Minggu, 02 April 2017

FAEDAH KE-16 & KE-17

FAWAA-ID SURAT YUSUF (7)

[16]- Banyaknya jumlah bukanlah ukuran untuk kemanfaatan, bahkan sering mendatangkan tipuan (dengan munculnya sifat ‘ujub).

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh ayah kita dalam kekeliruan yang nyata.”.” (QS. Yusuf: 10)

Saudara-saudara Yusuf -‘alaihis salaam- berfikiran seperti umumnya orang awam; bahwa jumlah mereka yang banyak (segolongan yang kuat) itulah yang akan bermanfaat, dan mereka mengira bahwa bapak mereka juga berfikiran demikian. Padahal, orang-orang yang mulia; berbeda sudut pandangnya -dalam masalah keutamaan- dari orang-orang yang di bawah mereka.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/107-108)]

TAMBAHAN:

(1)- Kemenangan Kaum Muslimin Bukan Dengan Banyaknya Jumlah

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa kaum muslimin dikepung kaum kafirin; padahal kaum muslimin banyak jumlahnya, beliau bersabda:

((يُوْشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا)) فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: ((بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلٰكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمُ الْوَهْنَ)) فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ! وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: ((حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ))

“Hampir tiba saatnya umat-umat (lain) mengerumuni kalian (kaum muslimin) seperti orang-orang yang akan makan mengerumuni bejana (makanan)nya.” Ada yang bertanya: Apakah dikarenakan jumlah kami pada waktu itu adalah sedikit? Beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu banyak, akan tetapi keadaan kalian seperti yang dibawa arus air. Dan sungguh, Allah akan mencabut dari dada musuh kalian: rasa takut terhadap kalian, serta Allah akan timpakan “Al-Wahn” di dalam hati kalian.” Ada yang bertanya: Wahai Rasululullah! Apakah “Al-Wahn” itu? Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.”

[Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4297), dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- di dalam “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah” (no. 958)]

(2)- Allah akan memberikan pertolongan kepada kaum muslimin; jika mereka menolong (agama) Allah

Allah -Ta’aalaa- berfirman:



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah; niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)

“(Dan) sungguh, tidaklah kaum mukminin menolong (agama) Allah dengan cara yang lebih baik dibandingkan:

- Ikhlas kepada Allah -‘Azza Wa Jalla-­, dan

- “Mutaaba’ah” (mengikuti) Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-…

Dan usaha apa pun untuk mewujudkan (kemenangan) tersebut: tanpa melalui pintu Ikhlas -yang merupakan perbaikan ‘Aqidah- dan tanpa melalui pintu “Mutaaba’ah” -yang merupakan perbaikan amalan dengan (mengikuti) Sunnah-; maka usaha tersebut akan sia-sia, dan Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.

Dan Allah telah memberikan bagi kita: dua contoh besar dalam sejarah generasi pertama umat ini; yang di dalam keduanya tampak terluputnya kemenangan dari orang-orang yang menyia-nyiakan dua syarat ini.

CONTOH PERTAMA: Apa yang terjadi pada kaum muslimin pada Perang Hunain. Maka sungguh, sebagian Mujahidin melihat jumlah mereka yang banyak dan mereka lalai sampai mengatakan: “Kita tidak akan dikalahkan pada hari ini disebabkan jumlah kita yang sedikit.” Maka Allah timpakan kekalahan kepada mereka pada waktu yang pertama disebabkan perkataan ini; yang kalau seseorang terus mengikutinya; maka bisa mengantarkan kepada kurangnya keikhlasan. Dalam hal inilah turun firman Allah -Ta’aalaa-:

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ

“Sungguh, Allah telah menolong kamu (kaum mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu (membuat kamu ‘ujub), tetapi (jumlah yang banyak) itu sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.” (QS. At-Taubah: 25)

CONTOH KEDUA: Apa yang terjadi pada kaum muslimin pada Perang Uhud. Maka Allah menimpakan kekalahan pada perang ini disebabkan karena sebagian mereka melakukan dua maksiat saja: Yang pertama: karena mereka menyelisihi perintah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ketika mereka turun dari gunung yang mereka diperintahkan untuk menetapinya. (Maksiat) kedua: Mereka mengambil tebusan pada perang Badar padahal belum disyari’atkan. ‘Umar bin Al-Khaththtab -­radhiyallaahu ‘anhu- menyebutkan bahwa Allah menghukum mereka dengan sebab itu; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad (I/32-33) dan lainnya, dan itu Shahih. Maka ini adalah kekurangan dari segi “Mutaaba’ah”. Maka dalam hal ini turun firman Allah -Ta’aalaa-:

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar) kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran: 165)

Semua (kekalahan) ini terjadi pada zaman generasi terbaik dari umat ini secar mutlak, bahkan pada zaman umat yang terbaik di antara umat-umat para nabi; yang Allah firmankan tentang generasi ini:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ...

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali ‘Imran: 110)

Mereka (para Shahabat) adalah yang paling sempurna agamanya, dan paling baik dalam keikhlasan dan “Mutaaba’ah”. Walaupun demikian; akan tetapi mereka dicela -di dalam Al-Qur’an- disebabkan satu atau dua kemaksiatan yang mereka lakukan; dimana kaum muslimin -pada zaman sekarang- telah terjatuh kedalam kemaksiatan berkali-kali -sampai tidak terhitung- dalam satu hari. Kemudian (dengan keadaan yang demikian) beberapa orang yang berambisi: berkhayal untuk mendapatkan kemenangan untuk umat Islam sebelum terpenuhi syarat-syaratnya?! BAHKAN TERKADANG MANHAJ SEBAGIAN MEREKA ADALAH: WAJIBNYA TIDAK PERDULI TERHADAP KEJELEKAN WALAUPUN DALAM MASALAH ‘AQIDAH; DENGAN ALASAN AGAR TIDAK ADA YANG MELEMAHKAN JIHAD!!!”

[“Min Kulli Suuratin Faa-idah” (hlm. 267-269), karya Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani -hafizhahullaah-]

[17]- Tujuan yang mulia harus dilakukan dengan wasilah (perantaraan) yang juga mulia.

Allah -Ta’aalaa- berfirman -tentang perkataan saudara-saudara Yusuf-:

اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ

“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik.”.” (QS. Yusuf: 9)

Saudara-sadura Yusuf -‘alaihis salaam- menginginkan agar perhatian ayah mereka tertumpah pada mereka; dimana mereka bisa berbakti kepadanya, sehingga dia pun akan mencintai mereka dan mereka pun mencintainya. Untuk meraih tujuan ini, mereka harus menghilangkan penghalangnya; yaitu: Yusuf; yang lebih dicintai oleh bapak mereka.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/122-123)]

Manusia sering terkecoh dengan niat baik mereka dan melupakan amalan lahiriahnya; apakah sudah baik juga ataukah belum?

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah memberikan dua kaidah -dalam dua haditsnya- yang menjadi timbangan untuk amalan lahir dan batin.

Maka, sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

إِنَّـمَا الأَعْمَالُ بِالـنِّــيَّـاتِ وَإِنَّـمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَـوَى...

“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang diniatkannya…”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1) dan Muslim (no. 1907), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-]

Adalah sebagai timbangan amalan batin.

Sedangkan sabda beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak ada contohnya dari urusan (agama) kami; maka ia tertolak.”

[Shahih: HR. Muslim (no. 1718 (18))]

Sebagai timbangan amalan lahiriyah.

[Lihat: ‘Ilmuu Ushuulil Bida’ (hlm. 59-63)]

Jadi, kebaikan harus dilakukan dengan cara yang benar.

Maka, (1)niat yang ikhlas -yakni: beribadah hanya karena Allah saja-; harus disertai dengan (2)Ittibaa’ -yakni: mengikuti tata cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Inilah dua syarat agar amalan itu bisa diterima oleh Allah -Subhaanaahu Wa Ta’aalaa-. Kalau seseorang hanya mengandalkan keikhlasan dan niat yang baik, akan tetapi tanpa dibarengi dengan usaha agar tepat dengan Syari’at; maka amalannya akan tertolak dan dia tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan berupa kebaikan.

Hal ini telah diingatkan oleh Shahabat yang mulia: ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallaahu ‘anhu- dengan perkataannya:

وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan; akan tetapi tidak mendapatkannya.”

[Diriwayatkan oleh Ad-Darimi (no. 210-cet. Daarul Ma’rifah). Lihat: “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah” (no. 2005)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar