Senin, 09 Juli 2018

MUQADDIMAH QAWAA’ID FIQ-HIYYAH

MUQADDIMAH QAWAA’ID FIQ-HIYYAH
Oleh Syaikh Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhaili hafizhahullaah
Dauroh Batu - Malang (1439 H / 2018 M)
-diterjemahkan dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix Eskanto-
[1]- PENGERTIAN QAWAA’ID FIQ-HIYYAH
(1)- Pengertian Qawaa-‘id
Al-Qawaa-‘id jamak dari al-Qaa-‘idah. Maknanya secara bahasa berputar pada 2 (dua) makna:
1. At-Tsubuut (tetap), jadi al-Qaa-‘idah maknanya ats-Tsaabitah (sesuatu yang tetap).
Seperti wanita yang sudah tua dinamakan al-Qaa-‘idah. Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ...}
“Dan para perempuan tua…” (QS. An-Nuur: 40)
Yaitu perempuan yang sudah tua usianya, hingga menjadi sedikit gerakannya, maka seakan-akan ia menetap di tempatnya.
2. Al-Asaas & al-Ashlu (pondasi) bagi hal yang ada di atasnya, baik secara nyata maupun secara makna.
Maka kita katakan -sebagai contoh-: Qawaa-‘idul Bait (kaidah-kaidah rumah), yakni pondasi rumah. Dan ini adalah sesuatu yang nyata.
Contoh lain: kita katakan dalam masalah ilmu: “Qaa-‘idatuka Fil ‘Ilmi Qawiyyah (kaidahmu dalam ilmu adalah kuat)”. Jika kita dapati penuntut ilmu yang memiliki ta’shiil (pondasi); dimana jika ia bicara; maka engkau akan dapatkan ilmu dalam perkataannya, Maka orang ini kita katakan: “Qaa-‘idatuhu Qawiyyah (kaidahnya kuat) ”, yakni: pondasi ilmunya -yang ia bangun ilmunya di atas pondasi tersebut- adalah kuat.
Sebaliknya, jika engkau dapati ada penuntut ilmu yang ia memiliki ijazah yang tinggi, akan tetapi jika engkau membongkarnya (menelitinya); maka  engkau tidak mendapati apa-apa pada dirinya. Maka engkau katakan tentang orang ini: “Qaa-‘idatuhu Waahiyah (kaidahnya lemah)”, yakni: pondasi ilmunya -yang ia bangun ilmunya di atas pondasi tersebut- adalah lemah.
Dan kedua makna di atas adalah cocok untuk mengartikan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah, sehingga Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah: tetap dan merupakan pondasi bagi (permasalahan) yang dibangun di atasnya.
(2)- Pengertian Fiqih
Al-Fiq-hu secara bahasa adalah: al-Fahmu (pemahaman). Dan sebagian ulama mengatakan bahwa al-Fiq-hu adalah: “Fahmu al-Asy-yaa’ ad-Daqiiqah (memahami hal-hal yang rumit)”, bukan semata-mata hanya memahami secara umum. Akan tetapi bagi yang memperhatikan kamus-kamus dan juga dalil-dalil; maka akan ia dapati bahwa Al-Fiq-hu secara bahasa maknanya: al-Fahmu (pemahaman) secara umum.
Adapun Fiqih dalam istilah para ulama kita; maka memiliki 4 (empat) makna:
1. Fahmu ad-Diin (memahami agama).
Maka orang yang berbicara tentang ‘Aqidah dinamakan Faqiih, orang yang berbicara tentang Hadits dinamakan Faqiih, orang yang berbicara tentang hukum-hukum (Fiqih) dinamakan Faqiih; karena Fiqih maknanya: memahami agama (secara umum). Dan inilah yang dimaksud dengan Fiqih pada generasi pertama. Sehingga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
((مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ))
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya; maka Dia akan memahamkannya terhadap agama.”
Maknanya adalah: pemahaman agama secara umum, sehingga hadits ini merupakan pujian bagi setiap orang yang memahami agama; baik dalam masalah: ‘Aqidah, Fiqih, ataupun lainnya.
2. Makna Kedua dari Fiqih adalah:
الْـعِـلْـمُ بِـالْأَحْـكَـامِ الـشَّـرْعِـيَّـةِ الْـعَـمَـلِـيَّـةِ الْـمُـكْـتَـسَـبُ مِـنَ الْأَدِلَّـةِ الـتَّـفْـصِـيْـلِــيَّـةِ
“Ilmu terhadap hukum-hukum syar’i berupa amalan, yang (ilmu tersebut) didapat dari dalil-dalil yang rinci.”
Fiqih dengan makna ini adalah khusus bagi para (ulama) Mujtahid, karena ilmunya didapat dari dalil (secara langsung), dan ini adalah ilmunya para (ulama) Mujtahid.
Dan ilmu di sini maksudnya adalah al-Idraak (mengetahui), baik secara yakin maupun hanya persangkaan kuat saja.
3. Makna Ketiga dari Fiqih adalah:
الْـعِـلْـمُ بِـالْأَحْـكَـامِ الـشَّـرْعِـيَّـةِ الْـعَـمَـلِـيَّـةِ مَـعَ أَدِلَّـتِـهَـا الـتَّـفْـصِـيْـلِــيَّـةِ
“Ilmu terhadap hukum-hukum syar’i berupa amalan, disertai dalil-dalilnya yang rinci.”
Maka di sini ada perbedaan:
- Pada Makna Kedua: Faqih (Ahli Fiqih) adalah: orang yang mengambil hukum secara langsung dari dalil-dalil.
- Adapun pada Makna Ketiga: Faqih (Ahli Fiqih) mengetahui hukum dan dalilnya, akan tetapi bukan ia yang langsung mengambil hukum dari dalil, akan tetapi yang mengambil hukum langsung dari dalilnya adalah para imam, kemudian Faqih (Ahli Fiqih) ini mengambil hukum-hukum tersebut dan ia pun mengetahui dalil-dalilnya.
Dan di antara para ulama ada yang menggabungkan 2 (dua) makna tersebut. Contohnya: Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah penulis kitab al-Mughni. Maka engkau dapati bahwa mayoritas Fiqih-nya adalah dengan Makna Ketiga ini, dimana ia mengetahui hukum-hukum syar’i berupa amalan bersama dalil-dalilnya. Maka beliau menyebutkan hukum dan dalilnya, akan tetapi bukan beliau yang mengambil hukum tersebut secara langsung dari dalilnya. Akan tetapi di samping itu beliau terkadang juga melakukan istinbaath (mengambil hukum langsung dari dalilnya).
Dan Makna Ketiga ini sangatlah penting, karena jika kita tidak menyebutkannya; maka kita akan mengeluarkan banyak ulama dari kategori Faqih (Ahli Fiqih), seperti: Imam Ibnu Qudamah, Imam Ibnu ‘Abdil Barr, dan Imam An-Nawawi, karena Fiqih mereka secara umum adalah dari jenis ini.
4. Makna Keempat dari Fiqih adalah:
حِـفْـظُ الْـفُـرُوْعِ الْـفِـقْـهِـيَّـةِ
“Menghafal cabang-cabang (perkara-perkara) Fiqih.”
Maka orang yang menghafal cabang-cabang (perkara-perkara) Fiqih walaupun tidak hafal dalil-dalilnya: ia dinamakan Faqih (Ahli Fiqih) dalam istilah para ulama belakangan. Seperti banyak Ahli Fiqih Madzhab-Madzhab, yang engkau akan dapati dirinya menghafal cabang-cabang (perkara-perkara) Madzhab, akan tetapi kalau engkau bertanya kepadanya tentang dalil; maka ia tidak mengetahui dalilnya. Dan banyak dari syaikh yang mengajar Fiqih pada zaman sekarang dan mereka menisbatkan diri kepada Madzhab: ia membawakan banyak sekali Madzhab -contohnya- Madzhab Syafi’i, jika engkau bertanya kepadanya: Apa dalilnya? Dia akan menjawab: “Hah?”
Maka keempat makna di atas adalah sesuai dengan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah, akan tetapi yang paling sesuai dan paling sempurna adalah Makna Keempat, sehingga Qawaa-‘id Fiq-hiyyah dengan makna ini seolah-olah: Kaidah-Kaidah untuk menghafal cabang-cabang (perkara-perkara) Fiqih, yakni: kaidah-kaidah yang dengannya engkau bisa menguasai cabang-cabang (perkara-perkara) Fiqih.
(3)- Pengertian Qawaa-‘id Fiq-hiyyah
Dikatakan al-Qawaa’idul Fiq-hiyyah dan bisa juga dikatakan: Qawaa-‘idul Fiq-hi.
Dan pengertian terbaik untuk Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah:
حُـكْـمٌ كُـلِّـيٌّ يُـــتَـعَـرَّفُ مِـنْـهُ حُـكْـمُ الْـجُــزْئِــــيَّـاتِ الْــفِـقْـهِـيَّـةِ مُـبَـاشَـرَةً فِـيْ أَكْـثَـرَ مِـنْ بَـابٍ وَاحِـدٍ
“Hukum menyeluruh yang dengannya diketahui secara langsung: hukum permasalahan-permasalahan parsial dalam Fiqih, dalam banyak bab.”
Kalau ada yang mengatakan: Bagaimana bisa dikatakan kulliy “menyeluruh”, sedangkan setiap kaidah pasti memiliki mustatsnayaat (perkara-perkara parsial yang dikecualikan dan keluar dari kaidah teresbut, padahal secara lahiriyah harusnya masuk dalam kaidah -pent). Seharusnya jangan dikatakan kulliy “menyeluruh” akan tetapi dikatakan aghlabiy (mencakup mayoritas). Dan inilah yang dipilih oleh sebagian ulama, dimana mereka mengatakan bahwa Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah aghlabiy (berlaku secara mayoritas saja). Akan tetapi ini pendapat yang lemah menurutku Wallaahu A’lam.
Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah kulliy “menyeluruh”, adapun mustatsnayaat (perkara-perkara parsial yang dikecualikan dan keluar dari kaidah tersebut, padahal secara lahiriyyah harusnya masuk dalam kaidah- pent); maka tidak merusak sifat kulliy “menyeluruh” dari Qawaa-‘id Fiq-hiyyah. Kenapa demikian? Karena mustatsnayaat tidaklah ia keluar dari kaidah melainkan karena suatu ‘illah (alasan), sehingga ia sama sekali tidak pantas untuk masuk ke dalam kaidah. Dan kita memiliki suatu prinsip yang kita yakini; yaitu: bahwa syari’at tidak akan memisahkan antara perkara-perkara yang sama. Bahkan perkara-perkara yang sama tersebut di dalam syari’at memiliki satu hukum. Maka jika kita dapati syari’at memisahkan; dari sini kita tahu bahwa yang dipisahkan itu keluar dari hukum dikarenakan ‘illah (alasan) khusus, yakni; di dalamnya terdapat perbedaan yang dapat mempengaruhi hukum.
[2]- PERBEDAAN QAWAA’ID FIQ-HIYYAH DENGAN USHUL FIQIH
Dari pengertian Qawaa-‘id Fiq-hiyyah; maka kita ketahui bahwa kita bisa langsung mengetahui hukum suatu perkara hanya dengan menggunakan kaidah. Karena dalam pengertian yang kita sebutkan terdapat kalimat: “secara langsung”. Di sinilah letak perbedaan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah dengan Ushul Fiqih, karena Ushul Fiqih adalah: “Hukum-hukum menyeluruh yang dengannya diketahui hukum permasalahan-permasalahan parsial dalam Fiqih, akan tetapi tidak secara langsung. Yakni: harus dengan perantaraan dalil.”
Saya beri contoh: Kalau ada orang bertanya kepadaku: “Wahai Syaikh, saya telah selesai dari shalat Zhuhur. Dan setelah shalat; saya ragu apakah tadi saya shalat tiga raka’at atau empat raka’at. Apakah shalat saya sah ataukah saya harus mengulangi shalat?” Maka saya jawab: “Shalatmu sah, karena secara kaidah (yakni: di dalam Qawaa-‘id Fiq-hiyyah disebutkan) bahwa al-Yaqiinu Laa Yazuulu Bisy Syakk (keyakinan tidak akan hilang hanya karena adanya keraguan). Tatkala engkau telah selesai dari shalatmu; maka yang yakin adalah bahwa engkau telah menyelesaikan shalatmu dengan sempurna, karena seorang muslim tidaklah ia menyelesaikan shalat dengan kurang, kemudian kamu ragu, maka kaidahnya al-Yaqiinu Laa Yazuulu Bisy Syakk (keyakinan tidak akan hilang hanya karena adanya keraguan).
Akan tetapi kalau ada orang yang datang kepadaku dan bertanya: “Apa hukumnya membiarkan jenggot (agar memanjang)?” Maka saya jawab: “Membiarkan jenggot (agar memanjang) hukumnya wajib.” Kalau ia bertanya: “Kenapa hukumnya wajib?” Saya jawab: “Karena di dalam Ushul Fiqih disebutkan: al-Amru Lil Wujuub (perintah adalah menunjukkan wajibnya hukum).” Apakah jawabanku ini telah mencukupi? Belum mencukupi, karena tidak boleh bagiku untuk mengambil hukum dari Ushul Fiqih. Akan tetapi jawaban yang benar (lengkap) adalah: “Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((اعْــفُــوا الـلِّـحَـى))
“Biarkanlah jenggot itu (memanjang)!”
Dan kata u’fuu (biarkanlah) adalah amr (perintah), sedangkan dalam Ushul Fiqih disebutkan: al-Amru Lil Wujuub (perintah adalah menunjukkan wajibnya hukum).”
Jadi, kalau ingin menghukumi dengan menggunakan Ushul fiqih; maka harus dengan membawakan dalilnya. Adapun dalam Qawaa-‘id Fiq-hiyyah; maka hukum langsung bisa diikat dengan kaidah.
[3]- BOLEHKAH BERDALIL DENGAN QAWAA-‘ID FIQ-HIYYAH?
Maka di antara hal terpenting yang harus diketahui dalam pembahasan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah: Bolehkah berdalil dengan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah? Yakni: Bolehkah bagi seorang yang berfatwa untuk menggunakan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah sebagai dalil? Maka inilah yang dibahas oleh para ulama.
Dan setelah diteliti; maka yang benar adalah bahwa kaidah-kaidah dalam Qawaa-‘id Fiq-hiyyah terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
Bagian Pertama: Kaidah-kaidahnya berupa dalil-dalil itu sendiri. Yakni: para ulama mengambil kaidah-kaidah tersebut langsung dari dalil; secara lafazh maupun maknanya. Seperti:  kaidah al-Kharaaj bidh Dhamaan dan kaidah Laa Dharar wa Laa Dhiraar. Maka keduanya merupakan hadits yang diambil oleh para ulama untuk kemudian mereka jadikan sebagai dua buah kaidah dalam Qawaa-‘id Fiq-hiyyah.
Maka untuk bagian pertama ini: boleh berhujjah dan berdalil dengannya, dan kebolehan ini merupakan perkara yang tidak diragukan lagi.
Bagian Kedua: kaidah-kaidah yang diambil dari dalil-dalil. Yakni: lafazhnya merupakan buatan para ulama, akan tetapi maknanya terdapat dalam dalil-dalil. Seperti: kaidah al-Umuur bi Maqaashidihaa (segala perkara adalah sesuai dengan niatnya), maka lafazh semacam ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi maknanya terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah; seperti hadits:
((إِنَّـمَا الْأَعْـمَـالُ بِـالـنِّــيَّـاتِ، وَإِنَّـمَا لِـكُـلِّ امْــرِئٍ مَـا نَــوَى))
“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
Dan untuk bagian kedua ini juga: boleh berhujjah dan berdalil dengannya. Karena dibolehkan bagi seorang Faqih untuk berdalil dengan makna sebuah dalil (menyebutkan dalil hanya secara makna saja -pent), yakni: tidak disyaratkan bagi Faqih bahwa ia harus menghafal dalil. Walaupun yang lebih baik bagi Faqih adalah: ia membawakan dalil sesuai dengan lafazhnya, akan tetapi kalau ia lupa lafazh dalil; maka boleh baginya untuk menyebutkan makna dari dalil tersbut.
Bagian Ketiga: kaidah-kaidah yang dinamakan al-Qawaa-‘id al-Istiqraa-iyyah (kaidah-kaidah yang diperoleh dari mengumpulkan permasalahan-permasalahan parsial dalam Fiqih, yang kemudian diambil kesimpulan darinya: berupa sebuah kaidah -pent). Maka ini tidak diambil dari dalil, akan tetapi diambil dari penelitian terhadap hukum-hukum (Fiqih).
Dan pendapat yang benar untuk penggunaan kaidah ini adalah: bahwa penggunaannya adalah sebagaimana penggunaan Qiyas; yakni: tidak dibolehkan melainkan ketika tidak didapati adanya dalil. Seperti kaidah at-Taabi’ Taabi’; maka tidak boleh bagi Faqih untuk menggunakannya kecuali jika ia tidak menemukan dalil, kemudian baru ia berdalil dengannya karena hal ini sama dengan Qiyas, yakni: menyamakan suatu perkara dengan yang serupa dengannya.
[4]- ANTARA QAA-‘IDAH (قَـاعِـدَة) DAN DHAABITH (ضَــابِـط)
Telah disebutkan dalam pengertian Qawaa-‘id Fiq-hiyyah bahwa: Kaidah Fiqih berlaku “dalam banyak bab”. Sedangkan pengertian Dhabith adalah sama dengannya, akan tetapi ia hanya berlaku dalam satu bab saja. Jadi Dhaabith adalah:
حُـكْـمٌ كُـلِّـيٌّ يُـــتَـعَـرَّفُ مِـنْـهُ حُـكْـمُ الْـجُــزْئِــــيَّـاتِ الْــفِـقْـهِـيَّـةِ مُـبَـاشَـرَةً فِـيْ بَـابٍ وَاحِـدٍ
“Hukum menyeluruh yang dengannya diketahui secara langsung: hukum permasalahan-permasalahan parsial dalam Fiqih, dalam satu bab.”
Seperi kaidah: Al-Ashlu fil Awaani ath-Thahaarah (hukum asal dari bejana adalah suci). Maka ini adalah hukum menyeluruh yang dengannya diketahui hukum dari banyak permasalahan, akan tetapi hanya dalam satu bab saja; yaitu: Bab Bejana. Inilah Dhaabith, dan kebanyakan ulama tidak menamakannya sebagai Qaa-‘idah.

Senin, 29 Januari 2018

FAEDAH-FAEDAH TENTANG AL-QUR’AN


[1]- Al-Qur’an Menghapus Kitab-Kitab Sebelumnya
“Semua kitab terdahulu telah di-mansuukh (dihapus) dengan Al-Qur’an Al-‘Azhim. Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْـحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ...}
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan menjaganya…” (QS. Al-Maa-idah: 48)
Yakni: sebagai hakim atas (kitab-kitab sebelum)nya.”[1]
Ibnu Juraij (wafat th. 150 H) rahimahullaah berkata:
الْقُرْآنُ أَمِيْـنٌ عَلَى الْكُتُبِ الْمُتَقَدِّمَةِ، فَمَا وَافَقَهُ مِنْهَا؛ فَهُوَ حَقٌّ، وَمَا خَالَفَهُ مِنْهَا؛ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Al-Qur’an adalah penjaga kitab-kitab sebelumnya, isi dari (kitab-kitab) tersebut yang sesuai dengan Al-Qur’an; maka itu adalah haqq (kebenaran), dan yang menyelisihinya; maka itu adalah kebathilan.”[2]
[2]- Al-Qur’an Terjaga, Berbeda Dengan Kitab Sebelumnya
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{إِنَّا نَـحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَـحَافِظُوْنَ}
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
“Maka Allah Subhaanahu telah menjaganya; sehingga Al-Qur’an senantiasa terjaga. Dan Allah berfirman tentang (kitab) lainnya:
{...بِـمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتَابِ اللهِ...}
“…sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah…” (QS. Al-Maa-idah: 44)
Maka Allah serahkan penjagaannya kepada mereka; sehingga mereka mengganti dan melakukakan perubahan.”[3]
[3]- Al-Qur’an Berisi Tauhid
“Sungguh, semua ayat dalam Al-Qur’an adalah mengandung Tauhid, menjadi saksi atas Tauhid, dan mengajak kepada Tauhid. Karena Al-Qur’an berisi:
- Pengabaran tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya; [maka ini adalah Tauhid Rububiyyah dan Asma Wa Shifat]…
- Dakwah mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah saja; tidak ada sekutu bagi-Nya, dan meninggalkan segala sesuatu yang diibadahi selain Allah; [maka ini adalah Tauhid Uluhiyyah]…
- Perintah dan larangan, serta kewajiban untuk ta’at kepada Allah dalam perintah dan larangan-Nya; maka ini adalah hak-hak Tauhid dan penyempurnanya.
- Pengabaran tentang kemuliaan yang Allah berikan kepada orang-orang yang mentauhidkan-Nya dan ta’at kepada-Nya, dan apa yang Allah karuniakan kepada mereka di dunia, dan kemuliaan di akhirat; maka ini adalah balasan atas Tauhid.
- Pengabaran tentang orang-orang yang berbuat syirik, dan hukuman yang Allah berikan kepada mereka di dunia, serta adzab yang Dia timpakan di akhirat; maka ini adalah pengabaran tentang (balasan bagi) orang-orang yang keluar dari hukum Tauhid.”[4]
[4]- Akhlak Nabi Adalah Al-Qur’an
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa berkata:
فَإِنَّ خُلُقَ نَبِـيِّ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ الْقُرْآنَ
“Sungguh, akhlak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an.”[5]
Imam An-Nawawi rahimahullaah berkata:
“Perkataan ‘Aisyah: “Akhlak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah: Al-Qur’an.”; maknanya adalah: mengamalkan Al-Qur’an dan berhenti pada batasan-batasannya, beradab dengan adab-adabnya, mengambil pelajaran dari permisalan-permisalan dan kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an, mentadabburi Al-Qur’an, serta membacanya dengan bagus.”[6]
[5]- Al-Qur’an -Jika Ditadabburi- Akan Menjadi Obat Bagi Penyakit Hati
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْـمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ}
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Rabb-mu, dan (obat) penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)
Maka Al-Qur’an adalah obat bagi penyakit yang ada dalam hati manusia[7].
Dan inti dari penyakit-penyakit hati ada 2 (dua):
1. Syubhat; yaitu: penyakit hati yang merusak keilmuan seseorang sehingga perkara kebenaran menjadi samar baginya dan tercampur dengan kebatilan.
2. Syahwat; yaitu: penyakit hati yang merusak keinginan seseorang, sehingga kebenaran yang sudah dia ketahui ingin dia tinggalkan.
“Dan Al-Qur’an adalah obat bagi kedua penyakit tersebut.
(1)- Di dalam Al-Qur’an terdapat hujjah dan bukti pasti yang menjelaskan kebenaran dari kebathilan; sehingga: hilanglah penyakit syubhat yang merusak ilmu dan gambaran kebenaran. (Dengan hilangnya penyakit syubhat); maka seseorang bisa melihat segala sesuatu sesuai dengan hakikatnya.
Dan tidak ada satu kitab pun di kolong langit yang semisal dengan Al-Qur’an; yang mengandung bukti-bukti dan petunjuk terhadap tuntutan-tuntutan yang tinggi; berupa: Tauhid, penetapan sifat-sifat (Allah), penetapan hari kebangkitan dan juga kenabian, serta membantah agama-agama yang bathil dan pemikiran-pemikiran yang rusak. Sungguh, Al-Qur’an menjamin semua itu dan mencakupnya dengan segi paling sempurna dan terbaik, serta paling dekat dengan (pemahaman) akal dan paling fasih penjelasannya.
Maka Al-Qur’an benar-benar obat secara hakiki dari penyakit syubhat dan keraguan. Akan tetapi hal itu dapat dihasilkan jika ada pemahaman dan pengetahuan terhadap makna dari Al-Qur’an. Sehingga, barangsiapa yang Allah Ta’aalaa berikan rizki kepadanya untuk hal tersebut; maka dia akan melihat kebenaran dari kebathilan secara langsung dengan hatinya; layaknya dia melihat siang dan malam (dengan matanya)….
(2) Adapun pengobatan Al-Qur’an untuk penyakit Syahwat; maka dengan kandungan Al-Qur’an berupa: hikmah, nasehat yang baik, motivasi dan ancaman, ajakan zuhud terhadap dunia, dorongan untuk (cinta) akhirat, serta adanya permisalan dan kisah-kisah yang bisa memberikan berbagai pelajaran dan membuka mata hati; sehingga kalau hati yang selamat melihat kesemuanya itu: maka ia akan menginginkan hal yang memberikan kemanfaatan baginya di kehidupan dunianya dan akhiratnya, dan akan membenci hal-hal yang membahayakannya. Maka, hati akan menjadi cinta terhadap petunjuk dan membenci kesesatan.
Al-Qur’an akan menghilangkan berbagai penyakit yang akan mengarahkan kepada keinginan-keinginan yang rusak; sehingga Al-Qur’an akan memperbaiki hati dan memperbaiki keinginannya, maka hati pun akan kembali kepada fitrah asalnya. Dengan itu amalan-amalannya akan menjadi baik, layaknya kembalinya badan yang sehat dan normal kepada kondisinya semula. Sehingga hati ini tidak akan menerima kecuali kebenaran; layaknya bayi tidak akan menerima kecuali air susu.”[8]
[6]- Dibutuhkan Kesucian Hati Untuk Bisa Memahami Al-Qur’an
Allah Ta’aalaa berfirman:
{إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْـمٌ * فِـيْ كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ * لَا يـَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ}
“Dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia. Dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuuzh). Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 77-79)
“Jika lembaran-lembaran yang ada di langit tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan; maka demikian juga lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ada di tangan-tangan kita; tidak sepantasnya disentuh kecuali oleh orang yang suci….
Maka ayat ini mengisyaratkan bahwa: tidak akan bisa mencapai makna-makna Al-Qur’an dan tidak akan bisa memahaminya kecuali: hati yang bersih.”[9] “Sehingga di dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa: orang yang hatinya bersih dari berbagai kemaksiatan; maka dia akan semakin faham terhadap Al-Qur’an, dan (sebaliknya): orang yang hatinya ternajisi dengan kemaksiatan; maka dia semakin jauh dari pemahaman terhadap Al-Qur’an…Sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِـهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ}
“Sekali-kali tidak! Bahkan (kemaksiatan) yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifiin: 14)
Maka mereka tidak bisa mencapai makna dan rahasia ayat-ayat Al-Qur’an, dikarenakan (kemaksiatan) yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.”[10]
“Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu berkata:
لَوْ طَهُرَتْ قُلُوْبُنَا؛ لَمَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ اللهِ
“Kalaulah hati kita suci; tentu tidak akan bosan dengan firman Allah (Al-Qur’an).”
Maka hati yang bersih -dikarenakan hidup dan cahayanya, serta kebersihannya dari kotoran dan kejelekan-: tidak akan pernah merasa bosan terhadap Al-Qur’an, tidak akan terisi kecuali dengan hakikat-hakikatnya, dan tidak akan terobati kecuali dengan pengobatannya.”[11]
[7]- Al-Qur’an Dan Bintang
Allah ­Ta’aalaa berfirman:
{فَلَا أُقْسِمُ بِـمَوَاقِعِ النُّجُوْمِ * وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌ * إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْـمٌ}
“Lalu Aku bersumpah dengan tempat-tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui. Dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia.” (QS. Al-Waaqi’ah: 75-77)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah berkata:
“Kesesuaian antara penyebutan bintang-bintang dalam sumpah dengan Al-Qur’an -yang Allah bersumpah untuknya-; bisa dilihat dari beberapa segi:
(1)- Allah menjadikan bintang-bintang sebagai penunjuk arah di kegelapan darat dan lautan [QS. An-Nahl: 16], dan ayat-ayat Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk di kegelapan kebodohan dan kesesatan. Maka bintang-bintang adalah petunjuk di kegelapan yang tampak, sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an adalah petunjuk di kegelapan maknawi; maka (Allah) gabungkan antara dua petunjuk tersebut.
(2)- Bintang merupakan hiasan yang tampak bagi alam [QS. Al-Mulk: 5], dan diturunkannya Al-Qur’an merupakan hiasan batin.
(3)- Bintang-bintang adalah sebagai pelempar setan [QS. Al-Mulk: 5], sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an juga sebagai pelempar setan dari golongan manusia dan jin.”[12]
[8]- Para Shahabat Dan Bintang
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ، وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي، فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ مَا يُوعَدُوْنَ، وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لِأُمَّتِيْ، فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِيْ أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوعَدُوْنَ
“Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang; maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu (terbelah dan lenyap-pent). Dan aku adalah penjaga bagi para Shahabat-ku, apabila aku telah pergi (wafat); maka akan datang kepada Shahabat-ku apa yang dijanjikan kepada mereka (fitnah dan peperangan-pent). Dan para Shahabat-ku adalah penjaga bagi umatku, apabila para Shahabat-ku pergi (wafat); maka akan datang apa yang dijanjikan kepada umatku (munculnya Bid’ah, dan lainnya-pent).”[13]
Para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum ibarat bintang di langit:
(1) Mereka menjadi petunjuk dalam kegelapan Syubhat dan Syahwat.
(2) Mereka adalah hiasan bagi umat ini.
(3) Dan mereka adalah penghancur ta’wil yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh, pemalsuan orang-orang yang bathil, dan penyelewengan terhadap (makna) Kitabullah yang dilakukan orang-orang yang ghuluw (berlebih-lebihan).[14]
[9]- Para Shahabat Dan Al-Qur’an
“Maka kewajiban manusia adalah: memahami makna firman Allah sebagaimana di fahami oleh para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum.
Mereka (para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bila membaca kurang lebih sepuluh ayat, tidak akan mereka lewati (ayat-ayat) tersebut sebelum memahami dan mewujudkan hal-hal yang ditunjukkan oleh (ayat-ayat) tersebut; berupa keimanan, ilmu dan amal, kemudian menempatkan (hal-hal) tersebut pada keadaan-keadaan yang (nyata) terjadi.
Maka mereka meyakini berita-berita yang terdapat di dalam (ayat-ayat) tersebut, tunduk terhadap perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta memasukkan segala kejadian yang mereka saksikan dan realita-realita yang terjadi pada mereka dan selain mereka; (mereka masukkan semuanya itu) kedalam (ayat-ayat) tersebut. Kemudian mereka mengintrospeksi diri-diri mereka: Apakah mereka telah melaksanakannya ataukah belum? Bagaimana cara untuk tetap istiqomah di dalam perkara-perkara yang bermanfaat dan memperbaiki yang masih kurang? Dan bagaimana caranya agar terbebas dari hal-hal yang berbahaya?
Sehingga mereka mengambil petunjuk dari ilmu-ilmu Al-Qur’an, mereka berakhlak dengan akhlak-akhlak dan adab-adabnya. Mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah firman (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan nyata, yang (firman ini) di arahkan kepada mereka, dan mereka di tuntut untuk memahami maknanya dan mengamalkan konksekuensinya.
Maka barangsiapa yang menempuh jalan yang mereka (para Shahabat) tempuh ini, dan semangat serta bersungguh-sungguh dalam mentadabburi firman Allah; niscaya akan terbuka baginya pintu terbesar dalam ilmu tafsir, menjadi kuat ilmunya, dan bertambah pengetahuannya...khususnya jika dia kuat dalam ilmu bahasa arab, dan punya perhatian terhadap perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta keadaan beliau bersama para shahabat beliau, dan bersama musuh-musuh beliau. Karena (ilmu) tersebut sangat membantu dalam (mencapai) tujuan ini (yakni: memahami Al-Qur’an-pent).”[15]
-diambil dari “Iman (Faedah-Faedah Rukun Iman)” (hlm. 107-118), karya Ahmad Hendrix-



[1] Syarh Tsalaatsatil Ushuul (hlm. 95), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[2] Tafsiir Ibni Katsiir (III/128).
[3] Tafsiir Al-Qurthubi (XII/180- cet. Mu-assasah ar-Risaalah).
[4] Madaarijus Saalikiin (III/510- cet. Ad-Daar al-‘Aalamiyyah), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[5] Shahih: HR. Muslim (no. 746).
[6] Syarh Shahiih Muslim (VI/32-cet. Daarul Faihaa).
[7] Lihat: Taisiirul Kariimir Rahmaan (hlm. 367- cet. Mu-assasah ar-Risaalah).
[8] Ighaatsatul Lahfaan (hlm. 97-100- Mawaaridul Amaan), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[9] At-Tibyaan Fii Aqsaamil Qur’aan (hlm. 143-144- cet. Daarul Fikr), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[10] Al-Qaulul Mufiid (II/37), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[11] Ighaatsatul Lahfaan (hlm. 114-115- Mawaaridul Amaan), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[12] At-Tibyaan Fii Aymaanil Qur’aan (hlm. 322-333- cet. Daar ‘Aalam al-Fawaa-id).
[13] Shahih: HR. Muslim (no. 2531).
[14] Lihat: Limaadzaa Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi (hlm. 94).
[15] Al-Qawaa-‘idul Hisaan (hlm. 17-18) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullaah.