Minggu, 02 April 2017

FAEDAH KE-18

FAWAA-ID DARI SURAT YUSUF (8)

[18]- PERKATAAN YANG BENAR TERKADANG DIGUNAKAN UNTUK MAKSUD YANG JELEK

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ * أَرْسِلْهُ مَعَنَا غَدًا يَرْتَعْ وَيَلْعَبْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ * قَالَ إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَأَنْتُمْ عَنْهُ غَافِلُونَ * قَالُوا لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذًا لَخَاسِرُونَ

“Mereka berkata: “Wahai ayah kami! Mengapa engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami semua menginginkan kebaikan baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi; agar dia bersenang-senang dan bermain-main, dan kami pasti menjaganya.” Dia (Ya’qub) berkata: “Sesungguhnya kepergian kamu bersama dia (Yusuf) sangat menyedihkanku dan aku khawatir dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya.” Mereka berkata: “Sungguh, jika dia dimakan serigala -padahal kami kelompok (yang kuat)-; kalau demikian tentu kami orang-orang yang rugi.”.” (QS. Yusuf: 11-14)

Perkataan saudara-saudara Yusuf -‘alaihis salaam- bahwa mereka adalah orang-orang yang rugi apabila serigala sampai memakan Yusuf: ini adalah “Haqq” (benar), akan tetapi hal ini mereka katakan dalam rangka untuk mewujudkan tujuan jelek mereka -yaitu: agar mereka bisa membuang Yusuf-.

Demikian juga Ahlul Bid’ah; mereka senantiasa menggunakan keumuman dari dalil-dalil; dan keumuman-keumuman ini adalah “Haqq” (benar), akan tetapi mereka menempatkannya pada maksud dan tujuan mereka yang rusak. Seperti yang dilakukan oleh Khawarij ketika berdalil dengan:

...إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ...

“…Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah…” (QS Yusuf: 40)

Maka, ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu- berkata:

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيْـدَ بِـهَا بَاطِلٌ

“Kalimat yang “Haqq” (benar) akan tetapi yang dimaksudkan adalah bathil.”

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/182) dan “Shahiih Muslim” (II/749)]

TAMBAHAN:

Dari sini  kita juga mengetahui bahwa perkataan Ahlul Bid’ah terkadang -secara lahiriah- adalah benar; akan tetapi -dikarenakan pondasi mereka yang rusak- maka kita bawa “kebenaran” mereka kepada pondasi mereka yang rusak, berbeda dengan perkataan Ulama Ahlus Sunnah; justru sebaliknya: yang -secara lahiriyah- nampak salah; maka kita kembalikan kepada pondasi Sunnah mereka.

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- berkata:

“Akan tapi kita mengetahui ‘Aqidah para imam tersebut, ‘Aqidah mereka adalah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan Syaikh Al-Albani termasuk Imam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka yang masih “Mujmal” (global) dari perkataannya -yang memberi persangkaan kesalahan-: maka wajib dibawa kepada yang sudah “Mufashshal” (terperinci) yang menjelaskan kebenaran dan menyingkapnya.

Dan barangsiapa yang mengaku bahwa kaidah “membawa perkataan ulama yang masih mujmal (global) kepada yang terperinci” adalah kaidah batil; maka perkataannya itulah yang bathil. Dan dalil-dalil dari perkataan Ulama Ahlus Sunnah atas pondasi ini banyak sekali; tidak terhitung...

AKAN TETAPI KITA TIDAK MENGGUNAKAN KAIDAH INI BERSAMA MUBTADI’ (AHLUL BID’AH); DIKARENAKAN KESESATAN MEREKA ADALAH SAMA -BAIK SEBELUM MAUPUN SESUDAHNYA-; BAIK SECARA GLOBAL MAUPUN RINCI.”

[“Ma’a Muhadditsil ‘Ashr” (hlm. 158). Dan lihat: “Ash-Shawaa-‘iqul Mursalah” (I/384-397)]

FAEDAH:          

Kita -dan orang-orang sebelum kita- juga mengalami hal semacam ini dalam kehidupan sehari-hari; dimana Ahlul Bid’ah dan para pengikutnya menyematkan julukan-julukan jelek kepada para pengikut Sunnah dengan tuduhan-tuduhan mereka:

- menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,

- tidak mau bershalawat kepada Nabi,

- tidak mengagungkan para wali dan orang-orang shalih,

- mengingkari Al-Qur’an,

- dan lain-lain.

Kalimat mereka adalah benar; yakni: bahwa perbuatan-perbuatan di atas adalah kejelekan -bahkan sebagiannya kekufuran-. Akan tetapi kalau ditelusuri kalimat-kalimat “global” di atas; ternyata mereka bawa kepada “rincian” bid’ah-bid’ah mereka. Maka:

- Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; maksud mereka: menetapkan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang Dia dan Rasul-Nya sifatkan; dengan tanpa ta’wil (memalingkan dari makna aslinya). Adapun mereka; maka mereka menta’wil (memalingkan dari makna aslinya); sehingga Ahlus Sunnah yang menetapkan sesuai dengan lahiriahnya dianggap menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

- Tidak mau bershalawat kepada Nabi; maksud mereka: tidak mau bernanyi setelah adzan dengan nyanyian-nyanyian yang mereka sebut sebagai shalawat.

- Tidak menghormati para wali dan orang-orang shalih; maksud mereka: tidak mau melakukan perjalanan untuk berziarah ke kubur mereka (padahal ada larangan langsung dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- untuk melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid).

- Mengingkari Al-Qur’an; maksud mereka: tidak mau membaca Yasin dan melakukan acara Bid’ah setelah kematian -biasanya selama 7 (tujuh) hari; yang mereka namakan sebagai “Tahlilan”-.

-Dan seterusnya...

Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- berkata:

“Maka bagi seseorang yang ingin menyingkap kesesatan mereka dan orang-orang semisal mereka; kewajibannya adalah: JANGAN MENYETUJUI LAFAZH-LAFZAH GLOBAL MEREKA; SEBELUM JELAS MAKNANYA DAN DIKETAHUI MAKSUDNYA.”

[“Ash-Shawaa-‘iqul Mursalah” (III/996]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar