[1]- Al-Qur’an Menghapus Kitab-Kitab Sebelumnya
“Semua kitab terdahulu telah di-mansuukh (dihapus)
dengan Al-Qur’an Al-‘Azhim. Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْـحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ
الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ...}
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad)
dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya,
dan menjaganya…” (QS. Al-Maa-idah: 48)
Yakni: sebagai hakim atas (kitab-kitab sebelum)nya.”[1]
Ibnu Juraij (wafat th. 150 H) rahimahullaah berkata:
الْقُرْآنُ أَمِيْـنٌ عَلَى الْكُتُبِ
الْمُتَقَدِّمَةِ، فَمَا وَافَقَهُ مِنْهَا؛ فَهُوَ حَقٌّ، وَمَا خَالَفَهُ مِنْهَا؛
فَهُوَ بَاطِلٌ
“Al-Qur’an adalah
penjaga kitab-kitab sebelumnya, isi dari (kitab-kitab) tersebut yang sesuai
dengan Al-Qur’an; maka itu adalah haqq (kebenaran), dan yang
menyelisihinya; maka itu adalah kebathilan.”[2]
[2]- Al-Qur’an
Terjaga, Berbeda Dengan Kitab Sebelumnya
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{إِنَّا
نَـحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَـحَافِظُوْنَ}
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.”
(QS. Al-Hijr: 9)
“Maka Allah Subhaanahu
telah menjaganya; sehingga Al-Qur’an senantiasa terjaga. Dan Allah
berfirman tentang (kitab) lainnya:
{...بِـمَا
اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتَابِ اللهِ...}
“…sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah…”
(QS. Al-Maa-idah: 44)
Maka Allah serahkan penjagaannya kepada mereka; sehingga
mereka mengganti dan melakukakan perubahan.”[3]
[3]- Al-Qur’an Berisi Tauhid
“Sungguh, semua ayat dalam Al-Qur’an adalah mengandung
Tauhid, menjadi saksi atas Tauhid, dan mengajak kepada Tauhid. Karena Al-Qur’an
berisi:
- Pengabaran tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya,
dan perbuatan-perbuatan-Nya; [maka ini adalah Tauhid Rububiyyah dan Asma Wa
Shifat]…
- Dakwah mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah saja;
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan meninggalkan segala sesuatu yang diibadahi
selain Allah; [maka ini adalah Tauhid Uluhiyyah]…
- Perintah dan larangan, serta kewajiban untuk ta’at kepada
Allah dalam perintah dan larangan-Nya; maka ini adalah hak-hak Tauhid dan
penyempurnanya.
- Pengabaran tentang kemuliaan yang Allah berikan kepada
orang-orang yang mentauhidkan-Nya dan ta’at kepada-Nya, dan apa yang Allah
karuniakan kepada mereka di dunia, dan kemuliaan di akhirat; maka ini adalah
balasan atas Tauhid.
- Pengabaran tentang orang-orang yang berbuat syirik, dan
hukuman yang Allah berikan kepada mereka di dunia, serta adzab yang Dia
timpakan di akhirat; maka ini adalah pengabaran tentang (balasan bagi)
orang-orang yang keluar dari hukum Tauhid.”[4]
[4]- Akhlak Nabi Adalah Al-Qur’an
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa berkata:
فَإِنَّ
خُلُقَ نَبِـيِّ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ الْقُرْآنَ
“Sungguh, akhlak
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an.”[5]
Imam
An-Nawawi rahimahullaah berkata:
“Perkataan ‘Aisyah: “Akhlak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam adalah: Al-Qur’an.”; maknanya adalah: mengamalkan Al-Qur’an dan
berhenti pada batasan-batasannya, beradab dengan adab-adabnya, mengambil
pelajaran dari permisalan-permisalan dan kisah-kisah yang terdapat dalam
Al-Qur’an, mentadabburi Al-Qur’an, serta membacanya dengan bagus.”[6]
[5]- Al-Qur’an -Jika
Ditadabburi- Akan Menjadi Obat Bagi Penyakit Hati
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا
فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْـمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ}
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an)
dari Rabb-mu, dan (obat) penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada dalam dada,
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)
Maka Al-Qur’an adalah obat bagi penyakit yang ada dalam hati
manusia[7].
