Minggu, 02 April 2017

FAEDAH KE-32

Faedah Ke-32 (dari Surat Yusuf)

REZIM ZHALIM

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُا الآيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ

“Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu.” (QS. Yusuf: 35)

Imam Ibnu Katsir -rahimahullaah- berkata:

“Allah -Ta’aalaa- berfirman: Kemudian tampak kemaslahatan versi mereka bahwa mereka harus memenjarakan Yusuf sampai suatu waktu (yang tidak ditentukan). Hal itu mereka lakukan setelah mereka mengetahui bahwaYusuf terbebas dari kesalahan, dan telah tampak tanda-tanda -bahkan bukti-bukti- kebenaran Yusuf dalam kesucian dan kebersihannya. Seolah-olah mereka -Wallaahu A’lam- memenjarakan Yusuf tatkala tersebar berita (bahwa Zulaikha merayunya); maka mereka bermaksud membuat image (gambaran) seoalah-olah Yusuf lah yang merayu (Zulaikha), sehingga dia dipenjara dengan sebab itu.”

[“Tafsiir Al-Qur’aanil ‘Azhiim” (IV/387)]

Maka, Yusuf dipenjara tanpa kesalahan, justru karena kezhaliman dan politik pemerintahan; demi menjaga nama baik mereka. Dipenjara bukan karena kemaksiatan, justru disebabkan ketaatan. Semisal perlakuan yang didapatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullaah- yang dipenjara -dan disiksa- dikarenakan membela ‘Aqidah Ahlus Sunnah.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/418-421)]

Maka, bagaimana Yusuf meniyikapi kezhaliman penguasa ini?

Sebelumnya perlu diketahui: bahwa para Nabi -‘alaihimus salaam- tidaklah diutus untuk menjatuhkan suatu pemimpin negeri dan menegakkan yang lainnya, akan tetapi mereka diutus untuk mengajak kepada Tauhid.

Yusuf dipenjara karena kezhaliman penguasa, akan tetapi beliau tidak mengajak manusia untuk melakukan pemberontakan. Karena, para Nabi memang bukan diutus untuk mencari kekuasaan, dan tidak juga membuat partai-partai untuk mewujudkan hal tersebut, akan tetapi mereka diutus untuk memberikan hidayah kepada manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kesyirikan, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan mengingatkan mereka akan siksaan Allah terhadap umat-umat yang mendustakan kebenaran.

[Lihat: “Manhajul Anbiyaa Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 64 & 115)]

Sehingga, wajar saja kalau dalam situasi semacam ini; Yusuf tetap melakukan ibadah di saat susah.

“Sebagaimana hamba wajib untuk beribadah kepada Allah di waktu lapang/senang; maka dia juga wajib untuk beribadah di saat susah. Maka Yusuf -‘alaihis salaam- senantiasa berdakwah mengajak kepada Allah. Dan ketika beliau masuk penjara; maka beliau terus melanjutkan (dakwah)nya, beliau mendakwahi dua orang pemuda (yang masuk penjara bersamanya) kepada Tauhid dan melarang keduanya dari syirik.”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 410)]

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ * مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“(Yusuf berkata): Wahai kedua penghuni penjara! Manakah yang baik: tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu? Ataukah Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa?! Apa yang kalian sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat -baik oleh kamu sendiri maupun oleh nenek moyangmu-. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus; akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 39-40)

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-31

Faedah Ke-31

TABI'AT MANUSIA -KHUSUSNYA PARA WANITA-: ADALAH SUKA KEPADA BERITA

[1]- Allah -Ta'aalaa- berfirman:

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ ۖ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا ۖ إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

"Dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al-'Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), pelayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami benar-benar memandang dia dalam kesesatan yang nyata." (QS. Yusuf: 30)

[2]- Disebutkan dalam Kitab "It-haaful Ilf" (I/378):

بيان طبيعة الإنسان في حب الاطلاع وتتبع الأخبار وخاصة عند النساء

"Penjelasan tabi'at manusia yang suka mencari tahu dan menyelidiki berita; KHUSUSNYA: PARA WANITA."

-Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-30

Faedah Ke-30

PENTINGNYA TAUHID ULUHIYYAH (MENGESAKAN ALLAH DALAM IBADAH)

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

يُوسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا وَاسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ إِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخَاطِئِينَ

“(Al-‘Aziz berkata:) Wahai Yusuf, Lupakanlah ini! Dan engkau (wahai istriku), mohonlah ampunan atas dosamu! Karena engkau termasuk orang yang bersalah.” (QS. Yusuf: 29)

[2]- Tidak cukup pengakuan terhadap Rububiyyah Allah (Penciptaan-Nya terhadap alam semesta, kepemilikkan-Nya dan pengaturan-Nya terhadap segala perkara), karena harus disertai dengan pengakuan terhadap Uluhiyyah-Nya.

“Karena sungguh, kaum (Nabi Yusuf) mengakui adanya Rabb (Allah) -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, bahkan (mengakui) akan hak-Nya; akan tetapi mereka mempersekutukan selain Allah bersama-Nya.

Janganlah lupa perkataan suami (Zulaikha) kepadanya pada keadaan pertama kali (dia mengetahui kebenaran):

...    وَاسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ إِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخَاطِئِينَ

“…dan engkau (wahai istriku) mohonlah ampunan atas dosamu, karena engkau termasuk orang yang bersalah?” (QS. Yusuf: 29).”

[“Raudhatul Muhibbiin” (II/446), karya Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah-]

[3]- Oleh karena itu, Tauhid Uluhiyyah adalah: “Sisi terpenting dari dakwah para Rasul yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, karena dalam (Tauhid Uluhiyyah) inilah inti pertentangan yang terjadi antara mereka (para rasul) dengan musuh-musuhnya; dari kalangan orang-orang yang sombong dan menentang pada tiap umat.

Dan inti pertentangan ini terus berlangsung sampai hari ini, dan kemungkinan akan terus berlangsung sampai Hari Kiamat; sebagai bentuk ujian dan cobaan bagi pewaris para rasul dan untuk mengangkat derajat mereka.”

[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 41)]

[4]- Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafizhahullaah- berkata:

“Sungguh, saya melihat bahwa penyelisihan yang dilakukan oleh jama’ah-jama’ah tersebut terhadap Manhaj (jalan) para Rasul dalam cara berdakwah: hal itu muncul dikarenakan kebodohan mereka terhadap Manhaj ini, dan orang yang bodoh tidak berhak untuk menjadi da’i, karena syarat terpenting dalam berdakwah adalah: ilmu, sebagaimana Allah -Ta’aalaa- firmankan kepada Nabi-Nya:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan di atas BASHIIRAH, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Maka, hal terpenting yang menjadikan seseorang berhak untuk menjadi da’i adalah: ilmu.”

[Muqaddimah Kitab “Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 11)]

[5]- Makna "Bashiirah"

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Yakni: dalam pen-dalil-anmu engkau mencapai derajat ilmu yang paling tinggi; yaitu: Bashiirah, dimana dalam derajat ini; ilmu yang sampai ke dalam hati seperti benda yang terlihat dengan nyata oleh mata kepala. (Derajat) ini adalah keistimewaan yang dimiliki oleh para Shahabat dibandingkan seluruh umat, dan (derajat Bashiirah) ini merupakan derajat yang paling tinggi bagi ulama. Allah -Ta’aalaa- telah berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah (wahai Rasul): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku (berdakwah) mengajak (kamu) kepada Allah dengan diatas Bashiirah (keyakinan),...” (QS. Yusuf: 108)

Yakni: aku dan para pengikutku berada diatas Bashiirah. Ada yang berpendapat bahwa…maknanya adalah: Aku berdakwah (mengajak) kepada Allah diatas Bashiirah dan orang-orang yang mengikutiku juga berdakwah (mengajak) kepada Allah diatas Bashiirah.

(Yang jelas) -atas dua pendapat ini-; maka ayat tersebut menunjukkan  bahwa para pengikut Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; mereka adalah orang-orang yang mempunyai Bashiirah dan mereka berdakwah (mengajak) kepada Allah diatas Bashiirah. MAKA, SIAPA SAJA YANG TIDAK TERMASUK GOLONGAN MEREKA [ORANG-ORANG YANG MEMPUNYAI BASHIRAH, DAN BERDAKWAH (MENGAJAK) KEPADA ALLAH DI ATAS BASHIRAH]; MAKA DIA BUKAN PENGIKUT RASUL -shallallaahu 'alaihi wa sallam- SECARA HAKIKI DAN TIDAK SESUAI (DENGAN BELIAU), WALAUPUN ORANG SEMACAM INI TERHITUNG PENGIKUT BELIAU SECARA PENISBATAN DAN PENGAKUAN SAJA.”

["Madaarijus Saalikiin" (II/548- cet. Ad-Daar Al-'Aalamiyyah)]

Beliau -Imam Ibnul Qayyim- juga berkata:

“(Sehingga) kalau (kita telah mengetahui bahwa) dakwah merupakan kedudukan hamba yang paling agung dan paling utama; maka dakwah tersebut tidak akan terlaksana kecuali dengan ilmu (pengetahuan) tentang apa yang akan dia dakwahkan dan kepada apa/siapa dia berdakwah.

BAHKAN, DEMI KESEMPURNAAN DAKWAH; MAKA (SEORANG DA'I) HARUS MENCAPAI ILMU SAMPAI BATAS MAKSIMAL YANG DIA MAMPU UNTUK MENGUSAHAKANNYA.”

["Miftaah Daaris Sa'aadah" (I/476)]

Adapun orang-orang yang membawa ilmu; akan tetapi “hatinya belum tenang (mantap), bahkan dalam masalah ilmu; Bashiirah-nya adalah lemah, akan tetapi dia tunduk kepada ahli ilmu; maka inilah keadaan para pengikut kebenaran dari golongan muqallidiin (orang-orang yang taklid dalam ilmunya-pent). MAKA ORANG-ORANG SEMACAM INI -WALAUPUN MEREKA DI ATAS JALAN KESELAMATAN-; AKAN TETAPI BUKANLAH PARA DA'I (ORANG-ORANG YANG MENDAKWAHKAN) AGAMA, mereka hanyalah orang-orang yang bisa memperbanyak pasukan (kebenaran), akan tetapi mereka bukan termasuk para pemimpinnya dan bukan juga termasuk ahlinya.”

["Miftaah Daaris Sa'aadah" (I/441)]

Wallaahul Musta’aan Wa ‘Alaihit Tuklaan (dan Allah-lah yang diminta pertolongan dan hanya kepada-Nya-lah (kita) bertawakkal).

-ditulis: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-28 & KE-29

Faedah Ke 28 & 29

TENTANG WANITA…

[28]- Tipu Daya Wanita Lebih Besar Dari Pada Tipu Daya Syaithan.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ

“Maka ketika dia (suami perempuan itu) melihat baju gamisnya (Yusuf) koyak di bagian belakang; dia berkata: “Sesungguhnya ini adalah tipu dayamu. Tipu dayamu benar-benar besar (hebat).” (QS. Yusuf: 28)

Pada ayat ini Allah berfirman tentang tipu daya wanita:

...    إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ

“… Tipu dayamu benar-benar besar (hebat).” (QS. Yusuf: 28)

Dan untuk tipu daya Syaithan; Allah berfirman:

...    إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“…Sesungguhnya tipu daya Syaithan itu lemah.” (QS. An-Nisaa’: 76)

(Ini) menunjukkan bahwa tipu daya para wanita lebih besar dari tipu daya Syaithan.

[Lihat: “Adhwaa-ul Bayaan” (III/84)]

[29]- Tabi’at Wanita -Sejak Zaman Dulu- Adalah Serupa: Mengungkapkan Sesuatu Yang Tidak Sesuai Dengan Isi Hatinya.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلالٍ مُبِينٍ * فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَآتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلا مَلَكٌ كَرِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan di kota berkata: “Istri Al-‘Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, pelayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia (istri Al-‘Aziz) dalam kesesatan yang nyata. Maka, ketika perempuan itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah perempuan-perempuan itu dan disediakannya tempat duduk bagi mereka, dan kepada masing-masing mereka diberikan sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (tampakkan-lah dirimu) kepada mereka.” Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya; mereka terpesona kepada (keelokan rupa)nya dan mereka (tanpa sadar) melukai tangannya sendiri.  Seraya  berkata: “Mahasempurna Allah, ini bukan manusia. Ini benar-benar  malaikat yang mulia.”.” (QS. Yusuf: 30-31)

‘Aisyah -radhiyallaahu ‘anhaa- berkata: Tatkala Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- (sakit dan) masuk rumahku; beliau berkata: “Perintahkan-lah Abu Bakar untuk mengimami manusia!” Aku berkata: Wahai Rasulullah, Abu Bakar (bapakku) adalah seorang yang lembut; kalau membaca Al-Qur’an; maka tidak bisa menguasai air mata, hendaknya anda perintahkan selain Abu Bakar. ‘Aisyah berkata: Demi Allah, padahal saya hanya kuatir kalau nantinya manusia pesimis dengan orang yang menggantikan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Maka aku menyanggah beliau dua atau tiga kali. Maka beliau bersabda: “Hendak-nya Abu Bakar mengimami manusia, sungguh kamu mirip wanita di zaman Yusuf!”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 664) dan Muslim (no. 418)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah- berkata:

“Sisi keserupaan antara keduanya adalah:

- Bahwa Zulaikha mengundang perempuan-perempuan itu dengan menampakkan pemuliaan dengan jamuan, padahal maksudnya adalah lebih dari itu; yaitu: Agar mereka melihat kepada Yusuf dan memberikan udzur padanya tentang kecintaan-nya kepada Yusuf.

- Dan ‘Aisyah menampakkan bahwa sebab dia memalingkan peng-imam-an Shalat dari bapaknya adalah: karena Abu Bakar tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada para makmum dikarenakan tangisannya, padahal maksudnya adalah lebih dari itu; yaitu: Agar manusia tidak pesimis dengan Abu Bakar.”

[“Fat-hul Baarii” (II/199- cet. Daarus Salaam)]

Sehingga dari sini kita ketahui kesamaan wanita sejak zaman dahulu sampai sekarang; yaitu: PARA WANITA SENANTIASA MENGATAKAN SESUATU YANG TIDAK SESUAI -BAHKAN BERTOLAK BELAKANG- DENGAN KEINGINANNYA-.

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-27

Faedah Ke-27

MEMBELA KEBENARAN TANPA TAKUT KEKELUARGAAN -ATAUPUN “KEBESARAN”-

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ * وَإِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Dia (Yusuf) berkata: “Dia yang menggodaku dan merayu diriku.” SEORANG SAKSI DARI KELUARGA PEREMPUAN ITU MEMBERIKAN KESAKSIAN: “Jika baju gamisnya koyak di bagian depan; maka perempuan itu benar, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka perempuan itulah yang dusta, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang benar.”.” (QS. Yusuf: 26-27)

[2]- Tidak boleh bagi seorang mukmin untuk diam atas kebatilan dan tidak menjelaskan kebenaran, apa lagi membela ahli kebatilan, atau bahkan melindungi pelaku kejahatan -dikarenakan: kekerabatan, fanatik golongan atau pun yang lainnya-.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

“…dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisaa’: 105)

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

...وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا...

“…dan Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan…”

[HR. Muslim (no. 1978), dari ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu-]

Abu ‘Ali Ad-Daqqaq (wafat th. 405 H) berkata:

مَنْ سَكَتَ عَنِ الْـحَقِّ؛ فَهُوَ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ

“Barangsiapa yang diam dari menjelaskan kebenaran; maka dia adalah Setan yang bisu.”

[“Syarh Muslim” (II/25- cet. Daarul Faihaa’)]

[3]- Jangan Takut Kepada “Kebesaran” Untuk Mengatakan kebenaran!
(diambil dari: Al-Maqaalaat (III/63-64), karya Ahmad Hendrix)

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa- sallam bersabda:

أَلَا لَا يَـمْنَعَنَّ رَجُلًا هَـيْـبَـةُ النَّاسِ أَنْ يَـقُوْلَ بِـحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ

“Ingatlah! Janganlah sikap segan terhadap manusia; menghalangi seseorang untuk mengatakan dengan kebenaran jika dia mengetahuinya.”

[Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2191), Ibnu Majah (no. 4007), dan lainnya. Lihat takhriij-nya dalam “Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (no. 168) karya Imam Muhammad Nashiruddin -Al-Albani rahimahullaah-]

Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah- berkata:

“Di dalam Hadits ini terdapat larangan kuat dari menyembunyikan kebenaran; karena takut kepada manusia dan tamak terhadap penghidupan (pekerjaan). Maka setiap orang yang menyembunyikan kebenaran karena takut diganggu manusia -dengan suatu jenis gangguan- seperti: pukulan, celaan, terputusnya saluran dana, takut tidak dihormati oleh mereka, dan yang semisalnya; maka orang tersebut masuk dalam larangan dan dia telah menyelisihi Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.”

[Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (I/325)]

Bandingkan … dengan keadaan belakangan … dimana seseorang diberikan ketakutan … untuk mengatakan kebenaran … yang diselisihi oleh perorangan … dikarenakan yang dibicarakan … -yaitu: si fulan & si fulan- … memiliki nama & jabatan … atau titel & ketenaran … Allaahul Musta’aan … Wa ‘Alaihit Tuklaan …

[4]- Padahal Titel dan Gelar: Tidaklah Menjamin Tingginya Kadar Keilmuan

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- berkata:

“Al-Ustadz Al-‘Allamah Al-Adib Mahmud Muhammad Syakir -rahimahullaah- memiliki sebuah perkataan indah yang sangat dalam (maknanya); yang menyingkap sedikit(!) dari keadaan sebagian Doktor akhir zaman. Yaitu dalam kitab beliau: “Abaathiil Wa Asmaar” (hlm. 95-96 [77-78- cet. Kairo]); dimana beliau berkata:

“Setelah semua ini; saya ingin menanyakan satu pertanyaan:

Apakah ini kelakuan seorang Ustadz Jami’ah (universitas) yang menyandang sebuah gelar yang dengannya dia menipu anak-anak kecil (muda) dan orang-orang tua. Dia memanfaatkan kelalaian mereka terhadap aib-nya; dikarenakan mereka terlalu percaya dengan kemuliaan gelar ini dan kemuliaan penyandangnya?!

Maka jawabannya -bagi orang yang berakal atau memiliki sedikit akal- adalah: Bukan! Dan tidak ada kemuliaan!!

Dan jika ini bukanlah kelakuan Ustadz Jam’iah,  bukan pula anak SD, dan bukan pula siswa SMP(!), bahkan bukan seorangpun dari manusia -yang menempuh jenjang pendidikan di mana pun, dengan bahasa apa pun-; maka bagaimana mungkin aku bolehkan diriku untuk menyematkan gelar “Doktor” pada namanya?!

Tidak, sekali-kali tidak, tidak akan aku perbolehkan: demi untuk menjaga gelar ini(!) dari kerendahan, untuk menjaga generasi muda dari tipuan, dan agar pena-ku terjaga dari kedustaan yang jelas; yang menambah kelalaian para pembaca!

Sudah sejak dulu saya menganggap bahwa: wajib atas Jami’ah (Universitas) kita untuk meneliti kembali ijazah-ijazah ini; yang diberikan oleh sebagian Jami’ah besar -pada zaman sekarang-: kepada sebagian orang yang setelah diteliti ternyata mereka bukan ahlinya (tidak pantas mendapatkannya):

Apa sebenarnya ijazah-ijazah ini?

Bagaimana (teknis) pemberiannya?

Kepada siapa (berhak) diberikan?

Dan (diberikan) atas dasar apa?”.”

[“Ar-Radd Al-Burhaaniy” (hlm. 21-22)]

Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- berkata:

“Semua ini telah menyingkap bahwa: ijazah yang diberikan -dan yang mereka namakan dengan gelar “Doktor”!!-: tidaklah memberikan kepada penyandangnya: ilmu, tahqiiq (penelitian), dan tidak juga adab.”

[“Difaa’ ‘Anil Hadiits An-Nabawiy Was Siirah” (hlm. ب)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-26

Faedah Ke-26

MENJAUHI SUMBER FITNAH

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلا أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

 “Dan keduanya berlomba menuju pintu dan perempuan itu menarik baju gamisnya (Yusuf) dari belakang hingga koyak, dan keduanya mendapati suami perempuan itu di depan pintu. Dia (perempuan itu) berkata: “Apakah balasan terhadap orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan siksa yang pedih?” (QS. Yusuf: 25)

[2]- Kita harus menjauhi sumber fitnah (ujian yang bisa mengantarkan kepada keburukan).

“Seorang hamba yang melihat tempat yang berisi fitnah dan sebab-sebab kemaksiatan; maka hendaknya dia lari dan kabur dengan segenap kemampuan dia; agar bisa meloloskan diri dari kemaksiatan. Karena Yusuf ‘alaihis salaam -tatkala digoda perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya-; maka beliau lari menuju pintu untuk menyelamatkan diri dari kejelekan perempuan itu.”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 409- cet. Muassasah Ar-Risaalah)]

[3]- Hal serupa juga dilakukan oleh Ka’b bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu-, ketika beliau diboikot oleh Rasul dan para Shahabatnya karena tidak mengikuti perang Tabuk tanpa udzur, dan -dalam keadaan semacam ini- beliau mendapat surat dari Raja Ghossan untuk bergabung dengannya. Maka beliau pun membakar surat tersebut dan mengatakan: “Ini juga termasuk balaa’ (musibah).”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 4418) dan Muslim (no. 2769)]

“Maka jika seseorang melihat fitnah atau takut akan fitnah; hendaknya dia menghilangkan hal yang menjadi sebab fitnah menimpa dirinya.

Karena Ka’b, tatkala khawatir kalau dirinya nanti condong kepada Raja tersebut dan nantinya surat itu dijadikan perjanjian; maka beliau pun membakarnya.”

[“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (I/149) karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]

[4]- Terutama bagi hati yang sedang sakit; maka lebih ditekankan lagi untuk menjauhi tempat-tempat fitnah -baik fitnah syubhat (kerancuan dalam agama), maupun fitnah syahwat (kerusakan dalam amalan)-.

“(Ibarat) badan yang sakit yang akan terlukai dengan sesuatu yang tidak melukai badan yang sehat -berupa sedikit cuaca panas atau dingin, sedikit gerakan, dan semisalnya; maka demikian juga HATI YANG SAKIT: bisa terlukai dengan sedikit syubhat atau syahwat; dimana dia tidak kuat untuk menolaknya jika keduanya (syubhat dan syahwat) datang menghampirinya. Adapun hati yang sehat dan kuat; walaupun terkena yang lebih dari itu: maka akan bisa menolaknya dengan kekuatan dan kesehatannya.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 49- Mawaaridul Amaan), karya Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah-]

“MAKA WAJIB ATAS SEORANG MUSLIM UNTUK MENGUATKAN ‘AQIDAH-NYA DAN MEMAHAMI TAUHIDULLAAH; AGAR PONDASINYA MENJADI KOKOH & KUAT; (SEHINGGA) TIDAK AKAN TERPENGARUH/BERUBAH DENGAN ADANYA COBAAN DAN TIDAK TERGOYAHKAN DENGAN ADANYA MUSIBAH DAN FITNAH."

[“Mawaaridul Amaan Al-Muntaqaa Min Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 49), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah-]

[5]- CATATAN:

- Hati Yang Sehat adalah: hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya, serta selamat dari syubhat yang bertentangan dengan kabar dari Allah (sehingga meyakini sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran).

- Hati Yang Sakit adalah: hati yang padanya ada kehidupan sekaligus terdapat penyakit: terkadang sadar untuk berbuat ta’at, namun terkadang lalai. Apabila ada tarikan kuat untuk berbuat keta’atan; maka dia pun  mengerjakan keta’atan, namun jika ada dorongan kuat untuk berbuat maksiat; maka dia pun kembali berbuat kemaksiatan. Terkadang berada dalam kebenaran, dan terkadang larut dalam kemaksiatan, tergantung mana yang lebih kuat.

[Lihat: Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Tazkiyatun Nufus (hlm. 40 & 49), karya Fadhilatul Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-25

Faedah ke-25

KEKUATAN IMAN DAN KE-IKHLAS-AN

Besarnya kekuatan Iman dan ke-ikhlas-an dalam menolak perbuatan keji dan kemaksiatan.

“Orang yang keimanan sudah masuk dalam hatinya dan dia ikhlas kepada Allah dalam seluruh perkaranya; maka Allah akan menghindarkan darinya -dengan bukti keimanannya dan kejujuran ke-ikhlas-annya-: berbagai jenis keburukan, kekejian, dan sebab-sebab kemaksiatan; (hal itu) sebagai balasan atas keimanan dan ke-ikhlas-annya. Berdasarkan firman-Nya:

 ...وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“…Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Rabb-nya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)

(Tafsir ini adalah) menurut (para qari’) yang membacanya dengan meng-kasroh huruf “laam” (mukhlishiin) [Lihat: “Tafsiir ath-Thabari” (XVI/49-50-tahqiiq Mahmud Muhammad Syakir)]. Adapun yang membacanya dengan “fat-hah” (mukhlashiin); maka (artinya): bahwa itu merupakan pilihan/pembebasan Allah kepada dirinya, dan hal itu tentunya mengandung ke-ikhlas-an dirinya sendiri. Tatkala dia meng-ikhlas-kan amalannya; maka Allah membebaskannya dari keburukan dan kekejian.”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 409- cet. Muassasah ar-Risaalah)]

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Cinta Kepada “Shuwar Muharramah” [orang-orang yang diharamkan, Yakni; seperti: laki-laki yang jatuh cinta kepada wanita yang tidak halal baginya atau sebaliknya; seorang wanita jatuh cinta kepada laki-laki yang tidak halal baginya] dan tergila-gila kepadanya; ini merupakan akibat dari kesyirikan (yang ada pada seorang hamba yang jatuh cinta tersebut). Semakin seorang hamba dekat dengan kesyirikan dan jauh dari ke-ikhlas-an; maka kecintaannya kepada orang-orang (yang tidak boleh dicintai) tersebut semakin kuat. Sebaliknya; semakin banyak ke-ikhlas-an (seorang hamba) dan semakin kuat Tauhidnya; maka dia akan semakin jauh dari cinta kepada orang-orang (yang tidak boleh dicintai).

Oleh karena itulah istri Al-‘Aziz terkena cinta ini (tergila-gila kepada Nabi Yusuf -‘alaihi salaam-pent) karena kesyirikan (yang ada pada wanita) tersebut. Adapun Nabi Yusuf -‘alaihi salaam-, maka beliau selamat (dari cinta tersebut) disebabkan ke-ikhlas-annya. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“…Demikianlah, Kami palingkan darinya (Yusuf) keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)

(Yang dimaksud dengan) keburukan (dalam ayat ini) adalah: jatuh cinta, sedangkan kekejian; maksudnya: zina.

Maka orang yang ikhlas; dia telah meng-ikhlash-kan kecintaannya hanya kepada Allah, sehingga Allah selamatkan dia dari kecintaan kepada “Shuwar Muharramah” (orang-orang yang diharamkan). Adapun orang musyrik; maka hatinya tergantung kepada selain Allah, Tauhid-nya dan kecintaannya tidak di-ikhlash-kan hanya kepada Allah -Azza wa Jalla-.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 402-403-Mawaaridul Amaan)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-24

Faedah ke-24

ANTARAN LINTASAN DAN YANG TERUS DIFIKIRKAN

Kehendak ada dua:

(1) hanya lintasan, dan

(2) yang terus difikirkan.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/323)]

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Rabb-nya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)

“Kehendak yang dengannya Yusuf berkehendak kepada wanita tersebut, kemudian dia tinggalkan karena Allah; maka hal semacam ini bisa mendekatkan diri kepada Allah. Karena kehendak (keinginan jelek) merupakan salah satu dorongan hawa nafsu yang senantiasa memerintahkan kepada kejelekkan -dan ini adalah tabi’at umumnya makhluk-, dan tatakala dia hadapkan (kehendak) semacam ini dengan kecintaan dan rasa takut kepada Allah; maka kecintaan dan rasa takut kepada Allah akan mengalahkan keinginan jiwa dan hawa nafsu…

Adapun kehendak (keinginan jelek) yang tercela pada seorang hamba adalah: kehendak yang terus ada padanya, kemudian berubah menjadi tekad, dan terkadang dibarengi dengan perbuatan.”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 409- cet. Muassasah ar-Risaalah)]

TAMBAHAN (diambil dari: Al-Maqaalaat 1 (I/167-169), karya Ahmad Hendrix):

GUNAKAN FIKIRAN UNTUK KEBAIKAN

[1]- Hendaknya seorang muslim atau muslimah tidak menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang jorok dan kotor; yang tidak ada manfaatnya dan hanya angan-angan semata; yang tidak ada hakikatnya dan tidak memberikan kecukupan baginya sedikitpun. Permisalannya seperti seorang yang lapar dan haus kemudian dia membayangkan makanan dan minuman, padahal dia tidak bisa memakannya dan meminumnya.

[Lihat: Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 236-237) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

 [2]- Hendaknya seorang muslim atau muslimah menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang bermanfaat, terutama yang bermanfaat bagi urusan akhiratnya. Seperti:

* Memikirkan ayat-ayat Allah yang Dia turunkan (Al-Qur’an), memahami, dan mentadabburinya.

* Memikirkan tentang ayat-ayat Allah yang “kauniyyah” (alam semesta), sehingga bisa mengerti tentang hikmah Allah, kebaikan-Nya, dan kedermawanan-Nya. Bahkan, dengannya kita bisa menghayati nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.

* Memikirkan nikmat-nikmat Allah dan kebaikan-kebaikan-Nya atas para makhluk-Nya; dimana Dia telah memberikan berbagai macam kenikmatan, juga memikirkan keluasan rahmat (kasih sayang)-Nya dan ampunan-Nya.

* Memikirkan aib diri sendiri dan kekurangan amal-amalnya.

* Memikirkan (amalan) apa yang bisa dilakukan pada saat sekarang ini dan mengumpulkan semangat untuk menyibukkan waktunya dengan hal-hal yag bermanfaat.

[Lihat: Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 238-239) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

[3]- Dan yang harus diperhatikan bahwa: kalau seseorang tidak mengosongkan hatinya dari pikiran-pikiran yang jelek; maka pikiran-pikiran yang bermanfaat tidak akan menetap didalam hatinya.

[Lihat: Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 241) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

 [4]- Maka kita mohon kepada Allah agar dibersihkan hati-hati kita, sebagaimana do’a yang diajarkan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

... اللّٰهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا...

“…Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada jiwaku dan sucikanlah ia, karena Engkau sebaik-baik Rabb yang mensucikannya, Engkau Pelindung dan Pemeliharanya...”

[Lihat: DO’A & WIRID (hlm. 309-310- cetakan ke-32) karya Fadhilatul Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-23

Faedah ke-23

DORONGAN IMAN DAN AKAL SEHAT

[1]- Selain pendorong agama; anggapan jelek terhadap suatu dosa juga bisa menjadi pendorong untuk meninggalkannya.

[2]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata: “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, SUNGGUH TUANKU TELAH MEMPERLAKUKAN AKU DENGAN BAIK.” Sesungguhnya orang yang zhalim itu tidak  akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23)

[3]- “Intinya: bahwa yang menghalanginya (Yusuf) untuk melakukan perbuatan (jelek) tersebut adalah: ketaqwaan kepada Allah, penjagaan terhadap hak tuannya yang telah memuliakannya, dan penjagaan terhadap dirinya dari perbuatan zhalim yang tidak akan beruntung orang yang melakukannya (kezhaliman).”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 395- cet. Muassasah ar-Risaalah)]

[4]- Oleh karena itulah; ketika hawa nafsu menginginkan untuk berbuat keburukan dan kejelekan; -selain menggunakan kekuatan iman-; maka seorang hamba juga harus senantiasa menggunakan akal sehatnya. Karena: “dia (akal) lah yang bisa merasakan segala kesudahan (atas kemaksiatan-pent), dia bisa memperhatikannya untuk kemudian bisa memilih yang bermanfaat, sehingga dia bisa melawan hawa nafsu dan mengalahkan bala tentaranya, dia (akal) juga akan membantu kesabaran sehingga bisa mengalahkan-nya (hawa nafsu) -padahal sebelumnya kesabaran tertawan olehnya-, dia bisa menguatkan semangat -sehingga tegak di atas tonggaknya-, dan dia juga bisa menguatkan keinginan (baik); sampai mendapatkan taufik dari Allah. Maka akal akan mendatangkan hal-hal yang terpuji dan mengusir hal-hal yang tercela.”

[“Raudhatul Muhibbiin Wa Nuz-hatul Musytaaqiin” (I/12)]

[5]- Dan realita yang ada -pada orang yang tergila-gila pada wanita yang tidak halal baginya- adalah: layaknya orang yang telah kehilangan akal sehatnya; dimana seolah sudah hilang rasa malunya, tidak memperdulikan pandangan manusia dan omongan -bahkan nasehat- mereka, tidak malu kepada keluarga si wanita -bahkan kepada suaminya; jika wanita itu telah bersuami-; hanya demi melampiaskan hawa nafsu dan cintanya.

Oleh karena itulah; dalam kitabnya: “Raudhatul Muhibbiin Wa Nuz-hatul Musytaaqiin” (Taman Para Pecinta Dan Tamasya Para Perindu); yang -secara umum- membahas tentang cinta dan jatuh cinta; maka termasuk yang pertama kali dibahas oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- adalah tentang keutamaan akal (sehat) [Lihat: hlm. 10 s/d 19, dari jilid pertama (cet. Daar ‘Aalam Al-Fawaa-id)]. Bahkan -pada hlm. 19- beliau menjelaskan tujuan beliau menulis kitab tersebut:

“Oleh karena itulah kami membuat kitab ini sebagai bentuk IKATAN PERDAMAIAN ANTARA HAWA NAFSU DENGAN AKAL (SEHAT). (Karena) dengan sempurnanya ikatan perdamaian antara keduanya; maka akan mudah bagi seorang hamba untuk memerangi jiwa (yang jelek) dan syaithan. Allaahul Musta’aan Wa ‘Alaihit Tuklaan (Allah-lah Yang Dimintai pertolongan dan hanya kepada-Nya-lah (kita) bertawakkal).”

Wallaahu A’lam.

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-22

Faedah Ke-22

WANITA ADALAH FITNAH/UJIAN TERBESAR BAGI LAKI-LAKI

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata: “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan beruntung.”.” (QS. Yusuf: 23)

[2]- Wanita adalah fitnah/ujian terbesar dalam kehidupan laki-laki; maka seorang mukmin hendaknya waspada: jangan sampai melepaskan pandangannya kepada yang haram, jangan berduaan dengan wanita yang bukan mahram, dan jangan membiarkan fikiran membayangkan wanita yang tidak halal baginya.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/310 & 335)]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan bagi laki-laki sebuah fitnah/ujian yang lebih berbahaya dibandingkan kaum wanita.”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740), dari Usamah bin Zaid -radhiyallaahu ‘anhumaa-]

[3]- PERINGATAN!!!

Apa kalian kira mudah untuk keluar dari fitnah (ujian kaum) wanita?

Yang fitnah-nya bisa mengantarkan kepada zina?

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda tentang para pezina yang beliau lihat dalam mimpinya:

فَانْطَلَـقْنَا إِلَى ثَقْبٍ مِثْلِ التَّــنُّوْرِ، أَعْلاَهُ ضَـيِّـقٌ وَأَسْفَلُهُ وَاسِعٌ؛ يَتَوَقَّدُ تَـحْتَهُ نَارًا، فَإِذَا اقْتَرَبَ؛ ارْتَفَعُوْا حَتَّى كَادَ أَنْ يَـخْرُجُوْا، فَإِذَا خَـمَدَتْ؛ رَجَعُوْا فِيْهَا، وَفِيْهَا رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ،...

“Maka kami pergi menuju sebuah lubang mirip tungku perapian; bagian atasnya sempit dan bawahnya lebar, di bawahnya dibakar perapian, jika pembakaran itu mendekati (orang-orang yang ada di dalamnya-pent); maka mereka naik sampai hampir keluar (dari tungku tersebut), dan jika apinya padam; maka mereka kembali (turun) lagi. (Orang-orang) yang ada di dalamnya adalah: para laki-laki dan perempuan yang telanjang…”

[Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1386)]

“Maka perhatikanlah ke-sesuai-an antara adzab (siksaan) ini dengan keadaan hati mereka (para pezina) di dunia: Dimana tiap kali mereka berke-ingin-an untuk bertaubat meninggalkan perbuatan mereka dan keluar dari tungku api syahwat, menuju ”lapangan” taubat; maka mereka mundur dan kembali lagi setelah tadinya hampir keluar.”

[“Raudhatul Muhibbiin Wa Nuz-hatul Musytaqiin” (II/597) karya Imam Ibnu Qayyim AL-Jauziyyah -rahimahullaah-]

Maka bandingkanlah dengan keadaan orang yang sudah ter-fitnah (terkena ujian) wanita (walaupun -alhamdulillaah- tidak sampai kepada zina)….

Betapa pun dia ingin mengeluarkan diri darinya….

Walau pun sudah beberapa kali dia ingin bertaubat dan -bahkan- hampir keluar darinya….

Akan tetapi: dia kembali jatuh untuk kesekian kalinya….

Ingatlah sabda Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلاَّ وَلَهُ ذَنْبٌ يُعْتَادُهُ الْفَيْنَةَ بَعْدَ الْفَيْنَةِ، أَوْ ذَنْبٌ هُوَ مُقِيْمٌ عَلَيْهِ؛ لاَ يُفَارِقُهُ حَتَّى يُفَارِقَ الدُّنْيَا، إِنَّ الْمُؤْمِنَ خُلِقَ مُفَتَّـنًا تَوَّابًا نَسَّاءً، إِذَا ذُكِّرَ؛ ذَكَرَ

“Tidaklah seorang hamba mukmin; melainkan dia memiliki sebuah dosa yang sekali-kali dia lakukan, atau dosa yang terus dia lakukan dan tidak ditinggalkan sampai dia (mati) meninggalkan dunia. Sungguh, mukmin itu diciptakan dengan banyak ujian (musibah dan kemaksiatan-pent), sering bertaubat (dari dosa); akan tetapi juga banyak lupa (sehingga kembali pada dosanya-pent), jika diingatkan; maka dia akan ingat (sehingga kembali bertaubat-pent).”

[Shahih: HR. Ath-Thabrani dalam “Al-Mu’jamul Kabiir” (XI/304, no. 11810), dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullaah-. Lihat “Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (no. 2276)]

[4]- CATATAN:

Yang -juga- perlu diperhatikan adalah: bahwa fitnah/ujian wanita bukan hanya menimpa laki-laki yang belum menikah….

Akan tetapi -juga- mengenai para pria yang sudah berumah tangga…..

Allaahul Musta’aan Wa ‘Alaihit Tuklaan (Allah-lah Yang Dimintai pertolongan dan hanya kepada-Nya-lah (kita) bertawakkal)….

Nas-alullaahas Salaamah Wal ‘Aafiyah (kita minta kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah)….

[5]- Do’a Agar Diberikan Ketetapan Hati

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memperbanyak do’a agar diberi ketetapan (ke-istiqamah-an).

اَللّٰهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ، صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

“Ya Allah, yang mengarahkan hati; arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepada-Mu.”

يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

“Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.”

[Lihat: DO’A & WIRID (hlm. 336- cetakan ke-32) karya Fadhilatul Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]

-ditulis oleh: Ahmad hendrix-

FAEDAH KE-21

Faedah Ke-21

MENGURANGI KESIBUKAN UNTUK MELANCARKAN PEMBELAJARAN

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَقَالَ الَّذِي اشْتَرَاهُ مِنْ مِصْرَ لامْرَأَتِهِ أَكْرِمِي مَثْوَاهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الأرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ مِنْ تَأْوِيلِ الأحَادِيثِ وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ * وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil/ta’bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti. Dan ketika dia telah cukup dewasa; Kami berikan kepadanya kekuasaan dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 21-22)

[2]- Allah telah memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf, sehingga: “Jika dia (Yusuf) tidak mempunyai kesibukan dan tidak juga memiliki keinginan melainkan hanya ilmu; maka hal itu menjadi sebab dia bisa mempelajari ilmu yang banyak; berupa ilmu tentang hukum-hukum, ilmu ta’bir mimpi, dan lain-lain.”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 395- cet. Muassasah ar-Risaalah)]

[3]- “Dan di antara perkataan yang dinukil dari Imam Asy-Syafi’i -rahimahullaah- adalah: Kalaulah aku dibebani untuk membeli bawang merah (belanja ke pasar-pent); niscaya aku tidak akan bisa memahami permasalahan (ilmu).”

“Maksudnya adalah: bahwa (dalam menuntut ilmu); seseorang haruslah mengumpulkan hatinya dan memfokuskan fikirannya.”

[“Tadzkiratus Saami’ Wal Mutakallim” (hlm. 115-116)]

[4]- Jika hal semacam ini saja -sibuk dengan berbelanja dan semisalnya- bisa mengganggu konsentrasi dalam menuntut ilmu; terlebih lagi sibuk dengan berita politik dan semisalnya; yang mereka namakan dengan Fiq-hul Waaqi’ (fiqih tentang realita dan perkara kontemporer).

“Oleh karena itulah: wajib seimbang dalam mendakwahkan kaum muslimin untuk mengenal Fiq-hul Waaqi’ dengan tidak menenggelamkan mereka ke dalam berita-berita politik dan prediksi-prediksi para pemikir barat.

Yang diwajibkan hanyalah -bahkan selalu dan selamanya-: mengulang-ulang seputar Tashfiyah (pemurnian) Islam dari kotoran-kotoran yang mencampurinya, kemudian Tarbiyah (mendidik) kaum muslimin -secara kelompok maupun individu- di atas Islam yang sudah di-Tashfiyah ini, serta mengikat mereka dengan Manhaj dakwah yang paling pokok: Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah.”

-sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Albani -rahimahullaah- dalam “Su-aal Wa Jawaab Haula Fiq-hil Waaqi’” (hlm. 47)-

[5]- Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani -hafizhahullaah- berkata:

“Wahai para pemuda Islam! Umat tidak membutuhkan kepada juru dakwah yang (hanya bermodal) semangat menggebu, akan tetapi sungguh, umat butuh kepada seorang ‘alim mujtahid yang berfirasat tajam. Sudahkah datang waktunya bagi kalian untuk bisa membedakan antara keduanya?!

Perlu kalian ketahui bahwa Fiq-hul Waaqi’ harus diserahkan penanganannya kepada (ulama-ulama) yang telah beruban rambut mereka (telah bertahun-tahun menekuni) dalil-dalil syari’at.

Kelancangan dan sikap meremehkan ulama, juga sikap meremehkan -secara amalan- terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah serta para pengembannya, serta pengagungan berlebihan terhadap para pembawa berita di koran-koran: (semuanya ini) merupakan tanda kejelekan yang merata.

Allah berfirman -Ta’aalaa- berfirman:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

“Dan Rasul (Nabi Muhammad) berkata: “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan.”.”  (QS. Al-Furqan: 30).”

[“Madaarikun Nazhar Fis Siyaasah” (hlm. 146-147-cet. I)]

[6]- Imam Ibnul Qayyim berkata -seolah-olah beliau menyifati berita-berita politik dan semisalnya-:

“Dan di antara tipu daya SETAN adalah: perkataan batil, pendapat-pendapat yang saling bertentangan, khayalan-khayalan yang saling kontradiksi; yang merupakan sampah pemikiran dan buih yang dilontarkan kepada hati yang gelap dan kebingungan, yang menyamakan antara kebenaran dan kebatilan, antara kesalahan dan ketepatan. Gelombang-gelombang syubhat saling bergulung, awan-awan khayalan menjadi gelap, tunggangannya adalah katanya dan dikatakan, keraguan dan meragukan, banyaknya perdebatan, tidak ada hasil yang meyakinkan yang bisa dijadikan pedoman, dan tidak ada keyakinan yang sesuai dengan kebenaran yang bisa dijadikan rujukan, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain: perkataan yang indah sebagai tipuan. DAN DENGAN SEBAB ITULAH MEREKA MENJADIKAN AL-QUR’AN INI DIABAIKAN.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 191-192- Mawaaridaul Amaan)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-20

Faedah Ke-20 Dari Surat Yusuf

JANGAN MUDAH TERMAKAN KEDUSTAAN!

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَجَاءُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ

“Dan mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) darah palsu. Dia (Ya’qub) berkata: Sebenarnya hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan yang buruk itu; maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)

[2]- Saudara-saudara Yusuf memfokuskan udzur mereka dengan gamis berdarah ini yang dianggap bisa membela mereka. Akan tetapi dalam sekali lihat saja: setiap orang pasti mengetahui bahwa ini adalah tipuan yang dibuat-buat.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/240)]

[3]- Sehingga, seorang mukmin yang hakiki -khususnya bagi para Da’i- hendaknya hatinya selalu terjaga/waspada; sehingga tidak tertipu dengan apa yang dia dengar berupa kedustaan-kedustaan dan omong kosong.

“Oleh karena itulah; di antara syarat mufti adalah: Mengenal manusia, karena kalau tidak; makan dia akan mudah untuk terkena makar, tipuan dan akan mudah terkecoh.

Dan inilah makna perkataan Iyas bin Mu’awiyah (seorang tabi’in kecil, wafat th. 122 H):

لَسْتُ بِالْـخَبِّ، وَلا الْـخَبُّ يَـخْدَعُنِيْ

“Aku bukanlah penipu, akan tetapi penipu tidak akan bisa mengecohku.”.”

[“Fiq-hul Waaqi’ Bainan Nazhariyyah Wat Tathbiiq” (hlm. 23-cet. II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah-]

[4]- Di antara perkara yang menjerumuskan manusia -pada zaman sekarang- kepada jurang tipuan dan kedustaan adalah:

“PERCAYA KEPADA MEDIA PEMBERITAAN YANG RUSAK…

Padahal para ulama kita -rahimahuhumullaah- tidaklah menerima pengabaran seorang muslim -walaupun dia jujur- SELAMA DIA TIDAK ‘ADIL (terpercaya agamanya) & DHABITH (terpercaya hafalannya)…

(Kesibukan terhadap pemberitaan) semacam ini mempunyai dampak negatif terhadap ilmu syar’i; berupa kurangnya rasa percaya terhadapnya!!

Dan (esibukan terhadap pemberitaan) ini juga memiliki dampak lain yang lebih dahsyat dan lebih zhalim; yaitu: MENYEBARKAN KETAKUTAN DI JIWA KAUM MUSLIMIN, DAN MENYEBARKAN RASA GENTAR DI HATI MEREKA TERHADAP MUSUH-MUSUH MEREKA…

Maka ini semua melahirkan -bahkan menambahkan- kerendahan, dan kelemahan, serta ketundukan kepada kekuatan (musuh) yang (seolah-olah) tidak terkalahkan!!...

Dan hal ini sungguh memutarbalikkan hakikat dari mu’jizat rabbani yang Allah -Subhaanahu- berikan kepada Nabi-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; sebagai kabar gembira bagi kaum mukminin dan peringatan atas kaum kafirin:

نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ

“Aku diberikan pertolongan dengan takutnya (musuh).”

...وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُونَ

“…Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (QS. Al-Munafiqun: 8).”

[“Fiq-hul Waaqi’ Bainan Nazhariyyah Wat Tathbiiq” (hlm. 63-64-cet. II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah-]

[5]- Maka, hendaklah kita berusaha mengembalikan kekuatan dan kemuliaan kita dengan cara menta’ati Allah -'Azza Wa Jalla-.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Allah -Ta’aalaa- berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا...

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan; maka (ketahuilah) bahwa kemuliaan itu semuanya milik Allah…” (QS. Fathir: 10)

Yakni: barangsiapa yang menginginkan kekuatan/kemuliaan; maka carilah dengan cara ta’at kepada Allah: dengan perkataan yang baik dan amal shalih.

Sebagian Salaf berkata: Manusia mencari kekuatan/kemuliaan di pintu-pintu penguasa, dan tidak akan mereka dapatkan melainkan dengan keta’atan kepada Allah…

Hal itu dikarenakan: bahwa orang yang ta’at kepada Allah; maka Allah akan membelanya, dan tidak akan pernah hina: orang yang telah dibela oleh Rabbnya; sebagaiman dalam do’a qunut (witir):

إِنَّهُ لاَ يَذِلُ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ

“Sungguh, orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi.”.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (I/106-107)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-19

FAWAA-ID DARI SURAT YUSUF (9)

[19]- FIRASAT

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَجَاءُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ

“Dan mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) darah palsu. Dia (Ya’qub) berkata: Sebenarnya hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan yang buruk itu; maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)

Nabi Ya’qub -‘alaihis salaam- berfirasat bahwa anak-anaknya hanyalah ingin memisahkan antara dirinya dengan Yusuf, karena dia melihat adanya indikasi-indikasi dan dilihat dari keadaan serta mimpi Yusuf yang diceritakan kepadanya; yang kesemuanya mengarah kepada hal tersebut.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/239-240) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 395- cet. Muassasah ar-Risaalah)]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

اِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ، فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ

“Hati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin; karena dia melihat dengan cahaya dari Allah.”

[HASAN: Ibnu ‘Abdil Barr dalam ”Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi” (no. 1197- tahqiiq Abul Asybal Az-Zuhairi), dan dihasankan oleh Syaikh Abul Asybal Samir Az-Zuhairi -hafizhahullaah- (beliau termasuk murid terbaik Syaikh Al-Albani dalam masalah hadits)]

“Maksudnya adalah: Seorang berilmu yang memiliki keutamaan. Wallaahu A’lam.”

FIRASAT SYAIKH AL-ALBANI -rahimahullaah-

[“Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi” (I/677- tahqiiq Abul Asybal Az-Zuhairi)]

Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani Al-Jaza-iri -hafizhahullaah- berkata:

“Dan perhatikanlah bagaimana firasat Syaikh Al-Albani ketika Partai "Jabhah" (di Al-Jaza-ir) menang dalam pemilu di parlemen, sampai hampir-hampir orang-orang yang merasa berhasil tersebut sepakat bahwa mereka sudah berjaya sampai ke puncaknya. Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid mengabarkan kepadaku -pada akhir tahun 1412 H- bahwa: beliau diberi kabar oleh Syaikh Salim Al-Hilali bahwa: dia waktu itu berada di sisi Syaikh Al-Albani ketika dikabari tentang kemenangan tersebut; Maka Syaikh Al-Albani (mengkritik dengan) mengatakan: “(Kemenangan) itu (bagaikan) busa sabun”, atau kalimat yang semisalnya. Kemudian saya berjalan menuju rumah Syaikh Salim Al-Hilali mencari sanad yang tinggi -dan (sanad) ini Shahih seperti matahari sebagaimana anda ketahui-. Maka beliau berkata: Syaikh Al-Albani (mengkritik dengan) mengatakan: “Ini (bagaikan) gelembung air”, dengan memastikan tanpa keraguan dimana tadinya Syakh Ali masih ragu kalimat pastinya -semoga Allah menjaga keduanya-, dan keduanya adalah terpercaya -alhamdulillaah-. Barangsiapa yang ragu; maka Syaikh masih hidup dan teleponnya juga tidak ditutup.

Maka -yang menjadi pertanyaan-: Apakah Syaikh (Al-Albani) tidak menyukai berdirinya Daulah Islam? Ataukah itu adalah firasat seorang mujtahid -YANG AKHIRNYA TAMPAK KEBENARAN BELIAU- DIMANA HAL ITU TIDAK BISA DIFAHAMI OLEH PENUNTUT ILMU BIASA -WALAUPUN TELAH MENGUMPULKAN BERITA-BERITA DARI BERBAGAI SURAT KABAR -?!

Maka, manakah dari dua kelompok tersebut yang lebih berhak bicara dalam masalah-masalah ini:

- Apakah penuntut ilmu YANG TIDAK BISA MEMILAH BERITA, DAN JUGA TIDAK BISA MEMBEDAKAN: MANA YANG BENAR DAN MANA YANG DUSTA, serta tidak bisa mencari solusinya bagi manusia “Itulah kadar ilmu mereka.” [QS. An-Najm: 30]

- Ataukah seorang ‘Alim mujtahid YANG SUDAH BERUSIA LANJUT, YANG TELAH TERDIDIK DENGAN DALIL-DALIL, DAN BERPENGALAMAN DALAM MENJALANI UJIAN-UJIAN KEHIDUPAN? “Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka; tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)” [QS. An-Nisaa’: 83]

Dan di dalam jawaban Syaikh Al-Albani terdapat tanda yang jelas atas kekuatan keimanannya terhadap yang ghaib dan keyakinannya terhadap kebenaran dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bawah beliau tidak tertipu oleh hasil-hasil dari realita selama (hasil-hasil tersebut) tidak dibangun di atas Syari’at -demikianlah yang kami sangka terhadap beliau-.

Seandainya orang-orang yang merasa berhasil itu mengalami ketika datang Dajjal menghidupkan orang yang mati di hadapan mereka dan mengeluarkan perbendaharaan bumi; (maka kira-kira bagaimana sikap mereka)? Ya Allah, kami mohon penjagaan dari-Mu.

Dan sungguh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi telah menjelaskan kepadaku -dalam pengakuan yang jujur- bahwa ketika sampai kepadanya perkataan Syaikh Al-Albani (yang mengomentari kemenangan Partai “Jabhah”); maka terlintas keraguan dalam dirinya, akan tetapi beliau memberikan alasan: “KITA MEMANG ANAK MUDA YANG MELIHAT DENGAN PANDANGAN YANG BERBEDA DENGAN PANDANGAN ORANG YANG BERILMU YANG MELIHAT DENGAN MATA HATI, maka aku katakan pada diriku sendiri: Seandainya Syaikh Al-Albani diam saja dan tidak mengkritik kemenangan mereka, karena mereka sudah berhasil -walaupun aku yakin mereka telah menyelisihi Manhaj Nabi-, akan tetapi (sekali lagi) KAMI MASIH MUDA … kemudian tidak berlalu waktu yang lama sampai kedudukan Syaikh Al-Albani semakin besar dalam diriku (karena terbukti kebenaran perkataan beliau).”

Saya (Syaikh ‘Abdul malik) berkata: Jazakallaahu Khairan, karena sungguh, kembali kepada kebenaran adalah sebuah keutamaan.”

[Madaarikun Nazhar Fis Siyaasah (hlm. 299-300- cet. I)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-18

FAWAA-ID DARI SURAT YUSUF (8)

[18]- PERKATAAN YANG BENAR TERKADANG DIGUNAKAN UNTUK MAKSUD YANG JELEK

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ * أَرْسِلْهُ مَعَنَا غَدًا يَرْتَعْ وَيَلْعَبْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ * قَالَ إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَأَنْتُمْ عَنْهُ غَافِلُونَ * قَالُوا لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذًا لَخَاسِرُونَ

“Mereka berkata: “Wahai ayah kami! Mengapa engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami semua menginginkan kebaikan baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi; agar dia bersenang-senang dan bermain-main, dan kami pasti menjaganya.” Dia (Ya’qub) berkata: “Sesungguhnya kepergian kamu bersama dia (Yusuf) sangat menyedihkanku dan aku khawatir dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya.” Mereka berkata: “Sungguh, jika dia dimakan serigala -padahal kami kelompok (yang kuat)-; kalau demikian tentu kami orang-orang yang rugi.”.” (QS. Yusuf: 11-14)

Perkataan saudara-saudara Yusuf -‘alaihis salaam- bahwa mereka adalah orang-orang yang rugi apabila serigala sampai memakan Yusuf: ini adalah “Haqq” (benar), akan tetapi hal ini mereka katakan dalam rangka untuk mewujudkan tujuan jelek mereka -yaitu: agar mereka bisa membuang Yusuf-.

Demikian juga Ahlul Bid’ah; mereka senantiasa menggunakan keumuman dari dalil-dalil; dan keumuman-keumuman ini adalah “Haqq” (benar), akan tetapi mereka menempatkannya pada maksud dan tujuan mereka yang rusak. Seperti yang dilakukan oleh Khawarij ketika berdalil dengan:

...إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ...

“…Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah…” (QS Yusuf: 40)

Maka, ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu- berkata:

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيْـدَ بِـهَا بَاطِلٌ

“Kalimat yang “Haqq” (benar) akan tetapi yang dimaksudkan adalah bathil.”

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/182) dan “Shahiih Muslim” (II/749)]

TAMBAHAN:

Dari sini  kita juga mengetahui bahwa perkataan Ahlul Bid’ah terkadang -secara lahiriah- adalah benar; akan tetapi -dikarenakan pondasi mereka yang rusak- maka kita bawa “kebenaran” mereka kepada pondasi mereka yang rusak, berbeda dengan perkataan Ulama Ahlus Sunnah; justru sebaliknya: yang -secara lahiriyah- nampak salah; maka kita kembalikan kepada pondasi Sunnah mereka.

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- berkata:

“Akan tapi kita mengetahui ‘Aqidah para imam tersebut, ‘Aqidah mereka adalah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan Syaikh Al-Albani termasuk Imam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka yang masih “Mujmal” (global) dari perkataannya -yang memberi persangkaan kesalahan-: maka wajib dibawa kepada yang sudah “Mufashshal” (terperinci) yang menjelaskan kebenaran dan menyingkapnya.

Dan barangsiapa yang mengaku bahwa kaidah “membawa perkataan ulama yang masih mujmal (global) kepada yang terperinci” adalah kaidah batil; maka perkataannya itulah yang bathil. Dan dalil-dalil dari perkataan Ulama Ahlus Sunnah atas pondasi ini banyak sekali; tidak terhitung...

AKAN TETAPI KITA TIDAK MENGGUNAKAN KAIDAH INI BERSAMA MUBTADI’ (AHLUL BID’AH); DIKARENAKAN KESESATAN MEREKA ADALAH SAMA -BAIK SEBELUM MAUPUN SESUDAHNYA-; BAIK SECARA GLOBAL MAUPUN RINCI.”

[“Ma’a Muhadditsil ‘Ashr” (hlm. 158). Dan lihat: “Ash-Shawaa-‘iqul Mursalah” (I/384-397)]

FAEDAH:          

Kita -dan orang-orang sebelum kita- juga mengalami hal semacam ini dalam kehidupan sehari-hari; dimana Ahlul Bid’ah dan para pengikutnya menyematkan julukan-julukan jelek kepada para pengikut Sunnah dengan tuduhan-tuduhan mereka:

- menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,

- tidak mau bershalawat kepada Nabi,

- tidak mengagungkan para wali dan orang-orang shalih,

- mengingkari Al-Qur’an,

- dan lain-lain.

Kalimat mereka adalah benar; yakni: bahwa perbuatan-perbuatan di atas adalah kejelekan -bahkan sebagiannya kekufuran-. Akan tetapi kalau ditelusuri kalimat-kalimat “global” di atas; ternyata mereka bawa kepada “rincian” bid’ah-bid’ah mereka. Maka:

- Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; maksud mereka: menetapkan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang Dia dan Rasul-Nya sifatkan; dengan tanpa ta’wil (memalingkan dari makna aslinya). Adapun mereka; maka mereka menta’wil (memalingkan dari makna aslinya); sehingga Ahlus Sunnah yang menetapkan sesuai dengan lahiriahnya dianggap menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

- Tidak mau bershalawat kepada Nabi; maksud mereka: tidak mau bernanyi setelah adzan dengan nyanyian-nyanyian yang mereka sebut sebagai shalawat.

- Tidak menghormati para wali dan orang-orang shalih; maksud mereka: tidak mau melakukan perjalanan untuk berziarah ke kubur mereka (padahal ada larangan langsung dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- untuk melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid).

- Mengingkari Al-Qur’an; maksud mereka: tidak mau membaca Yasin dan melakukan acara Bid’ah setelah kematian -biasanya selama 7 (tujuh) hari; yang mereka namakan sebagai “Tahlilan”-.

-Dan seterusnya...

Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- berkata:

“Maka bagi seseorang yang ingin menyingkap kesesatan mereka dan orang-orang semisal mereka; kewajibannya adalah: JANGAN MENYETUJUI LAFAZH-LAFZAH GLOBAL MEREKA; SEBELUM JELAS MAKNANYA DAN DIKETAHUI MAKSUDNYA.”

[“Ash-Shawaa-‘iqul Mursalah” (III/996]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-16 & KE-17

FAWAA-ID SURAT YUSUF (7)

[16]- Banyaknya jumlah bukanlah ukuran untuk kemanfaatan, bahkan sering mendatangkan tipuan (dengan munculnya sifat ‘ujub).

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh ayah kita dalam kekeliruan yang nyata.”.” (QS. Yusuf: 10)

Saudara-saudara Yusuf -‘alaihis salaam- berfikiran seperti umumnya orang awam; bahwa jumlah mereka yang banyak (segolongan yang kuat) itulah yang akan bermanfaat, dan mereka mengira bahwa bapak mereka juga berfikiran demikian. Padahal, orang-orang yang mulia; berbeda sudut pandangnya -dalam masalah keutamaan- dari orang-orang yang di bawah mereka.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/107-108)]

TAMBAHAN:

(1)- Kemenangan Kaum Muslimin Bukan Dengan Banyaknya Jumlah

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa kaum muslimin dikepung kaum kafirin; padahal kaum muslimin banyak jumlahnya, beliau bersabda:

((يُوْشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا)) فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: ((بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلٰكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمُ الْوَهْنَ)) فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ! وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: ((حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ))

“Hampir tiba saatnya umat-umat (lain) mengerumuni kalian (kaum muslimin) seperti orang-orang yang akan makan mengerumuni bejana (makanan)nya.” Ada yang bertanya: Apakah dikarenakan jumlah kami pada waktu itu adalah sedikit? Beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu banyak, akan tetapi keadaan kalian seperti yang dibawa arus air. Dan sungguh, Allah akan mencabut dari dada musuh kalian: rasa takut terhadap kalian, serta Allah akan timpakan “Al-Wahn” di dalam hati kalian.” Ada yang bertanya: Wahai Rasululullah! Apakah “Al-Wahn” itu? Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.”

[Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4297), dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- di dalam “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah” (no. 958)]

(2)- Allah akan memberikan pertolongan kepada kaum muslimin; jika mereka menolong (agama) Allah

Allah -Ta’aalaa- berfirman:



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah; niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)

“(Dan) sungguh, tidaklah kaum mukminin menolong (agama) Allah dengan cara yang lebih baik dibandingkan:

- Ikhlas kepada Allah -‘Azza Wa Jalla-­, dan

- “Mutaaba’ah” (mengikuti) Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-…

Dan usaha apa pun untuk mewujudkan (kemenangan) tersebut: tanpa melalui pintu Ikhlas -yang merupakan perbaikan ‘Aqidah- dan tanpa melalui pintu “Mutaaba’ah” -yang merupakan perbaikan amalan dengan (mengikuti) Sunnah-; maka usaha tersebut akan sia-sia, dan Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.

Dan Allah telah memberikan bagi kita: dua contoh besar dalam sejarah generasi pertama umat ini; yang di dalam keduanya tampak terluputnya kemenangan dari orang-orang yang menyia-nyiakan dua syarat ini.

CONTOH PERTAMA: Apa yang terjadi pada kaum muslimin pada Perang Hunain. Maka sungguh, sebagian Mujahidin melihat jumlah mereka yang banyak dan mereka lalai sampai mengatakan: “Kita tidak akan dikalahkan pada hari ini disebabkan jumlah kita yang sedikit.” Maka Allah timpakan kekalahan kepada mereka pada waktu yang pertama disebabkan perkataan ini; yang kalau seseorang terus mengikutinya; maka bisa mengantarkan kepada kurangnya keikhlasan. Dalam hal inilah turun firman Allah -Ta’aalaa-:

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ

“Sungguh, Allah telah menolong kamu (kaum mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu (membuat kamu ‘ujub), tetapi (jumlah yang banyak) itu sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.” (QS. At-Taubah: 25)

CONTOH KEDUA: Apa yang terjadi pada kaum muslimin pada Perang Uhud. Maka Allah menimpakan kekalahan pada perang ini disebabkan karena sebagian mereka melakukan dua maksiat saja: Yang pertama: karena mereka menyelisihi perintah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ketika mereka turun dari gunung yang mereka diperintahkan untuk menetapinya. (Maksiat) kedua: Mereka mengambil tebusan pada perang Badar padahal belum disyari’atkan. ‘Umar bin Al-Khaththtab -­radhiyallaahu ‘anhu- menyebutkan bahwa Allah menghukum mereka dengan sebab itu; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad (I/32-33) dan lainnya, dan itu Shahih. Maka ini adalah kekurangan dari segi “Mutaaba’ah”. Maka dalam hal ini turun firman Allah -Ta’aalaa-:

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar) kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran: 165)

Semua (kekalahan) ini terjadi pada zaman generasi terbaik dari umat ini secar mutlak, bahkan pada zaman umat yang terbaik di antara umat-umat para nabi; yang Allah firmankan tentang generasi ini:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ...

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali ‘Imran: 110)

Mereka (para Shahabat) adalah yang paling sempurna agamanya, dan paling baik dalam keikhlasan dan “Mutaaba’ah”. Walaupun demikian; akan tetapi mereka dicela -di dalam Al-Qur’an- disebabkan satu atau dua kemaksiatan yang mereka lakukan; dimana kaum muslimin -pada zaman sekarang- telah terjatuh kedalam kemaksiatan berkali-kali -sampai tidak terhitung- dalam satu hari. Kemudian (dengan keadaan yang demikian) beberapa orang yang berambisi: berkhayal untuk mendapatkan kemenangan untuk umat Islam sebelum terpenuhi syarat-syaratnya?! BAHKAN TERKADANG MANHAJ SEBAGIAN MEREKA ADALAH: WAJIBNYA TIDAK PERDULI TERHADAP KEJELEKAN WALAUPUN DALAM MASALAH ‘AQIDAH; DENGAN ALASAN AGAR TIDAK ADA YANG MELEMAHKAN JIHAD!!!”

[“Min Kulli Suuratin Faa-idah” (hlm. 267-269), karya Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani -hafizhahullaah-]

[17]- Tujuan yang mulia harus dilakukan dengan wasilah (perantaraan) yang juga mulia.

Allah -Ta’aalaa- berfirman -tentang perkataan saudara-saudara Yusuf-:

اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ

“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik.”.” (QS. Yusuf: 9)

Saudara-sadura Yusuf -‘alaihis salaam- menginginkan agar perhatian ayah mereka tertumpah pada mereka; dimana mereka bisa berbakti kepadanya, sehingga dia pun akan mencintai mereka dan mereka pun mencintainya. Untuk meraih tujuan ini, mereka harus menghilangkan penghalangnya; yaitu: Yusuf; yang lebih dicintai oleh bapak mereka.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/122-123)]

Manusia sering terkecoh dengan niat baik mereka dan melupakan amalan lahiriahnya; apakah sudah baik juga ataukah belum?

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah memberikan dua kaidah -dalam dua haditsnya- yang menjadi timbangan untuk amalan lahir dan batin.

Maka, sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

إِنَّـمَا الأَعْمَالُ بِالـنِّــيَّـاتِ وَإِنَّـمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَـوَى...

“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang diniatkannya…”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1) dan Muslim (no. 1907), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-]

Adalah sebagai timbangan amalan batin.

Sedangkan sabda beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak ada contohnya dari urusan (agama) kami; maka ia tertolak.”

[Shahih: HR. Muslim (no. 1718 (18))]

Sebagai timbangan amalan lahiriyah.

[Lihat: ‘Ilmuu Ushuulil Bida’ (hlm. 59-63)]

Jadi, kebaikan harus dilakukan dengan cara yang benar.

Maka, (1)niat yang ikhlas -yakni: beribadah hanya karena Allah saja-; harus disertai dengan (2)Ittibaa’ -yakni: mengikuti tata cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Inilah dua syarat agar amalan itu bisa diterima oleh Allah -Subhaanaahu Wa Ta’aalaa-. Kalau seseorang hanya mengandalkan keikhlasan dan niat yang baik, akan tetapi tanpa dibarengi dengan usaha agar tepat dengan Syari’at; maka amalannya akan tertolak dan dia tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan berupa kebaikan.

Hal ini telah diingatkan oleh Shahabat yang mulia: ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu- dengan perkataannya:

وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan; akan tetapi tidak mendapatkannya.”

[Diriwayatkan oleh Ad-Darimi (no. 210-cet. Daarul Ma’rifah). Lihat: “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah” (no. 2005)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-13, KE-14, & KE-15

FAWAA-ID SURAT YUSUF (6)

لَقَدْ كَانَ فِي يُوسُفَ وَإِخْوَتِهِ آيَاتٌ لِلسَّائِلِينَ

“Sungguh dalam (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Yusuf: 7)

[13]- Orang-orang yang bertanya; merekalah yang mengambil manfaat dari ayat-ayat dan pelajaran. Adapun orang-orang yang berpaling; maka mereka tidak akan mengambil manfaat dari ayat-ayat, kisah-kisah maupun bukti-bukti keterangan yang dibawakan kepada mereka.

Orang-orang yang tidak bertanya tentang apa yang mereka bodoh darinya, dan tidak berusaha untuk mengetahui hal-hal yang harus mereka ketahui; maka mereka adalah orang-orang malas yang tidak akan mengambil pelajaran dari apa yang mereka dengar -berupa ayat-ayat maupun kejadian-kejadian-.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/100-101)]

“Maka, diantara manusia ada yang terhalang dari ilmu dikarenakan tidak bagus dalam bertanya:

- baik karena tidak bertanya sama sekali;

- maupun karena bertanya tentang sesuatu; padahal ada hal lain yang lebih penting; seperti orang yang menanyakan tentang ilmu-ilmu yang tidak berfaedah -yang dia tidak rugi kalau tidak mengetahuinya-; akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang harus dia ketahui. Dan ini adalah keadaan banyak dari para pelajar yang bodoh.

Dan di antara manusia ada juga yang terhalang dari ilmu karena dia tidak bisa diam; sehingga dia lebih suka untuk berbicara dan berdebat dibandingkan diam. Dan ini adalah penyakit tersembunyi yang ada pada kebanyakan penuntut ilmu, sehingga menghalangi mereka dari ilmu yang banyak -walaupun bagus pemahaman mereka-.”

[“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/508- tahqiiq Syaikh ‘Ali Al-Halabi)]

[14]- Tugas seorang muslim yang membaca Al-Qur’an adalah untuk mencari pelajaran dari kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/98)]

“Dan di antara ilmu Al-Qur’an adalah: (penejalasan tentang) sifat-sifat para rasul, keadaan-keadaan mereka, dan apa yang terjadi pada mereka bersama orang-orang yang membela maupun menyelisihi mereka, serta sifat-sifat mulia yang ada pada diri mereka.

Kalau seorang (muslim) melewati (membaca/mendengarkan) ayat-ayat tentang ini; maka dia akan mengetahui sifat-sifat (para rasul) tersebut; sehingga bertambah pengenalan dan kecintaannya kepada mereka, dan dia akan mengetahui akhlak-akhlak dan amalan-amalan mereka -khusunya: imam dan penghulu mereka; yaitu: Nabi Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; sehingga dia bisa meneladani akhlak dan amalan mereka -semampu dia-, dan dia menjadi faham bahwa kesempurnaan keimanan kepada mereka (para rasul) hanya didapatkan dengan pengenalan yang sempurna terhadap keadaan-keadaan mereka, dan dengan mencintai serta “Ittibaa”; (mengikuti) mereka. Dan di dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali sifat-sifat mereka yang akan memberi kecukupan (bagi orang yang mencarinya).

Dan diambil faedah juga: meneladani cara pengajaran mereka yang tinggi serta bagaimana mereka memberikan pengarahan kepada manusia, dan bagaimana bagusnya pembicaraan mereka, lembutnya jawaban mereka, serta kesabaran mereka yang sempurna.

Jadi, maksud dari kisah-kisah mereka bukan hanya untuk menjadi obrolan; akan tetapi untuk diambil pelajaran.”

[“Al-Qawaa-‘idul Hisaan (hlm. 80-81)”]

Dan kita tidak akan bisa mengambil pelajaran; kecuali jika kita membandingkan keadaan-keadaan yang semisal dengan mereka -yang ada di kehidupan kita- dengan keadaan-keadaan mereka.

[Lihat: “Al-Qawaa-‘idul Hisaan” (hlm. 80-81), karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dan “Manzhuumah Ushuulil Fiq-hi Wa Qawaa’idihi”, syarh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahumallaah-]



إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ * اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ * قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ لا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ

“Ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh ayah kita dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik.” Seorang di antara mereka berkata: “Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat.”.” (QS. Yusuf: 8-10)

[15]- Yang dijadikan patokan dari keadaan seorang hamba adalah: bagaimana kesempurnaan dari akhir hidupnya; bukan kekurangan yang pernah dialaminya pada awalnya.

Karena, pada awalnya  telah terjadi keburukan pada saudara-saudara Yusuf -‘alaihis salaam- yang merupakan sebab terbesar dari kekurangan dan celaan bagi mereka. Akan tetapi akhirnya mereka bertaubat dengan taubat “Nashuuhaa” (semurni-murninya) dan mereka mendapatkan maaf dari Yusuf dan bapak mereka, serta dido’akan agar mendapat ampunan dan rahmat.

[Lihat: “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 408- cet. Muassasah ar-Risaalah)]

TAMBAHAN:

KALAU BUKAN KARENA PETUNJUK DARI ALLAH; ENTAH JADI APA KITA INI…(Diambil dari “Al-Maqaalaat” (II/122-124), karya Ahmad Hendrix.)

(1)- Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

((إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا؛ عَسَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ)) قِيْلَ: وَمَا عَسْلُهُ قَبْلَ مَوْتِهِ؟ قَالَ: ((يُفْتَحُ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ بَيْنَ يَدَيْ مَوْتِهِ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ [جِيْرَانُهُ -أَوْ قَالَ: مَنْ حَوْلَهُ-]))

“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba; niscaya Allah memaniskannya sebelum kematiannya.” Ada yang bertanya: Apa yang dimaksud dengan memaniskannya sebelum kematiannya? Beliau bersabda: “Dibukakan baginya amal shalih sebelum kematiannya sampai tetangga-tetangganya -atau orang-orang yang disekitarnya- meridhai-nya.”

[Shahih: HR. Ahmad (no. 21846- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Hibban (no. 342 & 343- cet. Daarul Fikr), dan Al-Hakim (1288-cet. Daarul Fikr), dari ‘Amr bin Al-Hamiq Al-Khuza’i -radhiyallaahu ‘anhu-. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Hadits ini juga mempunyai “Syawaahid” (penguat-penguat dari Shahabat-Shahabat yang lainnya)]

(2)- Imam Ibnul Atsir (wafat th. 606 H) -rahimahullaah- berkata:

“Al-‘Asl (memaniskan) adalah: pujian yang baik; diambil dari kata Al-‘Asal (madu). Dikatakan (secara bahasa): ‘Asala Ath-Tha’aam Ya’siluhu (memaniskan makanan): jika menambahkan madu pada makanan.

Beliau (Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) menyerupakan apa yang Allah rizqikan kepada hamba -berupa amal shalih; yang menjadikan penyebutannya baik di antara kaumnya-; beliau menyerupakannya dengan madu yang ditambahkan pada makanan; sehingga makanan itu menjadi manis dan baik.”

[“An-Nihaayah Fii Ghariibil Hadiits Wal Aatsaar” (hlm. 616- cet. Daar Ibnil Jauzi)]

(3)- Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (wafat th. 282 H) -rahimahullaah- berkata:

“Seorang dari penduduk Sijistan -yang hasad kepadaku- berkata: “Kalau bukan karena ilmu; jadi apa kamu?” Maka kukatakan padanya: Kamu menginginkan celaan, tapi berubah jadi pujian.

Saya mendengar Nu’aim bin Hammad berkata: Saya mendengar Abu Mu’awiyah berkata: Al-A’masy berkata: “Kalau bukan karena ilmu; tentulah aku (hanya) menjadi salah satu tukang sayur -di antara tukang-tukang sayur di Kufah-.” Dan aku; kalaulah bukan karena ilmu; tentulah aku (hanya) menjadi salah satu pedagang kain -di antara pedagang-pedagang kain di Sijistan-.”

[“Taariikh Madiinati Dimasyq” (XXXVIII/364-cet. Daarul Fikr)]

(4)- Cobalah renungkan dan fikirkan, siapa kita dahulu?! Sebagian kita ada yang ahli maksiat! Atau bahkan bergabung dengan kelompok sesat!!

Kemudian Allah berikan petunjuk untuk mengenal kebenaran, dan Allah ajarkan ilmu kepada kita; yang dengannya kita dikenal oleh manusia.

Maka, hendaklah kita mensyukurinya, dengan cara menyebarkan ilmu dan kebenaran yang telah Allah ajarkan. BUKAN MENJADIKAN ILMU YANG ALLAH BERIKAN: SEBAGAI ALAT UNTUK MENCARI DUNIA -BAIK: HARTA, KEDUDUKAN, KETENARAN, MAUPUN WANITA-!!!

...وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

 “…DAN JIKA KAMU BERPALING (DARI JALAN YANG BENAR); NISCAYA DIA (ALLAH) AKAN MENGGANTIKAN (KAMU) DENGAN KAUM YANG LAIN, dan mereka tidak akan (durhaka) seperti kamu.” (QS. Muhammad: 38)

Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-10, KE-11, & KE-12

FAWAA-ID SURAT YUSUF (5)

وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الأحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوبَ كَمَا أَتَمَّهَا عَلَى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Dan demikianlah, Rabb-mu memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sungguh, Rabb-mu Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf: 6)

 [10]- Ta’bir mimpi adalah sebuah ilmu yang memiliki prinsip-prinsip tertentu.

“Dan secara umum…permisalan-permisalan yang terdapat dalam Al-Qur’an; semuanya adalah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah bagi ilmu Ta’bir -bagi orang yang bagus dalam berdalil dengan (permisalan-permisalan) tersebut-. Demikian juga orang yang memahami Al-Qur’an; maka sungguh, dia akan bisa melakukan Ta’bir mimpi dengan sebaik-baiknya.

Prinsip-prinsip Ta’bir yang benar hanyalah diambil dari cahaya Al-Qur’an. Maka:

- (Mimpi) kapal: dita’birkan dengan keselamatan; berdasarkan firman Allah -Ta’aalaa-:

فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَصْحَابَ السَّفِينَةِ...

“Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang ada di kapal itu…” (QS. Al-‘Ankabut: 15)

Dan kapal: juga (bisa) dita’birkan dengan perdagangan.

- (Mimpi) kayu: (dita’birkan) dengan orang-orang munafik.

- (Mimpi) batu: (dita’birkan) dengan kerasnya hati.

- (Mimpi) telur: (dita’birkan) dengan wanita.

- (Mimpi) pakaian: juga (dita’birkan) dengan wanita.

- (Mimpi) minum air: (dita’birkan) dengan fitnah/ujian.

- (Mimpi) makan daging seseorang: (dita’birkan) dengan meng-ghibah-nya.

- (Mimpi) kunci-kunci: (dita’birkan) dengan usaha, perbendaharaan dan harta benda.

- (Mimpi) kemenangan: terkadang dita’birkan dengan do’a dan terkadang dengan pertolongan.

- Seorang yang (mimpi) melihat dirinya berada di suatu tempat yang tidak biasanya dia memasukinya: dita’birkan dengan kehinaan dan kerusakan penghuninya.

- (Mimpi) tali: dita’birkan dengan perjanjian, kebenaran dan bantuan.

- (Mimpi) mengantuk: terkadang dita’birkan dengan keamanan.

- (Mimpi) mengambil sayur mayur, bawang merah, bawang putih, dan kacang adas: dita’birkan dengan orang mengambil sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik; berupa: harta, rizqi, ilmu, istri, atau tempat tinggal,

- (Mimpi) sakit: (dita’birkan) dengan kemunafikan, keraguan dan riya’.

- (Mimpi) anak kecil yang masih menyusu: (dita’birkan) dengan musuh; berdasarkan firman Allah -Ta’aalaa-:

فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا...

“Maka (bayi) itu dipungut oleh keluarga Fira’un agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka…” (QS. Al-Qashaah: 8)

- (Mimpi) nikah: (dita’birkan) dengan wanita.

- (Mimpi) abu: (dita’birkan) dengan amalan yang bathil; berdasarkan firman Allah -Ta’aalaa-:

مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ...

“Orang-orang yang kafir kepada Rabb-nya; amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras…” (QS. Ibrahim: 18).

- (Mimpi) cahaya: (dita’birkan) dengan petunjuk.

- (Mimpi) kegelapan: (dita’birkan) dengan kesesatan.”

[“I’laamul Muwaqqi’iin” (hlm. 131- cet. Daar Thayyibah)]

[11]- Kesempurnaan nikmat adalah suatu perkara yang melebihi asal nikmat itu sendiri.

Dalam ayat di atas Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوبَ كَمَا أَتَمَّهَا عَلَى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ...

“…dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq...” (QS. Yusuf: 6)

Maka bagi para nabi; kesempurnaan nikmat bagi mereka adalah: dengan menyampaikan risalah (tugas kerasulan) yang mereka ditugaskan untuknya.

Adapun bagi selain nabi; maka kesempurnaan nikmatnya adalah disesuaikan dengan diri masing-masing.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/92)]

Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- berkata -dalam sebagian ceramahnya-:

“Demi Allah -Yang tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia-, sungguh, aku tidak mengetahui -pada hari  ini, di dunia ini- sesuatu yang lebih mulia bagi seorang hamba dibandingkan: Allah menjadikan kemenangan Dakwah Salaf melalui kedua tangannya.”

[12]- Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah yang dengannya Allah menutup sebuah ayat; adalah mempunyai kaitan dengan konteks ayat dan hal-hal yang disebutkan sebelumnya.

Maka, di sini Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“…Sungguh, Rabb-mu Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf: 6)

Yakni:

- Allah “Maha Mengetahui” jiwa-jiwa yang tepat untuk menerima keutamaan-keutamaan yang Dia berikan ini.

Dan:

- Allah “Maha Bijaksana”, dengan hikmah-Nya; Dia meletakkan nikmat-nikmat-Nya pada tempat-tempat yang sesuai.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/93)]

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

... اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ...

“…Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan risalah (tugas kerasulan)-Nya…” (QS. Al-An’aam: 124)

“Maka, barangsiapa yang Allah mengetahuinya pantas untuk menerima risalah (tugas kerasulan) dan mengembannya, serta bersifat dengan segala akhlak yang mulia dan terbebas dari segala akhlak yang tercela; maka Allah akan memberikan risalah kepadanya sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya…

Dan barangsiapa yang tidak demikian; maka Allah tidak akan meletakkan pemberian-Nya yang paling utama kepada orang yang tidak pantas untuk mendapatkannya.”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 272- cet. Muassasah ar-Risaalah)]

Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- juga telah mengisyaratkan tentang orang yang pantas untuk mendapatkan hikmah, ilmu dan pemahaman, beliau bersabda:

أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ، هُمْ أَلْيَنُ قُلُوبًا وَأَرَقُّ أَفْئِدَةً، اَلإِيْـمَانُ يَـمَانٍ، وَالْـحِكْمَةُ يَـمَانِيَّةٌ

“Telah datang penduduk Yaman; mereka adalah yang paling lunak dan paling lembut hatinya. Fiqih (pemahaman) adalah Yaman dan Hikmah juga Yaman.”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 4388, 4389 & 4390) dan Muslim (no. 52), dari Abu Hurairah -radhiyallaahu ‘anhu-]

“JIKA HATI ITU LEMBUT; MAKA AKAN MEMUDAHKAN PERKATAAN UNTUK MASUK KE DALAMNYA. DAN JIKA (HATI ITU) KERAS; MAKA AKAN SUSAH BAGI PERKATAAN UNTUK MASUK KE DALAM. DAN JIKA HATI ITU LUNAK; MAKA SEGALA (ILMU) YANG MENGENAINYA AKAN MELEKAT PADANYA.”

[“Fat-hul Baarii” (VII/702- cet. Daar ar-Rayyaan lit Turaats)]

Maka dari sini kita mengetahui: Mengapa ilmu susah sekali untuk masuk ke dalam hati kita, dan kalau pun masuk; maka sulit sekali untuk melekat padanya.

Allaahul Musta’aan.

TAMBAHAN:

Dalam menuntut ilmu: dibutuhkan dua hal yang sangat pokok; yaitu: PEMAHAMAN YANG BENAR dan NIAT YANG BAIK.

“Pemahaman yang benar dan niat yang baik termasuk nikmat Allah terbesar yang Allah berikan kepada hamba-Nya.

- Bahkan, tidaklah seorang hamba diberikan pemberian -setelah Islam- yang lebih besar dan lebih mulia dibandingkan keduanya.

- Bahkan, keduanya merupakan dua tonggak Islam dan Islam tegak berdiri di atas keduanya.

- Dengan keduanya maka hamba akan terbebas dari jalannya “orang-orang yang dimurkai” -yang telah rusak niat mereka- dan juga (terbebas) dari jalannya “orang-orang yang sesat” -yang telah rusak pemahaman mereka-.

- Dan (dengan keduanya hamba) termasuk “orang-orang yang diberi nikmat” yang bagus pemahaman dan niat mereka. Dan merekalah yang berada di atas Ash-Shiratul Mustaqim (jalan yang lurus); yang Allah perintahkan kepada kita agar kita meminta -pada setiap shalat- agar Dia menunjukki kita kepada jalan mereka.

Dan:

(1) BENARNYA PEMAHAMAN adalah: cahaya yang Allah berikan kepada hati seorang hamba; yang dengannya dia bisa membedakan antara yang bagus dan yang rusak, antara kebenaran dan kebathilan, antara petunjuk dan kesesatan, antara penyimpangan dan kelurusan.

(2) Dan (benarnya pemahaman) tersebut akan dibantu oleh NIAT YANG BAIK, mencari kebenaran, ketaqwaan kepada Allah -baik dalam kesendirian maupun terang-terangan-, yang akan memotong keinginan untuk: mengikuti keinginan (hawa nafsu), lebih mengutamakan dunia, mencari pujian makhluk dan meninggalkan ketaqwaan.”

[“I’laamul Muwaqqi’iin” (I/164-165- cet. III), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

FAEDAH KE-8 & KE-9

FAWAA-ID SURAT YUSUF (4)

قَالَ يَا بُنَيَّ لا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ *   وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الأحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوبَ كَمَا أَتَمَّهَا عَلَى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku! Sungguh aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Dia (ayahnya) berkata: “Wahai anakku!  Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membina-sakan)mu. Sungguh setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”.” (QS. Yusuf: 4-5)

[8]- Hikmah seorang “Murabbi” (seorang yang memberikan Tarbiyah) akan nampak dalam pemahamannya terhadapa waqi’ (realita) dan bagaimana cara dia mengobatinya.

Di sini tampak sekali Hikmah Ya’qub ‘alaihis salaam dalam memahami waqi’ (realita) anak-anaknya dan usahanya untuk mengatasi realita ini semampu dia.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/76)]

TAMBAHAN -tentang pentingnya pemahaman terhadap realita dan isyarat tentang bagaimana cara untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap realita serta solusi menghadapi realita yang ada- (Diambil dari “Al-Maqaalaat” (I/119-122), Makalah Kedua Puluh Enam: Teori Dan Praktek, karya Ahmad Hendrix):

(1)- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Seorang mufti dan hakim tidak akan bisa berfatwa dan menghukumi kecuali dengan dua jenis pemahaman:

Pertama: Pemahaman terhadap realita, (dengan) mendalaminya dan berusaha mengetahui hakikat kejadian (dan keadaan) yang sebenarnya, (yaitu) dengan (cara) mempelajari indikasi dan tanda-tanda, sehingga dia benar-benar menguasai (realita) tersebut.

Kedua: Pemahaman terhadap kewajiban (kita) dalam menghadapi realita tersebut, yaitu: pemahaman terhadap hukum Allah yang terdapat dalam kitab-Nya maupun (Sunnah) Rasul-Nya.

Kemudian dia menggabungkan dua jenis pemahaman tersebut.

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan kemampuannya dalam hal ini; maka (kalau benar) dia mendapat dua pahala atau (kalau salah) dia mendapat satu pahala. Maka yang dinamakan ‘Aalim (orang yang berilmu) adalah: orang yang mengetahui realita dan mempelajarinya, kemudian pemahamannya (terhadap realita) ini dia gunakan untuk mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya (dalam perkara-perkara tersebut)…

Barangsiapa memperhatikan syari’at dan hukum-hukum para Shahabat (Nabi), maka dia akan mendapatkannya dipenuhi dengan (metode) ini. Dan barangsiapa yang tidak menempuh (jalan) ini; maka dia akan menyia-nyiakan hak manusia dan menisbatkan (ketidak adilan) tersebut kepada syari’at (Islam) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.”

[“I’laamul Muwaqqi’iin” (I/165-166-cet. III)]

(2)- Imam Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- ditanya:

Apa pendapat anda tentang orang yang memperingatkan agar menjauhi dari membaca kitab-kitab para Da’i mu’ashirin (zaman sekarang) dan orang ini berpendapat untuk mencukupkan diri dengan kitab-kitab Salaf dan mengambil Manhaj dari mereka?

Kemudian, bagaimana pandangan yang benar atau yang mencakup tentang kitab-kitab para ulama Salaf -rahimahumullaah- dan kitab-kitab para da’i mu’ashirin (zaman sekarang)…?

Maka, Imam Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- menjawab:

“Saya berpendapat bahwa: mengambil Dakwah dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah di atas segalanya -dan tentunya ini pendapat kita semua; tanpa diragukan lagi-. Kemudian setelah itu: (mengambil) apa yang datang dari Khulafa-ur Rasyidin, dan dari para Shahabat, serta dari para Imam Islam yang terdahulu.

Adapun hal-hal yang dibicarakan oleh (para ulama/da’i) muta-akhirin (zaman belakangan) dan mu’ashirin (zaman sekarang); maka itu mencakup hal-hal yang mereka sendiri lebih mengetahuinya. Jika seseorang bisa memanfaatkan kitab-kitab mereka dari segi ini; maka sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak.

Kita tahu bahwa mu’ashirin mengambil dari para ulama terdahulu; jadi kita pun mengambil (dari ulama terdahulu) seperti mereka. Akan tetapi, ada perkara-perkara kontemporer yang mereka (para mu’ashirin) lebih mengetahuinya dari pada kita, ditambah lagi: perkara-perkara tersebut belum terjadi di zaman Salaf.

Oleh karena itulah saya berpendapat: Hendaknya seseorang menggabungkan dua kebaikan tersebut:

Pertama: dia bersandar kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Kedua: (bersandar) kepada perkataan Salafush Shalih dari kalangan Khulafa-ur Rasyidin, dan dari para Shahabat, serta dari para Imam Islam. Kemudian kepada apa yang ditulis oleh mu’ashirin tentang perkara-perkara kontemporer yang terjadi di zaman mereka dan belum terjadi di zaman Salaf.”

[“Kitaabul ‘Ilmi” (hlm. 217)]

CATATAN:

Dari sini kita mengetahui apa yang dimaksudkan dan diinginkan oleh para ulama dalam pembahasan Fiq-hul Waaqi’ (Fiqih tentang realita dan permasalahan kontemporer).

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullah- berkata -dalam “Ma’a Muhadditsil ‘Ashr” (hlm. 64-65)-:

“Kalimat Fiq-hul Waaqi’ menurut para ulama tidaklah seperti kalimat Fiq-hul Waaqi’ zaman sekarang menurut para da’i!

Kalimat Fiq-hul Waaqi’ menurut para ulama adalah mirip dengan suatu bentuk dari kaidah “Ushuul” yang masyhur:

الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

“Menghukumi sesuatu adalah cabang dari gambaran darinya.” [Yakni: seseorang bisa menghukumi sesuatu: setelah dia mempunyai gambaran tentang sesuatu tersebut]

Inilah Fiq-hul Waaqi’; yakni: memahami realita berbagai permasalahan dan mengetahui hukum-hukumnya.

Akan tetapi pada zaman sekarang: Fiq-hul Waaqi’ telah menempuh jalan lain dan makna yang lain! Yaitu: MENGIKUTI POLITIK, BERITA-BERITA, OPINI-OPINI POLITIKUS, PREDIKSI-PREDIKSI POLITIK dan yang semisalnya!

Dan Syaikh Al-Albani punya…Risalah kecil dengan judul “Su-aal Wa Jawaab Haula Fiq-hul Waaqi’ (Tanya-Jawab Seputar Fiq-hul Waaqi’)”…Inti dari Risalah ini adalah: bahwa MENYIBUKKAN MANUSIA DENGAN POLITIK DAN DENGAN BERITA-BERITA POLITIK: BUKANLAH SUATU HAL YANG DITUNTUT DARI MEREKA…

JIKA KITA MENYIBUKKAN ORANG-ORANG AWAM DENGAN POLITIK, DAN DENGAN BERITA-BERITA POLITIK, SERTA KEJADIAN-KEJADIANNYA, DAN KITA MEMALINGKAN MEREKA DARI HAL YANG LEBIH PENTING BAGI MEREKA -YAITU: BERIBADAH KEPADA ALLAH DAN MENTAUHIDKAN ALLAH-: MAKA (PERBUATAN SEMACAM INI) ADALAH MENYELISIHI HUKUM-HUKUM SYARI’AT, (MENYELISIHI) AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH.”

-Lihat juga: Fiq-hul Waaqi’ (Fiqih Realita & Masalah Kontemporer), karya Ahmad Hendrix, yang dilampirkan di “Al-Maqaalaat” (III/161-225)-

[9]- Setan menghiasi bagi seorang insan: apa yang dia inginkan dan apa yang berputar dalam fikiran.

Dalam ayat di atas Allah -Ta’aalaa- berfirman:

قَالَ يَا بُنَيَّ لا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Dia (ayahnya) berkata: “Wahai anakku!  Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”.” (QS. Yusuf: 4-5)

“Dan ini adalah pintu dari tipu daya Syaithan yang terbesar yang dia masuk melaluinya menuju anak Adam (manusia). Karena sungguh, dia (setan) berjalan sesuai peredaran darah (seorang hamba) sampai dia masuk kepada apa yang diinginkan jiwanya, dia bercampur dengan (jiwa) tersebut dan menanyakan apa yang disukai dan diinginkannya. Kalau dia (setan) sudah mengetahui; maka dengannya dia akan mengalahkan hamba dan memasukinya dari pintu ini.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 184- Mawaaridul Amaan)]

Iyas bin Mu’awiyah (seorang tabi’in, wafat th. 122 H) berkata:

“Tidak ada seorang pun yang tidak mengetahui kekurangan dirinya; melainkan dia adalah seorang yang dungu.”

[“Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘Alal Khalaf” (hlm. 61)]

Maka, hendaknya kita benar-benar memperhatikan kekurangan terbesar yang ada pada diri kita; agar kita mengetahui bahwa: dari arah situlah kira-kira setan akan masuk untuk mengalahkan kita. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan; mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat.” (QS. Al-A’raaf: 201)

Yakni: “Mereka melihat dari arah mana mereka didatangi (oleh setan) dan mereka (juga) melihat bagaimana cara untuk meloloskan diri dari dosa yang mereka terjatuh kedalamnya, sehingga mereka bersegera untuk bertaubat dengan taubat yang “Nashuuhaa” (semurni-murninya), maka kembalilah mereka kepada kedudukan (tinggi) mereka yang semula, dan kembalilah setan dalam keadaan hina dan kalah.”

[“Al-Qawaa-‘idul Hisaan” (hlm. 44)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-