Minggu, 02 April 2017

FAEDAH KE-3, KE-4, & KE-5

FAWAA-ID SURAT YUSUF (2)

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur'an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”  (QS. Yusuf: 2)

[3]- Penetapan sifat “tinggi” bagi Allah, karena Dia telah “menurunkan” Al-Qur’an; berarti Dia ada di atas.

[Lihat: “Syarh al-‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah” (hlm. 182 & 285-288), karya Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi -rahimahullaah-]

“Dan dalil-dalil tentang terpisahnya Allah dari makhluk-Nya serta ketinggian Allah atas seluruh makhluk-Nya: adalah dalil-dalil akal yang sesuai dengan fithrah; yang menghasilkan ilmu yang pasti, adapun dalil-dalil sam’iyyah (dari syari’at); maka mendekati seribu dalil. Maka orang yang ingin mentakwilnya; harus bisa menjawab keseluruhan-nya, dan tidak mungkin dia bisa menjawab -walapun sebagiannya saja- dengan jawaban yang benar.”

[“Ash-Shawaa-‘iq Al-Mursalah” (I/294-295), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

[4]- Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab: “Karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas dan paling luas, serta paling bisa (digunakan) untuk menyampaikan makna-makna yang ada di dalam jiwa.”

[“Tafsiir Ibni Katsiir” (IV/365)]

Sehingga hal itu mendorong kita untuk (1)semangat dalam mempelajari bahasa Arab, sekaligus (2)mencegah kita dari sikap ujub ketika kita menguasai sebagian darinya, karena yang tidak kita kuasai; masih lebih banyak dan lebih luas lagi. Maka (3)tidak selayaknya seseorang yang baru sedikit tahu tentangnya; kemudian dia tampil untuk menjadi “Khuthobaa’” yang ceramah di mana-mana. Wallaahu A’lam.

Memang benar “bahwa yang dibebani tugas untuk berdakwah mengajak kepada Allah adalah:

- setiap muslim dan muslimah -sesuai dengan kemampuan dan sesuai kadar ilmu-; dan asal kewajiban ini tidak dikhususkan untuk para ulama, karena itu merupakan kewajiban atas semua orang sesuai dengan kemampuannya.

- [akan tetapi ada Dakwah] yang dikhususkan untuk para ulama; yaitu: menyampaikan rincian-rincian tentang Islam, hukum-hukumnnya, makna-maknanya yang pelik, dan permasalahan-permasalahan ijtihadiyyah; hal itu dikarenakan mereka (para ulama) memiliki pengetahuan terhadap masalah-masalah, perkara-perkara parsial, perkara-perkara yang prinsip dan perkara-perkara yang cabang.”

["Muqawwimaat Ad-Daa'iyah An-Naajih" (hlm. 91), karya Syaikh Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani -hafizhahullaah-]

[5]- Buah yang diinginkan dari Al-Qur’an adalah: memahaminya.

Allah sebutkan dalam ayat di atas:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur'an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”  (QS. Yusuf: 2)

Dan Allah telah mencela orang-orang yang tidak memahaminya dan tidak berusaha untuk memahaminya. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka tidakkah mereka menghayati (men-tadabburi) Al Qur'an, ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/24)]

“Dan merupakan suatu hal yang sudah dimaklumi bahwa maksud dari setiap perkataan adalah: untuk difahami -bukan hanya (diucapkan) lafazh-lafazhnya saja-, maka Al-Qur’an lebih berhak lagi (untuk difahami).

Lagi pula, secara umum tidak mungkin suatu kaum membaca sebuah kitab tentang cabang ilmu seperti: kedokteran dan hitung; kemudian mereka tidak mencari penjelasannya. Apalagi Kalamullah -Ta’aalaa- yang merupakan penjagaan bagi mereka, dengannya mereka selamat dan mendapat kebahagiaan, serta (dengannya) menjadi tegak agama dan dunia mereka?”

[“Majmuu’ Fataawaa” (XIII/332), milik Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah-]

TAMBAHAN (diambil dari “Al-Maqaalaat” (I/37-40), karya Ahmad Hendrix):

(1)- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ

“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati (mentadabburi) ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Shaad: 29)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah- berkata dalam tafsirnya:

“Inilah hikmah diturunkannya (Al-Qur’an); yaitu: agar manusia men-tadabburi ayat-ayatnya, sehingga mereka dapat mengeluarkan ilmu yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut, serta memperhatikan rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya. Karena dengan mentadabburinya, memperhatikan makna-maknanya, dan mengulang-ulang “Tafakkur” (memikirkan) ayat-ayat Al-Qur’an berkali-kali; dengan itu semua maka akan diraih keberkahan Al-Qur’an dan kebaikannya.”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 712)]

(2)- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Tidak ada hal yang lebih bermanfaat bagi hati selain membaca Al-Qur’an dengan tadabbur dan “Tafakkur”…

Kalau lah manusia mengetahui (manfaat) yang terdapat pada membaca Al-Qur’an dengan tadabbur; tentulah mereka akan sibuk dengannya dan meninggalkan yang lainnya…

Karena membaca Al-Qur’an dengan “Tafakkur” merupakan pokok kebaikan hati…

Oleh karena itulah, Allah menurunkan Al-Qur’an agar ditadabburi, difikirkan, kemudian diamalkan, bukan sekedar untuk dibaca akan tetapi berpaling darinya (tidak difahami dan diamalkan-pent).

Hasan Al-Bashri berkata: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi mereka (manusia) menjadikan bacaannya sebagai amalan (yakni: mencukupkan amalan hanya dengan membacanya saja-pent).”.”

[“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/550-552)]

(3)- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata:

“Janganlah (seseorang) menjadikan semangat-nya dalam ilmu-ilmu yang telah menghalangi kebanyakan manusia dari hakikat-hakikat Al-Qur’an. Apakah: dengan was-was dalam mengeluarkan huruf-hurufnya, atau “Tarqiiq”, “Tafkhiim”, “Imaalah”, mengucapkan “Madd Thawiil”, “Qhashiir” dan “Mutawassith”, dan lain-lain. Maka sungguh, hal-hal ini menghalangi hati dan memotongnya dari memahami maksud Allah dari firman-Nya. Demikian juga kesibukkan dalam mengucapkan:

أَأَنْذَرْتَهُمْ

Dan (sibuk dalam masalah) men-dhommah-kan huruf Miim dalam:

عَلَيْهِمْ

dan menyambungnya dengan huruf Waawu, atau (masalah) meng-kasroh-kan huruf Raa’ atau men-dhommah-kannya, dan (masalah-masalah) yang semisalnya. Demikian juga (sibuk dengan) memperhatikan nada dan memperbagus suara.”

[“Majmuu’ul Fataawa” (XVI/50)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar