Rabu, 22 Maret 2017

[2]- HADITS KEDUA

HADITS KEDUA

حديث: ((مَهْلًا يَا قَوْمِ! بِهَذَا أُهْلِكَتِ الْأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ: بِاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ، إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ؛ فَاعْمَلُوا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ؛ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ))

Hadits: “Tenang wahai kaum! Dengan sebab inilah umat-umat sebelum kalian dibinasakan: dengan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka, dan mereka mempertentangkan sebagian (isi) kitab dengan sebagian yang lainnya. Sungguh, Al-Qur’an tidak turun untuk saling mendustakan sebagian (isinya) dengan sebagian lainnya, bahkan sebagiannya membenarkan sebagian yang lainnya. Apa yang kamu ketahui (maknanya); maka amalkanlah, dan apa yang kalian tidak ketahui; maka kembalikanlah kepada yang ‘alim (berilmu) tentangnya.”

HASAN: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 6668, 6702, & 6741- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Majah (no. 85), dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam “As-Sunnah” (no. 406), dari beberapa jalan, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: Saya dan saudara saya telah duduk di suatu majlis yang tidak saya sukai untuk ditukar dengan unta merah. Saya dan saudara saya datang, dan ternyata ada para pembesar Shahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang duduk-duduk di sisi salah satu pintu, maka kami segan untuk memisahkan di antara mereka sehingga kami duduk menjauh. Kemudian mereka menyebutkan sebuah ayat dalam Al-Qur’an, lalu mereka berselisih tentangnya (dalam satu lafazh: mereka membicarakan tentang masalah takdir), sampai suara mereka meninggi. Maka Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- keluar dengan marah, wajah beliau memerah, dan beliau melempar mereka dengan debu, dan bersabda:…kemudian disebutkan lafazh haditsnya. Dan lafazh ini adalah milik Ahmad dalam sebagian riwayatnya.

Saya katakan: Ini adalah sanad yang hasan, karena termasuk riwayat ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya -dan kakeknya adalah: ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash-. Lihat: “Miizaanul I’tidaal” (III/263-268).

Dan asal haditsnya terdapat dalam Muslim (no. 2666).

Dan bagian akhirnya memiliki “Syahid” dari hadits Abu Hurairah, yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban (no. 74- cet. Daarul Fikr).

PENJELASAN HADITS:

[1]- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata -setelah menyebutkan hadits ini-:

“Maka beliau (Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) memerintahkan orang yang tidak mengetahui suatu (makna) dari Kitabullah (Al-Qur’an): untuk menyerahkan kepada orang yang ‘alim (berilmu) tentangnya, dan jangan memberat-beratkan diri untuk mengatakan sesuatu yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya.”

[“I’laamul Muwaqqi’iin” (hlm. 366- cet. Daar Thayyibah)]

[2]- Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullaah- berkata:

“Kewajiban setiap orang adalah: untuk menjadi penuntut ilmu; dengan mempelajari hal-hal yang bisa memperbaiki lahir dan batin-nya, serta hal-hal yang menjadi kewajibannya untuk sehari semalam. Dan ini bisa didapatkan dengan cara mengambil (ilmu) dari ulama; maka tidak boleh bagi orang yang bodoh untuk memberanikan diri: menetapkan hukum-hukum; padahal dia bukan ahlinya. Kewajiban dia adalah bertanya:

...فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“…Bertanyalah kepada ahludz dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Maka orang yang tidak berilmu bertanya kepada yang berilmu.”

[“At-Tahqiiqaat Wat Tanqiihaat As-Salafiyyaat ‘Alaa Matnil Waraqaat” (hlm. 641-642)]

[3]- Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah- berkata:

“Seorang yang bukan Ahli Bid’ah; maka dia akan menjadikan hidayah kepada kebenaran sebagai awal tujuannya, dan dia mengakhirkan hawa nafsu (keinginan)nya -jika ada-, dan dijadikannya sebagai pengikut (kebenaran). (Dengan ini) dia akan mendapati umumnya dalil-dalil dan kebanyakan dari (isi) Kitab (Al-Qur’an): adalah jelas dalam tujuan yang dia cari; maka dia dapati jalan yang benar. Adapun yang janggal darinya; maka dia kembalikan kepada (yang sudah jelas) darinya, atau dia serahkan kepada ahlinya; dan tidak memberat-beratkan diri untuk membahas tentang maknanya.”

[“Al-I’tishaam” (I/178- tahqiiq Syaikh Salil Al-Hilali)]

[4]- Ibnu Hibban -rahimahullaah- berkata -setelah meriwayatkan hadits Abu Hurairah-:

“Sabda beliau: “dan apa yang kalian tidak ketahui; maka kembalikanlah kepada yang ‘alim (berilmu) tentangnya”; maka di dalamnya terdapat teguran dari kebalikan dari hal ini; yaitu: Jangan sampai bertanya kepada orang yang tidak mengetahui.”

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar