Minggu, 02 April 2017

FAEDAH KE-1 & KE-2

FAWAA-ID SURAT YUSUF (1)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ

“Alif, Laam, Raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Qur'an) yang jelas.” (QS. Yusuf: 1)

[1]- Mu’jizat Al-Qur’an dalam huruf-huruf “Muqaththa’ah” (“Aliif Laam Raa”, “Aliif Laam Miim”, “Thaahaa”, “Qaaf”, “Nuun”, dan lain-lain).

Karena “disebutkannya huruf-huruf ini di awal beberapa Surat: untuk menjelaskan tentang Mu’jizat Al-Qur’an, dan bahwa para makhluk tidak mampu untuk menentangnya dengan yang semisalnya. Padahal Al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf “Muqaththa’ah” ini yang mereka (orang-orang Arab) biasa berbicara dengannya.

Oleh karena itulah: Setiap Surat yang diawali dengan huruf-huruf ini; pasti di dalamnya disebutkan: pembelaan terhadap Al-Qur’an dan penjelasan tentang Mu’jizat serta keagungannya. Dan ini diketahui dengan meneliti (setiap Surat yang diawali dengannya), dan itu terdapat dalam 29 (dua puluh sembilan) Surat.”

[“Tafsiir Ibni Katsiir” (I/161)]

Dan di antara yang menunjukkan kemu’jizatan Al-Qur’an adalah:

1. Kefasihan dan bagusnya susunan kalimat-kalimatnya.

2. Mengandung kabar dari umat-umat yang terdahulu yang waktu itu hanya diketahui oleh segelintir Ahlul Kitab; sedangkan Nabi ­-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak pernah belajar dari mereka.

3. Kabar tentang hal-hal yang akan terjadi di masa datang.

4. Perasaan tenang dan khusyu’ yang datang ketika seseorang membacanya atau mendengarkannya.

5. Tantangan yang terus berjalan sampai sekarang, seperti: Tantangan “Mubaahalah” kepada Ahlul Kitab (QS. Al-Baqarah: 94-95, Ali ‘Imran:  61, dan Al-Jumu’ah: 6-7) [“Mubaahalah” adalah: saling mendo’akan kebinasaan atas orang yang membuat kedustaan]

[Lihat: “Fat-hul Baarii” (VI/711- cet. Daarus Salaam), karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani -rahimahullaah-]

[2]- Al-Qur’an itu jelas dan mudah.

Allah sebutkan dalam ayat di atas:

...تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ

“…Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Qur'an) yang jelas.” (QS. Yusuf: 1)

Dalam ayat yang lain Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)

“Kemudahan tersebut mencakup beberapa hal:

Pertama: Kemudahan lafazh-lafzahnya untuk dihafalkan.

Kedua: Kemudahan makna-maknanya untuk difahami.

Ketiga: Kemudahan perintah dan larangannya untuk dipatuhi.”

[“Ash-Shawaa-‘iq Al-Mursalah” (I/331), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

 “Wajib diketahui bahwa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan kepada para Shahabatnya: makna-makna Al-Qur’an; sebagaimana beliau telah menjelaskan bagi mereka: lafazh-lafazhnya, sebagaimana firman Allah -Ta’aalaa-:

... وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ...

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan/menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka…” (QS. An-Nahl: 44)

Maka ini mencakup keduanya (memberikan penjelasan terhadap lafazh dan makna Al-Qur’an-pent).

Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Habib) As-Sulami (wafat  th. 73 H) telah berkata: Telah menyampaikan kepada kami: orang-orang (para Shahabat Nabi) yang telah mengajarkan Al-Qur’an kepada kami -seperti ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lain-: Bahwa dahulu, ketika mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; mereka tidak melampauinya sampai mereka mempelajari kandungannya berupa ilmu dan amal. Mereka berkata: Maka kami mempelajari Al-Qur’an, dan ilmu serta amal sekaligus.”

[“Majmuu’ Fataawaa” (XIII/331), milik Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah-]

“Dan penjelasan yang diberikan oleh Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang disebutkan dalam ayat (QS. An-Nahl: 44)…ada tiga jenis: (penjelasan dengan) perkataan, perbuatan dan taqriir (persetujuan).”

[“Da’watunaa” (hlm. 62), milik Imam Al-Albani -rahimahullaah-]

TAMBAHAN (diambil dari Syarah Ushulus Sunnah, karya Ahmad Hendrix):

Maka Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjelaskan Al-Qur’an dengan perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau. Kadang dengan:

(1)- menguatkan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an; seperti: di dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk Shalat, maka beliau pun memerintahkan untuk Shalat, di dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk Zakat, maka beliau pun memerintahkan untuk zakat, dan seterusnya.

(2)- Atau beliau menjelaskan hukum yang masih global dalam Al-Qur’an, seperti: di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan bagaimana tata cara Shalat, maka beliau pun menjelaskannya dengan perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau, didalam Al-Qur’an tidak dijelaskan tentang rincian Zakat dan Manasik Haji, maka beliau pun menjelaskannya.

(3)- Dan juga beliau membawakan hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, seperti: beliau melarang menikahi seorang wanita beserta (mempoligaminya dengan) bibinya, di dalam Al-Qur’an hanya terdapat larangan menikahi seorang wanita berserta (mempoligaminya dengan) saudarinya.

Ketiga bentuk penjelasan beliau ini harus diambil dan tidak boleh ditolak.

[Lihat: “Ar-Risaalah” (no. 299-308), karya Imam Asy-Syafi’i -rahimahullaah- dan “I’laamul Muwaqqi’iin” (hlm. 447-449-cet. Daar Thayyibah), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

Maka semua hadits shahih yang berasal dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- harus diterima dan diamalkan, karena beliau memang diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur’an, dan orang yang taat kepada beliau; maka dia telah taat kepada Allah. Allah Ta’aalaa berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ...

“Barangsiapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah…”(QS. An-Nisaa’: 80)

Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- telah memerintahkan kepada kita untuk mengambil semua yang dibawa oleh beliau dan menjauhi segala yang dilarang oleh beliau -‘alaihish shalaatu was salaam-, Allah -Ta’aalaa- berfirman:

  ...وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr:  7)

Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah memperingatkan akan adanya orang-orang yang tidak mau mengambil Sunnah beliau dengan beralasan mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. Beliau bersabda:

أَلَا إِنِّـيْ أُوْتِـيْـتُ الْـكِـتَابَ وَمِـثْـلَـهُ مَـعَـهُ، أَلَا يُـوْشِـكُ رَجُـلٌ شَـبْـعَـانُ عَلَى أَرِيْـكَـتِـهِ؛ يَـقُـوْلُ: عَـلَـيْكُمْ بِـهٰـذَا الْـقُـرْآنِ، فَـمَا وَجَـدْتُـمْ فِـيْـهِ مِنْ حَـلَالٍ فَـأَحِـلُّـوْهُ، وَمَا وَجَـدْتُـمْ فِـيْـهِ مِنْ حَـرَامٍ فَحَـرِّمُـوْهُ...

“Ketahuilah! Sungguh aku diberi Kitab (Al-Qur’an) dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah! Hampir-hampir ada seorang yang kenyang di atas dipannya kemudian berkata: “Hendaklah kalian berpegang kepada Al-Qur’an (saja), apa yang kalian dapati halal didalamnya; maka halalkanlah, dan apa yang kalian dapati haram didalamnya; maka haramkanlah.”…”

[HR. Abu Dawud (no. 4604) dan lainnya, dengan sanad yang shahih]

Maka apa yang beliau kabarkan itu benar-benar terjadi sejak zaman dahulu sampai sekarang, yakni: adanya orang-orang yang menolak Sunnah beliau dengan berbagai alasannya:

(1)- baik menolak Sunnah secara keseluruhan,

(2)- atau menolak Sunnah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an,

(3)- maupun menolak Sunnah dengan alasan hadits-nya adalah “Ahad” (bukan “Mutawatir”).

Telah kita ketahui bersama bahwa hadits-hadits Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sampai kepada para Imam Ahli Hadits dengan perantaraan para perawi hadits -yang rangkaian para perawi hadits ini kemudian disebut sebagai sanad-. Maka tidak kita ingkari bahwa di antara sanad-sanad tersebut ada yang shahih (benar) berasal dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, ada yang dha’if (lemah) diragukan kebenarannya dari beliau, bahkan ada yang maudhu’ (palsu) dipalsukan atas nama beliau. Sehingga kita harus teliti terhadap ke-shahih-an setiap hadits, agar kita senantiasa hanya menggunakan hadits yang sah dari beliau.

Maka cara untuk bisa membedakan hadits yang shahih dari yang lainnya adalah:

1- Kalau hadits tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim; maka umumnya hadits tersebut adalah shahih.

2- Kalau hadits tersebut tidak terdapat didalam kedua kitab tersebut dan kita mempunyai kemampuan ilmu hadits, ilmu “Rijaal” (keadaan para perawi hadits) dan lain-lain; maka kita memeriksa sanad hadits tersebut berdasarkan kaidah-kaidah yang dibuat oleh para ulama ahli hadits; sehingga kita bisa menghukumi shahih atau tidaknya hadits tersebut.

3- Kalau kita tidak mempunyai ilmu hadits, maka kita mengambil perkataan para ulama ahli hadits yang men-shahih-kan hadits yang tidak terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim tersebut, seperti pen-shahih-an: Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban, Imam Hakim, Imam Adz-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, atau Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahumullaahu jamii’an-.

[Lihat: “An-Nukat ‘Alaa Ibnish Shalaah” (I/449) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani -rahimahullaah-]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

1 komentar: