FAEDAH-FAEDAH
RINGKAS TENTANG JARH WA TA’DIIL
[1]- PENGERTIAN AL-JARH & AT-TA’DIIL
“Al-Jarh” adalah: celaan terhadap perawi yang menjadikan
haditsnya lemah, sangat lemah, atau palsu. Dan termasuk juga celaan terhadap
perawi dikarenakan Bid’ah yang dianutnya. Ada juga perawi yang tidak ada yang
mencela; akan tetapi juga tidak ada yang memuji; maka dia juga menjadi Majhul
(dikategorikan dalam Dha’if (lemah) dalam periwayatannya).
“At-Ta’diil” adalah: pujian terhadap perawi Hadits; yang
menjadikan perawi berada dalam tingkatan Tsiqah tertinggi (seperti Tsiqatun
Tsiqah, Tsiqatun Tsabtun, dan lain-lain), atau tingkatan Tsiqah
saja, atau bahkan hanya Shaduq (Hasan Hadits-nya).
[Lihat: “Dhawaa-bith Jarh Wa Ta’diil” (hlm. 10-11), karya
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu ‘Abdul Lathif -rahimahullaah-, dan “Manhaj
As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 343-343- cet. II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan
Al-Halabi -hafzahullaah-]
[2]- JARH WA TA’DIL KONTEMPORER
Ilmu Jarh Wa Ta’dil dan kadiah-kaidahnya untuk zaman
sekarang adalah: sama dengan ilmu dan kaidah yang digunakan untuk para perawi
Hadits. Hanya saja perlu diperhatikan dalam praktek dan penerapannya.
[Lihat: “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 95- cet. II),
karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafzahullaah-]
[3]- ORANG YANG BERHAK MELAKUKAN JARH WA TA’DIL
Imam Adz-Dzahabi -rahimahullaah-
berkata:
وَالْكَلَامُ
فِي الرُّوِاةِ يَـحْتَاجُ إِلَى: (١)وَرَعٍ تَامٍّ، وَبَرَاءَةٍ مِنَ الْـهَوَى وَالْمَيْلِ،
(٢)وَخِبْرَةٍ كَامِلَةٍ بِالْـحَدِيْثِ، وَعِلَلِهِ، وَرِجَالِهِ
“Pembicaraan tentang para perawi
itu membutuhkan: (1)wara’ yang sempurna, dan berlepas diri dari hawa nafsu
serta kecenderungan (mengikuti keinginan hawa nafsu-pent), dan (butuh juga
kepada): (2)pengalaman yang sempurna terhadap Hadits, ‘ilal (cacat-cacat
Hadits yang tersembunyi) dan rijaal (para perawi Hadits).”
[“Al-Muuqizhah Fii ‘Ilmi Mushthalahil
Hadiits” (hlm. 82)]
[4]- KAIDAH DALAM TA’DIL
Ta’dil (Pujian/Rekomendasi)
terhadap seseorang dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara:
Pertama: (1)dikarenakan adanya
Ta’dil dari seorang yang ahli, (2)atau memang yang dibahas adalah seorang yang
masyhur bahwa dia dipercaya oleh para ulama (pada zaman dahul seperti Imam
Ahmad, Imam Malik, dan semisalnya).
Kedua: dengan memeriksa
riwayatnya dan dibandingkan dengan riwayat-riwayat orang yang sudah jelas
terpercaya (kalau pada zaman sekarang: mungkin dengan memeriksa
kajian-kajiannya: apakah sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para ulama
atau justru bertentangan).
[Lihat: “Muqaddimah Ibni Ash-Shalah” (hlm. 137-138-
At-Taqyiid Wal Iidhaah)]
Maka, bagi orang yang memberikan rekomendasi pada orang lain:
sudahkah dia memenuhi dua cara di atas??? Ataukah dia sudah menganggap dirinya
sebagai Ahli dalam Jarh Wa Ta’dil; sehingga dia langsung bisa memberikan
rekomendasi tanpa perlu lagi pembahasan atau penelitian.
Imam Adz-Dzahab- -rahimahullaah- berkata [sebagaimana
dinukil dalam “Ar-Raf’u Wat Takmiil” (hlm. 18)]:
ولا سبيل إلى أنْ
يصير العارف -الذي يزكّي نقلةَ الأخبار ويَـجرحهم-: جِهْبِذًّا إلّا بإدمان الطلب
والفحص عن هذا الشأن، وكثرةِ المذاكرة والسهر والتيقُّظ والفهم، مع التقوى والدين
الـمتين والإنصاف والتردّد إلى العلماء، والإتقان
“Tidak ada jalan
untuk bagi seorang yang faham terhadap Jarh Wa Ta’dil untuk bisa menjadi
ahli (dalam hal ini);
melainkan dengan cara: senantiasa
menuntut ilmu (Hadits), terus meneliti tentang ilmu ini dan
banyak mengulang-ngulang,
begadang, serta benar-benar hadir pikirannya dan pemahamannya, dengan
disertai ketaqwaan dan agama yang kuat serta tidak berpihak (melainkan hanya kepada kebenaran-pent) dan senantiasa berkonsultasi dengan para ulama
dan ahli.”
[5]- MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT
DALAM JARH WA TA’DIL
Kaidah umumnya adalah apa yang
dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah-:
الجرح
مقدَّمٌ على التعديل إنْ صدر مُبَيَّنًا مِن عارف بأسبابه
“Jarh (celaan/kritikan) lebih didahulukan atas Ta’dil
(pujian/rekomendasi); jika Jarh itu muncul disertai penjelasan dari seorang
yang ahli dalam permasalahan sebab-sebab Jarh.”
[“Nukhbatul Fikar” (hlm. 193-
An-Nukat ‘Alaa Nus-hatin Nazhar)]
Hal itu dikarenakan: seorang yang
melakukan Jarh punya ilmu tambahan tentang keadaan orang yang dikritik; yang
ilmu ini tidak dimililki oleh orang yang merekomendasi. Maka seorang yang
mengkritik setuju dengan orang yang merekomendasi dalam hal: kebaikan secara
lahiriah yang diketahui bersama. Akan tetapi dia (yang mengkritik) menjelaskan
kejelekannya yang tersamar atas orang yang memberikan rekomendasi.
[Lihat: “Dhawaa-bith Jarh Wa
Ta’diil” (hlm. 44), karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu ‘Abdul Lathif
-rahimahullaah-]
[6]- JARH WA TA’DIL ADALAH
-SECARA UMUM- PERKARA IJTIHADIYYAH
Jarh Wa Ta’dil -sebagaimana permasalahan fiqhiyyah- masuk
dalam perkara ijtihadiyyah (dengan tetap diingat: bahwa ada juga perkara yang
di-ijmaa’-kan/disepakati).
[Lihat: “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 225-226- cet.
II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizahullaah-]
Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallaahu ‘anhumaa-, dia berkata: Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada kami sepulangnya dari Perang
Ahzab:
لاَ
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Janganlah seorang pun Shalat ‘Ashar kecuali di Bani
Quraizhah!”
Maka sebagian mereka mendapati waktu ‘Ashar di jalan;
sehingga sebagian mereka berkata: Kita tidak akan Shalat sebelum mendatanginya.
Dan sebagian yang lain berkata: Bahkan kita Shalat (di jalan); dan maksud
beliau bukanlah (seperti lahiriah sabda beliau) tersebut. Dan (perselisihan)
itu disebutkan kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; MAKA BELIAU TIDAK
MENCELA SEORANG PUN DARI MEREKA.
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 946 & 4119) dan
Muslim (no. 1770)]
Ketika Ka’b bin Malik tidak berangkat Perang Tabuk; maka sesampainya
di Tabuk; barulah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ingat kepadanya. Beliau
pun bertanya: “Di mana Ka’b bin Malik?” Seorang dari Bani Salimah berkata: “Dia
terhalangi oleh keindahan pakaian (kemewahan)nya dan melihat kepada ketiaknya.”
[isyarat kepada ‘ujub (berbangga) dengan diri dan pakaiannya]. Mu’adz bin Jabal
berkata: “Buruk sekali perkataanmu! Demi
Allah wahai Rasulullah, yang kami ketahui darinya hanyalah kebaikan.” MAKA
RASULULLAH -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- DIAM SAJA.
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 4418) dan Muslim
(no. 2769), penjelasan dalam kurung [ ] dari Syarh Muslim]
Hadits pertama dijadikan para ulama sebagai dalil: bahwa
kesalahan dalam Fiqih -setelah berijtihad bagi ahlinya- tidaklah tercela;
karena masalah Fiq-hiyyah -secara umum- masuk dalam kategori ijtihadiyyah.
[Lihat: “Syarh Al-Waraqaat” (hlm. 659-660), karya Syaikh
Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullaah-]
Adapun hadits kedua; maka di dalamnya terdapat isyarat
-dalam diamnya Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bahwa: masalah Jarh
(celaan) dan Ta’dil (pujian) juga termasuk masalah ijtihadiyyah. Dan pendalilan
ini dari saya; seingat saya: belum ada ulama yang berdalil dengan hadits ini
untuk masalah ini. Wallaahu A’lam.
[7]- MUQALLID (ORANG YANG TAQLID) DALAM MASALAH JARH WA
TA’DIL
Maka, seperti masalah Fiqih; dalam masalah Jarh Wa Ta’dil
juga ada: Taqlid; yakni bagi orang awam yang tidak mengetahui kaidah-kaidah
Jarh Wa Ta’dil; sehingga tidak bisa merajihkan. Maka tugas orang awam yang
lemah dan mudah terkena syubhat: agar menjauhi Ahli Bida’h -terlebih lagi para
da’i yang mengajak kepada Bid’ah-. Karena dikhawatirkan dia terjatuh dalam
jeratan mereka -sebagaimana terjadi pada banyak orang-orang yang lemah-.
Dan hal ini masuk dalam kategori Hajr Wiqa’i (memboikot
Ahlul Bid’ah untuk menjaga diri pribadi). Maka ketika itu: tidak boleh baginya
umenyibukkan diri dengan Jarh, Tabdii’,
Hajr, dst. Karena dia adalah orang awam yang Taqlid; maka bagaimana mungkin dia
kemudian menjadi Mujtahid dalam waktu yang bersamaan.
Kalau dia mampu naik kepada derajat Ittibaa’ (bisa
merajihkan); maka itu urusan lain.
[Lihat: “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 380-381- cet.
II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizahullaah-]
[8]- TUGAS DA’I DAN PENDIDIK ORANG-ORANG AWAM
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata:
“Yang wajib adalah: memerintahkan orang-orang awam dengan
perkara-perkara yang telah tetap dari nash syari’ dan ijmaa’, dan mereka
(harus) dicegah dari menyelami hal-hal rinci yang hanya menimbulkan perpecahan
dan perselisihan di antara mereka. Karena perpecahan dan perselisihan termasuk
hal terbesar yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.”
[Majmuu’ Fataawaa (XII/237)]
Maka kewajiban penuntut ilmu adalah: untuk menyibukkan
waktunya dalam ketaatan kepada Allah, membahas ilmu, dan menghadiri
halaqah-halaqah ilmu.
Tidak mengapa baginya untuk mendengarkan tahdzir-an dari
ulama Ahlus Sunnah terhadap Ahli Bid’ah agar bisa waspada darinya.
Adapun kita menjadikan seluruh waktu kita untuk membicarakan
Ahli Bid’ah -tanpa ada kesibukan menuntut ilmu yang bermanfaat untuk kita-;
maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah kesalahan yang besar.
[Lihat: “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 192-193- cet.
II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizahullaah-]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar