Minggu, 02 April 2017

FAEDAH KE-6 & KE-7

FAWAA-ID SURAT YUSUF (3)

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ

“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 3)

[6]- Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah dan pengajaran yang terbaik.

Sa’d bin Abi Waqqash -radhiyallaahu ‘anhu- berkata:

“Al-Qur’an turun kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau membacakannya kepada mereka (para Shahabat) beberapa waktu lamanya, kemudian mereka berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau membacakan kisah kepada kami.” Maka Allah -‘Azza Wa Jalla- menurunkan firman-Nya:

الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ

 “Aliif, Laam, Raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Qur’an) yang jelas.” (QS. Yusuf: 1)

Sampai firman-Nya:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ...

“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik…” (QS. Yusuf: 3) dan seterusnya ayat.

Maka beliau membacakannya kepada mereka (para Shahabat) beberapa waktu lamanya, kemudian mereka berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau membawakan perkataan untuk kami.” Maka Allah -‘Azza Wa Jalla- menurunkan firman-Nya:

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا...

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya)…” (QS. Az-Zumar: 23) dan seterusnya ayat.

Maka, setiap (mereka minta sesuatu yang baru-pent); beliau diperintahkan (untuk menjawabnya) dengan Al-Qur’an.”

[Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 6218- cet. Daarul Fikr), Al-Hakim (no. 3369- cet. Daarul Fikr), dan dia berkata: “Sanadnya Shahih” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi]

“Perhatikanlah Tarbiyah Rabbani dan Penjagaan Nabawi ini terhadap para Shahabat, dan anda pun telah mengetahui hasilnya pada mereka.

Dan bandingkanlah dengan Tarbiyah orang (zaman sekarang) yang MENGIKUTI SELERA ORANG-ORANG AWAM; DIMANA DIA MERUSAK MEREKA DENGAN BERITA-BERITA POLITIK DAN MEMBANGKITKAN (EMOSI) PARA PEMUDA TANPA ADA FAEDAHNYA SAMA SEKALI.”

[“Madaarikun Nazhar Fis Siyaasah” (hlm. 224- cet. VIII)]

[7]- Ilmu datang secara bertahap.

Dalam ayat di atas Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ

“…dan sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 3)

Dalam ayat yang lain Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfiman:

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu sebagai cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa  yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syuuraa: 52)

“Allah -Subhaanahu- telah mengabarkan bahwa beliau (Nabi Muhammad) -sebelum datangnya wahyu-; tidaklah mengetahui apakah iman dan apakah Kitab (Al-Qur’an) itu.”

[“Ash-Shawaa-‘iqul Mursalah” (II/734)]

“Kemudian Allah terus memberikan wahyu kepada beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, mengajari, dan menyempurnakan beliau, sampai beliau naik kepada kedudukan ilmu yang tidak bisa dicapai oleh orang-orang terdahulu maupun orang-orang kemudian. Maka beliau menjadi makhluk yang paling berilmu secara mutlak, paling mengumpulkan sifat-sifat kesempurnaan dan paling sempurna dalam sifat-sifat (sempurna) tersebut.”

[“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 201-202 -cet. Muassasah ar-Risaalah)]

“Demikian juga manusia; dia terus meningkat dalam tangga kesempurnaan; setingkat demi setingkat, sampai dia mencapai derajat kesempurnaan yang bisa dicapai oleh manusia semisalnya.”

[“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/365)]

Maka, Setiap Orang Hendaknya Berusaha Meningkatkan Keilmuan, Keimanan dan Keyakinannya.

TAMBAHAN (Diambil dari “Al-Maqaalaat” (II/105-108, Makalah Kelima Puluh Tujuh: Menuntut Ilmu Semaksimal Mungkin), karya Ahmad Hendrix.):

(1)- Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- أَخْبَرَ مُوسَى بِمَا صَنَعَ قَوْمُهُ فِي الْعِجْلِ؛ فَلَمْ يُلْقِ الأَلْوَاحَ، فَلَمَّا عَايَنَ مَا صَنَعُوْا؛ أَلْقَى الْأَلْوَاحَ، فَانْكَسَرَتْ

“(Mendapat) kabar itu tidak sama dengan melihat langsung, sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- mengabarkan kepada Musa apa yang diperbuat oleh kaumnya terhadap patung anak sapi, dan ketika itu (Musa) belum melemparkan lembaran-lembaran (Taurat). Akan tetapi ketika melihat langsung apa yang mereka perbuat; (Musa marah dan) melemparkan lembaran-lembaran itu sampai pecah (rusak).”

[Shahih: HR. Ahmad (no. 1842 & 2447- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Abi Hatim dalam Tafsiir-nya (no. 8998), Ibnu Hibban (no. 6223- cet. Daarul Fikr), dan Al-Hakim (no. 3330- cet. Daarul Fikr), dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa-. Dishahihkan oleh Imam Al-Albani -rahimahullaah- dalam “Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghiir” (no. 537)]

(2)- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Wahai Rabb-ku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang (mantap dengan imanku).” Allah berfirman: “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu, kemudian letakkan di atas masing-masing bukit: satu bagian, kemudian panggillah mereka; niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260)

(3)- Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah- berkata:

“Oleh karena itulah; ‘Ainul Yaqiin -yaitu: melihat langsung dengan mata kepala- lebih besar dari ‘Ilmul Yaqiin -yaitu: ilmu yang didapatkan dari pengabaran-. Dan yang lebih tinggi lagi dari keduanya adalah: Haqqul Yaqiin -yaitu: yang langsung dirasakan-.

Sehingga, selayaknya bagi seorang hamba untuk berusaha mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan tidak mencukupkan diri dengan ‘ilmul yaqin kalau memang dia mampu untuk mendapat ‘ainul yaqin; sebagaimana Ibrahim Al-Khalil -‘alaihis salaam- meminta kepada Allah agar Allah menunjukkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan yang sudah mati; AGAR BISA MENINGKAT DARI SATU ILMU MENUJU ILMU YANG LEBIH TINGGI LAGI.”

[“Al-Mu’iin ‘Alaa Tahshiil Aadaabil ‘Ilmi Wa Akhlaaqil Muta’allimiin” (hlm. 260)]

(4)- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i -rahimahullaah- berkata:

“Selayaknya bagi para penuntut ilmu untuk mencapai usaha yang maksimal dalam memperbanyak ilmu, dan bersabar atas segala penghalang dalam menuntutnya. Serta mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam mencapai ilmu; baik ilmu yang berupa “Nash” (lafazh dari dalil-dalil) maupun “Istinbaath” (pengambilan hukum dari lafazh). Serta berharap kepada Allah agar menolongnya dalam (menuntut ilmu) tersebut; karena kebaikan tidak akan didapatkan melainkan hanya dengan pertolongan-Nya.”

[“Ar-Risaalah” (hlm. 109, no. 45)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar