Rabu, 22 Maret 2017

[10]- HADITS KESEPULUH

HADITS KESEPULUH

حديث: ((إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا؛ عَسَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ)) قِيْلَ: وَمَا عَسْلُهُ قَبْلَ مَوْتِهِ؟ قَالَ: ((يُفْتَحُ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ بَيْنَ يَدَيْ مَوْتِهِ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ [جِيْرَانُهُ -أَوْ قَالَ: مَنْ حَوْلَهُ-]))

Hadits: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba; niscaya Allah memaniskannya sebelum kematiannya.” Ada yang bertanya: Apa yang dimaksud dengan memaniskannya sebelum kematiannya? Beliau bersabda: “Dibukakan baginya amal shalih sebelum kematiannya sampai tetangga-tetangganya -atau orang-orang yang disekitarnya- meridhai-nya.”

TAKHRIJ HADITS:

SHAHIH: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 21846- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Hibban (no. 342 & 343- cet. Daarul Fikr), dan Al-Hakim (1288-cet. Daarul Fikr), dari jalan Zaid bin Al-Khubab, dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Mu’awiyah bin Shalih, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami: ‘Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari bapaknya, dia berkata: saya mendengar ‘Amr bin Al-Hamiq Al-Khuza’i -radhiyallaahu ‘anhu- berkata: Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:…kemudian disebutkan haditsnya.

Ini adalah lafazh Ibnu Hibban, dan tambahan dalam kurung [ ] adalah milik Al-Hakim, dan dia (Al-Hakim) berkata:

“Shahih.” Dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.

Syaikh Al-Albani berkata dalam “Ash-Shahiihah” (no. 1114):

“Dan [Hibatullaah] Ath-Thabari berkata: “Hadits shahih sesuai syarat Muslim, dan harusnya Muslim mengeluarkannya (dalam Kitab Shahih-nya).”

Saya [Syaikh Al-Albani] berkata: Dan hal itu benar sesuai apa yang dikatakan (oleh Ath-Thabari). Dan anehnya: Al-Hakim mengeluarkan hadits ini dari jalan ini; akan tetapi hanya mengatakan “Shahih” saja, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.” Sekian perkataan Syaikh Al-Albani.

Saya katakan: Al-Hakim dan Adz-Dzahabi telah benar, dan Ath-Thabari serta Al-Albani telah salah. Memang benar bahwa para perawinya -sampai kepada Tabi’in- adalah para perawi Muslim, akan tetapi ‘Amr bin Al-Hamiq Al-Khuza’i; beliau adalah seorang Shahabat yang haditsnya tidak dikeluarkan oleh Muslim dan juga Al-Bukhari, sehingga tidak bisa dikatakan: “Sesuai syarat Muslim” dikarenakan Shahabat yang meriwayatkan tidak dikeluarkan haditsnya oleh Muslim.

Wallaahu A’lam.

Hadits ini juga mempunyai syawaahid (penguat-penguat dari Shahabat-Shahabat yang lainnya), di antaranya: hadits Abu ‘Inabah Al-Khaulani yang diriwayatkan oleh Ahmad (no. 17712- cet. Daarul Hadiits), dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Kitaabus Sunnah” (no. 400), dan dari hadits ‘Umar Al-Juma’i yang diriwayatkan oleh Ahmad (no. 17151- cet. Daarul Hadiits).

PENJELASAN HADITS:

[1]- Imam Ibnul Atsir (wafat th. 606 H) -rahimahullaah- berkata:

“Al-‘Asl (memaniskan) adalah: pujian yang baik; diambil dari kata Al-‘Asal (madu). Dikatakan (secara bahasa): ‘Asala Ath-Tha’aam Ya’siluhu (memaniskan makanan): jika menambahkan madu pada makanan.

Beliau (Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) menyerupakan apa yang Allah rizqikan kepada hamba -berupa amal shalih; yang menjadikan penyebutannya baik di antara kaumnya-; Allah menyerupakannya dengan madu yang ditambahkan pada makanan; sehingga makanan itu menjadi manis dan baik.”

[“An-Nihaayah Fii Ghariibil Hadiits Wal Aatsaar” (hlm. 616- cet. Daar Ibnil Jauzi)]

[2]- Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (wafat th. 282 H) -rahimahullaah- berkata:

“Seorang dari penduduk Sijistan -yang hasad kepadaku- berkata: “Kalau bukan karena ilmu; jadi apa kamu?” Maka kukatakan padanya: Kamu menginginkan celaan, tapi berubah jadi pujian.

Saya mendengar Nu’aim bin Hammad berkata: Saya mendengar Abu Mu’awiyah berkata: Al-A’masy berkata: “Kalau bukan karena ilmu; tentulah aku (hanya) menjadi salah satu tukang sayur dari tukang-tukang sayur di Kufah.” Dan aku; kalaulah bukan karena ilmu; tentulah aku (hanya) menjadi salah satu pedagang kain dari pedagang-pedagang kain di Sijistan.”

[“Taariikh Madiinati Dimasyq” (XXXVIII/364-cet. Daarul Fikr)]

[3]- Cobalah renungkan dan fikirkan, siapa kita dahulu?! Sebagian kita ada yang ahli maksiat! Atau bahkan bergabung dengan kelompok sesat!!

Kemudian Allah berikan petunjuk untuk mengenal kebenaran, dan Allah ajarkan ilmu kepada kita; yang dengannya kita dikenal oleh manusia.

Maka, hendaklah kita mensyukurinya, dengan cara menyebarkan ilmu dan kebenaran yang Allah telah ajarkan. BUKAN MENJADIKAN ILMU YANG ALLAH BERIKAN SEBAGAI ALAT UNTUK MENCARI DUNIA -BAIK: HARTA, KEDUDUKAN, KETENARAN, MAUPUN WANITA-!!!!

...وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

 “…DAN JIKA KAMU BERPALING (DARI JALAN YANG BENAR); MAKA DIA AKAN MENGGANTIAKN (KAMU) DENGAN YANG LAIN, dan mereka tidak akan (durhaka) seperti kamu.” (QS. Muhammad: 38)

Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah.

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[9]- HADITS KESEMBILAN

HADITS KESEMBILAN:

حديث: ((مَنِ اسْتَعَاذَ بِاللهِ؛ فَأَعِيْذُوْهُ، وَمَنْ سَأَلَ بِاللهِ؛ فَأَعْطُوْهُ، وَمَنْ دَعَاكُمْ؛ فَأَجِيْبُوْهُ، وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا؛ فَكَافِئُوْهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا مَا تُكَافِئُوْنَهُ؛ فَادْعُوْا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوْهُ))

Hadits: “Barangsiapa yang meminta perlindungan kepada Allah; maka lindungilah dia, barangsiapa yang mengundang kalian; maka penuhilah undangannya, dan barangsiapa yang MELAKUKAN KEBAIKAN KEPADA KALIAN; maka balaslah dia, kalau kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya; maka do’akanlah kebaikan untuknya, sampai kalian melihat bahwa kalian telah membalasnya.”

TAKHRIJ HADITS:

SHAHIH: Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 1672), An-Nasa-i (no. 2567), Ahmad (no. 5365 & 6106- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Hibban (no. 3408- cet. Daarul Fikr), dan Al-Hakim (no. 1534 s/d 1537- cet. Daarul Fikr), Al-Baihaqi (no. 7982- cet. Daarul Fikr), dari beberapa jalan,  dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiyallaahu ‘anhumaa-. Al-Hakim berkata:

“Shahih, sesuai syarat keduanya (Al-Bukhari dan Muslim)”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Dan Syaikh Al-Albani berkata dalam "Ash-Shahiihah" (I/510):

"Benar seperti yang dikatakan oleh keduanya (Al-Hakim & Adz-Dzahabi)."

Aku katakan: Benar seperti yang mereka katakan, karena para perawinya adalah tsiqah, dan termasuk para perawi Al-Bukhari dan Muslim.

● Hadits ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam "Riyadhush Shaalihiin" (no. 1723- cet. Daarus Salaam), dan beliau berkata:

"Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa-i dengan sanad-sanad dua Kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim)."

Saya katakan: perkataan beliau "dengan sanad-sanad": adalah tidak tepat, karena sanadnya hanya satu.

● Dan hadits ini juga disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam "Buluughul Maraam" (IV/170- Subulus Salaam), dan beliau hanya menyandarkannya kepada Al-Baihaqi tanpa selainnya!

Saya katakan: ini juga kurang tepat -atau sebuah kekurangan-, karena banyak penulis yang lebih tinggi sanadnya dari Al-Baihaqi: telah meriwayatkannya.

PENJELASAN HADITS:

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah- berkata:

“Selayaknya bagi pelajar untuk memperbaiki adab kepada pengajarnya, dan dia memuji Allah karena telah memudahkan baginya: orang yang mengajarinya dari kebodohannya, menghidupkan (hati)nya dari kematiannya, dan membangunkannya dari tidurnya.

Hendaknya dia memanfaatkan kesempatan setiap saat untuk mengambil ilmu dari gurunya.

Mempebanyak do’a kebaikan untuk gurunya; baik ketika dia di hadapannya atau tidak.

Karena, sungguh, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “dan barangsiapa yang melakukan kebaikan kepada kalian; maka balaslah dia, kalau kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya; maka do’akanlah kebaikan untuk-nya, sampai kalian melihat bahwa kalian telah membalasnya.”

DAN KEBAIKAN APA YANG LEBIH AGUNG DARI ILMU?

Semua kebaikan akan terputus; kecuali kebaikan ilmu, nasehat, dan pengarahan (dari guru).
Setiap satu permasalahan -dan selebihnya; yang mendatangkan manfaat bagi orang yang mempelajarinya dan juga orang lain-; yang diambil faedahnya dari seorang (guru): maka sungguh itu adalah suatu hal yang ma’ruf dan kebaikan-kebaikan yang akan terus berjalan (pahalanya) bagi pemiliknya.”

["Al-Mu’iin ‘Alaa Tahshiil Aadaabil ‘Ilmi Wa Akhlaaqil Muta’allimiin" (hlm. 31-32)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[8]- HADITS KEDELAPAN

HADITS KEDELAPAN

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاص، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: ((الأَنْبِيَاءُ)) [ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ((الْعُلَمَاءُ]، [ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ]، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا؛ اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ؛ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ البَلَاءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ))

Dari Sa’d bin Abi Waqhqhash -radhiyallaahu ‘anhu-, dia berkata: Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya? Beliau bersabda: “Para nabi.” [Kemudian siapa? Beliau bersabda: “Para ulama], [kemudian orang-orang shalih], kemudian yang semisal dan yang semisal (mereka). Maka seseorang diberikan cobaan sesuai dengan tingkat agamanya. Kalau agamanya kuat; maka cobaannya semakin berat, dan kalau agamanya lemah; maka dia diberi cobaan sesuai dengan agamanya. Cobaan akan terus menerus menimpa seorang hamba; sampai dia berjalan di muka bumi dengan tidak memiliki dosa.”

TAKHRIJ HADITS:

SANADNYA HASAN: Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (no. 2398), Ibnu Majah (no. 4023), Ahmad (no. 1481, 1494, 1555, & 1607- cet. Daarul Hadiits), Ad-Darimi (2785- cet. Daarul Ma’rifah), dan Al-Hakmi (no. 121- cet. Daarul Fikr), dari beberapa jalan, dari ‘Ashim bin Bahdalah, dari Mush’ab bin Sa’d [bin Abi Waqqash], dari bapaknya, dan seterusnya. Tambahan dalam kurung [ ] yang kedua adalah salah satu dari riwayat Ahmad.

At-Tirmidzi berkata:

“Hasan Shahih.”

Saya berkata: Sanadnya hasan, karena ‘Ashim bin Bahdalah: hasan haditsnya.

Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash adalah perawi yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Kutubus Sittah.

Dalam Sunan Ibnu Majah cetakan Maktabah Al-Ma’arif tertulis:

((عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاص))

“Dari Mush’ab bin Sa’d, dari bapaknya, dari Sa’d bin Abi Waqqash.”

Yang benar adalah dngan membuang عَنْ (dari), sebelum سَعْد بْن أَبِيْ وَقَّاصٍ (Sa’d bin Abi Waqqash).

Adapun tambahan dalam kurung [ ] yang pertama: dikeluarkan oleh Al-Hakim (no. 119-cet. Daarul Fikr), dari Abu Sa’id Al-Khudri, dengan sanad yang hasan pula.

PENJELASAN HADITS:

[1]- PENGIKUT NABI YANG HAKIKI

“Yang semisal, dan yang semisal (mereka); mereka adalah: orang-orang shalih yang berjalan di atas manhaj (jalan) mereka (para nabi) dalam berdakwah mengajak kepada Allah, dan BERDAKWAH SESUAI DENGAN DAKWAH MEREKA; BERUPA: MENTAUHIDKAN ALLAH, MENGIKHLASKAN IBADAH HANYA KEPADA-NYA SAJA, DAN MENYINGKIRKAN KESYIRIKAN DENGAN SELAIN-NYA, dan mereka mendapatkan gangguan dan cobaan seperti apa yang menimpa para teladan mereka; yakni: para nabi.

Oleh karena itulah; anda saksikan banyak dari para da’i yang berpaling dari manhaj yang berat dan jalan yang sulit ini. Karena, da’i yang menempuh jalan ini; maka dia akan menghadapi ibunya, bapaknya, saudaranya, orang-orang yang dicintainya dan teman-temannya. Dia juga akan menghadapi masyarakat; permusuhan, ejekan dan gangguan mereka.

Sehingga (para da’i) tersebut berpaling menuju beberapa bagian dari Islam yang memang mempunyai kedudukan; yang tidak akan diingkari oleh orang yang beriman kepada Allah, dimana bagian-bagian ini tidak memiliki kesusahan, kesulitan, ejekan dan gangguan; khususnya di kalangan masyarakat Islam. Maka, sungguh, umat Islam akan mengelilingi da’i semacam ini, mereka akan memberikan pengagungan dan pemuliaan; tanpa ada ejekan dan tidak juga gangguan…

[Dan cara (Dakwah) semacam ini -pada zaman ini-; hampir-hampir menjadi jalan terdekat menuju hati orang-orang bodoh, dan cara tercepat untuk mendapatkan ridha masyarakat dan mengumpulkan massa!!

Akan tetapi, hal semacam ini tidak akan tetap dan tidak langgeng, serta tidak akan menyampai-kan kepada kepada keistiqamahan dan tidak juga kemantapan…

Dan kebenaran -serta manhajnya- akan tetap nampak dan menang; sebagaimana difirmankan oleh Rabb kita (Allah) -Ta’aalaa-:

... فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الأرْضِ...

“…adapun buih; maka akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna, tetapi yang bermanfaat bagi manusia; maka akan tetap ada di bumi…” (QS. Ar-Ra’d: 17)]

[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 50), dan tambahan dalam kurung [ ] merupakan perkataan Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- dalam muqaddimah “Da’watunaa” (hlm. 8)]

[2]- ADA JUGA YANG MENDAPAT GANGGUAN; AKAN TETAPI BUKAN PENGIKUT NABI

“Kecuali orang-orang yang melawan pemerintahan dan mengancam kekuasaan mereka; maka ketika itu: (para penguasa) tersebut akan menumpas mereka dengan sangat keras; seperti: partai-partai politik yang menentang para penguasa dan mengancam kedudukan mereka. Maka para penguasa -dalam hal ini- tidak akan memperdulikan apakah lawannya adalah: kerabat, teman dekat, muslim, maupun kafir.”

[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 50)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[7]- HADITS KETUJUH

HADITS KETUJUH

حديث: ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ! قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ؛ تُفْلِحُوْا [وَفِيْ رِوَايَةٍ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ، وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا]))

Hadits: “Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung [dalam riwayat lain: Wahai manusia! Sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- memerintahkan kepada kalian untuk beribadah kepada-Nya, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun].”

TAJHRIJ HADITS:

SHAHIH: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 15915 & 18905- cet. Daarul Hadiits), dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (V/61), dari beberapa jalan, dari ‘Abdurrahman bin Abiz Zinad, dari bapaknya, dari Rabi’ah Ad-Dili -seorang Shahabat yang mengalami masa Jahiliyyah, kemudian masuk Islam-, dia berkata: Saya telah melihat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dengan mata kepalaku di pasar Dzul Majaz, beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوْا

“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”

Dan beliau memasuki jalan-jalan (pasar) tersebut, sedangkan manusia mengerumuninya, maka saya lihat tidak ada seorang pun yang bicara, sedangkan beliau tidak diam, beliau terus berkata:

أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوْا

“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”

Hanya saja di belakang beliau ada seorang laki-laki yang juling matanya dan terang wajahnya serta rambutnya memilki dua kepang, dia berkata: “Dia seorang Shaabi’ (keluar dari agama) dan pendusta.” Maka aku bertanya: Siapa orang ini? Mereka menjawab: Muhammad bin ‘Abdillah, dia mengaku menjadi Nabi. Saya bertanya lagi: Siapa orang yang mengatakan bahwa dia pendusta? Mereka menjawab: Itu pamannya sendiri, yaitu: Abu Lahab.

Saya (penulis) berkata: ‘Abdurrahman bin Abiz Zinad adalah seorang rawi yang: “Shaduuq (hasan haditsnya), akan tetapi hafalannya berubah ketika memasuki kota Baghdad.” -sebagaimana disebutkan dalam Kitab “Taqriibut Tahdziib”-.

Bapaknya, yaitu: Abuz Zinad; namanya adalah: ‘Abdullah bin Dzakwan: seorang rawi yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Kutubus Sittah.

Dan hadits ini memiliki jalan lain menuju Rabi’ah -bin ‘ibad- Ad-Dili, yang dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad (no. 160244 -cet. Mu’assasah Ar-Risaalah), dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (V/61), dari jalan: Sa’id bin Salamah -yakni: Ibnu Abil Husam-, dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Muhammad bin Al-Munkadir, bahwa dia mendengar Rabi’ah -bin ‘ibad- Ad-Dili berkata: Saya melihat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berkeliling (mendakwahi) manusia di Mina, di tempat-tempat mereka, (hal itu) sebelum beliau hijrah ke Madinah. Beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ، وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- memerintahkan kepada kalian untuk beribadah kepada-Nya, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”

Dan di belakang beliau ada seseorang yang mengatakan: “Orang ini menyuruh kalian untuk meninggalkan agama nenek moyang kalian.” Maka saya bertanya: Siapa orang ini? Mereka menjawab: Ini Abu Lahab.

Saya (penulis) berkata: Sanad hadits ini adalah sesuai syarat Muslim -yakni: sampai ke Tabi’in-, hanya saja Sa’id bin Salamah bin Abil Husam: ada sedikit kritikan padanya; akan tetapi haditsnya tidak turun dari derajat Hasan. Imam Al-Albani -rahimahullaah- berkata pada “Shahiih As-Siirah An-Nabawiyyah” (no. 642):

“Sanadnya Hasan.”

Peringatan:

Rabi’ah bin ‘Ibad Ad-Dili adalah seorang Shahabat yang haditsnya tidak terdapat dalam Al-Kutubus Sittah. Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah- menyebutkan biografinya dalam: “Ta’jiilul Manfa’ah Bi Zawaa-id Rijaal Al-A-immah Al-Arba’ah” (hlm. 128)

Dan hadits ini memilki “Syaahid” (penguat dari riwayat Shahabat lain), dari hadits riwayat: Thariq bin ‘Abdillah Al-Muharibi, dengan lafazh:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ! قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ؛ تُفْلِحُوْا

“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”

Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 159), dengan sanad yang para perawinya adalah tsiqah.

PENJELASAN HADITS:

[1]- “Sungguh, beliau (Rasulullah) -‘alaihish shalaatu was salaam- memulai (Dakwah) dengan apa yang para nabi memulai dengannya, dan bertolak seperti mereka; dengan Dakwah mereka: berupa ‘AQIDAH TAUHID, mengajak untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah saja; (Dakwah kepada) “Laa Ilaaha Illaallaah, Muhammad Rasuulullaah”.

Tidaklah terbayangkan dari beliau -atau dari nabi lainnya-: untuk memulai (Dakwah) bukan dari pondasi yang agung ini yang merupakan prinsip risalah -secara keseluruhan- yang paling utama…

Maka, tidak kita dapatkan:

1- Seorang nabi pun yang memulai Dakwahnya dengan tashawwuf,

2- atau (nabi) lainnya: dengan filsafat dan ilmu kalam,

3- atau (nabi-nabi) yang lain lagi: dengan politik,

[4- atau dengan masalah-masalah rumah tangga dan percintaan.]

Bahkan, kita dapatkan: mereka semua menempuh manhaj (jalan) yang satu: dengan mentauhidkan Allah -pertama kali- untuk derajat (prioritas) yang pertama.”

[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 72-73 & 123-124), dan tambahan dalam kurung [ ] adalah dari saya]

[2]- Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani -hafizhahullaah- berkata:

“Setiap dakwah yang tidak berpondasi di atas Tauhid dan tidak ber-asas-kan Tauhid; maka tidak ada manfaatnya, tidak akan tetap dan tidak pula kokoh di muka bumi, serta tidak ada pahalanya pada Hari Kiamat. Kalaulah tidak ada kejelekkannya melainkan hanya menyelisihi semua Rasul; maka cukuplah hal itu sebagai dosa. Allah -‘Azza Wa Jalla- berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesmbahan (yang berhak diibadahi) selain Aku, maka sembahlah (beribadahlah kepada)-Ku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)

Dan dalam hal ini terdapat nasehat yang sangat mengena bagi dakwah-dakwah yang tidak mempunyai perhatian terhadap Tauhid, serta tidak prioritas pada Tauhid: Bagaimana bisa sebuah dakwah tidak mengetahui Tauhid sama sekali dan tidak membedakan antara Tauhid dengan syirik?! Bagaimana bisa sebuah dakwah justru memerangi Tauhid dan orang-orang yang bertauhid?!

Betapa banyak orang yang dada-dada mereka tidak lapang untuk menerima dakwah yang diberkahi ini; dengan anggapan bahwa dakwah Tauhid akan membuat orang lari dari agama, atau bahwa manusia bosan dengan pembicaraan tentang Tauhid, dan mereka tidak mempunyai kesan terhadap dakwah Tauhid, serta anggapan bahwa yang sesuai dengan Hikmah adalah dengan menunda dakwah Tauhid.

Maka orang-orang semacam ini telah salah dengan kesalahan yang fatal; karena mereka mencela dakwah para Nabi dengan tanpa mereka sadari dan juga para Nabi dianggap tidak Hikmah (dalam berdakwah)…

Dakwah mengajak kepada ‘Aqidah Salafush Shalih -dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik-: itulah pondasi dakwah dan prioritas utamanya. Betapa pun jama’ah-jama’ah atau kelompok-kelompok -terlebih lagi individu- mengajak kepada bagian-bagian yang lain dari ilmu-ilmu agama; maka sungguh amalan mereka tidak dianggap sama sekali hingga mereka mempunyai perhatian terhadap hak Allah; yaitu: Allah harus di-esa-kan dalam ibadah. Dimana mereka (dalam mendakwahkan Tauhid) tidak takut sama sekali terhadap celaan orang yang mencela, mereka lebih mendahulukan hak Allah atas hak-hak yang lainnya, mereka mengikuti para Rasul Allah; dengan penuh keyakinan bahwa petunjuk merekalah yang paling sempurna, dan bahwa jalan-jalan dakwah yang lain -walaupun banyak pengikut dan penggemarnya-; akan tetapi sebenarnya itu adalah penghias-hiasan dari Syaithan. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Maka apakah pantas orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatan itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi pertunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Maka jangan engkau (Muhammad) binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Fathir: 8)…

Dan manusia yang paling hikmah -yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada Muadz ketika mengutusnya ke Yaman sebagai da’i:

إِنَّكَ سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ؛ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ[وَفِيْ رِوَايَةٍ: إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ]،...

 “Sungguh, engkau akan mendatangi orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani); maka hendaklah pertama kali yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah: Syahadat Laa Ilaaha Illallaah [dalam riwayat yang lain disebutkan: Agar mereka mentauhidkan Allah],…”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1496, 7372) dan Muslim (no. 19]

…Ketahuilah wahai orang-orang yang mendakwahi manusia! Jadilah kalian Ahli Ittiba’ (mengikuti Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-), dan janganlah berbuat Bid’ah, serta agungkanlah hak Allah; niscaya kalian menjadi mulia dalam pandangan Allah. Janganlah kalian tertipu dengan tepuk tangan para pengikut kalian! Atau banyaknya pengikut kalian!! Karena sungguh, mereka tidak akan bermanfaat bagi kalian di Hari Kiamat sama sekali. Dan dakwah kalian di dunia ini tidak akan sukses selama-lamanya selama kalian berpaling dari dakwah yang benar. Segala percobaan dan pengalaman dakwah yang kalian pandang itu bagus, dan kalian anggap bisa mengumpulkan jamaah, serta menarik hati, bahkan bisa membuat air mata menetes; maka janganlah kalian mengikutinya hingga ada bukti dari syari’at (tentang kebenerannya). Karena dakwah adalah -seperti perkara penting agama yang lainnya-: tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan izin Allah dan syari’at dari-Nya, bukan dengan uji coba, perasaan, atau mengikuti kemauan orang-orang awam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata dalam “Majmuu’ul Fataawaa” (XV/161):

“Dan beliau (Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) berdakwah mengajak kepada Allah adalah dengan izin dari Allah, beliau tidak mensyari’atkan agama yang tidak Allah izinkan; sebagaimana firman Allah -Ta’aalaa-:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا * وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا

“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi da’i (penyeru) kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi.” (QS. Al-Ahzaab: 45-46).”

[“Min Kulli Suuratin Faa-idah” (hlm. 114-117), karya Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani -hafizhahullaah-]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[6]- HADITS KEENAM

HADITS KEENAM

حديث: ((لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ: مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ))

Hadits: “Tidak termasuk dari umatku: orang yang tidak menghormati orang yang tua di antara kami, dan tidak menyayangi anak kecil di antara kami, serta tidak mengetahui hak ulama kami.”

TAKHRIJ HADITS:

HASAN: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 22654- cet. Daarul Hadiits), dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Harun, telah mebawakan hadits kepada kami: Ibnu Wahb, telah membawakan hadits kepadaku: Malik bin Al-Khair Az-Ziyadi, dari Abu Qabil Al-Mu’afiri, dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: … kemudian disebutkan lafazh haditsnya.

Harun adalah: Ibnu Ma’ruf Al-Marwazi: seorang perawi yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Bukhari dan Muslim.

Ibnu Wahb adalah: ‘Adullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi Maula mereka, Abu Muhammad Al-Mishri: seorang perawi yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Kutubus Sittah.

Malik bin Al-Khair Az-Ziyadi, biografinya dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dalam “Al-Jarh Wat Ta’diil” (VIII/208), dan beliau tidak menyebutkan Jarh maupun Ta’diil terhadapnya. Akan tetapi banyak perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits darinya, dan dia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban; oleh karena itulah Imam Adz-Dzahabi berkata dalam “Miizaanul I’tidaal” (III/426):

“Termasuk jajaran Shaduq (hasan hadits-nya). Ibnul Qath-than berkata: “Dia termasuk rawi yang tidak tetap ‘adaalah (ke-tsiqah-an)nya.” Maksudnya: Tidak ada seorang (ulama) pun yang tegas mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tsiqah. Dan dalam perawi dua kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) banyak para perawi yang semacam ini, yang kami tidak mengetahui adanya (ulama) yang men-tsiqah-kan mereka. Dan pendapat Jumhur (kebanyakan) ulama: bahwa siapa saja yang termasuk Syaikh (dikenal dalam hadits), dan sekelompok rawi telah meriwayatkan darinya, dan dia tidak meriwayatkan sesuatu yang mungkar; maka haditsnya adalah Shahih.”

Imam Al-Albani -rahimahullaah- berkata dalam “Ash-Shahiihah” (II/494 & 709):

“Kemudian saya mendapatkan seorang hafizh yang menegaskan tentang ke-tsiqah-annya…saya lihat dalam “Taariikh Abii Zur’ah Ad-Dimasyqi” (I/442/1094), bahwa dia berkata kepada Ahmad bin Shalih Al-Mishri Ath-Thabari: Apa pendapat anda tentang Malik bin Al-Khair Az-Ziyadi? Dia menjawab: “Tsiqah.”

Saya (Syaikh Al-Albani) berkata: Ini adalah sebuah faedah yang jarang didapatkan, dimana kitab-kitab biografi yang ma’ruf: tidak menyebutkannya. Dan yang menunjukkanku atas hal ini adalah: Al-Akh ‘Ali Al-Halabi -semoga Allah membelanya dan membalasnya dengan kebaikan-.”

Dan Abu Qabil; namanya adalah: Yahya bin Hani’ bin Nashir Al-Mu’afiri Al-Mishri: di-tsiqah-kan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, dan lainnya. Abu Hatim berkata: “Shalih haditsnya.” Ibnu Hibban menyebutkannya dalam “Ats-Tsiqaat” dan berkata: “Dan dia yukhti’ (ada kesalahan).” Dan As-Saji menyebutkannya dalam “Adh-Dhu’afaa’”, dan menghikayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa dia men-dha’if-kannya -sebagaimana disebutkan dalam “Tahdziibut Tahdziib”-.

Maka derajat minimalnya adalah: Hasan haditsnya.

Dan derajat sanad hadits ini minimal adalah: Hasan, dan Imam Al-Albani membawakannya dalam “Shahiihul Jaami’” dengan lafazh:

((لَيْسَ مِنَّا))

“Bukan termasuk dari kami…” dan beliau meng-hasan-kannya.

Dan dua kalimat pertama: memiliki “Syaahid” (penguat dari Shahabat lain), dari ‘Abdullah bin ‘Amr; dan telah kami takhrij dalam kitab kami: “Qurratul ‘Ainain Fii Takhriij Ahaadiits “Riyaadhish Shaalihiin” Mimmaa Laisa Fish Shahiihain” (no. 46). Lihat: “Al-Majmuu’ah Al-Hadiitsiyyah” (no. 102).

PENJELASAN HADITS:

Imam An-Nawawi -rahimahullaah- berkata dalam “Riyaadhush Shaalihiin”:

“Bab: Menghormati para ulama dan orang-orang yang memiliki keutamaan, serta lebih mendahulukan mereka atas selainnya, mengangkat majlis-majlis mereka, dan menampakkan martabat mereka.”

Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata -menjelaskan perkataan Imam An-Nawawi tersebut- dalam “Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (III/230-231):

“Yakni: hal-hal mulia yang berkaitan dengan semisal ini.

Yang dimaksudkan penulis dengan ulama adalah: ulama syari’at yang merupakan pewaris Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, karena para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar…mereka hanya mewariskan ilmu.

Ilmu adalah: syari’at Allah, barangsiapa yang mengambil ilmu; maka dia telah mengambil bagian yang melimpah dari warisan para ulama.

Maka jika para nabi memiliki hak untuk dihormati, diagungkan, dan dimuliakan; demikian juga yang mewarisi mereka: memiliki bagian dari hak tersebut untuk dihormati, diagungkan, dan dimuliakan. Oleh karena itulah penulis -rahimahullaah- membuat bab untuk masalah yang agung ini; karena ini merupakan masalah yang agung dan penting.

Dengan memuliakan para ulama; maka Syari’at juga akan dimuliakan, karena mereka adalah pembawanya, dan dengan menghinakan para ulama; maka Syari’at juga akan dihinakan. Karena jika para ulama dihinakan dan (wibawa) mereka jatuh di mata manusia; maka Syari’at juga akan dihinakan; karena mereka lah para pembawanya. Dan Syari’at tidak akan ada harganya lagi di sisi manusia, dan jadilah setiap orang meremehkan dan merendahkan para ulama; sehingga Syari’at menjadi terbengkalai…

Jika manusia telah menghinakan para ulama; maka setiap orang akan mengatakan: “Saya lah ulama, saya seorang yang cerdas, sangat faham, sangat ‘alim. Saya ibarat lautan yang tak bertepi.” Dan setiap orang akan bicara sesuai keinginannya, dan berfatwa sesuai kehendaknya, sehingga rusak lah Syari’at dengan sebab perkara yang muncul dari sebagian orang bodoh ini.”

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[5]- HADITS KELIMA

HADITS KELIMA

حديث: ((مِرَاءٌ فِي الْقُرْآنِ [وَفِيْ لَفْظٍ: جِدَالٌ] كُفْرٌ))

Hadits: “Miraa’ [dalam lafazh lain Jidaal] (berdebat) dalam tentang A-Qur’an adalah kekafiran.”

TAKHRIJ HADITS:

SHAHIH: Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 4603), Ahmad (no. 7835, 9446, 10099, 10487, & 10778- cet. Daarul Hadiits), Al-Hakim (no. 2931- cet. Daarul Fikr), Al-Ajurri dalam “Asy-Syrii’ah” (hlm. 67), dari beberapa jalan, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda: … kemudian disebutkan lafazh haditsnya.

Al-Hakim berkata:

“Shahih, sesuai syarat Muslim.” Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Saya katakan: Keduanya tidak benar, karena Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah: hanya Hasan haditsnya, dan Muslim hanya mengeluarkannya sebagai “Mutaaba’ah” (penyerta).

Dan di sini dia (Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah): mempunyai “Mutaaba’ah” (penyerta yang menguatkannya) dari riwayat: Sa’d bin Ibrahim -yaitu: Ibnu ‘Abdirrahman bin ‘Auf-: seorang yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Kutubus Sittah. Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 7499), dari jalan Zakariya, darinya (Sa’d bin Ibrahim) -dengan lafazh lain-. Dan Zakariya adalah: Ibnu Abi Zaidah: seorang yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Kutubus Sittah.

Akan tetapi dia (Zakariya bin Abi Zaidah) diselisihi oleh yang lainnya:

Maka Ahmad mengeluarkannya (no. 10364) dari jalan Manshur -yakni: Ibnu Mu’tamir-, (no. 10154) dari jalan Sufyan -yakni: Ibnu ‘Uyainah-, Al-Hakim (no. 2938- cet. Daarul Ma’rifa) dari jalan Sa’id -yakni: Ibnu ‘Abdil ‘Aziz At-Tanuhi: Seorang yang tsiqah dan perawi Muslim, semuanya dari Sa’d bin Ibrahim, dari ‘Umar bin Abi Salamah, dan seterusnya -dengan lafazh lain (Jidaal)-.

 Maka mereka menambahkan: ‘Umar bin Abi Salamah; dan dia adalah: “Shaduuq Yukhti’” -sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh dalam “At-Taqriib”-.

Syaikh Ahmad Syakir dalam “Takhriij Al-Musnad” (no. 7499) lebih condong untuk menguatkan jalan ini.

Saya katakan: Hanya saja Al-Ajurri mengeluarkannya dalam “Asy-Syarii’ah” (hlm. 67) dari jalan Manshur, dari Sa’d bin Ibrahim, dari Abu Salamah, dan seterusnya, dengan lafazh: “Miraa’”. Maka tidak disebutkan ‘Umar bin Abi Salamah.

“Maka bisa jadi [Sa’d bin Ibrahim; yaitu: Ibnu ‘Abdirrahman bin ‘Auf] mendengarnya dari pamannya: Abu Salamah [yaitu: Ibnu ‘Abdirrahman bin ‘Auf], dan juga mendengarnya dari anak pamannya [‘Umar bin ‘Abi Salamah bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf], dari bapaknya: Abu Salamah.

Sehingga [Sa’d] meriwayatkannya dengan dua segi.”

[“Takhriij Al-Musnad”]

“Dan manapun yang benar; maka hadits di atas adalah Shahih.”

[“Takhriij Al-Musnad”]

Yakni: baik yang kuat: ada tambahan ‘Umar bin Abi Salamah -yang dia ada kelemahan, sehingga sanadnya bisa terpengaruh-, atau memang Sa’d meriwayatkannya dari dua jalan -dengan tambahan ‘Umar dan tanpa tambahan-, maka hadits di atas tetap Shahih jika digabungkan dengan riwayat Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah.

Terlebih lagi: Hadits ini mempunyai “Syaahid” (penguat dari jalan Shahabat lain), dari ‘Abdullah bin ‘Amr -dengan ada tambahan di awalnya-, yang telah ditakhrij oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- dalam “Ash-Shahiihah” (no. 1522).

PENJELASAN HADITS:

[1]- Dijelaskan dalam kitab “Aunul Ma’buud” (XIII/910 cet. Daarul Kutub Al-‘Ilmiyyah) -dengan  menukil dari Abu ‘Ubaid-:

“Dikatakan: Bahwa hadits ini berkaitan dengan Al-Jidaal dan Al-Miraa’ (berdebat) tentang ayat-ayat yang menyebutkan tentang takdir dan yang semisalnya, dengan mengikuti madzhab Ahli Kalam dan para pengikut hawa nafsu dan ra’yu.

Bukan tentang kandungan ayat-ayat yang berupa: hukum serta bab-bab halal dan haram; karena (debat tentang) hal tersebut telah terjadi di antara para Shahabat dan para ulama setelah mereka. Hal itu (dibolehkan) jika tujuan dan pendorongnya adalah: nampaknya kebenaran agar bisa diikuti, bukan untuk menang dan melemahkan (orang lain).”

[2]- Faedah Dalam Berbantahan

Imam Adz-Dzahabi -rahimahullaah-berkata dalam “Siyar A’laam An-Nubalaa’” (X/341- cet. Daarul Fikr) -pada biografi: Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam-:

“Para ulama sejak zaman dahulu sampai sekarang senantiasa saling berbantahan dalam masalah: pembahasan dan tulisan. Dan dengan hal ini: seorang ‘alim (berilmu) bisa menambah fiqih (ilmu)nya, dan hal-hal yang janggal bisa menjadi terang baginya.

Akan tetapi pada zaman kita: kadang seorang Faqih (berilmu) bisa  terkena balasannya jika dia memfokuskan dirinya untuk hal ini; dikarenakan: buruk niatnya, serta ingin menang, dan memperbanyak (pengikut); sehingga dia akan dilawan oleh para Qadhi dan musuh-musuhnya.

Kita memohon (kepada Allah): Hus-nul Khaatimah dan Ikhlas dalam beramal.”

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari -hafizhahullaah- berkata dalam “Ar-Raddul Burhaani” (hlm. 13-14):

“Maka demi Allah -yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia-: Sungguh aku memperhatikan kepada bantahan atau kritikan kepadaku -dari siapa pun-: dengan perhatian inshaaf (tulus) yang jujur dengan penuh perhatian. Agar aku bisa mengetahui -melalui hal tersebut-: keadaanku saat ini; berupa derajat kebenaran dan ketepatan, atau hal yang mungkin aku terjatuh ke dalamnya berupa: kesalahan atau pun keraguan. Maka kalau aku dapatkan: aku pun senang dan bersegera untuk memperbaikinya. Adapun kalau tidak; maka aku akan membantah kritikan (atasku) tersebut, atau mengkritik bantahan (atasku) tersebut.”

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[4]- HADITS KEEMPAT

HADITS KEEMPAT

حديث: ((لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- أَخْبَرَ مُوسَى بِمَا صَنَعَ قَوْمُهُ فِي الْعِجْلِ؛ فَلَمْ يُلْقِ الْأَلْوَاحَ، فَلَمَّا عَايَنَ مَا صَنَعُوا؛ أَلْقَى الْأَلْوَاحَ، فَانْكَسَرَتْ))

Hadits: “(Mendapat) kabar itu tidak sama dengan melihat langsung, sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- mengabarkan kepada Musa apa yang diperbuat oleh kaumnya terhadap patung anak sapi, dan ketika itu (Musa) belum melemparkan lembaran-lembaran (Taurat). Akan tetapi ketika melihat langsung apa yang mereka perbuat; (Musa marah dan) melemparkan lembaran-lembaran itu sampai pecah (rusak).”

SHAHIH: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 2447- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Hibban (no. 6223- cet. Daarul Fikr), dan Al-Hakim (no. 3330- cet. Daarul Fikr), dari dua jalan, dari Husyaim, dari Abu Bisyr, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa-, dia berkata: Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: … kemudian disebutkan lafazh haditsnya.

Dan dikeluarkan oleh Ahmad (no. 1842- cet. Daarul Hadiits), langsung dari Husyaim, dengan mencukupkan kepada sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

 ((لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ))

 “(Mendapat) kabar itu tidak sama dengan melihat langsung.”

Al-Hakim berkata:

“Shahih, sesuai syarat Asy-Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim).” Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Saya katakan: Perkataan keduanya kurang tepat. Karena Husyaim -yaitu: Ibnu Basyir Al-Wasithi- walaupun dia termasuk perawi Al-Bukhari dan Muslim; akan tetapi dia adalah Mudallis, dan dia telah menggunakan عَنْ ‘An dalam periwayatannya.

Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah memperingatkan dari hal semacam ini dalam “An-Nukat ‘Alaa Ibni Ash-Shalaah” (I/299-301); yakni: BAHWA DALAM KITAB Al-MUSTADRAK SERING TERJADI KESALAHAN SEMACAM INI: DIKATAKAN SESUAI SYARAT AL-BUKHARI DAN MUSLIM; AKAN TETAPI ADA ‘ILLAH (PENYAKIT), SEPERTI: ADA RAWI YANG MUDALLIS.

Akan tetapi di sini Husyaim memilki “Mutaaba’ah” (penyerta yang menguatkannya), dari periwayatan: Abu ‘Awanah -dan namanya adalah: Wadh-dhah Al-Yasykuri-, dan dia tsiqatun tsabtun, termasuk perawi Al-Kutubus Sittah.

Dikeluarkan oleh: Ibnu Abi Hatim dalam Tafsiir-nya (no. 8998), Ibnu Hibban (no. 6223- cet. Daarul Fikr), dari dua jalan, darinya (Abu ‘Awanah), dan seterusnya.

Dan hadits ini dishahihkan oleh Imam Al-Albani -rahimahullaah- dalam “Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir (no. 537)”.

PENJELASAN HADITS:

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Wahai Rabb-ku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang (mantap dengan imanku).” Allah berfirman: “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu, kemudian letakkan di atas masing-masing bukit: satu bagian, kemudian panggillah mereka; niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260)

[2]- Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah- berkata:

“Oleh karena itulah; ‘AINUL YAQIIN -yaitu: melihat langsung dengan mata kepala- lebih besar dari ‘ILMUL YAQIIN -yaitu: ilmu yang didapatkan dari pengabaran-. Dan yang lebih tinggi lagi dari keduanya adalah: HAQQUL YAQIIN -yaitu: yang langsung dirasakan-.

Sehingga, selayaknya bagi seorang hamba untuk berusaha mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan tidak mencukupkan diri dengan ‘ilmul yaqin kalau memang dia mampu untuk mendapat ‘ainul yaqin; sebagaimana Ibrahim Al-Khalil -‘alaihis salaam- meminta kepada Allah agar Allah menunjukkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan yang sudah mati; AGAR BISA MENINGKAT DARI SATU ILMU MENUJU ILMU YANG LEBIH TINGGI LAGI.”

[“Al-Mu’iin ‘Alaa Tahshiil Aadaabil ‘ilmi Wa Akhlaaqil Muta’allimiin” (hlm. 260)]

[3]- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i -rahimahullaah- berkata:

“Selayaknya bagi para penuntut ilmu untuk mencapai usaha yang maksimal dalam memperbanyak ilmu, dan bersabar atas segala penghalang dalam menuntutnya. Serta mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam mencapai ilmu; baik ilmu yang berupa nash (lafazh dari dalil-dalil) maupun istinbaath (pengambilan kesimpulan dari lafazh). Serta berharap kepada Allah agar menolongnya dalam (menuntut ilmu) tersebut; karena kebaikan tidak akan didapatkan melainkan hanya dengan pertolongan-Nya.”

[“Ar-Risaalah” (hlm. 109, no. 45)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[3]- HADITS KETIGA

HADITS KETIGA

حديث: ((قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ! أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالَ))

Hadits: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Bukankah obat kebodohan adalah bertanya?!”

TAKHRIJ HADITS:

HASAN SHAHIH: Dikeluarkan Abu Dawud (no. 337), Ibnu Majah (no. 572), Ahmad (no. 3057- cet. Daarul Hadiits), Ad-Darimi (no. 756- cet. Daarul Ma’rifah), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam “Kitaab Al-Faqiih Wal Mutafaqqih” (no. 759), dari beberapa jalan, dari Al-Auza’i, bahwa sampai kepadanya dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, bahwa dia mendengar dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata: Pada zaman Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ada seseorang yang terluka [di kepalanya], kemudian dia mimpi basah (junub), maka ada yang memerintahkannya untuk mandi, dan dia pun mandi, lalu mati. Hal itu kemudian sampai kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda:…kemudian disebutkan lafazhnya.

Saya berkata: Sanad hadits ini para perawinya tsiqah dan merupakan para perawi Al-Bukhari dan Muslim; hanya saja: dikatakan ada ‘illah (penyakit) berupa keterputusan antara Al-Auza’i -namanya adalah: ‘Abdurrahman bin ‘Amr bin Abi ‘Amr- dan ‘Atha’ bin Abi Rabah. Syaikh Ahmad Syakir lebih menguatkan ketersambungannya -dalam Takhrii “Al-Musnad”-, demikian juga Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -dalam tahqiiq “Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/363-364)-.

Akan tetapi, mana pun yang lebih kuat -baik tersambung maupun terputus-; maka Al-Auza’i telah memiliki “Mutaaba’ah” (penyerta yang menguatkannya); yaitu: Al-Walid bin ‘Abdullah bin Abi Rabah, yang dikeluarkan oleh: Ibnu Khuzaimah (no. 273) -dan dari jalannya: Ibnu Hibban (no. 1311- At-Ta’liiqaatul Hisaan)-, dan Al-Hakim (I/165), dari jalan ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats, dari bapaknya, darinya (Al-Walid).

Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Saya berkata: Para perawinya tsiqah dan merupakan para perawi Al-Bukhari dan Muslim; kecuali Al-Walid ini, maka dia bukan perawi keduanya, dan dia di-dha’if-kan oleh Ad-Daruquthni serta di-tsiqah-kan oleh Yahya bin Ma’in -sebagaimana dalam “Al-Jarh Wat Ta’diil” karya Ibnu Abi Hatim-. Maka ini merupakan “Mutaaba’ah” yang kuat untuk Al-Auza’i.

Dan telah menyelisi keduanya (Al-Auza’i dan Al-Walid): Az-Zubair bin Khuraiq, maka dia meriwayatkannya dari ‘Atha’, dan menjadikannya dari hadits Jabir, sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 336). Akan tetapi Az-Zubair adalah “Layyinul Hadits” (lembek haditsnya) -sebagaiman dalam “At-Taqriib”-.

PENJELASAN HADITS:

[1]- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata:

“Mereka telah salah tanpa ijtihad; karena mereka memang bukan ahli ilmu.”

[“Raf’ul Malaam ‘An A-immatil A’laam” (hlm. 48- cet. Al-Maktab Al-Islami)]

[2]- Imam As-Syafi’i -rahimahullaah- berkata:

“Tidak boleh bagi seorang pun selama-lamanya: untuk bicara halal dan haram kecuali dengan disertai ilmu. Dan ilmu adalah: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ atau Qiyas.”

[“Ar-Risaalah” (no. 120)]

[3]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“…Bertanyalah kepada ahludz dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Ahludz dzikri adalah ahli ilmu -sebagaimana disebutkan dalam “Kitaab Al-Faqiih Wal Mutafaqqih” (no. 758)-.

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[2]- HADITS KEDUA

HADITS KEDUA

حديث: ((مَهْلًا يَا قَوْمِ! بِهَذَا أُهْلِكَتِ الْأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ: بِاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ، إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ؛ فَاعْمَلُوا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ؛ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ))

Hadits: “Tenang wahai kaum! Dengan sebab inilah umat-umat sebelum kalian dibinasakan: dengan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka, dan mereka mempertentangkan sebagian (isi) kitab dengan sebagian yang lainnya. Sungguh, Al-Qur’an tidak turun untuk saling mendustakan sebagian (isinya) dengan sebagian lainnya, bahkan sebagiannya membenarkan sebagian yang lainnya. Apa yang kamu ketahui (maknanya); maka amalkanlah, dan apa yang kalian tidak ketahui; maka kembalikanlah kepada yang ‘alim (berilmu) tentangnya.”

HASAN: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 6668, 6702, & 6741- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Majah (no. 85), dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam “As-Sunnah” (no. 406), dari beberapa jalan, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: Saya dan saudara saya telah duduk di suatu majlis yang tidak saya sukai untuk ditukar dengan unta merah. Saya dan saudara saya datang, dan ternyata ada para pembesar Shahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang duduk-duduk di sisi salah satu pintu, maka kami segan untuk memisahkan di antara mereka sehingga kami duduk menjauh. Kemudian mereka menyebutkan sebuah ayat dalam Al-Qur’an, lalu mereka berselisih tentangnya (dalam satu lafazh: mereka membicarakan tentang masalah takdir), sampai suara mereka meninggi. Maka Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- keluar dengan marah, wajah beliau memerah, dan beliau melempar mereka dengan debu, dan bersabda:…kemudian disebutkan lafazh haditsnya. Dan lafazh ini adalah milik Ahmad dalam sebagian riwayatnya.

Saya katakan: Ini adalah sanad yang hasan, karena termasuk riwayat ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya -dan kakeknya adalah: ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash-. Lihat: “Miizaanul I’tidaal” (III/263-268).

Dan asal haditsnya terdapat dalam Muslim (no. 2666).

Dan bagian akhirnya memiliki “Syahid” dari hadits Abu Hurairah, yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban (no. 74- cet. Daarul Fikr).

PENJELASAN HADITS:

[1]- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata -setelah menyebutkan hadits ini-:

“Maka beliau (Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) memerintahkan orang yang tidak mengetahui suatu (makna) dari Kitabullah (Al-Qur’an): untuk menyerahkan kepada orang yang ‘alim (berilmu) tentangnya, dan jangan memberat-beratkan diri untuk mengatakan sesuatu yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya.”

[“I’laamul Muwaqqi’iin” (hlm. 366- cet. Daar Thayyibah)]

[2]- Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullaah- berkata:

“Kewajiban setiap orang adalah: untuk menjadi penuntut ilmu; dengan mempelajari hal-hal yang bisa memperbaiki lahir dan batin-nya, serta hal-hal yang menjadi kewajibannya untuk sehari semalam. Dan ini bisa didapatkan dengan cara mengambil (ilmu) dari ulama; maka tidak boleh bagi orang yang bodoh untuk memberanikan diri: menetapkan hukum-hukum; padahal dia bukan ahlinya. Kewajiban dia adalah bertanya:

...فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“…Bertanyalah kepada ahludz dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Maka orang yang tidak berilmu bertanya kepada yang berilmu.”

[“At-Tahqiiqaat Wat Tanqiihaat As-Salafiyyaat ‘Alaa Matnil Waraqaat” (hlm. 641-642)]

[3]- Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah- berkata:

“Seorang yang bukan Ahli Bid’ah; maka dia akan menjadikan hidayah kepada kebenaran sebagai awal tujuannya, dan dia mengakhirkan hawa nafsu (keinginan)nya -jika ada-, dan dijadikannya sebagai pengikut (kebenaran). (Dengan ini) dia akan mendapati umumnya dalil-dalil dan kebanyakan dari (isi) Kitab (Al-Qur’an): adalah jelas dalam tujuan yang dia cari; maka dia dapati jalan yang benar. Adapun yang janggal darinya; maka dia kembalikan kepada (yang sudah jelas) darinya, atau dia serahkan kepada ahlinya; dan tidak memberat-beratkan diri untuk membahas tentang maknanya.”

[“Al-I’tishaam” (I/178- tahqiiq Syaikh Salil Al-Hilali)]

[4]- Ibnu Hibban -rahimahullaah- berkata -setelah meriwayatkan hadits Abu Hurairah-:

“Sabda beliau: “dan apa yang kalian tidak ketahui; maka kembalikanlah kepada yang ‘alim (berilmu) tentangnya”; maka di dalamnya terdapat teguran dari kebalikan dari hal ini; yaitu: Jangan sampai bertanya kepada orang yang tidak mengetahui.”

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[1]- HADITS PERTAMA

HADITS-HADITS SEPUTAR: ILMU, AMAL, & DAKWAH

HADITS PERTAMA

حديث: ((مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُجَارِيَ [وفي لفظ: لِيُبَاهِيَ] بِهِ العُلَمَاءَ، أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ؛ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ))

Hadits: “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk bergabung (dalam satu lafazh: berbangga) dengannya di hadapan ulama, atau untuk mendebat orang-orang bodoh, atau memalingkan wajah manusia agar mengahadap kepadanya; maka Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.”

TAKRIJ HADITS:

SHAHIH LIGHAIRIHI: Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (no. 2654), dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Abul Asy’ats Ahmad bin Al-Miqdam Al-‘Ijli Al-Bashri, dia berkata: Telah membawakan hadits kepada kami: Umayyah bin Khalid, dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Ishaq bin Yahya bin Thalhah, dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Ibnu Ka’b bin Malik, dari bapaknya, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:…kemudian disebutkan lafazh di atas.

At-Tirmidzi berkata:

“Gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini. Dan Ishaq bin Thalhah tidak terlalu kuat menurut mereka, dia dibicarakan dari segi hafalannya.”

Saya berkata: Para perawi lainnya adalah tsiqah termasuk para perawi Shahih [istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa sebagian perawinya adalah: perawi Al-Bukhari dan sebagian lainnya: perawi Muslim]. Dan hadits ini memilki beberapa “Syahid” (penguat dari jalan Shahabat yang lain) yang menguatkannya:

Syahid Pertama: Dari hadits Ibnu ‘Umar -dan di sinilah terdapat “lafazh lain”-:

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (no. 253), dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Hisyam bin ‘Ammar, telah membawakan hadits kepada kami: Hammad bin ‘Abdurrahman, telah membawakan hadits kami kepada kami: Abu Karib Al-Azdi, dari Nafi’, darinya (Ibnu ‘Umar), dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda:…kemudian disebutkan lafazh haditsnya.

Al-Bushiri berkata dalam “Mishbaahuz Zujaajah” (no. 100):

“Ini adalah sanad yang dha’if (lemah), dikarenakan lemahnya Hammad dan Abu Karib.”

Saya berkata: Benar seperti yang dikatakannya, akan tetapi perkataan beliau kurang tepat. Yang tepat adalah: “dikarenakan lemahnya Hammad dan MAJHUL-nya Abu Karib” Wallaahu A’lam.

Syahid Kedua: Dari hadits Jabir bin ‘Abdillah, dan lafazhnya:

((لَا تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوْا بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَلَا لِتُمَارُوْا بِهِ السُّفَهَاءَ، وَلَا تَخَيَّرُوْا بِهِ الْمَجَالِسَ، فَمَنْ فَعَلَ ذٰلِكَ؛ فَالنَّارُ النَّارُ))

“Janganlah kalian mempelajari ilmu untuk berbangga dengannya di hadapan ulama, jangan pula untuk mendebat orang-orang bodoh, dan jangan pula untuk memilih-milih majlis. Barangsiapa yang melakukannya; maka baginya adalah Neraka.”

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (no. 254), Ibnu Hibban (77- cet. Daarul Fikr), Al-Hakim (no. 292 & 293- cet. Daarul Fikr), Ibnu ‘Abdil Barr dalam “Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi” (no. 1127- cet. Daar Ibnil Jauzi), Al-Kahthib Al-Baghdadi dalam “Kitaab Al-Faqiih Wal Mutafaqqih” (no. 878- cet. Daar Ibnil Jauzi), semuanya dari dua jalan, dari Yahya bin Ayyub, dari Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair, darinya (Jabir), bahwa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:…kemudian disebutkan lafazhnya.

Al-Bushiri berkata dalam “Mishbaahuz Zujaajah” (no. 101):

“Ini sanad yang para perawinya tsiqah sesuai syarat Muslim.”

Syaikh Al-Atsyubi berkata dalam “Syarh Ibnu Majah” (IV/486):

“Benar seperti yang dikatakannya, akan tetapi dalam (sanad)nya terdapat ‘An’anah-nya Ibnu Juraij dan Abuz Zubair, sedangkan keduanya adalah Mudallis.”

Saya berkata: Benar seperti yang dikatakannya, akan tetapi dalam salah satu riwayat Al-Hakim: ada hal yang menunjukkan atas “Tahdiits” (periwayatan secara langsung) Ibnu Juraij dari Abuz Zubair. Wallaahu A’lam.

Syahid Ketiga: Dari hadits Abu Hurairah.

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (no. 260), Ibnu Hibban (78), Al-Khathib (no. 809), dari beberapa jalan, darinya (Abu Hurairah).

Dan hadits ini sebenarnya mempunyai Syahid Keempat dari hadits Hudzaifah, yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah (no. 259), akan tetapi sandanya “Saaqith” (berat ke-dha’if-annya).

Walhasil bahwa hadits di atas adalah “Shahih Ligharihi”, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Albani -rahimahullaah- dalam “At-Ta’liiqaatul Hisaan” (no. 77).

PENJELASAN HADITS:

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali -rahimahullaah- berkata dalam “Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘Alal Khalaf” (hlm. 61-62):

“Maka pada zaman yang rusak ini (manusia harus memilih):

(1)- apakah dia ridha agar dirinya menjadi seorang ‘alim (berilmu) menurut Allah,

(2)- ataukah dia tidak ridha kecuali (harus) menjadi ‘alim menurut manusia zaman sekarang.

Kalau dia ridha dengan yang pertama; maka cukuplah dengan pengetahuan Allah tentang dirinya. Dan barangsiapa yang antara dirinya dengan Allah ada pengenalan; maka dia akan mencukupkan diri dengan pengenalan Allah terhadap dirinya.

Dan barangsiapa yang tidak ridha kecuali agar bisa menjadi ‘alim menurut manusia; maka dia masuk ke dalam sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-: “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk berbangga dengannya di hadapan ulama, atau untuk mendebat orang-orang bodoh, atau memalingkan wajah manusia agar mengahadap kepadanya; maka siapkanlah tempatnya di Neraka.”

Wuhaib bin Al-Ward berkata: Betapa banyak orang ‘alim (berilmu) yang manusia menyebutnya sebagai seorang ‘alim, ternyata menurut Allah: dia tergolong orang bodoh.”

Dan seorang Shahabat yang mulia: ‘Utbah bin Ghazwan -radhiyallaahu ‘anhu- berkata:

وَإِنِّي أَعُوذُ بِاللهِ أَنْ أَكُونَ فِي نَفْسِيْ عَظِيمًا، وَعِنْدَ اللهِ صَغِيرًا

“Dan sungguh, aku berlindung kepada Allah dari (sifat) merasa besar pada diri sendiri, sedangkan di sisi Allah adalah kecil.”

Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2967)

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

MUQADDIMAH TAKHRIJ

MUQADDIMAH TAKHRIJ HADITS

Berkata Syaikhu Syuyukhina Fadhilatul Ustadz ‘Abdul Hakim bin ‘Amir Abdat -hafizhahullaah-:

“Perkataan beliau [Imam Al-Bukhari]: “Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahih.”

Maksudnya adalah:

PERTAMA: Hakikat Takhrijul Hadits ialah: meriwayatkan hadits dengan sanad dari dirinya.

Contohnya: seperti Imam Al-Bukhari, dia telah meriwayatkan hadits dengan sanad darinya, dari gurunya, dan seterusnya, sampai kepada Nabi -shallaallahu ‘alaihi wa sallam-, atau sampai kepada Sahabat -radhiyallahu ‘anhum-, atau sampai kepada Tabi’in, dan seterusnya. Oleh karena itu: Imam Al-Bukhari -dan saudara-saudaranya sesama perawi hadits- dinamakan “Mukharrij”; yaitu: orang yang mentakhrij hadits, sesuai dengan ta’rif (definisi) di atas.

KEDUA: Adapun ketika cara yang pertama -yang tadi saya terangkan- tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan -yaitu: meriwayatkan hadits dengan sanad darinya sendiri- seperti pada zaman kita sekarang ini, bahkan pada zaman-zaman sebelumnya, disebabkan jarak yang demikian jauhnya, dan hadits telah dicatat dan dikumpulkan oleh para Imam ahli hadits lengkap dengan sanadnya: maka Takhrijul Hadits untuk cara yang kedua ialah: MERIWAYATKAN HADITS DARI KITAB-KITAB HADITS, DENGAN MENGUMPULKAN SANADNYA, KEMUDIAN MENGHUKUMI HADITS TEESEBUT: APAKAH DIA HADITS SAH ATAU TIDAK?

Inilah yang dinamakan Takhrijul Hadits. Oleh karena itu para imam ahli hadits yang datang belakangan: semuanya menempuh cara yang kedua ini.

Adapun semata-mata meriwayatkan atau mengembalikan hadits kepada asalnya -seperti ungkapan: hadits tersebut telah dikeluarkan oleh Abu Dawud, dan At-Tirmidzi, dan An-Nasa-i, dan lain-lain -tanpa menghukumi hadits tersebut: sah atau tidaknya-; maka pada hakikatnya itu bukanlah Takhrijul Hadits.

Dari sini kita mengetahui bahwa: hakikat dari Takhrijul Hadits adalah IJTIHAD, BUKAN TAQLID. Yakni ijtihad dari seorang ahlinya (yang) men-takhrij-nya (dia memberikan ijtihad hukumnya) setelah dia menempuh (tiga jalan):

- Pertama: Mengumpulkan sanad, memeriksanya, meneliti rawi-rawi-nya, matan-nya, atau lafazh-lafazh-nya, dan seterusnya yang berkaitan erat dengan status hukum sebuah hadits.

- Kedua: Melihat dan meneliti dengan cermat keputusan para ahli hadits mengenai status hadits tersebut.

- Ketiga: Keputusan darinya: adakalanya dengan menyetujui sebagian ahli hadits yang men-sah-kannya atau men-dha’if-kannya, dan adakalanya dia menyalahi nya...dan begitulah seterusnya yang menunjukkan kepada para pelajar yang mendalami ilmu yang mulia ini bahwa: hakikat dari takhrijul hadits adalah sebuah ijtihad dari seorang yang ahli men-takhrij-nya, bukan taqlid.

Maka apabila keputusan status hukum terhadap hadits diserahkan saja kepada ahlinya -seperti dia mengatakan bahwa hadits tersebut telah di-sah-kan oleh Imam fulan atau telah di-dha’if- kan oleh Imam Fulan; maka ini adalah taqlid, bukan hakikat dari Takhrijul Hadits. Dan dia harus menjelaskannya dan mengatakannya: Kepada siapa dia menyerahkan keputusan hukum tersebut? Supaya dia jangan (sampai) dituduh sebagai pencuri.

Tentunya hal yang demikian dibolehkan selama dia menyandarkannya dan menyerahkannya kepada ahlinya, bukan kepada orang-orang yang jahil atau yang bukan ahlinya. Dibolehkannya taqlid dalam masalah ini: karena tidak ada seorang pun juga yang selamat; meskipun dia orang yang ahli dalam sebagian pembahasan ilmiahnya, walaupun tidak menjadi kebiasaannya.

Adapun bagi orang-orang awam: maka seluruh keputusan takhrij diserahkan pada ahlinya. Demikian juga bagi para pelajar ilmiah yang tidak mendalami ilmu yang mulia ini -karena pada setiap ilmu ada orang yang mendalaminya dan ahlinya-: mereka disamakan dengan orang-orang awam dalam bab ini, maka seluruh keputusan takhrij diserahkan kepada ahlinya.

Sedikit saya panjangkan masalah takhrij ini: karena seringkali terjadi kesalahan ilmiah dari sebagian pelajar -khususnya para pemula- yang mendalami ilmu yang mulia ini. Ilmu yang sangat besar ini (adalah ilmu) yang membutuhkan waktu cukup lama -sampai puluhan tahun- untuk mempelajarinya, dengan kepandaian yang cukup serta kesabaran yang dalam.”

[Majalah As-Sunnah (hlm. 27-28), No. 1/Tahun XVI, Jumadil Akhir 1433 H / Mei 2012 M]

Jumat, 03 Maret 2017

PENUTUP (AL-MAQAALAAT 4)



PENUTUP (AL-MAQAALAAT 4)

“(Suatu perkataan); baik bentuknya sya’ir maupun prosa, kabar yang diriwayatkan, dan ilmu yang ditulis atau dikeluarkan…semuanya merupakan penjelasan dari apa yang ada dalam jiwa dan apa yang berdenyut dalam akal.

Maka dalam susunan tiap perkataan dan dalam lafazh-lafazh-nya; pasti ada pengaruh yang nampak, atau sifat yang samar dari jiwa pembicaranya, dan apa yang tersembunyi dalam emosi, kecenderungan, dan keinginan; baik berupa kebaikan maupun keburukan, baik berupa kejujuran maupun kedustaan. Dan (nampak juga) kecerdasan si pembicara, dan apa yang terpendam dalam pikirannya -atau tersembunyi-; berupa pandangan yang teliti, makna yang jelas ataupun samar, kefasihan yang jujur, atau kepintaran yang dibuat-buat, tujuan yang diridhai, ataupun yang dibenci.”

[“Risaalah Fith Thariiq Ilaa Tsaqaafatinaa” (hlm. 15), karya Syaikh Mahmud Syakir -rahimahullaah-]

“(Dan) tabi’at dari Al-Maqaalah (makalah) adalah bersandar pada satu pemikiran yang saling terikat.”

[“Abaathiil Wa Asmaar” (hlm. 200), karya Syaikh Mahmud Syakir -rahimahullaah-]

Dan itulah yang kami usahakan -sebagaimana senantiasa kami isyaratkan di muqaddimah-muqaddimah AL-MAQAALAAT (termasuk AL-MAQAALAAT 4 ini)-. Akan tetapi, dikarenakan kekurangan ilmu; maka banyak yang melenceng dari “satu pemikiran” ini, belum lagi ditambah ketidak teraturan dalam urutan pembahasan. Dan inilah yang mampu kami sampaikan.

سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Pemalang, 4 Jumadal Akhirah 1438 H

3 Maret 2017 M

Ahmad Hendrix

150- SISA SAMPAH



SISA SAMPAH

[1]- Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallaahu ‘anhu berkata:  “Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menuju (perang) Hunain -SEDANGKAN KAMI BARU LEPAS DARI KEKAFIRAN (baru masuk Islam)- (dan mereka masuk Islam pada Fat-hu Makkah), ketika kami melewati sebuah pohon bidara; maka kami berkata: “Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami “Dzaatu Anwaath”; sebagaimana mereka memiliki “Dzaatu Anwaath”!” Di saat itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang mereka i’tikaf di sisinya dan mereka menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon tersebut, (pohon) itu mereka namakan Dzaatu Anwaath. Tatkala kami mengatakan hal itu; Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allaahu Akbar! Demi (Allah) Yang jiwaku di tangan-Nya!! Kalian benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: “…Buatkanlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala). Musa menjawab: Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 138) Kalian pasti akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum kalian.”

[HR. At-Tirmidzi (no. 2180), Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Kitaabus Sunnah” (no. 76) -dan ini lafazhnya-, dan lain-lain. Lihat: “Zhilaalul Jannah” (no. 76) karya Syaikh Al-Albani -rahimahullaah-]

[2]- Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab -rahimahullaah- menjelaskan di antara faedah dari Hadits ini:

“Seorang yang berpindah dari kebatilan yang hatinya sudah terbiasa dengannya; maka tidak aman kalau di hatinya masih ada bekas dari kebiasaan tersebut. Karena di sini dikatakan: “sedangkan kami baru saja lepas dari kekafiran”.”

[3]- Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- mengomentari:

“Dan bekas ini tidak akan hilang kecuali setelah beberapa waktu.”

[“Al-Qaulul Mufiid ‘Alaa Kitaabit Tauhiid” (I/213)]

[4]- Imam Ibnul ‘Arabi berkata: “Guru kami Abu Hamid (Imam Ghazali) masuk ke perut-perut filsafat; kemudian ingin keluar darinya: tapi tidak mampu.”

[Sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- dalam “Munhaajus Sunnah” (I/5)]

[5]- DEMIKIAN JUGA YANG BARU TERLEPAS DARI SYUBHAT POLITIK: #MASIH_ADA_SISA_SAMPAHNYA!!!

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-