allah ‘Azza Wa Jalla
terhadap sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma’ dan
Sifat-Nya. Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah saja. Yakni, hendaklah
seorang hamba meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah sajalah Rabb dan Pemilik
atas segala sesuatu. Dia-lah satu-satunya Sang Pencipta dan Pengatur Alam
Semesta. Dialah yang berhak disembah tidak ada ssekutu bagi-Nya, dan setiap
sesembahan selain-Nya adalah bathil. Dia memiliki sifat yang penuh dengan
kesempurnaan dan suci dari segala aib dan kekurangan, serta bagi-Nya al-Asmaa-ul
Husnaa (nama-nama yang indah) dan sifat-sifat yang tinggi.
Para
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membagi tauhid menjadi tiga, yaitu: Tauhid Rubuubiyyah,
Tauhid Uluuhiyyah, dan Tauhid al-Asma’ wash Shifaat.
Pembahasan 3
Islam Adalah
Agama Tauhid[6]
Definisi
Islam adalah:
اَلْاِسْــتِـسْــلَامُ
للهِ بِالـتَّوْحِـيْدِ، وَالْاِنْـقِـيَـادُ لَـهُ بِالطَّاعَةِ، وَالْبَرَاءَةُ
مِنَ الشِّــرْكِ وَأَهْلِهِ
“Berserah diri
kepada Allah dengan cara mentauhidkan-Nya, tunduk patuh kepada-Nya dengan
melaksanakan ketaatan (atas segala perintah dan larangan-Nya), serta
membebaskan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.”[7]
Jika
kita kembali kepada Al-Qur’an; sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada
kita bahwa ‘aqidah seluruh Rasul adalah tauhid, dakwah mereka dimulai dengan Tauhidullaah
dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka bawa.
Maka,
hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para Nabi -termasuk Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah: bagaikan pondasi sebuah
bangunan, dan bagaikan ruh bagi badan. Karena bangunan tidak akan tegak tanpa
adanya pondasi, dan jasad tidak akan berdiri dan hidup kecuali dengan adanya
ruh.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, demikian
pula seluruh Nabi dan Rasul shalawaatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Di
antara contohnya adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada
Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu ketika diutus ke Yaman.
Pembahasan 4
Keutamaan dan
Keagungan Tauhid
Jika
kita kembali kepada Al-Qur’an; sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa
telah memberitahukan kepada kita bahwa ‘aqidah seluruh Rasul adalah tauhid,
dakwah mereka dimulai dengan Tauhidullaah, dan tauhid merupakan perkara
terpenting dan terbesar yang mereka bawa. Oleh karena itu, tauhid memiliki
keutamaan dan keagungan yang sangat banyak, di antaranya:
1.
Allah akan menghapus dosa-dosanya (orang yang bertauhid).
2.
Allah Ta’aalaa akan menghilangkan kesulitan dan kesedihannya di dunia
dan akhirat.
3.
Allah akan menjadikan dan menghiasi dalam hatinya rasa cinta kepada iman serta
menjadikan di dalam hatinya rasa benci kepada kekafiran, kefasikan, dan
kedurhakaan.
4. Tauhid merupakan satu-satunya sebab mendapatkan ridha Allah, dan
orang yang paling bahagia dengan syafa’at Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wa sallam adalah orang yang mengucapkan “Laa Ilaaha Illallaah” dengan
penuh keikhlasan dari dalam hatinya.
5.
Allah Ta’aalaa menjamin akan memasukkannya ke Surga.
6.
Allah Ta’aalaa akan memberikan kemenangan, pertolongan, kejayaan dan
kemuliaan.
7.
Allah Ta’aalaa akan memberikan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
8.
Tauhid akan mencegah seorang muslim kekal di Neraka.
9.
Tauhid merupakan penentu diterima atau ditolaknya amal manusia.
10.
Orang yang bertauhid akan mendapatkan rasa aman dan petunjuk.
Pembahasan 5
Definisi dan
Pengertian Iman, serta Rukun-Rukunnya menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah[8]
Termasuk
prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa: iman adalah perkataan dan amalan,
perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu
bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena perbuatan dosa dan kemaksiatan.
Dasar-dasar
keimanan menurut Ahlus Sunnah wal Jam’ah terangkum dalam keimanan dan
kepercayaan kepada keenam rukunnya, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihis salaam ketika datang
kepada beliau untuk bertanya tentang iman, maka beliau menjawab:
أَنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Engkau beriman
kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari
Akhir, dan engkau beriman kepada Qadar (Takdir) baik dan buruknya.”[9]
Keenam prinsip
keimanan tersebut adalah rukun iman, maka tidak sempurna iman seseorang
kecuali apabila ia mengimani seluruhnya menurut cara yang benar, yang
ditunjukkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka barangsiapa yang mengingkari satu
saja dari rukun iman ini; maka ia telah kafir.
Pertama: Iman
kepada Allah Ta’aalaa
Iman
kepada Allah adalah keyakinan yang kuat tentang keberadaan Allah, (Rabb) yang
disifati dengan semua sifat kesempurnaan dan sifat kemuliaan, satu-satunya Rabb
yang berhak diibadahi, dan hati merasa tenteram dengan-Nya dengan suatu
ketenteraman yang berbagai pengaruhnya terlihat dalam perilaku manusia,
komitmennya dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dan menjauhi segala
larangan-Nya, Iman kepada Allah adalah asas dan inti ‘aqidah Islamiyyah. Jadi,
ia adalah pokok, dan semua rukun-rukun ‘aqidah dihubungkan kepadanya atau mengikutinya.
Beriman kepada
Allah Ta’aalaa
artinya: berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga, serta beri’tiqad dengan
beramal dengannya, yaitu (1)Tauhid Rubuubiyyah, (2)Tauhid Uluuhiyyah,
dan (3) Tauhid al-Asmaa’ wash Shifaat.13
Kedua: Iman
kepada Malaikat
Ahlus
Sunnah mengimani adanya Malaikat yang ditugaskan Allah di dunia dan di akhirat.
Malaikat adalah alam ghaib, mahkluk, dan hamba Allah. Malaikat sama sekali
tidak memiliki keistimewaan Rububiyyah dan Uluhiyyah. Allah menciptakannya dari
cahaya serta memberikan ketaatan yang sempurna serta kekuatan untuk
melaksanakan ketaatan itu.
Dalil
bahwa malaikat diciptakan dari cahaya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu
‘anhaa, ia berkata bahwa Rasulullah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
خُلِقَتِ
الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُوْرٍ، وَخُلِقَ الْـجَانُّ مِـنْ مَـارِجٍ مِنْ نَـارٍ،
وَخُلِقَ آدَمُ مِـمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Malaikat
diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam
diciptakan dari apa yang telah disifatkan kepada kalian.”[10]
Malaikat
adalah mahkluk Allah yang besar seperti disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an
dan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih,
seperti sifat para Malaikat yang memikul ’Arsy.
Malaikat
tidak membutuhkan makan dan minum, seperti kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam
dengan tamu-tamunya yang ternyata mereka adalah Malaikat. Malaikat adalah
mahkluk yang sangat taat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Jumlah
Malaikat sangat banyak, dan tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah.
Iman kepada
Malaikat mengandung empat unsur:
1. Mengimani wujud mereka.
2. Mengimani nama-nama Malaikat yang kita kenali.
3.
Mengimani sifat-sifat mereka yang kita kenali.
4.
Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang sudah kita
ketahui.
Ketiga: Iman
kepada Kitab-Kitab
Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah beriman dan meyakini dengan keyakinan yang pasti bahwa Allah
Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah menurunkan kepada para Rasul-Nya:
Kitab-kitab yang berisi perintah, larangan, janji, ancaman, dan apa yang
dikehendaki oleh Allah terhadap mahkluk-Nya, serta di dalamnya terdapat
petunjuk dan cahaya. Kitab-kitab yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah: Al-Qur’an,
Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Nabi Ibrahim, dan Shuhuf Nabi Musa.
Iman kepada Kitab-kitab
mengandung empat unsur:
1. Mengimani bahwa Kitab-kitab tersebut benar-benar
diturunkan dari Allah.
2. Mengimani Kitab-kitab yang sudah kita kenali
namanya.
3.
Membenarkan seluruh beritanya yang benar (belum diubah-ubah oleh manusia).
4.
Melaksanakan seluruh hukum yang tidak di-nasakh (dihapus) serta rela dan
berserah diri kepada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya maupun tidak.
Keempat: Iman
kepada para Rasul
Ahlus
Sunnah beriman kepada Rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Ar-Rusul
(اَلــرُّسُــلُ) bentuk jamak dari kata rasul (رَسُــوْلٌ) yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu.
Namun yang dimaksud “rasul” di sini adalah orang diberi wahyu untuk disampaikan
kepada ummat.
Rasul
yang pertama adalah Nabiyyullah Nuh ‘alaihis salaam, dan yang terakhir
adalah Nabiyyullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setiap ummat
tidak pernah sunyi dari Nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’aalaa
yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syari’at
sebelumnya yang diperbaharui.
Para
Rasul adalah manuasia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikitpun keistimewaan Rububiyyah
dan Uluhiyyah serta mereka pun tidak mengetahui perkara yang ghaib. Para Rasul
juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan; seperti : sakit, mati, membutuhkan makan
dan minum, dan lain sebagainya.
Iman kepada para
Rasul mengandung empat unsur:
1. Mengimani bahwasanya risalah mereka benar-benar
dari Allah Ta’aalaa.
2. Mengimani nama-nama Rasul yang sudah kita kenali,
yang Allah sebutkan dalam Al-Qur-an dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebutkan
dalam As-Sunnah yang shahih.
3.
Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.
4.
Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir:
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus Allah Ta’aalaa
kepada seluruh manusia.
Kelima: Iman
kepada Hari Akhir
Hukum
beriman kepada Hari Akhir adalah wajib.
Allah
dan Rasul-Nya sering menyebutkan tentang iman kepada Allah dan Hari Akhir, hal
ini menunjukkan pentingnya beriman kepada Hari Akhir. Orang yang tidak beriman
kepada Hari Akhir; berarti ia tidak beriman kepada tempat kembali. Orang yang
tidak beriman kepada Hari Akhir berarti ia tidak beriman kepada Allah.
Termasuk
iman kepada Hari Akhir, yaitu: mengimani tentang adanya fitnah kubur, adzab
kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di padang Mahsyar, ditegakkannya Mizan
(timbangan), dibukakannya catatan-catatan amal, adanya Hisab, Al-Haudh (telaga),
Shirath (jembatan), Syafa’at, serta Surga dan Neraka.
Keenam: Iman
kepada Qadar (Takdir Baik dan Buruk)
Golongan
yang selamat, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beriman kepada Qadar yang baik maupun
buruk. Iman kepada Qadar meliputi iman kepada setiap nash tentang qadar serta
tingkatannya. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak ketetapan Allah ‘Azza
wa Jalla.
Iman kepada
qadar memiliki empat tingkatan:
Pertama: Al-‘Ilmu (Ilmu), yaitu mengimani bahwa ilmu Allah
meliputi segala sesuatu, Dia mengetahui segala sesuatu.
Kedua: Al-Kitaabah (Penulisan), yaitu mengimani bahwa Allah telah
mencatat seluruh Takdir makhluk di Lauh Mahfuuzh.
Ketiga: Al-Masyii-ah (Kehendak), yaitu mengimani bahwa apa
yang dikehendaki Allah; pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah;
tidak akan terjadi.
Keempat: Al-Khalq (Penciptaan), yaitu mengimani bahwa
Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu.
Pembahasan 6
Perusak-perusak
Aqidah[11]
Pertama: Al-Istighatsah
(meminta tolong dikala sulit) kepada selain Allah.
Seperti
Istighatsah kepada: Jin, orang yang sudah meninggal (apakah orang yang
meninggal itu Nabi, wali, habib, atau lainnya), pohon, batu, jimat-jimat, dan
sebagainya.
Kedua:
Mengada-adakan ritual-ritual tertentu kepada selain Allah.
Hal
ini dilakukan dengan beragam bentuk seperti: thalab al-madad (meminta
bantuan), menyembelih hewan sebagai persembahan, bernadzar dan memohon syafa’at
(pertolongan) kepada selain Allah, thawaf pada selain Ka’bah, mengusap-usap
kuburan, ruku’ kepada selain Allah, dan sebagainya.
Ketiga: Memiliki
keyakinan-keyakinan tertentu yang tidak ada dasarnya dari syari’at Allah Ta’aalaa.
Seperti
berkeyakinan bahwa orang mati terbunuh pada suatu tempat; maka pada tempat itu
pula ruh orang tersebut keluar gentayangan pada malam hari untuk menakut-nakuti
manusia, takut kepada orang mati, selalu mengucapkan: “Maaf wahai penguasa,
saya akan lewat tempat ini!” dan sebagainya.
Keempat:
Memiliki keyakinan-keyakinan tentang hari-hari tertentu tanpa dalil.
Misalnya
berkeyakinan bahwa hari Jum’at dan Selasa adalah hari yang (naas) sial.
Kelima: Memiliki
keyakinan-keyakinan yang salah tentang Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Misalnya
berkeyakinan tentang adanya Nur Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam
yang berpindah-pindah dari tulang sulbi para Nabi, bahwa nama Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dapat menjaga anak-anak, berkeyakinan bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah makhluk Allah yang pertama, Nabi datang ketika
dibacakan maulid, dan semacamnya.
Keenam: Memiliki
keyakinan-keyakinan tentang benda-benda tertentu tanpa dalil.
Seperti
memiliki keyakinan tertentu yang berhubungan dengan batu-batu keramat, batu cincin,
pohon keramat, jimat, tali penolak bala, gelang, daging, ikan, dan sebagainya.
Ketujuh:
Memiliki keyakinan tentang organ-organ makhluk tanpa dalil.
Seperti
memiliki keyakinan tertentu yang berhubungan dengan plasenta (ari-ari), tulang,
darah, dan selainnya.
Kedelapan:
Mempercayai kata-kata dukun dan paranormal.
Termasuk
juga berkeyakinan bahwa syaithan dapat menumbuhkan sebagian tumbuhan, memohon
perlindungan bagi dua pengantin dangan cara-cara tertentu.
Kesembilan:
Memiliki keyakinan-keyakinan yang salah tentang benda-benda langit.
Misalnya
memiliki keyakinan tertentu tentang matahari, rasi bintang, ramalan nasib,
turunnya hujan, batu, meteor, dan sebagainya.
Kesepuluh:
Keyakinan-keyakinan salah seputar kehidupan rumah tangga.
Seperti
berkeyakinan bahwa jika sebuah wadah pecah berarti akan membawa kejelekan,
tidak merasa senang jika dikaruniai seorang anak perempuan, beranggapan sial
karena banyak tertawa, beranggapan sial dengan padamnya lampu saat seseorang
datang ke rumahnya, mencium uang, mencium roti ketika menemukannya di tanah,
keyakinan tertentu tentang gunting, peniti, dan cermin, keyakinan tertentu tentang
menyapu rumah, seperti: berkeyakinan bahwa menyapu rumah pada malam hari dapat
mewariskan kefakiran, dan sebagainya.
Kesebelas:
Memperingati perayaan-perayaan yang bukan dari Islam.
Seperti
perayaan musim semi, peringatan hari raya Ibu, perayaan hari ulang tahun,
perayaan tahun baru, merayakan hari raya yang bid’ah, maulid Nabi, Isra’
Mi’raj, dan sebagainya.
Kedua belas:
Bersumpah dengan selain Nama Allah.
Seperti
bersumpah dengan makhluk, dengan benda-benda tertentu, dan sebagainya.
Ketiga belas:
Memiliki keyakinan-keyakinan tertentu yang berhubungan dengan hewan.
Misalnya
berkeyakinan salah tentang musang, burung gagak, burung tekukur, kura-kura,
bunglon, beranggapan sial karena suara burung hantu, gagak, dan rajawali,
merasa sial melihat kucing mati, ular lewat, dan sebagainya.
Keempat belas:
Mengucapkan perkataan-perkataan tentang Allah tanpa ilmu.
Seperti
mengucapkan: “Allah ada di mana-mana.”
Atau
mengucapkan: “Ya Allah, mengapa Engkau cabut nyawa kekasihku?”
Atau
mengucapkan: “Ya Allah, mengapa hanya aku yang Engkau timpakan musibah?”
Kelima belas:
Lebih mengutamakan cara (petunjuk) orang kafir daripada cara orang muslim.
Seperti
menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (penolong) dengan menjadikan
mereka sebagai orang yang diajak musyawarah, memulai salam terhadap Ahlul
Kitab, dan semacamnya.
Keenam belas:
Memberikan nama-nama yang mungkar kepada anak.
Seperti
memberikan nama dengan ‘Abdul Maujud, ‘Abdul ‘Ali, ‘Abdun Nabiy, ‘Abdur Rasul,
dan lain-lain.
Nasehat dan
Penutup
A. Wajib
berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush
Shalih, dan meninggalkan firqah-firqah sesat.[12]
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنّـِيْ
قَدْ تَـرَكْتُ فِـيْـكُـمْ شَـيْــئَــيـْنِ لَـنْ تَضِلُّـوْا بَـعْـدَهُـمَا:
كِـتَابَ اللهِ وَسُـنَّتِـيْ
“Sesungguhnya aku
tinggalkan dua perkara kepada kalian, yang kallian tidak akan sesat selama kalian
berpegang kepada keduanya, yaitu: Al-Qur-an dan Sunnahku.”[13]
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Al-Qur-an dan As-Sunnah
kepada umat Islam. Namun setiap firqah yang sesat mengakui bahwa mereka
berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, baik Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah,
Murji’ah, dan firqah-firqah sesat lainnya. Maka harus ada timbangan yang jelas
dalam pernyataan berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah tersebut; yakni:
berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman siapa??? Karena kalau
menurut pemahaman masing-masing golongan atau ra’yu (pendapat) para
tokoh; maka yang terjadi adalah seperti yang kita lihat saat ini, yaitu timbul
ratusan pemahaman, bahkan bisa ribuan pemahaman dan perpecahan di tengah kaum
muslimin, dan hal ini akan terus bertambah. Allaahul Musta’aan (Allah-lah
yang kita mintai pertolongan).
Jalan
menuju kepada Allah hanya satu, yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya ridhwanullaahi
‘alaihim ajma’iin.
B.
Jangan terpengaruh dengan
syubhat-syubhat yang selalu menyambar[14]
Seorang
Muslim tidak boleh mengikuti apa yang tidak dia ketahui, Allah Ta’aalaa
berfirman:
{وَلَا تَقْفُ مَا لَـيْـسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُـؤَادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا}
“Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,
penglihatan, dan hati; semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS.
Al-Israa’:36)
Oleh
karena itu bila ada syubhat; maka kembalikanlah dan tanyakanlah kepada ahlinya,
tanyakan kepada orang-orang yang berilmu, tanyakan kepada orang-orang yang
paham Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf. Allah Ta’aalaa
berfirman :
{...وَلَـوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ...}
“...(Padahal)
apabila mereka mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka;
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri)...” (QS.
An-Nisaa’:83)
Berbagai
syubhat yang diteriakkan oleh para penyeru kebathilan dan membuat manusia lari
dari dakwah Salafiyah: semunya adalah fitnah, dusta, bohong, mengada-ada, dan
lemah. Yang harus diingat bahwa syubhat meskipun “kuat”, dia akan tetap seperti
buih. Adapun ilmu yang bermanfaat; maka akan tetap kokoh. Allah Ta’aalaa
berfirman :
{...فَأَمَّا الزَّبَـدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ
النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ...}
“...Adapun
buih; maka akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang
bermanfaat bagi manusia: akan tetap ada dibumi...” (QS. Ar-Ra’d:
17)
C.
Selalu memohon kepada Allah agar
dikuatkan iman dan takwa, serta agar ditetapkan di atas Islam dan Sunnah[15]
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a:
يَـا
مُقَلِّبَ الْـقُلُوْبِ، ثَــبِّـتْ قَـلْـبِـيْ عَلَى دِيْــنِكَ
“Wahai
Rabb, yang membolak-balik hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.”
اَللّٰهُمَّ
مُصَـــرِّفَ الْـقُلُوْبِ، صَــرِّفْ قُـلُـوْبَــنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Ya
Allah, yang mengarahkan hati, arahkan hati-hati kami untuk taat kepada-Mu.”
D.
Manfaatkan Waktu Sebaik-baiknya![16]
Waktu
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan adalah lebih mahal daripada
emas, karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak
menyia-nyiakan waktu luangnya untuk bercanda, bergurau, bermain-main, nonton
TV, baca koran, membaca buku-buku atau majalah yang tidak bermanfaat, dan
melakukan hal-hal lainnya yang tidak bermanfaat. Karena setiap waktu yang
terbuang; maka ia tidak akan pernah bisa diganti. Barangsiapa yang lalai
terhadap waktunya; maka semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana orang yang
sakit merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
نِـعْـمَتَانِ
مَـغْــبُوْنٌ فِـيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang
manusia banyak tertipu dengannya: nikmat sehat dan waktu luang.”[17]
E.
Bertaqwa kepada Allah Ta’ala![18]
Allah
Ta’aalaa mewasiatkan taqwa kepada ummat terdahulu dan ummat Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam melalui Firman-Nya:
{...وَلَقَدْ وَصَّـــيْنَا الَّذِيْنَ أُوْتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللهَ...}
“...Kami
telah mewasiatkan kepada orang-orang yang telah diberi Kitab suci sebelum kamu
dan (juga) kepadamu: agar bertaqwa kepada Allah...” (Qs. An-Nisaa’:
131)
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اتَّـقِ
اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْــبعِ السَّـــيِّـــئَـةَ الْـحَسَنَـةَ؛ تَـمْحُهَا،
وَخَالِقِ النَّاسَ بـِخُلُقٍ حَسَـنٍ
“Bertakwalah
kepada Allah di mana saja engkau berada, iringilah perbuatan buruk dengan
perbuatan baik; niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan buruk
tersebut, dan bergaullah antara sesama manusia dengan akhlak yang baik.”[19]
F.
Jadilah seorang Muslimah, Seorang istri,
Seorang Ibu yang Shalihah!24
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّنْيَا
مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا: الْمَرْأَةُ الصَّالِـحَةُ
“Dunia
adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri yang shalihah.”[20]
-diedit
kembali oleh: Ahmad Hendrix-
[1] Lihat
buku penulis: “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, terbitan Pustaka
Imam Syafi’i, Jakarta.
[2] Tauhid
ar-Rubuubiyyah, al-Uluuhiyyah, dan al-Asmaa’ wash Shifaat.
[3]
“Lisaanul ‘Arab” (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H).
[4] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari
Shahabat ‘Abullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[5]
Lihat buku penulis: “Prinsip Dasar Islam”, terbitan Pustaka At-Taqwa,
Bogor.
[6] Lihat
buku penulis: “Tauhid Jalan Menuju Keadilan dan Kemakmuran”, terbitan
Media Tarbiyah, Bogor.
[7] Lihat: “Al-Ushuuluts
Tsalaatsah”, oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullaah.
[8] Lihat
buku penulis: “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, terbitan pustaka
Imam Syafi’i, Jakarta.
[9]
Shahih: HR. Muslim (no. 8) dari Shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallaahu
‘anhu.
[10]
Shahih: HR. Muslim (no. 2996 (60)).
[11] “Kalimaatun Naafi’ah fil
Akhtaa’ Asy-syaa-i’ah: Tsamanuun Khatha-an fil ‘Aqiidah”, karya Syaikh
Wahid Abdus Salam Bali hafizhahullaah, dengan diringkas dan ditambah.
[12] Lihat buku penulis: “Mulia Dengan Manhaj Salaf” (bab
12), terbitan Pustaka At-Taqwa. Bogor.
[13]
Shahih: HR. Al-Hakim (I/93) dan Al-Baihaqi (X/114) dari Shahabat Abu
Hurairah radhiyaallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam
Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2937)
[14] Lihat buku penulis: “Mulia Dengan Manhaj Salaf” (bab
12), terbitan Pustaka At-Taqwa. Bogor.
[15] Lihat buku penulis: “Do’a dan
Wirid”, terbitan Pustaka Imam asy-syafi’i, Jakarta.
[16] Lihat buku penulis: “Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga”, terbitan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
[17] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6412), At-Tirmidzi
(no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), Ad-Darimi (II/297), Al-Hakim
(IV/306), dan lainnya, lafazh ini milik aAl-Bukhari, dari Shahabat ibnu ‘Abbas radhiyallaahu
‘anhuma.
[18] Lihat buku penulis: “Taqwa Jalan
menuju Sukses Abadi”, terbitan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
[19] Hasan: HR. Ahmad (V/153, 158, 177), At-Tirmidzi
(no. 1987), Ad-Darimi (II/323), dan Al-Hakim (I/54), dari Shahabat Abu Dzarr Al-Ghifari
radhiyallaahu ‘anhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar