MUQADDIMAH
- Pentingnya mempelajari ‘Aqidah
Syaikh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullaah
berkata:
“Dan telah diketahui dengan dalil-dalil syar’i
-dari Al-Qur’an dan As-Sunnah- bahwa: segala amal dan ucapan tidak akan sah dan
tidak akan diterima kecuali jika muncul dari ‘Aqidah Shahihah. Jika ‘Aqidah
seseorang itu tidak benar; maka akan gugur segala cabangnya; berupa amalan dan
ucapan; sebagaimana friman Allah Ta’aalaa:
{...وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيْـمَانِ فَقَدْ
حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِـي الْآخِرَةِ مِنَ الْـخَاسِرِيْـنَ}
“…Barangsiapa kafir setelah beriman; maka
sungguh, hapuslah amalannya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang rugi.” (QS. Al-Maa-idah: 5)
Dan Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَـئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْـخَاسِرِيْنَ}
“Dan
sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu:
“Sungguh, jika kamu mempersekutukan (Allah); niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah engkau termasuk orang yang rugi”.” (QS. Az-Zumar: 65)
Dan masih banyak lagi
ayat-ayat Al-Qur’an tentang masalah ini.”[1]
- Di Antara Keistimewaan ‘Aqidah
Thahawiyyah
Kitab ‘Aqidah yang ditulis
oleh Imam At-Thahawi rahimahullaah ini termasuk kitab ‘Aqidah dari ulama
terdahulu, karena beliau wafat tahun 321 H. Dan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Shalih
Al-Fauzan hafizhahullaah:
“Semakin suatu kitab itu
terdahulu zamannya; maka lebih mendekati kebenaran, karena berarti dekat dengan generasi-generasi
yang diutamakan.”[2]
Yakni: generasi-generasi yang
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jelaskan keutamaannya dalam sabda
beliau:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِـيْ، ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ...
“Sebaik-baik
manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang
sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[3]
-
Tentang Penulis
Kitab
ini dinamakan ‘Aqidah Thahawaiyyah dikarenakan disandarkan kepada penulisnya;
yaitu: Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi (239 H - 321 H).
Awalnya beliau belajar madzhab Syafi’i kepada pamannya: Imam Al-Muzanni, yang termasuk
dari murid Imam Asy-Syafi’i, kemudian berpindah ke madzhab Hanafi, mengikuti
madzhab Imam Abu Hanifah. Di antara karya Imam Ath-Thahawi yang terkenal
adalah: “Syarh Ma’aanil Aatsaar” tentang fiqih, dan “Syarh Musykilil
Aatsaar” tentang hadits-hadits yang musykil (terlihat
bertententangan antara satu dengan lainnya).
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
هَذَا ذِكْرُ بَيَانِ عَقِيْدَةِ أَهْلِ السُّنَّةِ
وَالْـجَمَاعَةِ، عَلَى مَذْهَبِ فُقَهَاءِ الْمِلَّةِ: أَبِـيْ حَنِيْفَةَ
النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الْكُوْفِـيِّ، وَأَبِـيْ يُوْسُفَ يَعْقُوبَ بْنِ
إِبْرَاهِيْمَ الْأَنْصَارِيِّ، وَأَبِـيْ عَبْدِ اللهِ مُـحَمَّدِ بْنِ الْـحَسَنِ
الشَّيْبَانِـيِّ -رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْـمَعِيْنَ- وَمَا يَعْتَقِدُوْنَ
مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ، وَيَدِيْنُونَ بِهِ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
“Kitab ini adalah
penyebutan tentang ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berdasarkan madzhab para
ahli fiqih agama ini; yaitu: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani -semoga Allah meridhai mereka semua-, dan (kitab ini merupakan)
penjelasan prinsip-prinsip agama yang mereka berpegang dengannya dalam ketaatan
kepada Allah Rabb seluruh alam.”
PENJELASAN:
Syaikh Doktor Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan hafizhahullaah berkata:
“Dalam
(perkataan penulis) ini terdapat bantahan atas orang-orang yang menisbatkan
diri kepada madzhab Hanafi pada zaman sekarang atau pada masa-masa belakangan,
mereka menisbatkan diri kepada madzhab Hanafi; akan tetapi menyelisihi Abu
Hanifah dalam ‘Aqidah, mereka hanya mau mengikuti madzhab beliau dalam fiqih
saja, akan tetapi menyelisihi dalam ‘Aqidah, mereka justru mengambil ‘Aqidah
ahli kalam dan ahli manthiq.
Demikian
juga terjadi pada orang-orang yang menisbatkan diri kepada madzhab Syafi’i,
orang-orang belakangan di antara mereka: menyelisihi Imam Syafi’i dalam ‘Aqidah,
mereka hanya menisbatkan diri kepada beliau dalam fiqih saja.
Demikian
juga banyak dari pengikut madzhab Maliki belakangan; mereka tidak berada di
atas ‘Aqidah Imam Malik, akan tetapi mereka hanya mengambil madzhab Imam Malik
dalam fiqih saja, adapun dalam ‘Aqidah; maka mereka mengikuti jalan-jalan dan
para pengikut madzhab-madzhab belakangan.”[4]
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
نَقُوْلُ فِـيْ تَوْحِيْدِ اللهِ -مُعْتَقِدِيْنَ
بِتَوْفِيْقِ اللهِ-:
“Kami
mengatakan tentang Tauhiidullaah (mentauhidkan Allah) dengan meyakininya
-semata-mata berkat taufik (petunjuk) dari Allah-:
PENJELASAN:
Tauhid
yaitu: Mengesakan Allah terhadap sesuatu yang khusus bagi-Nya; baik dalam Rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya,
maupun Asma’ (nama-nama) dan Sifat-Nya.
Sehingga
Tauhid terbagi menjadi tiga.
(1)- Tauhid Rububiyyah berarti: Mengesakan
Allah dalam segala apa yang dilakukan oleh Allah; baik mencipta, memberi rizki,
menghidupkan dan mematikan, serta mengimani bahwa Allah adalah Raja, Penguasa,
dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.
Allah
Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ...}
“Allah
pencipta segala sesuatu….” (QS. Az-Zumar: 62)
Allah
juga berfirman:
{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا
عَلَى اللهِ رِزْقُهَا...}
“Dan tidak ada satu pun
makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rizkinya…”
(QS. Hud: 6)
(2)- Tauhid
Uluhiyyah artinya: Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah saja, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dalam segala jenis ibadah, seperti: berdo’a, isti’anah
(meminta tolong), istighatsah (minta tolong di saat sulit), nadzar, tawakkal,
dan lain-lain dari macam-macam ibadah.
Allah
Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ}
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan
hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
(3)-
Tauhid Asma’ wa Shifat
adalah: Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Allah dan Rasul-Nya shallallaahu
‘alaihi wa sallam tetapkan atas diri-Nya, dengan tidak menyamakan
sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, serta mensucikan-Nya dari
segala sifat kekurangan.
Allah
Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{...لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ
الْـبَصِيْرُ}
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.
Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa: 11)
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١]- إِنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيْكَ لَهُ
[1]- “Sesungguhnya Allah
Maha Esa, tidak ada sekutu (tandingan) bagi-Nya.”
PENJELASAN:
Syaikh Doktor Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan hafizhahullaah berkata:
“Inilah
Tauhid; bahwa Allah adalah: Esa dalam Rububiyyah-Nya, Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan Esa dalam
Nama-Nama & Sifat-Sifat-Nya”[5]
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٢]- وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ
[2]- “Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya.”
PENJELASAN:
Perkataan
ini terambil dari firman Allah Ta’aalaa:
{...لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ
الْـبَصِيْرُ}
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa: 11)
Maka dalam ayat ini mengandung kaidah
besar bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam pembahasan Nama-Nama &
Sifat-Sifat Allah, terutama untuk membantah kelompok yang menyimpang dalam
masalah ini; karena di dalamnya terdapat:
(1)- Penafian, terdapat dalam firman
Allah:
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ}
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia”
Ini sebagai
bantahan kepada Ahlu Tamtsil, yaitu: orang-orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya (kelompok Mumatstsilah), karena sebagaimana disebutkan di
sini bahwa: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”; sehingga:
sifat-sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
(2)- Penetapan, terdapat dalam firman
Allah:
{وَهُوَ السَّمِيْعُ
الْـبَصِيْرُ}
“Dan Dia Maha Mendengar, Maha
Melihat.”
Yakni: selain Allah menafikan
kesamaan diri-Nya dengan makhluk-Nya;
maka Dia juga menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi diri-Nya. Maka ini
merupakan bantahan untuk Mu’aththilah; yaitu: kelompok yang menolak
Nama-Nama & Sifat-Sifat Allah, yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan.
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
[1] Al-‘Aqiidah
ash-Shahiihah Wa Maa Yudhaadduhaa (hlm. 3-4)
[2] It-haaful
Qaari Bit Ta’liiqaat ‘Alaa Syarhis Sunnah Lil Imam Al-Barbahari (II/77).
[3] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari
Shahabat ‘Abullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[4] At-Ta’liiqaat
Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 27).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar