Rabu, 28 Agustus 2019

Faedah Kedua Puluh Delapan dari "Al-Istinbaath" (2)



Allah Yang Akan Menolongnya….


Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{إِلا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا...}
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad); sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya: “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”…” (QS. At-Taubah: 40)
Dalam ayat ini ada tiga pembahasan:
Pembahasan Pertama: Makna Ayat.
Ayat ini -dan ayat-ayat sebelumnya- berkaitan dengan perintah kepada para Shahabat Nabi untuk berangkat ke perang Tabuk; perang yang Allah sebutkan dengan nama saa’atul ‘usrah (masa-masa sulit)[1]; maka kaum muslimin merasa berat untuk berangkat[2], sehingga Allah pun mengancam mereka dengan adzab yang pedih[3]. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjelaskan bahwa: jika kaum muslimin tidak mau menolong Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan ini; Allah mengingatkan tentang pertolongan-Nya kepada Rasul-Nya dalam keadaan yang sangat sulit, ketika beliau diusir dari Makkah sehingga beliau hijrah ke Madinah. Dalam perjalanan hijrah tersebut beliau dikejar oleh orang-orang musyrik Makkah; sehingga beliau dan Abu Bakar Ash-Shiddiq bersembunyi di gua Tsur selama tiga hari agar para pengejarnya pulang. Pada sekali waktu; para pengejar tersebut melewati gua persembunyian Rasul dan Abu Bakar; sehingga Abu Bakar sangat takut kalau mereka bisa mengetahui tempat persembunyian tersebut. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menenangkannya dengan mengatakan: “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Yakni: Allah akan menguatkan dan menolong kita.
Pembahasan Kedua: Pertolongan Allah Bagi Para Pembela Sunnah.
Pertolongan Allah ‘Azza Wa Jalla kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah terbukti, maka Allah juga akan menolong orang-orang yang menolong Rasul-Nya; yaitu: orang-orang yang berpegang kepada kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. “Kalau ada seseorang -pada suatu tempat dan suatu masa- bersendirian dalam membawa kebenaran yang dibawa oleh Rasul, dan manusia tidak menolongnya dalam (memperjuangkan kebenaran) tersebut; maka Allah bersamanya, dan dia akan mendapat bagian dari firman-Nya:
{إِلا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا...}
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad); sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya: “Janganlah engkau bersedih, sesungguh-nya Allah bersama kita.”…” (QS. At-Taubah: 40)
Karena yang dinamakan menolong Rasul adalah: menolong agama (Islam) yang beliau bawa -di mana saja dan kapan saja-. Barangsiapa yang sesuai dengan beliau (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam); maka dia adalah shahabat beliau secara makna. Kalau shahabat (orang yang menolong agama Rasul) ini menegakkan (agama) tersebut sebagaimana yang Allah perintahkan; maka sungguh Allah bersama (agama) yang dibawa oleh Rasul dan bersama orang yang menegakkannya. Dan orang yang Ittibaa’ (mengikuti) beliau (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam); maka Allah akan mencukupinya, (sebagaimana) Dia mencukupi Rasul, sesuai dengan firman-Nya Ta’aalaa:
{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ}
“Wahai Nabi (Muhammad)! Cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. Al-Anfaal: 64).”[4]
Pembahasan Ketiga: Allah Telah Menolong Mereka….
“Demikianlah (setiap) orang berilmu, pengemban hujjah dan benar pemahamannya; jika dia menyiapkan dirinya untuk menunjukki (manusia), mengatakan kebenaran, menolong Allah, menolong agama Allah dan menjelaskan apa yang Allah perintahkan untuk dijelaskan; maka perjalanannya akan terpuji, akhir kesudahannya akan disyukuri, dan Allah Subhaanahu akan memperlihatkan kepadanya perbuatan-perbuatan-Nya yang mengagumkan, penjagaan-Nya yang ajaib, dan kebenaran apa yang telah Dia janjikan dalam firman-Nya:
{...وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ...}
“…Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya…” (QS. Al-Hajj: 40)
{...إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}
“…Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukan-mu.” (QS. Muhammad: 7)
(Pertolongan-pertolongan Allah) tersebut akan menambah ke-istiqamah-annya, akan membantunya dan menguatkan hatinya dalam menolong kebenaran dan membantu orang-orang yang berada di atas kebenaran.
