CARA BERDALIL AHLUS SUNNAH
[1]- Kata As-Sunnah mempunyai beberapa pengertian:
Pertama: Sunnah adalah perkara-perkara yang tidak wajib;
yang kalau dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan tidak berdosa.
Inilah pengertian yang biasa digunakan oleh orang-orang yang belajar ilmu Fiqih.
Kedua: Sunnah adalah setiap perkataan, perbuatan dan
persetujuan dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Pada hakikatnya ini
adalah pengertian dari hadits, adapun As-Sunnah; maka lebih luas lagi. Yakni
mencakup perjalanan hidup Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Jadi As-Sunnah
adalah kumpulan dari hadits-hadits Nabi. Inilah yang dimaksud ketika dikatakan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, inilah “Al-Hadyu” yang sering diulang-ulang Nabi -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- dalam tiap khuthbah-nya:
أَمَّا
بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْـحَدِيْـثِ كِـتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْـهَدْيِ
هَدْيُ مُـحَمَّدٍ...
“Amma ba’du. Sungguh, sebenar-benar perkataan adalah
Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik al-Hadyu (petunjuk) adalah Hadyu
(petunjuk) Nabi Muhammad (As-Sunnah)…”
[Lihat: “Al-Anwaarul Kaasyifah” (hlm. 27) karya
Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi -rahimahullaah-]
Bahkan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata:
“As-Sunnah adalah jalan yang ditempuh, sehingga hal itu
mencakup: Berpegang dengan (ajaran agama) yang beliau (Nabi -shallallaahu
‘alaihi wa sallam-) dan para Khulafa-ur Rasyidin berada diatasnya, berupa:
‘Aqidah (keyakinan), amal perbuatan dan perkataan. Inilah Sunnah yang sempurna,
oleh karena itulah dahulu para Salaf tidak menggunakan makna Sunnah kecuali
yang mencakup semuanya ini. Makna semacam ini diriwayatkan dari Hasan
(Al-Bashri), Al-Auza’i, dan Fudhail bin ‘Iyadh.”
[“Jaami’ul ‘Uluum Wal Hikam” (II/120-cet. Muassasah
ar-Risaalah)]
Sehingga, yang dinamakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah:
mereka yang menempuh seperti apa yang ditempuh oleh Rasulullah -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- dan para Shahabat beliau -radhiyallaahu ‘anhum-.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dikatakan juga Salafiyyun; karena
mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih (para pendahulu yang shalih) dari para
Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti
jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka disepanjang masa; mereka
ini dinamakan Salafi; karena dinisbatkan kepada Salaf.
[Lihat: “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”
(hlm. 35-36-cet. VIII) karya Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]
-diambil dari muqaddimah
“Syarah Ushulus Sunnah”, karya: Ahmad Hendrix-
[2]- Ahlus Sunnah Mengambil
Yang Paling Kuat
Imam Qawwamus Sunnah Isma’il bin Muhammad Al-Ashbahani (wafat th. 535 H)
rahimahullaah berkata dalam kitabnya: ”Al-Hujjah Fii Bayaanil Mahajjah Wa
Syar-hi ’Aqiidati Ahlis Sunnah” (II/412-413):
“Kalau dikatakan: Perkaranya adalah seperti yang anda sebutkan, akan tetapi:
setiap kelompok selalu berdalil -untuk menguatkan madzhabnya- dengan sebuah
hujjah (hadits).
Maka dijawab: Barangsiapa yang berdalil dengan hadits dha’if (lemah) untuk
menentang hadits shahih, atau hadits mursal (yang sanadnya terputus) digunakan
untuk melawan hadits musnad (yang sanadnya bersambung), atau berdalil dengan
perkataan tabi’in (atau orang setelahnya) untuk melawan sabda Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka keduanya tidak akan sama.
Karena barangsiapa yang
mengikuti perkataan Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka dia telah
berpegang dengan hujjah (dalil) -secara pasti-. Orang yang berdalil dengan
sesuatu yang kuat (shahih); maka jelas lebih baik keadaannya dibandingkan orang
yang berdalil dengan sesuatu yang lemah (dha’if).
Dari sinilah menjadi jelas
perbedaan antara Ittiba’ (mengikuti Sunnah) dengan selainnya. KARENA AHLUS
SUNNAH HANYA MENGIKUTI YANG PALING KUAT, SEDANGKAN AHLUL BID’AH DAN PENGIKUT
HAWA NAFSU; MENGIKUTI YANG SESUAI DENGAN HAWA NAFSU (KEINGINAN)NYA.”
[3]- Ahlus Sunnah Mengambil
Yang Paling Jelas
Intinya:
di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat ayat-ayat dan hadits-hadits yang
jelas dan gamblang (maknanya) bagi setiap orang; dan inilah yang dijadikan
sebagai pedoman, dan didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah juga terdapat ayat-ayat
dan hadits-hadits yang maknanya janggal/asing atas sebagian orang. Maka
kewajiban (kita) adalah: mengembalikan mutasyabihat kepada muhkamat
dan mengembalikan yang samar kepada yang sudah jelas. Dengan cara ini maka
Al-Qur’an dan As-Sunnah akan saling membenarkan dan tidak ada pertentangan
serta kontradiksi di dalam keduanya.
[Lihat: “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 122-cet. Muassasah
ar-Risaalah) dan I’laamul Muwaqq’iin (hlm. 437- dst.- cet. Daar Thayyibah)]
[4]- Ahlus Sunnah Tidak Mengambil
Sebagian Dalil Dan Menelantarkan Yang Lainnya
Imam Asy-Syathibi (wafat th.
790 H) -rahimahullaah- berkata:
“Cara mengambil dalil menurut
para imam yang kokoh ilmunya adalah: dengan cara mengambil syari’at ini sebagai
satu kesatuan sesuai dengan kaidah-kaidah umum yang diterapkan kepada
cabang-cabangnya; berupa:
- dalil yang umum dikhususkan
dengan dalil yang khusus,
- yang “Mutlak” (tidak terikat)
dibawa kepada yang “Muqayyad” (yang terikat),
- yang “Mujmal” (masih global)
ditafsirkan dengan “Mubayyan” (yang sudah jelas),
- dan cara-cara yang lain.
Kalau terhasilkan sebuah hukum
bagi seorang mujtahid dengan cara tersebut; maka ketika itu dapat dikatakan
bahwa syari’at lah yang berbicara.
Permisalan nya seperti seorang
manusia: sebagaimana manusia (yang terdiri dari: tangan kaki kepala dan lidah);
maka:
- semata-mata tangannya tidak
akan mungkin bisa berbicara,
- demikian juga kakinya saja,
- atau kepalanya saja.
- Bahkan lidahnya saja (tanpa
anggota badan yang lainnya; maka tidak dapat bicara).
Akan tetapi gabungan dari
semuanya itu: itulah yang disebut sebagai manusia (yang dapat bicara).
Demikian juga syariat: tidak
bisa diambil hukumnya kecuali dengan mengambil semuanya; tidak cuma satu dalil.
Walaupun secara sepintas satu dalil pun bisa berbicara; tetapi itu tidak bicara
secara hakiki.”
[“Al-I’tishaam” (II/51- tahqiiq
Syaikh Masyhur)]
Sebagian mereka menamakan hal
ini dengan “Nazhrah Syumuuliyyah” (melihat dalil secara keseluruhan).
[Lihat: “Qawaa-‘id Wa Fawaa-id
Minal Arba’iin An-Nawawiyyah” (hlm. 43)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar