Sabtu, 25 November 2017

KAJIAN 'AQIDAH THAHAWIYYAH (2)



MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٣]- وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ
[3]- “Tidak ada sesuatu pun yang melemahkan-Nya.”
PENJELASAN:
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi (afat th. 792 H) rahimahullaah berkata:
“(Tidak ada sesuatu pun yang melemahkan Allah) dikarenakan kesempurnaan Qudrah (kekuasaan)-Nya.
Allah Ta’aalaa berfirman:
{...إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ}
“Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20)…
{...وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الأرْضِ إِنَّهُ كَانَ عَلِيْمًا قَدِيْرًا}
“…Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS. Fathir: 44)…
Maka penafian ini (“Tidak ada sesuatu pun yang melemahkan-Nya.”) adalah untuk penetapan kesempurnaan dari lawan (sifat yang dinafikan) tersebut (penafian kelemahan untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan bagi Allah- pent).
Demikian juga setiap penafian dalam sifat-sifat Allah Ta’aalaa dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah; maka untuk penetapan kesempurnaan dari lawan (sifat yang dinafikan) tersebut.
- Seperti (penafian sifat zhalim) dalam firman Allah:
{...وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا}
“…Dan Rabb-mu tidak menzhalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Dikarenakan kesempurnaan keadilan-Nya.
- Dan firman-Nya:
{...لا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ...}
“…Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah, baik yang di langit maupun yang di bumi…” (QS. Saba’: 3)
Dikarenakan kesempurnaan ilmu-Nya.
- Dan firman-Nya:
{...وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ}
“…dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan.” (QS. Qaaf: 38)…
Oleh karena itulah penetapan sifat-sifat Allah dalam Al-Qur’an disebutkan secara rinci, adapaun penafian; maka secara global. Berbeda dengan cara Ahli Kalam yang tercela: mereka menafikan secara rinci dan menetapkan secara global.”[1]
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٤]- وَلَا إِلٰهَ غَيْرُهُ
[4]- “Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia.”
Inilah Tauhid Uluhiyyah. Tauhid inilah yang menjadi bagian terpenting dari dakwah para Rasul -sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an-, sehingga Tauhid Uluhiyyah inilah yang menjadi inti permusuhan dan pertentangan yang terjadi antara para rasul dengan kaumnya yang membangkang.[2]
Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ...}
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah Thaaghuut (sesembahan selain Allah)’…” (QS. An-Nahl: 36)
Deikian juga perselisihan antara Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengann kaumnya. Karena secara umum mereka mengakui Rububiiyah Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُوُلُنَّ اللهُ...}
“Dan sungguh, jika engka (Muhammad) tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”…” (QS. Luqman: 25).
Akan tetapi mereka mengingkari dan tidak mau tunduk dalam Tauhid Uluhiyyah, sehingga muncul perkataan mereka yang Allah hikayatkan dalam Al-Qur’an:
{أَجَعَلَ الآلِـهَةَ إِلٰـهًا وَاحِدًا إِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ}
“Apakah dia (Muhammad) menjadikan sesembahan-sesembahan itu sesembahan yang satu saja? Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan. (QS. Shaad: 5)
Sehingga Allah sering menunjukkan dalil atas Tauhid Uluhiyyah kepada orang-orang musyrik: dengan Tauhid Rububiyyah, yakni: Penciptaan-Nya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, diturunkannya hujan, ditumbuhkannya tumbuh-tumbuhan, dikeluarkannya buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba, dan lain-lain: Maka, sangat tidak pantas bagi orang-orang musyrik untuk menyekutukan Allah dengan selain-Nya; berupa benda-benda maupun orang-orang, yang orang-orang musyrik itu  sendiri mengetahui bahwa sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَــتَّقُوْنَ * الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَـجْعَلُوا لِلَٰهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ}
“Wahai manusia! Sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٥]- قَدِيْـمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ
[5]- “Allah Qadiim (terdahulu) tanpa permulaan, kekal tanpa akhir.
PENJELASAN:
Syaikh ‘Ali bin ‘Abdul Qadir As-Saqqaf hafizhahullaah berkata:
“Dikabarkan tentang Allah ‘Azza Wa Jalla (dalam bahasa Arab) dengan Qadiim (Yang terdahulu), akan tetapi (Qidam) bukanlah sifat Allah, dan Al-Qadiim bukanlah nama Allah.
Al-Hafizh Ibnul Qayyim berkata dalam Badaa’iul Fawaa-id (I/162):
“Apa yang digunakan untuk Allah dalam Nama-Nama d& Sifat-Sifat adalah Tauqiifiy (harus berdasarkan dalil). Adapun yang digunakan untuk mengabarkan tentang Allah; maka tidak wajib untuk Tauqiifiy; seperti: Qidam (terdahulu), Syai’ (sesuatu), Wujud (ada), Qiyaamuhu Binafsihi (berdiri sendiri).” Sekian perkataan beliau…
Dan dalam hadits shahih (tentang do’a masuk masjid):
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْـمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْـمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya yang mulia, dan shulthaan (kekuasaan)-Nya yang qadiim (terdahulu); dari syaithan yang terkutuk.” HR. Abu Dawud…
Maka di dalam hadits ini terdapat penyifatan shulthaan (kekuasaan) Allah ‘Azza Wa Jalla dengan Qidam (terdahulu).”[3]
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٦]- لَا يَفنَى وَلَا يَبِيْدُ
[6]- “Allah tidak fana dan tidak pula binasa.”
PENJELASAN:
Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullaah berkata:
“Allah disifati dengan kehidupan yang kekal dan selamanya Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَتَوَكَّلْ عَلَى الْـحَيِّ الَّذِيْ لَا يـَمُوْتُ...}
“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati…” (QS. Al-Furqaan: 58)…
Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الـْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ}
“Semua yang ada di bumi itu binasa. Tetapi wajah Rabb-mu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)[4]

MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٧]- وَلَا يَكُوْنُ إِلَّا مَـا يُرِيْـدُ
[7]- “Tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas iraadah (kehendak)-Nya.”
PENJELASAN:
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullaah berkata:
“Ini merupakakan bantahan atas Qadariyyah dan Mu’tazilah, karena mereka menyangka bahwa: Allah menghendaki keimanan dari seluruh manusia, akan tetapi orang kafir (kenapa dia menjadi kafir, karena dia) menghendaki kekafiran (dan kehendaknya mengalahkan kehendak Allah-pent). Dan pendapat mereka (Qadariyyah) ini adalah bathil dan tertolak, karena menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta akal yang sehat…
Mereka dinamakan Qadariyyah dikarenakan: mereka mengingkari takdir…
Adapun Ahlus Sunnah; maka mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah walaupun menghendaki kemaksiatan secara takdir; akan tetapi Dia tidak mencintainya, tidak meridhainya, dan tidak memerintahkan dengannya, bahkan Dia membencinya, murka atasnya, dan tidak menyukainya, serta melarang darinya. Inilah pendapat para Salaf secara keseluruhan, mereka mengatakan:
مَا شَاءَ اللهُ كَانَ، وَمَا لَـمْ يَشَأْ لَـمْ يَكُنْ
Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.”[5]
Dan para muhaqqiq (peneliti) dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan bahwa: “Iraadah” terbagi menjadi 2 (dua):
Pertama: “Iraadah Kauniyyah”, maka “Iraadah” ini semakna dengan “Masyii-ah”.
Dan “Iraadah” ini:
1. Berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai dan juga yang tidak Allah cintai.
Maka, kalau ada yang bertanya: “Apakah Allah menghendaki terjadinya kekufuran pada hamba?” Jawabannya: “Allah menghendakinya dengan “Iraadah Kauniyyah”, kalaulah Allah tidak menghendakinya; maka tidak akan terjadi.”
2. Pasti terjadinya hal-hal yang Allah kehendaki secara “Iraadah Kauniyyah” ini, dan tidak mungkin akan terluput.
Kedua: “Iraadah Syar’iyyah”, yaitu semakna dengan: “Mahabbah” (kecintaan) Allah (terhadap sesuatu).
Dan “Iraadah” ini:
1. Khusus berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai, sehingga Allah tidak menghendaki kekufuran dan kefasikan secara “Iraadah Syar’iyyah”.
2. Tidak mesti terjadi, yakni: Allah mengendaki -dengan “Iraadah Syar’iyyah”-: agar semua manusia beribadah kepada-Nya; akan tetapi kenyataannya: tidak semua makhluk beribadah kepada-Nya.
Sehingga perbedaan antara “Iraadah Kauniyyah” dengan “Iraadah Syar’iyyah” bisa dilihat dari dua segi:
(1)-. “Iraadah Kauniyyah” adalah pasti terjadi, sedangkan “Iraadah Syar’iyyah” tidak mesti terjadi.
(2)- “Iraadah Syar’iyyah” khsusus berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai, sedangkan “Iraadah Kauniyyah” adalah umum; berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai maupun yang tidak Dia cintai.[6]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-


[1] Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 106-107- cet. Al-Maktab Al-Islaami), dengan diringkas.
[2] Lihat: Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah (hlm. 41), karya Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullaah.
[3] Shifaatullaah ‘Azza Wa Jalla Al-Waaridah Fil Kitaab Was Sunnah (hlm. 200-201).
[4] At-Ta’liiqaat Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 35-36).
[5] Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 113-114- cet. Al-Maktab Al-Islaami).
[6] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Wasithiyyah (I/222-223), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.


KAJIAN 'AQIDAH THAHAWIYYAH (1)

MUQADDIMAH
- Pentingnya mempelajari ‘Aqidah
Syaikh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullaah berkata:
“Dan telah diketahui dengan dalil-dalil syar’i -dari Al-Qur’an dan As-Sunnah- bahwa: segala amal dan ucapan tidak akan sah dan tidak akan diterima kecuali jika muncul dari ‘Aqidah Shahihah. Jika ‘Aqidah seseorang itu tidak benar; maka akan gugur segala cabangnya; berupa amalan dan ucapan; sebagaimana friman Allah Ta’aalaa:
{...وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيْـمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِـي الْآخِرَةِ مِنَ الْـخَاسِرِيْـنَ}
“…Barangsiapa kafir setelah beriman; maka sungguh, hapuslah amalannya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang rugi.” (QS. Al-Maa-idah: 5)
Dan Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَـئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْـخَاسِرِيْنَ}
“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Sungguh, jika kamu mempersekutukan (Allah); niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi”.” (QS. Az-Zumar: 65)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an tentang masalah ini.”[1]
- Di Antara Keistimewaan ‘Aqidah Thahawiyyah
Kitab ‘Aqidah yang ditulis oleh Imam At-Thahawi rahimahullaah ini termasuk kitab ‘Aqidah dari ulama terdahulu, karena beliau wafat tahun 321 H.  Dan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullaah:
“Semakin suatu kitab itu terdahulu zamannya; maka lebih mendekati kebenaran, karena berarti dekat dengan generasi-generasi yang diutamakan.”[2]
Yakni: generasi-generasi yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jelaskan keutamaannya dalam sabda beliau:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِـيْ، ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ...
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[3]
- Tentang Penulis
Kitab ini dinamakan ‘Aqidah Thahawaiyyah dikarenakan disandarkan kepada penulisnya; yaitu: Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi (239 H - 321 H). Awalnya beliau belajar madzhab Syafi’i kepada pamannya: Imam Al-Muzanni, yang termasuk dari murid Imam Asy-Syafi’i, kemudian berpindah ke madzhab Hanafi, mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah. Di antara karya Imam Ath-Thahawi yang terkenal adalah: “Syarh Ma’aanil Aatsaar” tentang fiqih, dan “Syarh Musykilil Aatsaar” tentang hadits-hadits yang musykil (terlihat bertententangan antara satu dengan lainnya).
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
هَذَا ذِكْرُ بَيَانِ عَقِيْدَةِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْـجَمَاعَةِ، عَلَى مَذْهَبِ فُقَهَاءِ الْمِلَّةِ: أَبِـيْ حَنِيْفَةَ النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الْكُوْفِـيِّ، وَأَبِـيْ يُوْسُفَ يَعْقُوبَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ الْأَنْصَارِيِّ، وَأَبِـيْ عَبْدِ اللهِ مُـحَمَّدِ بْنِ الْـحَسَنِ الشَّيْبَانِـيِّ -رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْـمَعِيْنَ- وَمَا يَعْتَقِدُوْنَ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ، وَيَدِيْنُونَ بِهِ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
“Kitab ini adalah penyebutan tentang ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berdasarkan madzhab para ahli fiqih agama ini; yaitu: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani -semoga Allah meridhai mereka semua-, dan (kitab ini merupakan) penjelasan prinsip-prinsip agama yang mereka berpegang dengannya dalam ketaatan kepada Allah Rabb seluruh alam.”
PENJELASAN:
Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullaah berkata:
“Dalam (perkataan penulis) ini terdapat bantahan atas orang-orang yang menisbatkan diri kepada madzhab Hanafi pada zaman sekarang atau pada masa-masa belakangan, mereka menisbatkan diri kepada madzhab Hanafi; akan tetapi menyelisihi Abu Hanifah dalam ‘Aqidah, mereka hanya mau mengikuti madzhab beliau dalam fiqih saja, akan tetapi menyelisihi dalam ‘Aqidah, mereka justru mengambil ‘Aqidah ahli kalam dan ahli manthiq.
Demikian juga terjadi pada orang-orang yang menisbatkan diri kepada madzhab Syafi’i, orang-orang belakangan di antara mereka: menyelisihi Imam Syafi’i dalam ‘Aqidah, mereka hanya menisbatkan diri kepada beliau dalam fiqih saja.
Demikian juga banyak dari pengikut madzhab Maliki belakangan; mereka tidak berada di atas ‘Aqidah Imam Malik, akan tetapi mereka hanya mengambil madzhab Imam Malik dalam fiqih saja, adapun dalam ‘Aqidah; maka mereka mengikuti jalan-jalan dan para pengikut madzhab-madzhab belakangan.”[4]
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
نَقُوْلُ فِـيْ تَوْحِيْدِ اللهِ -مُعْتَقِدِيْنَ بِتَوْفِيْقِ اللهِ-:
“Kami mengatakan tentang Tauhiidullaah (mentauhidkan Allah) dengan meyakininya -semata-mata berkat taufik (petunjuk) dari Allah-:
PENJELASAN:
Tauhid yaitu: Mengesakan Allah terhadap sesuatu yang khusus bagi-Nya; baik dalam Rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, maupun Asma’ (nama-nama) dan Sifat-Nya.
Sehingga Tauhid terbagi menjadi tiga.
(1)- Tauhid Rububiyyah berarti: Mengesakan Allah dalam segala apa yang dilakukan oleh Allah; baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengimani bahwa Allah adalah Raja, Penguasa, dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ...}
“Allah pencipta segala sesuatu….” (QS. Az-Zumar: 62)
Allah juga berfirman:
{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا...}
“Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rizkinya…” (QS. Hud: 6)
(2)- Tauhid Uluhiyyah artinya: Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dalam segala jenis ibadah, seperti: berdo’a, isti’anah (meminta tolong), istighatsah (minta tolong di saat sulit), nadzar, tawakkal, dan lain-lain dari macam-macam ibadah.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ}
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
(3)- Tauhid Asma’ wa Shifat adalah: Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetapkan atas diri-Nya, dengan tidak menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, serta mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{...لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْـبَصِيْرُ}
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa: 11)
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١]- إِنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيْكَ لَهُ

[1]- “Sesungguhnya Allah Maha Esa, tidak ada sekutu (tandingan) bagi-Nya.”
PENJELASAN:
Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullaah berkata:
“Inilah Tauhid; bahwa Allah adalah: Esa dalam Rububiyyah-Nya,  Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan Esa dalam Nama-Nama & Sifat-Sifat-Nya”[5]
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٢]- وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ

[2]- “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
PENJELASAN:
Perkataan ini terambil dari firman Allah Ta’aalaa:

{...لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْـبَصِيْرُ}
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa: 11)
Maka dalam ayat ini mengandung kaidah besar bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam pembahasan Nama-Nama & Sifat-Sifat Allah, terutama untuk membantah kelompok yang menyimpang dalam masalah ini; karena di dalamnya terdapat:
(1)- Penafian, terdapat dalam firman Allah:
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ}
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”
Ini sebagai bantahan kepada Ahlu Tamtsil, yaitu: orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (kelompok Mumatstsilah), karena sebagaimana disebutkan di sini bahwa: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”; sehingga: sifat-sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
(2)- Penetapan, terdapat dalam firman Allah:
{وَهُوَ السَّمِيْعُ الْـبَصِيْرُ}
“Dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Yakni: selain Allah menafikan kesamaan diri-Nya dengan  makhluk-Nya; maka Dia juga menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi diri-Nya. Maka ini merupakan bantahan untuk Mu’aththilah; yaitu: kelompok yang menolak Nama-Nama & Sifat-Sifat Allah, yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan.
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-


[1] Al-‘Aqiidah ash-Shahiihah Wa Maa Yudhaadduhaa (hlm. 3-4)
[2] It-haaful Qaari Bit Ta’liiqaat ‘Alaa Syarhis Sunnah Lil Imam Al-Barbahari (II/77).
[3] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Shahabat ‘Abullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[4] At-Ta’liiqaat Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 27).
[5] At-Ta’liiqaat Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 32).