Barangsiapa yang memperhatikan perkara (ini) sebagaimana mestinya; maka dia akan mengetahui bahwa: setiap orang yang membawa hujjah (kebenaran dari) Allah, kalau dia jelaskan kepada manusia sesuai perintah Allah, terang-terangan dalam mambawa kebenaran dan menghadapi Ahlul Bid’ah secara langsung;….maka hal itu akan menambahkan ketinggian derajatnya di dunia dan di akhirat, menambah penghargaan dari hamba-hamba Allah dan menang dengan memperoleh apa yang Allah janjikan bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.
Walaupun mereka (musuh-musuh kebenaran-pent) ingin menjatuhkannya dengan banyak ucapan (yang muncul dari mulut mereka), mencelanya dengan tuduhan-tuduhan dusta, menyusun aib-aib (yang disandarkan kepadanya) dan mengancam akan menimpakan hal-hal yang buruk dan bahaya kepadanya; maka semuanya itu akan berakhir dengan sesuatu yang di luar perkiraan mereka dan kebalikan dari persangkaan mereka. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa; sebagaimana Allah janjikan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman:
{...وَلا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلا بِأَهْلِهِ}
“…Rencana yang jahat itu hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri…” (QS. Faathir: 43)
Dan sungguh, aku telah meneliti keadaan banyak orang yang membawa kebenaran dan menyampaikan-nya sesuai dengan perintah Allah serta menunjukki (manusia) kepada kebenaran; maka aku dapati mereka mendapatkan nama baik, ketenaran, kemasyhuran, tersebarnya ilmu (mereka), dan terkenal serta diterimanya tulisan-tulisan mereka oleh manusia; yang hal itu tidak diraih oleh selain mereka.
Saya akan sebutkan untuk anda sekelompok orang yang terkenal madzhab mereka, tersebar perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan mereka, serta ujian yang menimpa mereka:
(1) Seperti Imam Daarul Hijrah (Imam Kota Hijrah/Kota Madinah): Malik bin Anas (wafat th. 179 H), beliau mempunyai banyak lawan dan dimusuhi oleh raja-raja; maka Allah menyebarkan madzhab beliau di berbagai kota, dan perkataan-perkataannya sangat terkenal dan memenuhi penjuru dunia.
(2) Demikian juga Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H); beliau mendapatkan ujian -yang (kemudian berubah menjadi) anugerah- yang tidak samar bagi orang yang membaca (sejarah). Beliau di pukul di hadapan (Khalifah) Al-Mu’tashim Al-‘Abbasi dengan pukulan yang menyakitkan. Mereka berkali-kali ingin membunuh beliau, mereka penjarakan beliau di tempat yang gelap, merantai beliau dengan besi dan menyiksa beliau dengan berbagai siksaan. Maka Allah menyebarkan ilmunya -sebagaimana telah kita ketahui bersama-, dan kesudahan yang baik adalah bagi beliau. Sehingga beliau menjadi Imam Dunia dan rujukan para ulama, manusia membukukan perkataan-perkataan beliau dan mereka mengambil manfaat darinya. Kalau beliau mengucapkan suatu kalimat; maka kalimat itu akan tersebar ke penjuru dunia. Kalau beliau mencela seseorang; maka manusia akan mengikuti beliau sehingga hilanglah ilmu orang yang beliau cela tersebut. Dan kalau beliau memuji seseorang; maka orang itu menjadi terpercaya sehingga tidak membutuhkan pujian dari yang lainnya.
(3) Kemudian Imam Muhammad bin ‘Ismail Al-Bukhari (wafat th. 256 H); beliau mendapat ujian (gangguan) dari Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dan para pengikutnya yang dengannya beliau wafat karena kesedihan yang mendalam. Kemudian Allah Ta’aalaa menjadikan kitab beliau al-Jaami’ ash-Shahiih (Shahih Bukhari) sebagai kitab yang paling shahih di dunia, tulisan yang paling masyhur dan rujukan yang paling mulia dalam Islam (setelah Al-Qur-an-pent) -sebagaimana anda ketahui-.
(4) Kemudian lihatlah keadaan orang yang datang -beberapa abad- setelah mereka, seperti Ibnu Hazm Al-Maghribi (wafat th. 456 H); sungguh beliau ditimpa ujian-ujian yang besar disebabkan apa yang beliau tampakkan berupa: menunjukki manusia kepada dalil, terang-terangan dalam membela kebenaran dan melemahkan ilmu ra’yu (yang berdasarkan pendapat saja-pent). (Perjuangan beliau) tersebut sampai mengantarkan beliau kepada ujian dari para raja dan hukuman mereka kepada beliau, pengusiran beliau dari tempat-tempat tinggal beliau dan pembakaran terhadap karya-karya beliau. Akan tetapi; Allah tetap menyebarkan ilmu beliau sampai ada di tangan tiap golongan, ada pada setiap negeri kaum muslimin dan ada pada tiap kelompok.
(5) Kemudian Syaikhul Islam Taqiyyuddiin Ibnu Taimiyyah; Ahmad bin ‘Abdul Halim (wafat th. 728 H); tatkala beliau menjelaskan kepada manusia tentang kerusakan (beragama hanya berdasarkan) ra’yu (pendapat/perkataan orang), beliau menunjukkan kepada mereka agar berpegang kepada dalil, beliau terang-terangan (dalam berpegang) dengan apa yang Allah perintahkan dan beliau tidak takut celaan orang-orang yang mencela; maka beliau dilawan oleh kelompok-kelompok yang mengaku berilmu dan mereka mempunyai jabatan/kedudukan, mereka terus berusaha mengalahkan beliau, mereka melaporkan beliau kepada raja-raja, mereka membuat majlis-majlis untuk mendebat beliau, sampai terkadang muncul fatwa dari mereka untuk menumpahkan darah beliau dan terkadang fatwa untuk memenjarakan beliau. Maka Allah menyebarkan faedah-faedah (ilmiyyah) milik beliau; dimana milik orang yang sezaman dengan beliau tidak tersebar,…Allah jadikan nama beliau terangkat dan beliau menjadi terkenal….
Keterangan yang sedikit ini hanyalah bertujuan sebagai penjelasan bagi anda agar anda mengetahui apa yang Allah perbuat terhadap hamba-hamba-Nya, ulama-ulama (yang membela) agama-Nya dan yang membawa hujjah (kebenaran dari)-Nya….Dan inilah kebiasaan Allah (yang Dia perbuat) terhadap hamba-hamba-Nya; maka ketahuilah dan yakinilah![5]
-diambil dari “Al-Istinbaath” (II/211-219), karya Ahmad Hendrix



[1] Lihat: QS. At-Taubah: 117.
[2] Lihat: QS. At-Taubah: 38.
[3] Lihat: QS. At-Taubah: 39.
[4] Minhaajus Sunnah (VIII/488).
[5] Adabuth Thalab Wa Muntahal Arab (hlm. 93-97-cet. Maktabatul Irsyaad), karya Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani (wafat th. 1250 H) rahimahullaah.

Faedah Ketujuh Belas dari "Al-Istinbaath" (1)


Jangan Menolak Sunnah Rasul!


Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa beriman:
{...فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)
Dalam ayat ini ada empat pembahasan:
Pembahasan Pertama: Makna Ayat.
 “Firman-Nya: “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut”, perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah: jalan, manhaj, thariqah, sunnah, dan syari’at beliau. Sehingga semua perkataan dan amalan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan amalan beliau. Apa yang sesuai dengan beliau; maka diterima, dan apa yang menyelisihinya; maka ditolak perkataan dan amalannya. Sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan amal (ibadah) yang tidak ada contohnya dari (ajaran) kami; maka dia tertolak.”[1]
Jadi makna ayat ini adalah: hendaklah orang-orang yang menyelisihi syari’at Rasul -baik (penyelisihan itu) secara lahir maupun batin-; takut dan khawatir “akan mendapat fitnah (cobaan)” yakni (penyakit) di dalam hati mereka; berupa kekufuran, kemunafikan atau bid’ah, “atau ditimpa adzab yang pedih” yakni: di dunia; berupa pembunuhan, hukuman, penjara, dan semisalnya (yang dilakukan oleh pemerintah yang menegakkan syari’at Islam-pent).”[2]
Pembahasan Kedua: Ancaman Bagi Orang Yang Menolak Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ayat di atas Allah mengancam orang yang menyalahi perintah Rasul (Sunnah dan Syari’at beliau) akan ditimpa fitnah (yakni: penyakit hati berupa kekufuran, kemunafikan atau bid’ah) atau ditimpa adzab yang pedih di dunia.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaah berkata:
“Saya melihat mush-haf (Al-Qur-an); maka saya dapati (penyebutan tentang) ketaatan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada pada 33 (tiga puluh tiga) tempat.”
Kemudian beliau membaca ayat:
{...فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ...}
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat fitnah (cobaan)...” (QS. An-Nuur: 63)
Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut. (Kemudian) beliau berkata:
“Apa itu fitnah? (Fitnah) itu adalah syirik. Bisa jadi (kalau seseorang menyelisihi Sunnah Rasul-pent); maka akan ada kesesatan di dalam hatinya; sehingga hatinya menyimpang dan dia binasa.”
Kemudian beliau (membaca dan) mengulang-ulang ayat:
{فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ...}
“Maka demi Rabb-Mu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (wahai Rasul) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…” (QS. An-Nisaa: 65)
Beliau (Imam Ahmad) juga berkata:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.”[3]
Pembahasan Ketiga: Antara Penolakan Terhadap Sunnah Dan Realita Yang Ada.
“Dan kemungkaran ini (menolak hadits dengan pendapat ulama -pent) telah tersebar, khususnya di kalangan orang-orang yang menyandarkan diri kepada ilmu. Mereka membuat penghalang untuk menghalang-halangi (manusia) dari mengambil Al-Kitab (Al-Qur-an) dan As-Sunnah, dan mereka menghalang-halangi dari ittibaa’ (mengikuti) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan dari mengagung-kan perintah dan larangan beliau.
Di antara cara mereka (dalam menghalangi -pent) adalah dengan perkataan mereka: “Tidak boleh berdalil dengan Al-Kitab dan As-Sunnah kecuali mujtahid (ahli ijtihad), sedangkan ijtihad telah terputus (sudah tidak ada lagi).” Atau perkataan mereka: “(Ulama) yang aku taqlid kepadanya adalah lebih berilmu darimu dalam ilmu hadits, nasikh dan mansukh-nya.” Dan perkataan-perkataan lain yang semisal itu, yang puncaknya adalah: meninggalkan ittibaa’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau tidak mengucapkan menurut hawa nafsu (keinginan)nya. Mereka bersandar kepada perkataan (ulama) yang bisa salah, padahal ada imam lainnya yang menyelisihinya dan menolak pendapatnya dengan berdasarkan dalil. Maka tidak ada seorang imam pun melainkan dia hanya memiliki sebagian ilmu, dan tidak semua ilmu dia miliki.
Maka kewajiban seorang mukallaf (orang yang dibebani syari’at): jika dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya telah sampai kepada orang tersebut dan dia memahami maknanya; maka kewajiban dia adalah untuk berhenti kepadanya dan mengamalkannya, walaupun ada ulama yang menyelisihinya, setinggi apa pun kedudukan ulama tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ}
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raaf: 3)
Dan Allah Ta’aalaa berfirman:
{أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ}
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur-an) yang dibacakan kepada mereka? Sungguh, dalam (Al-Qur-an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-‘Ankabuut: 51)
Dan tidak ada yang menyelisihi hal ini kecuali orang-orang bodoh yang suka taklid, karena mereka bodoh terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah, dan mereka berpaling dari keduanya. Dan orang-orang semacam ini walaupun mereka menyangka bahwa mereka mengikuti para imam; maka pada hakikatnya mereka telah menyelisihi para imam dan tidak menempuh jalan mereka (yaitu: mengambil Sunnah Rasul -pent)…
Akan tetapi dalam perkataan Imam Ahmad rahimahullaah terdapat isyarat bahwa: (seseorang yang) taklid (kepada ulama) sebelum sampainya dalil (kepadanya); maka ini tidak tercela, yang diingkari adalah: orang yang telah sampai dalil kepadanya kemudian dia menyelisihinya, dikarenakan mengikuti pendapat seorang imam. Hal ini (menyelisihi dalil) muncul dikarenakan: berpaling dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan menghadap kepada kitab-kitab (ulama) yang belakangan, serta merasa tidak butuh kepada dua wahyu (Al-Qur’an & As-Sunnah). Dan hal ini mirip dengan apa yang terjadi pada Ahlul Kitab, yang Allah firmankan tentang mereka:
{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ...}
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah,…” (QS. At-Taubah: 31)…
Maka wajib atas seseorang yang jujur terhadap dirinya: jika dia membaca kitab-kitab para ulama, dan menelitinya, serta memahami pendapat-pendapat mereka: maka hendaklah dia menimbangnya dengan apa yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena sungguh, setiap ulama mujtahid dan para pengikutnya serta orang-orang yang menisbatkan diri kepada madzhabnya; maka setiap dari mereka harus menyebutkan dalil yang dimilikinya.
Kebenaran dalam masalah (yang diperselisihkan) adalah satu, dan para imam diberi pahala atas ijtihad mereka. Maka orang yang jujur: dia menjadikan penelitian dan pembahasan terhadap perkataan-perkataan mereka (para ulama): sebagai jalan untuk mengetahui dan menghadirkan berbagai permasalahan (yang diperselisihkan), untuk (nantinya) membedakan yang benar dari yang salah, dengan dalil-dalil yang disebutkan mereka. Dan dari situ dia akan mengetahui: siapa ulama yang paling sesuai dengan dalil untuk kemudian dia ikuti.”[4]
Imam Syafi’i rahimahullaah berkata:
“Para ulama sepakat bahwa: Bagi siapa saja yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka dia (harus mengambilnya dan) tidak boleh meninggalkannya (hanya) karena (mengikuti) perkataan orang lain; siapa pun orangnya.”[5]       
Pembahasan Keempat: Para Salaf Sangat Membenci Orang Yang Menentang Hadits Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar menjelaskan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَـمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْــتَـأْذَنَّـكُمْ إِلَـيْهَا
“Janganlah kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke Masjid; jika mereka minta izin kepada kalian untuk pergi ke sana.”
(Tiba-tiba) Bilal bin ‘Abdullah (salah seorang anak Ibnu ‘Umar-pent) berkata: “Demi Allah, saya akan larang mereka.”
(Salim bin ‘Abdullah) berkata: Maka A’bdullah (Ibnu Umar) langsung menghadap kepadanya dan mencaci makinya dengan cacian yang sangat jelek, tidak pernah saya mendengarnya mencaci seperti itu. Dia (Ibnu ‘Umar) berkata: “Saya mengabarkan hadits kepadamu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian engkau (menentangnya dengan) mengatakan: Demi Allah, saya akan larang mereka?!”[6]
Abu Qatadah Al-‘Adawi berkata: (Waktu itu) kami sedang di sisi ‘Imran din Hushain radhiyallaahu ‘anhu bersama sekelompok orang, dan Busyair bin Ka’b ikut bersama kami. Kemudian ‘Imran membawakan hadits kepada kami: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْـحَــيَـــاءُ خَــيْـرٌ كُــلُّــهُ -أَوْ قَــالَ: الْـحَــيَـاءُ كُـلُّـهُ خَـيْـرٌ-
“Malu adalah kebaikan semuanya.” Atau beliau bersabda: “Malu itu semuanya baik.”
(Tiba-tiba) Busyair bin Ka’b berkata: “Kami dapati di sebagian kitab atau pada (ungkapan-ungkapan) hikmah bahwa: (malu) itu ada yang merupakan ketenangan dan kewibawaan kepada Allah, dan ada juga yang merupakan kelemahan.”
Maka ‘Imran (bin Hushain) marah hingga memerah kedua matanya dan dia berkata: “Bukankah saya mengabarkan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu (kenapa) engkau menentangnya?!”[7]
“Maka di antara kaidah umum menurut Salaf adalah: Bahwa lafazh-lafazh syar’i (baik Al-Qur-an maupun As-Sunnah-pent) harus dihormati.”[8]
-diambil dari “Al-Istinbaath” (I/105-113), karya Ahmad Hendrix



[1] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718 (18)), ini lafazh Muslim.
[2] Tafsiir Ibni Katsiir (hlm. 955-al-Mishbaahul Muniir).
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah (no. 97).
[4] Fat-hul Majiid (hlm. 455-456 -tahqiiq Syaikh Walid Al-Furayyan).
[5] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam I’laamul Muwaqqi’iin (hlm. 17- Daar Thayyibah).
[6] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 865, 873, 899, 900 dan 5238) dan Muslim (no. 442), dan ini lafazh Muslim.
[7] Shahih: HR. Muslim (no. 37).
[8] Mu’taqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Fii Tauhiidil Asmaa’ Wash  Shifaat (hlm. 105) karya Doktor Muhammad bin Khalifah At-Tamimi hafizhahullaah.