Senin, 29 Januari 2018

FAEDAH-FAEDAH TENTANG AL-QUR’AN


[1]- Al-Qur’an Menghapus Kitab-Kitab Sebelumnya
“Semua kitab terdahulu telah di-mansuukh (dihapus) dengan Al-Qur’an Al-‘Azhim. Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْـحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ...}
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan menjaganya…” (QS. Al-Maa-idah: 48)
Yakni: sebagai hakim atas (kitab-kitab sebelum)nya.”[1]
Ibnu Juraij (wafat th. 150 H) rahimahullaah berkata:
الْقُرْآنُ أَمِيْـنٌ عَلَى الْكُتُبِ الْمُتَقَدِّمَةِ، فَمَا وَافَقَهُ مِنْهَا؛ فَهُوَ حَقٌّ، وَمَا خَالَفَهُ مِنْهَا؛ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Al-Qur’an adalah penjaga kitab-kitab sebelumnya, isi dari (kitab-kitab) tersebut yang sesuai dengan Al-Qur’an; maka itu adalah haqq (kebenaran), dan yang menyelisihinya; maka itu adalah kebathilan.”[2]
[2]- Al-Qur’an Terjaga, Berbeda Dengan Kitab Sebelumnya
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{إِنَّا نَـحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَـحَافِظُوْنَ}
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
“Maka Allah Subhaanahu telah menjaganya; sehingga Al-Qur’an senantiasa terjaga. Dan Allah berfirman tentang (kitab) lainnya:
{...بِـمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتَابِ اللهِ...}
“…sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah…” (QS. Al-Maa-idah: 44)
Maka Allah serahkan penjagaannya kepada mereka; sehingga mereka mengganti dan melakukakan perubahan.”[3]
[3]- Al-Qur’an Berisi Tauhid
“Sungguh, semua ayat dalam Al-Qur’an adalah mengandung Tauhid, menjadi saksi atas Tauhid, dan mengajak kepada Tauhid. Karena Al-Qur’an berisi:
- Pengabaran tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya; [maka ini adalah Tauhid Rububiyyah dan Asma Wa Shifat]…
- Dakwah mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah saja; tidak ada sekutu bagi-Nya, dan meninggalkan segala sesuatu yang diibadahi selain Allah; [maka ini adalah Tauhid Uluhiyyah]…
- Perintah dan larangan, serta kewajiban untuk ta’at kepada Allah dalam perintah dan larangan-Nya; maka ini adalah hak-hak Tauhid dan penyempurnanya.
- Pengabaran tentang kemuliaan yang Allah berikan kepada orang-orang yang mentauhidkan-Nya dan ta’at kepada-Nya, dan apa yang Allah karuniakan kepada mereka di dunia, dan kemuliaan di akhirat; maka ini adalah balasan atas Tauhid.
- Pengabaran tentang orang-orang yang berbuat syirik, dan hukuman yang Allah berikan kepada mereka di dunia, serta adzab yang Dia timpakan di akhirat; maka ini adalah pengabaran tentang (balasan bagi) orang-orang yang keluar dari hukum Tauhid.”[4]
[4]- Akhlak Nabi Adalah Al-Qur’an
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa berkata:
فَإِنَّ خُلُقَ نَبِـيِّ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ الْقُرْآنَ
“Sungguh, akhlak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an.”[5]
Imam An-Nawawi rahimahullaah berkata:
“Perkataan ‘Aisyah: “Akhlak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah: Al-Qur’an.”; maknanya adalah: mengamalkan Al-Qur’an dan berhenti pada batasan-batasannya, beradab dengan adab-adabnya, mengambil pelajaran dari permisalan-permisalan dan kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an, mentadabburi Al-Qur’an, serta membacanya dengan bagus.”[6]
[5]- Al-Qur’an -Jika Ditadabburi- Akan Menjadi Obat Bagi Penyakit Hati
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْـمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ}
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Rabb-mu, dan (obat) penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)
Maka Al-Qur’an adalah obat bagi penyakit yang ada dalam hati manusia[7].
Dan inti dari penyakit-penyakit hati ada 2 (dua):
1. Syubhat; yaitu: penyakit hati yang merusak keilmuan seseorang sehingga perkara kebenaran menjadi samar baginya dan tercampur dengan kebatilan.
2. Syahwat; yaitu: penyakit hati yang merusak keinginan seseorang, sehingga kebenaran yang sudah dia ketahui ingin dia tinggalkan.
“Dan Al-Qur’an adalah obat bagi kedua penyakit tersebut.
(1)- Di dalam Al-Qur’an terdapat hujjah dan bukti pasti yang menjelaskan kebenaran dari kebathilan; sehingga: hilanglah penyakit syubhat yang merusak ilmu dan gambaran kebenaran. (Dengan hilangnya penyakit syubhat); maka seseorang bisa melihat segala sesuatu sesuai dengan hakikatnya.
Dan tidak ada satu kitab pun di kolong langit yang semisal dengan Al-Qur’an; yang mengandung bukti-bukti dan petunjuk terhadap tuntutan-tuntutan yang tinggi; berupa: Tauhid, penetapan sifat-sifat (Allah), penetapan hari kebangkitan dan juga kenabian, serta membantah agama-agama yang bathil dan pemikiran-pemikiran yang rusak. Sungguh, Al-Qur’an menjamin semua itu dan mencakupnya dengan segi paling sempurna dan terbaik, serta paling dekat dengan (pemahaman) akal dan paling fasih penjelasannya.
Maka Al-Qur’an benar-benar obat secara hakiki dari penyakit syubhat dan keraguan. Akan tetapi hal itu dapat dihasilkan jika ada pemahaman dan pengetahuan terhadap makna dari Al-Qur’an. Sehingga, barangsiapa yang Allah Ta’aalaa berikan rizki kepadanya untuk hal tersebut; maka dia akan melihat kebenaran dari kebathilan secara langsung dengan hatinya; layaknya dia melihat siang dan malam (dengan matanya)….
(2) Adapun pengobatan Al-Qur’an untuk penyakit Syahwat; maka dengan kandungan Al-Qur’an berupa: hikmah, nasehat yang baik, motivasi dan ancaman, ajakan zuhud terhadap dunia, dorongan untuk (cinta) akhirat, serta adanya permisalan dan kisah-kisah yang bisa memberikan berbagai pelajaran dan membuka mata hati; sehingga kalau hati yang selamat melihat kesemuanya itu: maka ia akan menginginkan hal yang memberikan kemanfaatan baginya di kehidupan dunianya dan akhiratnya, dan akan membenci hal-hal yang membahayakannya. Maka, hati akan menjadi cinta terhadap petunjuk dan membenci kesesatan.
Al-Qur’an akan menghilangkan berbagai penyakit yang akan mengarahkan kepada keinginan-keinginan yang rusak; sehingga Al-Qur’an akan memperbaiki hati dan memperbaiki keinginannya, maka hati pun akan kembali kepada fitrah asalnya. Dengan itu amalan-amalannya akan menjadi baik, layaknya kembalinya badan yang sehat dan normal kepada kondisinya semula. Sehingga hati ini tidak akan menerima kecuali kebenaran; layaknya bayi tidak akan menerima kecuali air susu.”[8]
[6]- Dibutuhkan Kesucian Hati Untuk Bisa Memahami Al-Qur’an
Allah Ta’aalaa berfirman:
{إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْـمٌ * فِـيْ كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ * لَا يـَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ}
“Dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia. Dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuuzh). Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 77-79)
“Jika lembaran-lembaran yang ada di langit tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan; maka demikian juga lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ada di tangan-tangan kita; tidak sepantasnya disentuh kecuali oleh orang yang suci….
Maka ayat ini mengisyaratkan bahwa: tidak akan bisa mencapai makna-makna Al-Qur’an dan tidak akan bisa memahaminya kecuali: hati yang bersih.”[9] “Sehingga di dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa: orang yang hatinya bersih dari berbagai kemaksiatan; maka dia akan semakin faham terhadap Al-Qur’an, dan (sebaliknya): orang yang hatinya ternajisi dengan kemaksiatan; maka dia semakin jauh dari pemahaman terhadap Al-Qur’an…Sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِـهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ}
“Sekali-kali tidak! Bahkan (kemaksiatan) yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifiin: 14)
Maka mereka tidak bisa mencapai makna dan rahasia ayat-ayat Al-Qur’an, dikarenakan (kemaksiatan) yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.”[10]
“Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu berkata:
لَوْ طَهُرَتْ قُلُوْبُنَا؛ لَمَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ اللهِ
“Kalaulah hati kita suci; tentu tidak akan bosan dengan firman Allah (Al-Qur’an).”
Maka hati yang bersih -dikarenakan hidup dan cahayanya, serta kebersihannya dari kotoran dan kejelekan-: tidak akan pernah merasa bosan terhadap Al-Qur’an, tidak akan terisi kecuali dengan hakikat-hakikatnya, dan tidak akan terobati kecuali dengan pengobatannya.”[11]
[7]- Al-Qur’an Dan Bintang
Allah ­Ta’aalaa berfirman:
{فَلَا أُقْسِمُ بِـمَوَاقِعِ النُّجُوْمِ * وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌ * إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْـمٌ}
“Lalu Aku bersumpah dengan tempat-tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui. Dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia.” (QS. Al-Waaqi’ah: 75-77)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah berkata:
“Kesesuaian antara penyebutan bintang-bintang dalam sumpah dengan Al-Qur’an -yang Allah bersumpah untuknya-; bisa dilihat dari beberapa segi:
(1)- Allah menjadikan bintang-bintang sebagai penunjuk arah di kegelapan darat dan lautan [QS. An-Nahl: 16], dan ayat-ayat Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk di kegelapan kebodohan dan kesesatan. Maka bintang-bintang adalah petunjuk di kegelapan yang tampak, sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an adalah petunjuk di kegelapan maknawi; maka (Allah) gabungkan antara dua petunjuk tersebut.
(2)- Bintang merupakan hiasan yang tampak bagi alam [QS. Al-Mulk: 5], dan diturunkannya Al-Qur’an merupakan hiasan batin.
(3)- Bintang-bintang adalah sebagai pelempar setan [QS. Al-Mulk: 5], sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an juga sebagai pelempar setan dari golongan manusia dan jin.”[12]
[8]- Para Shahabat Dan Bintang
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ، وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي، فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ مَا يُوعَدُوْنَ، وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لِأُمَّتِيْ، فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِيْ أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوعَدُوْنَ
“Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang; maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu (terbelah dan lenyap-pent). Dan aku adalah penjaga bagi para Shahabat-ku, apabila aku telah pergi (wafat); maka akan datang kepada Shahabat-ku apa yang dijanjikan kepada mereka (fitnah dan peperangan-pent). Dan para Shahabat-ku adalah penjaga bagi umatku, apabila para Shahabat-ku pergi (wafat); maka akan datang apa yang dijanjikan kepada umatku (munculnya Bid’ah, dan lainnya-pent).”[13]
Para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum ibarat bintang di langit:
(1) Mereka menjadi petunjuk dalam kegelapan Syubhat dan Syahwat.
(2) Mereka adalah hiasan bagi umat ini.
(3) Dan mereka adalah penghancur ta’wil yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh, pemalsuan orang-orang yang bathil, dan penyelewengan terhadap (makna) Kitabullah yang dilakukan orang-orang yang ghuluw (berlebih-lebihan).[14]
[9]- Para Shahabat Dan Al-Qur’an
“Maka kewajiban manusia adalah: memahami makna firman Allah sebagaimana di fahami oleh para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum.
Mereka (para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bila membaca kurang lebih sepuluh ayat, tidak akan mereka lewati (ayat-ayat) tersebut sebelum memahami dan mewujudkan hal-hal yang ditunjukkan oleh (ayat-ayat) tersebut; berupa keimanan, ilmu dan amal, kemudian menempatkan (hal-hal) tersebut pada keadaan-keadaan yang (nyata) terjadi.
Maka mereka meyakini berita-berita yang terdapat di dalam (ayat-ayat) tersebut, tunduk terhadap perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta memasukkan segala kejadian yang mereka saksikan dan realita-realita yang terjadi pada mereka dan selain mereka; (mereka masukkan semuanya itu) kedalam (ayat-ayat) tersebut. Kemudian mereka mengintrospeksi diri-diri mereka: Apakah mereka telah melaksanakannya ataukah belum? Bagaimana cara untuk tetap istiqomah di dalam perkara-perkara yang bermanfaat dan memperbaiki yang masih kurang? Dan bagaimana caranya agar terbebas dari hal-hal yang berbahaya?
Sehingga mereka mengambil petunjuk dari ilmu-ilmu Al-Qur’an, mereka berakhlak dengan akhlak-akhlak dan adab-adabnya. Mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah firman (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan nyata, yang (firman ini) di arahkan kepada mereka, dan mereka di tuntut untuk memahami maknanya dan mengamalkan konksekuensinya.
Maka barangsiapa yang menempuh jalan yang mereka (para Shahabat) tempuh ini, dan semangat serta bersungguh-sungguh dalam mentadabburi firman Allah; niscaya akan terbuka baginya pintu terbesar dalam ilmu tafsir, menjadi kuat ilmunya, dan bertambah pengetahuannya...khususnya jika dia kuat dalam ilmu bahasa arab, dan punya perhatian terhadap perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta keadaan beliau bersama para shahabat beliau, dan bersama musuh-musuh beliau. Karena (ilmu) tersebut sangat membantu dalam (mencapai) tujuan ini (yakni: memahami Al-Qur’an-pent).”[15]
-diambil dari “Iman (Faedah-Faedah Rukun Iman)” (hlm. 107-118), karya Ahmad Hendrix-



[1] Syarh Tsalaatsatil Ushuul (hlm. 95), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[2] Tafsiir Ibni Katsiir (III/128).
[3] Tafsiir Al-Qurthubi (XII/180- cet. Mu-assasah ar-Risaalah).
[4] Madaarijus Saalikiin (III/510- cet. Ad-Daar al-‘Aalamiyyah), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[5] Shahih: HR. Muslim (no. 746).
[6] Syarh Shahiih Muslim (VI/32-cet. Daarul Faihaa).
[7] Lihat: Taisiirul Kariimir Rahmaan (hlm. 367- cet. Mu-assasah ar-Risaalah).
[8] Ighaatsatul Lahfaan (hlm. 97-100- Mawaaridul Amaan), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[9] At-Tibyaan Fii Aqsaamil Qur’aan (hlm. 143-144- cet. Daarul Fikr), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[10] Al-Qaulul Mufiid (II/37), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[11] Ighaatsatul Lahfaan (hlm. 114-115- Mawaaridul Amaan), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah.
[12] At-Tibyaan Fii Aymaanil Qur’aan (hlm. 322-333- cet. Daar ‘Aalam al-Fawaa-id).
[13] Shahih: HR. Muslim (no. 2531).
[14] Lihat: Limaadzaa Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi (hlm. 94).
[15] Al-Qawaa-‘idul Hisaan (hlm. 17-18) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullaah.


Jumat, 19 Januari 2018

KAJIAN 'AQIDAH THAHAWIYYAH (4)

MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١٦]- لَيْسَ بَعْدَ خَلْقِ الْـخَلْقِ اسْتَفَادَ اسْمَ ((الْـخَالِقِ))، وَلَا بِـإِحْدَاثِ الْبَرِيَّــةِ اسْتَفَادَ اسْمَ ((الْبَارِي))
[16]- Nama Allah “Al-Khaaliq” (Maha Pencipta) bukanlah baru diperoleh setelah Dia menciptakan makhluk, dan nama Allah “Al-Baarii” (Yang Mengadakan) bukanlah baru diperoleh setelah diadakannya manusia/makhluk.
[١٧]- لَهُ مَعْنَى الـرُّبُـوْبِـيَّـةِ وَلَا مَـرْبُوْبَ، وَمَعْنَى الْـخَالِقِ وَلَا مَـخْلُوْقَ
[17]- Dia memiliki sifat “Rubuubiyyah” (pengaturan) sebelum ada yang diatur, dan Dia Sang Pencipta sebelum ada yang diciptakan.
[١٨]- وَكَمَا أَنَّهُ مُـحْيِـي الْمَوْتَى بَعْدَمَا أَحْيَا؛ اِسْــتَحَقَّ هٰذَا الْاِسْمَ قَـبْلَ إِحْيَائِـهِمْ، كَذٰلِكَ اسْتَحَقَّ اسْمَ الْـخَالِـقِ قَبْلَ إِنْـشَائِـهِمْ
[18]- Sebagaimana Dia berhak disifati dengan “Yang menghidupkan orang-orang yang mati” setelah Dia menghidupkan mereka; maka demikian pula Dia yang berhak menyandang sifat ini sebelum menghidupkan mereka. Demikian juga Dia berhak menyandang nama “Al-Khaaliq” (Maha Pencipta) sebelum makhluk diciptakan.
PENJELASAN:
Ini adalah pengulangan dan penguatan untuk point-point yang sebelumnya [13, 14 & 15]; yakni bahwa: Allah bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan secara azali (sejak dahulu) dan abadi (selama-lamanya).
[١٩]- ذٰلِكَ بِأَنَّـهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَـيْـهِ فَـقِيْرٌ، وَكُلُّ أَمْرٍ عَلَيْهِ يَسِـيْرٌ، لَا يَـحْتَاجُ إِلَـى شَيْءٍ: {...لَيْسَ كَمِثْـلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِـيْرُ} [الشورى:11]
[19]- Hal itu karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu dan segala sesuatu adalah butuh kepada-Nya. Segala urusan adalah mudah bagi-Nya dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun. “...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa: 11).
PENJELASAN:
Yakni: Allah menciptakan makhluk-Nya, memberi rezeki kepada mereka, mematikan dan menghidupkan mereka, dan lain sebagainya; semua itu karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
“Dan segala sesuatu adalah butuh kepada-Nya”; tidak ada suatu makhluk pun melainkan butuh kepada Allah, baik para malaikat, jin, dan manusia, bahkan benda-benda mati; seperti: langit, bumi, pegunungan dan lautan. Semuanya butuh kepada Allah.
Allah berfirman tentang manusia:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْـحَمِيْدُ}
“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu),Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)
Maka ini membatalkan peribadahan kepada selain Allah; baik kepada para malaikat, para nabi, para wali, dan orang-orang shalih, karena mereka semua tidak memiliki kekuasaan dan pengaturan pada alam semesta, mereka tidak dapat memberikan manfaat maupun mudharat, justru mereka semua butuh kepada Allah, maka bagaimana mungkin mereka disembah?! Sehingga jelaslah bahwa: ibadah harus dipersembahkan kepada Allah saja, hanya Dia yang diibadahi, hanya Dia yang diminta, karena semua makhluk butuh kepada-Nya. Dan tidak memberatkan-Nya segala yang diminta oleh makhluk kepada-Nya, karena “segala urusan adalah mudah bagi-Nya”. Allah Ta’aalaa berfirman:
{إِنَّـمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَــيْـئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ}
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin: 82) [1]
dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun, bahkan ketika Allah menyebutkan bahwa hikmah dari Dia menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya; maka Dia menyebutkan bahwa diri-Nya tidak butuh untuk diberi rezeki atau makanan oleh makhluk-Nya. Allah Ta’aalaa berfirman:
َمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإنْسَ إِلَّا لِيَعْبْدُوْنِ * مَا أُرِيْدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ يُطْعِمُوْنِ * إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ}
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56-587)
Kemudian: sekali lagi diingatkan oleh Imam Ath-Thahawi rahimahullaah tentang masalah nafyu (penafian/penolakan) dan itsbaat (penetapan) dalam masalah sifat-sifat Allah, beliau membawakan firman Allah Ta’aalaa:
{...لَيْسَ كَمِثْـلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِـيْرُ}
“...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa: 11).
{لَيْسَ كَمِثْـلِهِ شَيْءٌ}
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” Ini bantahan untuk Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
{وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِـيْرُ}
Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Ini bantahan untuk Mu’aththilah (orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa).
Jadi Allah disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan akan tetapi tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Seperti: walaupun Allah jadikan manusia itu mendengar dan melihat -sebagaimana di dalam Surat Al-Insan-:
{إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِـيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَـمِيْعًا بَصِيْرًا}
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan: 2)
Akan tetapi jelas pendengaran dan penglihatan manusia tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa. Jadi, bukan berarti kita menetapkan sifat Allah: mendengar, melihat, Allah memiliki tangan, kaki, dan wajah, Allah tertawa, ridha, dan murka, Allah merahmati dan mencintai: bukan berarti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, karena sifat tersebut kalau disandarkan kepada makhluk; maka sesuai dengan makhluk, akan tetapi ketika disandarkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa; maka sesuai dengan keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa, dan kaifiyatnya tidak kita ketahui.
Itulah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana diwakili oleh Imam Malik bin Anas rahimahullaah (guru dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullaah); ketika ditanya tentang kaifiyat sifat istiwaa’ (bersemayam) bagi Allah di atas ‘Arsy (singgasana)-Nya, kemudian beliau menjawab:
اَلْاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَـجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَالْإِيْـمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Istiwa’-Nya Allah tidak asing maknanya (sudah diketahui maknanya), kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), beriman kepada sifat istiwaa’ ini adalah wajib, dan bertanya tentang kaifiyatnya adalah perkara bid’ah.”
Dan perkataan Imam Malik ini menjadi kaedah untuk sifat-sifat Allah yang lainnya.[2]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-


[1] Lihat: At-Ta’liiqaat Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 45-46).
[2] Lihat: At-Tanbiihaat As-Saniyyah ‘Alal ‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (hlm. 24), karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Nashir Ar-Rasyid rahimahullaah.