Dan inti dari penyakit-penyakit hati ada 2 (dua):
1. Syubhat; yaitu: penyakit hati yang merusak keilmuan
seseorang sehingga perkara kebenaran menjadi samar baginya dan tercampur dengan
kebatilan.
2. Syahwat; yaitu: penyakit hati yang merusak keinginan
seseorang, sehingga kebenaran yang sudah dia ketahui ingin dia tinggalkan.
“Dan Al-Qur’an adalah obat bagi kedua penyakit tersebut.
(1)- Di dalam Al-Qur’an terdapat hujjah dan bukti pasti yang
menjelaskan kebenaran dari kebathilan; sehingga: hilanglah penyakit syubhat
yang merusak ilmu dan gambaran kebenaran. (Dengan hilangnya penyakit syubhat);
maka seseorang bisa melihat segala sesuatu sesuai dengan hakikatnya.
Dan tidak ada satu kitab pun di kolong langit yang semisal
dengan Al-Qur’an; yang mengandung bukti-bukti dan petunjuk terhadap
tuntutan-tuntutan yang tinggi; berupa: Tauhid, penetapan sifat-sifat (Allah),
penetapan hari kebangkitan dan juga kenabian, serta membantah agama-agama yang
bathil dan pemikiran-pemikiran yang rusak. Sungguh, Al-Qur’an menjamin semua
itu dan mencakupnya dengan segi paling sempurna dan terbaik, serta paling dekat
dengan (pemahaman) akal dan paling fasih penjelasannya.
Maka Al-Qur’an benar-benar obat secara hakiki dari penyakit
syubhat dan keraguan. Akan tetapi hal itu dapat dihasilkan jika ada
pemahaman dan pengetahuan terhadap makna dari Al-Qur’an. Sehingga,
barangsiapa yang Allah Ta’aalaa berikan rizki kepadanya untuk hal
tersebut; maka dia akan melihat kebenaran dari kebathilan secara langsung
dengan hatinya; layaknya dia melihat siang dan malam (dengan matanya)….
(2) Adapun pengobatan Al-Qur’an untuk penyakit Syahwat; maka
dengan kandungan Al-Qur’an berupa: hikmah, nasehat yang baik, motivasi dan
ancaman, ajakan zuhud terhadap dunia, dorongan untuk (cinta) akhirat, serta adanya
permisalan dan kisah-kisah yang bisa memberikan berbagai pelajaran dan membuka
mata hati; sehingga kalau hati yang selamat melihat kesemuanya itu: maka ia
akan menginginkan hal yang memberikan kemanfaatan baginya di kehidupan dunianya
dan akhiratnya, dan akan membenci hal-hal yang membahayakannya. Maka, hati akan
menjadi cinta terhadap petunjuk dan membenci kesesatan.
Al-Qur’an akan menghilangkan berbagai penyakit yang akan
mengarahkan kepada keinginan-keinginan yang rusak; sehingga Al-Qur’an akan
memperbaiki hati dan memperbaiki keinginannya, maka hati pun akan kembali
kepada fitrah asalnya. Dengan itu amalan-amalannya akan menjadi baik, layaknya
kembalinya badan yang sehat dan normal kepada kondisinya semula. Sehingga hati
ini tidak akan menerima kecuali kebenaran; layaknya bayi tidak akan menerima
kecuali air susu.”[8]
[6]- Dibutuhkan Kesucian Hati Untuk Bisa Memahami
Al-Qur’an
Allah Ta’aalaa berfirman:
{إِنَّهُ
لَقُرْآنٌ كَرِيْـمٌ * فِـيْ كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ * لَا يـَمَسُّهُ إِلَّا
الْمُطَهَّرُوْنَ}
“Dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia.
Dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuuzh). Tidak ada yang menyentuhnya
selain hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 77-79)
“Jika lembaran-lembaran yang ada di langit tidak ada yang
menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan; maka demikian juga
lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ada di tangan-tangan kita; tidak sepantasnya
disentuh kecuali oleh orang yang suci….
Maka ayat ini mengisyaratkan bahwa: tidak akan bisa mencapai
makna-makna Al-Qur’an dan tidak akan bisa memahaminya kecuali: hati yang
bersih.”[9] “Sehingga di dalam ayat
ini terdapat isyarat bahwa: orang yang hatinya bersih dari berbagai
kemaksiatan; maka dia akan semakin faham terhadap Al-Qur’an, dan (sebaliknya):
orang yang hatinya ternajisi dengan kemaksiatan; maka dia semakin jauh dari
pemahaman terhadap Al-Qur’an…Sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{كَلَّا
بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِـهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ}
“Sekali-kali tidak! Bahkan (kemaksiatan) yang mereka
kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifiin: 14)
Maka mereka tidak bisa mencapai makna dan rahasia ayat-ayat
Al-Qur’an, dikarenakan (kemaksiatan) yang mereka kerjakan itu telah menutupi
hati mereka.”[10]
“Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu berkata:
لَوْ طَهُرَتْ
قُلُوْبُنَا؛ لَمَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ اللهِ
“Kalaulah hati kita suci; tentu tidak akan bosan dengan
firman Allah (Al-Qur’an).”
Maka hati yang bersih -dikarenakan hidup dan cahayanya,
serta kebersihannya dari kotoran dan kejelekan-: tidak akan pernah merasa bosan
terhadap Al-Qur’an, tidak akan terisi kecuali dengan hakikat-hakikatnya, dan
tidak akan terobati kecuali dengan pengobatannya.”[11]
[7]- Al-Qur’an Dan Bintang
Allah Ta’aalaa berfirman:
{فَلَا
أُقْسِمُ بِـمَوَاقِعِ النُّجُوْمِ * وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌ
* إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْـمٌ}
“Lalu Aku
bersumpah dengan tempat-tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu
benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui. Dan (ini) sesungguhnya
Al-Qur’an yang sangat mulia.” (QS. Al-Waaqi’ah: 75-77)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah berkata:
“Kesesuaian antara penyebutan bintang-bintang dalam sumpah
dengan Al-Qur’an -yang Allah bersumpah untuknya-; bisa dilihat dari beberapa
segi:
(1)- Allah menjadikan bintang-bintang sebagai penunjuk arah
di kegelapan darat dan lautan [QS. An-Nahl: 16], dan ayat-ayat Al-Qur’an adalah
sebagai petunjuk di kegelapan kebodohan dan kesesatan. Maka bintang-bintang
adalah petunjuk di kegelapan yang tampak, sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an adalah
petunjuk di kegelapan maknawi; maka (Allah) gabungkan antara dua petunjuk
tersebut.
(2)- Bintang merupakan hiasan yang tampak bagi alam [QS.
Al-Mulk: 5], dan diturunkannya Al-Qur’an merupakan hiasan batin.
(3)- Bintang-bintang adalah sebagai pelempar setan [QS.
Al-Mulk: 5], sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an juga sebagai pelempar setan dari
golongan manusia dan jin.”[12]
[8]- Para Shahabat Dan Bintang
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
النُّجُومُ
أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا
تُوعَدُ، وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي، فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ مَا
يُوعَدُوْنَ، وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لِأُمَّتِيْ، فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِيْ
أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوعَدُوْنَ
“Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila
bintang-bintang itu hilang; maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu
(terbelah dan lenyap-pent). Dan aku adalah penjaga bagi para Shahabat-ku,
apabila aku telah pergi (wafat); maka akan datang kepada Shahabat-ku apa yang
dijanjikan kepada mereka (fitnah dan peperangan-pent). Dan para Shahabat-ku
adalah penjaga bagi umatku, apabila para Shahabat-ku pergi (wafat); maka akan
datang apa yang dijanjikan kepada umatku (munculnya Bid’ah, dan lainnya-pent).”[13]
Para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum ibarat bintang di
langit:
(1) Mereka menjadi petunjuk dalam kegelapan Syubhat dan
Syahwat.
(2) Mereka adalah hiasan bagi umat ini.
(3) Dan mereka adalah penghancur ta’wil yang dilakukan oleh
orang-orang yang bodoh, pemalsuan orang-orang yang bathil, dan penyelewengan
terhadap (makna) Kitabullah yang dilakukan orang-orang yang ghuluw
(berlebih-lebihan).[14]
[9]- Para Shahabat Dan Al-Qur’an
“Maka
kewajiban manusia adalah: memahami makna firman Allah sebagaimana di fahami
oleh para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum.
Mereka (para
shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bila membaca kurang lebih
sepuluh ayat, tidak akan mereka lewati (ayat-ayat) tersebut sebelum memahami
dan mewujudkan hal-hal yang ditunjukkan oleh (ayat-ayat) tersebut; berupa
keimanan, ilmu dan amal, kemudian menempatkan (hal-hal) tersebut pada
keadaan-keadaan yang (nyata) terjadi.
Maka mereka
meyakini berita-berita yang terdapat di dalam (ayat-ayat) tersebut, tunduk
terhadap perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta memasukkan segala
kejadian yang mereka saksikan dan realita-realita yang terjadi pada mereka dan
selain mereka; (mereka masukkan semuanya itu) kedalam (ayat-ayat) tersebut.
Kemudian mereka mengintrospeksi diri-diri mereka: Apakah mereka telah
melaksanakannya ataukah belum? Bagaimana cara untuk tetap istiqomah di dalam
perkara-perkara yang bermanfaat dan memperbaiki yang masih kurang? Dan
bagaimana caranya agar terbebas dari hal-hal yang berbahaya?
Sehingga
mereka mengambil petunjuk dari ilmu-ilmu Al-Qur’an, mereka berakhlak dengan
akhlak-akhlak dan adab-adabnya. Mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah firman
(Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan nyata, yang (firman ini) di arahkan
kepada mereka, dan mereka di tuntut untuk memahami maknanya dan mengamalkan
konksekuensinya.
Maka
barangsiapa yang menempuh jalan yang mereka (para Shahabat) tempuh ini, dan
semangat serta bersungguh-sungguh dalam mentadabburi firman Allah; niscaya akan
terbuka baginya pintu terbesar dalam ilmu tafsir, menjadi kuat ilmunya, dan
bertambah pengetahuannya...khususnya
jika dia kuat dalam ilmu bahasa arab, dan punya perhatian terhadap perjalanan
hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta keadaan beliau bersama
para shahabat beliau, dan bersama musuh-musuh beliau. Karena (ilmu) tersebut
sangat membantu dalam (mencapai) tujuan ini (yakni: memahami Al-Qur’an-pent).”[15]
-diambil dari “Iman (Faedah-Faedah Rukun Iman)” (hlm. 107-118),
karya Ahmad Hendrix-
[1] Syarh Tsalaatsatil Ushuul (hlm. 95),
karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[2] Tafsiir Ibni Katsiir (III/128).
[3] Tafsiir Al-Qurthubi (XII/180- cet. Mu-assasah
ar-Risaalah).
[4] Madaarijus Saalikiin (III/510- cet. Ad-Daar
al-‘Aalamiyyah), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[5] Shahih: HR. Muslim (no. 746).
[6] Syarh Shahiih Muslim (VI/32-cet.
Daarul Faihaa).
[7] Lihat: Taisiirul Kariimir Rahmaan (hlm.
367- cet. Mu-assasah ar-Risaalah).
[8] Ighaatsatul Lahfaan (hlm. 97-100- Mawaaridul
Amaan), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[9] At-Tibyaan Fii Aqsaamil Qur’aan (hlm.
143-144- cet. Daarul Fikr), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[10] Al-Qaulul Mufiid (II/37), karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[11] Ighaatsatul Lahfaan (hlm. 114-115- Mawaaridul
Amaan), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[12] At-Tibyaan Fii Aymaanil Qur’aan (hlm.
322-333- cet. Daar ‘Aalam al-Fawaa-id).
[13] Shahih: HR. Muslim (no. 2531).
[14] Lihat: Limaadzaa Ikhtartu al-Manhaj
as-Salafi (hlm. 94).
[15] Al-Qawaa-‘idul Hisaan (hlm. 17-18)
karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar