Minggu, 02 April 2017

FAEDAH KE-19

FAWAA-ID DARI SURAT YUSUF (9)

[19]- FIRASAT

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَجَاءُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ

“Dan mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) darah palsu. Dia (Ya’qub) berkata: Sebenarnya hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan yang buruk itu; maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)

Nabi Ya’qub -‘alaihis salaam- berfirasat bahwa anak-anaknya hanyalah ingin memisahkan antara dirinya dengan Yusuf, karena dia melihat adanya indikasi-indikasi dan dilihat dari keadaan serta mimpi Yusuf yang diceritakan kepadanya; yang kesemuanya mengarah kepada hal tersebut.

[Lihat: “It-haaful Ilf” (I/239-240) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 395- cet. Muassasah ar-Risaalah)]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

اِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ، فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ

“Hati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin; karena dia melihat dengan cahaya dari Allah.”

[HASAN: Ibnu ‘Abdil Barr dalam ”Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi” (no. 1197- tahqiiq Abul Asybal Az-Zuhairi), dan dihasankan oleh Syaikh Abul Asybal Samir Az-Zuhairi -hafizhahullaah- (beliau termasuk murid terbaik Syaikh Al-Albani dalam masalah hadits)]

“Maksudnya adalah: Seorang berilmu yang memiliki keutamaan. Wallaahu A’lam.”

FIRASAT SYAIKH AL-ALBANI -rahimahullaah-

[“Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi” (I/677- tahqiiq Abul Asybal Az-Zuhairi)]

Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani Al-Jaza-iri -hafizhahullaah- berkata:

“Dan perhatikanlah bagaimana firasat Syaikh Al-Albani ketika Partai "Jabhah" (di Al-Jaza-ir) menang dalam pemilu di parlemen, sampai hampir-hampir orang-orang yang merasa berhasil tersebut sepakat bahwa mereka sudah berjaya sampai ke puncaknya. Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid mengabarkan kepadaku -pada akhir tahun 1412 H- bahwa: beliau diberi kabar oleh Syaikh Salim Al-Hilali bahwa: dia waktu itu berada di sisi Syaikh Al-Albani ketika dikabari tentang kemenangan tersebut; Maka Syaikh Al-Albani (mengkritik dengan) mengatakan: “(Kemenangan) itu (bagaikan) busa sabun”, atau kalimat yang semisalnya. Kemudian saya berjalan menuju rumah Syaikh Salim Al-Hilali mencari sanad yang tinggi -dan (sanad) ini Shahih seperti matahari sebagaimana anda ketahui-. Maka beliau berkata: Syaikh Al-Albani (mengkritik dengan) mengatakan: “Ini (bagaikan) gelembung air”, dengan memastikan tanpa keraguan dimana tadinya Syakh Ali masih ragu kalimat pastinya -semoga Allah menjaga keduanya-, dan keduanya adalah terpercaya -alhamdulillaah-. Barangsiapa yang ragu; maka Syaikh masih hidup dan teleponnya juga tidak ditutup.

Maka -yang menjadi pertanyaan-: Apakah Syaikh (Al-Albani) tidak menyukai berdirinya Daulah Islam? Ataukah itu adalah firasat seorang mujtahid -YANG AKHIRNYA TAMPAK KEBENARAN BELIAU- DIMANA HAL ITU TIDAK BISA DIFAHAMI OLEH PENUNTUT ILMU BIASA -WALAUPUN TELAH MENGUMPULKAN BERITA-BERITA DARI BERBAGAI SURAT KABAR -?!

Maka, manakah dari dua kelompok tersebut yang lebih berhak bicara dalam masalah-masalah ini:

- Apakah penuntut ilmu YANG TIDAK BISA MEMILAH BERITA, DAN JUGA TIDAK BISA MEMBEDAKAN: MANA YANG BENAR DAN MANA YANG DUSTA, serta tidak bisa mencari solusinya bagi manusia “Itulah kadar ilmu mereka.” [QS. An-Najm: 30]

- Ataukah seorang ‘Alim mujtahid YANG SUDAH BERUSIA LANJUT, YANG TELAH TERDIDIK DENGAN DALIL-DALIL, DAN BERPENGALAMAN DALAM MENJALANI UJIAN-UJIAN KEHIDUPAN? “Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka; tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)” [QS. An-Nisaa’: 83]

Dan di dalam jawaban Syaikh Al-Albani terdapat tanda yang jelas atas kekuatan keimanannya terhadap yang ghaib dan keyakinannya terhadap kebenaran dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bawah beliau tidak tertipu oleh hasil-hasil dari realita selama (hasil-hasil tersebut) tidak dibangun di atas Syari’at -demikianlah yang kami sangka terhadap beliau-.

Seandainya orang-orang yang merasa berhasil itu mengalami ketika datang Dajjal menghidupkan orang yang mati di hadapan mereka dan mengeluarkan perbendaharaan bumi; (maka kira-kira bagaimana sikap mereka)? Ya Allah, kami mohon penjagaan dari-Mu.

Dan sungguh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi telah menjelaskan kepadaku -dalam pengakuan yang jujur- bahwa ketika sampai kepadanya perkataan Syaikh Al-Albani (yang mengomentari kemenangan Partai “Jabhah”); maka terlintas keraguan dalam dirinya, akan tetapi beliau memberikan alasan: “KITA MEMANG ANAK MUDA YANG MELIHAT DENGAN PANDANGAN YANG BERBEDA DENGAN PANDANGAN ORANG YANG BERILMU YANG MELIHAT DENGAN MATA HATI, maka aku katakan pada diriku sendiri: Seandainya Syaikh Al-Albani diam saja dan tidak mengkritik kemenangan mereka, karena mereka sudah berhasil -walaupun aku yakin mereka telah menyelisihi Manhaj Nabi-, akan tetapi (sekali lagi) KAMI MASIH MUDA … kemudian tidak berlalu waktu yang lama sampai kedudukan Syaikh Al-Albani semakin besar dalam diriku (karena terbukti kebenaran perkataan beliau).”

Saya (Syaikh ‘Abdul malik) berkata: Jazakallaahu Khairan, karena sungguh, kembali kepada kebenaran adalah sebuah keutamaan.”

[Madaarikun Nazhar Fis Siyaasah (hlm. 299-300- cet. I)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar