Minggu, 02 April 2017

FAEDAH KE-8 & KE-9

FAWAA-ID SURAT YUSUF (4)

قَالَ يَا بُنَيَّ لا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ *   وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الأحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوبَ كَمَا أَتَمَّهَا عَلَى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku! Sungguh aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Dia (ayahnya) berkata: “Wahai anakku!  Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membina-sakan)mu. Sungguh setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”.” (QS. Yusuf: 4-5)

[8]- Hikmah seorang “Murabbi” (seorang yang memberikan Tarbiyah) akan nampak dalam pemahamannya terhadapa waqi’ (realita) dan bagaimana cara dia mengobatinya.

Di sini tampak sekali Hikmah Ya’qub ‘alaihis salaam dalam memahami waqi’ (realita) anak-anaknya dan usahanya untuk mengatasi realita ini semampu dia.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/76)]

TAMBAHAN -tentang pentingnya pemahaman terhadap realita dan isyarat tentang bagaimana cara untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap realita serta solusi menghadapi realita yang ada- (Diambil dari “Al-Maqaalaat” (I/119-122), Makalah Kedua Puluh Enam: Teori Dan Praktek, karya Ahmad Hendrix):

(1)- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Seorang mufti dan hakim tidak akan bisa berfatwa dan menghukumi kecuali dengan dua jenis pemahaman:

Pertama: Pemahaman terhadap realita, (dengan) mendalaminya dan berusaha mengetahui hakikat kejadian (dan keadaan) yang sebenarnya, (yaitu) dengan (cara) mempelajari indikasi dan tanda-tanda, sehingga dia benar-benar menguasai (realita) tersebut.

Kedua: Pemahaman terhadap kewajiban (kita) dalam menghadapi realita tersebut, yaitu: pemahaman terhadap hukum Allah yang terdapat dalam kitab-Nya maupun (Sunnah) Rasul-Nya.

Kemudian dia menggabungkan dua jenis pemahaman tersebut.

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan kemampuannya dalam hal ini; maka (kalau benar) dia mendapat dua pahala atau (kalau salah) dia mendapat satu pahala. Maka yang dinamakan ‘Aalim (orang yang berilmu) adalah: orang yang mengetahui realita dan mempelajarinya, kemudian pemahamannya (terhadap realita) ini dia gunakan untuk mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya (dalam perkara-perkara tersebut)…

Barangsiapa memperhatikan syari’at dan hukum-hukum para Shahabat (Nabi), maka dia akan mendapatkannya dipenuhi dengan (metode) ini. Dan barangsiapa yang tidak menempuh (jalan) ini; maka dia akan menyia-nyiakan hak manusia dan menisbatkan (ketidak adilan) tersebut kepada syari’at (Islam) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.”

[“I’laamul Muwaqqi’iin” (I/165-166-cet. III)]

(2)- Imam Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- ditanya:

Apa pendapat anda tentang orang yang memperingatkan agar menjauhi dari membaca kitab-kitab para Da’i mu’ashirin (zaman sekarang) dan orang ini berpendapat untuk mencukupkan diri dengan kitab-kitab Salaf dan mengambil Manhaj dari mereka?

Kemudian, bagaimana pandangan yang benar atau yang mencakup tentang kitab-kitab para ulama Salaf -rahimahumullaah- dan kitab-kitab para da’i mu’ashirin (zaman sekarang)…?

Maka, Imam Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- menjawab:

“Saya berpendapat bahwa: mengambil Dakwah dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah di atas segalanya -dan tentunya ini pendapat kita semua; tanpa diragukan lagi-. Kemudian setelah itu: (mengambil) apa yang datang dari Khulafa-ur Rasyidin, dan dari para Shahabat, serta dari para Imam Islam yang terdahulu.

Adapun hal-hal yang dibicarakan oleh (para ulama/da’i) muta-akhirin (zaman belakangan) dan mu’ashirin (zaman sekarang); maka itu mencakup hal-hal yang mereka sendiri lebih mengetahuinya. Jika seseorang bisa memanfaatkan kitab-kitab mereka dari segi ini; maka sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak.

Kita tahu bahwa mu’ashirin mengambil dari para ulama terdahulu; jadi kita pun mengambil (dari ulama terdahulu) seperti mereka. Akan tetapi, ada perkara-perkara kontemporer yang mereka (para mu’ashirin) lebih mengetahuinya dari pada kita, ditambah lagi: perkara-perkara tersebut belum terjadi di zaman Salaf.

Oleh karena itulah saya berpendapat: Hendaknya seseorang menggabungkan dua kebaikan tersebut:

Pertama: dia bersandar kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Kedua: (bersandar) kepada perkataan Salafush Shalih dari kalangan Khulafa-ur Rasyidin, dan dari para Shahabat, serta dari para Imam Islam. Kemudian kepada apa yang ditulis oleh mu’ashirin tentang perkara-perkara kontemporer yang terjadi di zaman mereka dan belum terjadi di zaman Salaf.”

[“Kitaabul ‘Ilmi” (hlm. 217)]

CATATAN:

Dari sini kita mengetahui apa yang dimaksudkan dan diinginkan oleh para ulama dalam pembahasan Fiq-hul Waaqi’ (Fiqih tentang realita dan permasalahan kontemporer).

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullah- berkata -dalam “Ma’a Muhadditsil ‘Ashr” (hlm. 64-65)-:

“Kalimat Fiq-hul Waaqi’ menurut para ulama tidaklah seperti kalimat Fiq-hul Waaqi’ zaman sekarang menurut para da’i!

Kalimat Fiq-hul Waaqi’ menurut para ulama adalah mirip dengan suatu bentuk dari kaidah “Ushuul” yang masyhur:

الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

“Menghukumi sesuatu adalah cabang dari gambaran darinya.” [Yakni: seseorang bisa menghukumi sesuatu: setelah dia mempunyai gambaran tentang sesuatu tersebut]

Inilah Fiq-hul Waaqi’; yakni: memahami realita berbagai permasalahan dan mengetahui hukum-hukumnya.

Akan tetapi pada zaman sekarang: Fiq-hul Waaqi’ telah menempuh jalan lain dan makna yang lain! Yaitu: MENGIKUTI POLITIK, BERITA-BERITA, OPINI-OPINI POLITIKUS, PREDIKSI-PREDIKSI POLITIK dan yang semisalnya!

Dan Syaikh Al-Albani punya…Risalah kecil dengan judul “Su-aal Wa Jawaab Haula Fiq-hul Waaqi’ (Tanya-Jawab Seputar Fiq-hul Waaqi’)”…Inti dari Risalah ini adalah: bahwa MENYIBUKKAN MANUSIA DENGAN POLITIK DAN DENGAN BERITA-BERITA POLITIK: BUKANLAH SUATU HAL YANG DITUNTUT DARI MEREKA…

JIKA KITA MENYIBUKKAN ORANG-ORANG AWAM DENGAN POLITIK, DAN DENGAN BERITA-BERITA POLITIK, SERTA KEJADIAN-KEJADIANNYA, DAN KITA MEMALINGKAN MEREKA DARI HAL YANG LEBIH PENTING BAGI MEREKA -YAITU: BERIBADAH KEPADA ALLAH DAN MENTAUHIDKAN ALLAH-: MAKA (PERBUATAN SEMACAM INI) ADALAH MENYELISIHI HUKUM-HUKUM SYARI’AT, (MENYELISIHI) AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH.”

-Lihat juga: Fiq-hul Waaqi’ (Fiqih Realita & Masalah Kontemporer), karya Ahmad Hendrix, yang dilampirkan di “Al-Maqaalaat” (III/161-225)-

[9]- Setan menghiasi bagi seorang insan: apa yang dia inginkan dan apa yang berputar dalam fikiran.

Dalam ayat di atas Allah -Ta’aalaa- berfirman:

قَالَ يَا بُنَيَّ لا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Dia (ayahnya) berkata: “Wahai anakku!  Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”.” (QS. Yusuf: 4-5)

“Dan ini adalah pintu dari tipu daya Syaithan yang terbesar yang dia masuk melaluinya menuju anak Adam (manusia). Karena sungguh, dia (setan) berjalan sesuai peredaran darah (seorang hamba) sampai dia masuk kepada apa yang diinginkan jiwanya, dia bercampur dengan (jiwa) tersebut dan menanyakan apa yang disukai dan diinginkannya. Kalau dia (setan) sudah mengetahui; maka dengannya dia akan mengalahkan hamba dan memasukinya dari pintu ini.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 184- Mawaaridul Amaan)]

Iyas bin Mu’awiyah (seorang tabi’in, wafat th. 122 H) berkata:

“Tidak ada seorang pun yang tidak mengetahui kekurangan dirinya; melainkan dia adalah seorang yang dungu.”

[“Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘Alal Khalaf” (hlm. 61)]

Maka, hendaknya kita benar-benar memperhatikan kekurangan terbesar yang ada pada diri kita; agar kita mengetahui bahwa: dari arah situlah kira-kira setan akan masuk untuk mengalahkan kita. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan; mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat.” (QS. Al-A’raaf: 201)

Yakni: “Mereka melihat dari arah mana mereka didatangi (oleh setan) dan mereka (juga) melihat bagaimana cara untuk meloloskan diri dari dosa yang mereka terjatuh kedalamnya, sehingga mereka bersegera untuk bertaubat dengan taubat yang “Nashuuhaa” (semurni-murninya), maka kembalilah mereka kepada kedudukan (tinggi) mereka yang semula, dan kembalilah setan dalam keadaan hina dan kalah.”

[“Al-Qawaa-‘idul Hisaan” (hlm. 44)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar