Jumat, 03 Maret 2017

132- FAEDAH-FAEDAH RINGKAS TENTANG JARH WA TA’DIIL



 FAEDAH-FAEDAH RINGKAS TENTANG JARH WA TA’DIIL

[1]- PENGERTIAN AL-JARH & AT-TA’DIIL

“Al-Jarh” adalah: celaan terhadap perawi yang menjadikan haditsnya lemah, sangat lemah, atau palsu. Dan termasuk juga celaan terhadap perawi dikarenakan Bid’ah yang dianutnya. Ada juga perawi yang tidak ada yang mencela; akan tetapi juga tidak ada yang memuji; maka dia juga menjadi Majhul (dikategorikan dalam Dha’if (lemah) dalam periwayatannya).

“At-Ta’diil” adalah: pujian terhadap perawi Hadits; yang menjadikan perawi berada dalam tingkatan Tsiqah tertinggi (seperti Tsiqatun Tsiqah, Tsiqatun Tsabtun, dan lain-lain), atau tingkatan Tsiqah saja, atau bahkan hanya Shaduq (Hasan Hadits-nya).

[Lihat: “Dhawaa-bith Jarh Wa Ta’diil” (hlm. 10-11), karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu ‘Abdul Lathif -rahimahullaah-, dan “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 343-343- cet. II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafzahullaah-]

[2]- JARH WA TA’DIL KONTEMPORER

Ilmu Jarh Wa Ta’dil dan kadiah-kaidahnya untuk zaman sekarang adalah: sama dengan ilmu dan kaidah yang digunakan untuk para perawi Hadits. Hanya saja perlu diperhatikan dalam praktek dan penerapannya.

[Lihat: “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 95- cet. II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafzahullaah-]

[3]- ORANG YANG BERHAK MELAKUKAN JARH WA TA’DIL

Imam Adz-Dzahabi -rahimahullaah- berkata:

وَالْكَلَامُ فِي الرُّوِاةِ يَـحْتَاجُ إِلَى: (١)وَرَعٍ تَامٍّ، وَبَرَاءَةٍ مِنَ الْـهَوَى وَالْمَيْلِ، (٢)وَخِبْرَةٍ كَامِلَةٍ بِالْـحَدِيْثِ، وَعِلَلِهِ، وَرِجَالِهِ

“Pembicaraan tentang para perawi itu membutuhkan: (1)wara’ yang sempurna, dan berlepas diri dari hawa nafsu serta kecenderungan (mengikuti keinginan hawa nafsu-pent), dan (butuh juga kepada): (2)pengalaman yang sempurna terhadap Hadits, ‘ilal (cacat-cacat Hadits yang tersembunyi) dan rijaal (para perawi Hadits).”

[“Al-Muuqizhah Fii ‘Ilmi Mushthalahil Hadiits” (hlm. 82)]

[4]- KAIDAH DALAM TA’DIL

Ta’dil (Pujian/Rekomendasi) terhadap seseorang dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara:

Pertama: (1)dikarenakan adanya Ta’dil dari seorang yang ahli, (2)atau memang yang dibahas adalah seorang yang masyhur bahwa dia dipercaya oleh para ulama (pada zaman dahul seperti Imam Ahmad, Imam Malik, dan semisalnya).
Kedua: dengan memeriksa riwayatnya dan dibandingkan dengan riwayat-riwayat orang yang sudah jelas terpercaya (kalau pada zaman sekarang: mungkin dengan memeriksa kajian-kajiannya: apakah sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para ulama atau justru bertentangan).

[Lihat: “Muqaddimah Ibni Ash-Shalah” (hlm. 137-138- At-Taqyiid Wal Iidhaah)]

Maka, bagi orang yang memberikan rekomendasi pada orang lain: sudahkah dia memenuhi dua cara di atas??? Ataukah dia sudah menganggap dirinya sebagai Ahli dalam Jarh Wa Ta’dil; sehingga dia langsung bisa memberikan rekomendasi tanpa perlu lagi pembahasan atau penelitian.

Imam Adz-Dzahab- -rahimahullaah- berkata [sebagaimana dinukil dalam “Ar-Raf’u Wat Takmiil” (hlm. 18)]:

ولا سبيل إلى أنْ يصير العارف -الذي يزكّي نقلةَ الأخبار ويَـجرحهم-: جِهْبِذًّا إلّا بإدمان الطلب والفحص عن هذا الشأن، وكثرةِ المذاكرة والسهر والتيقُّظ والفهم، مع التقوى والدين الـمتين والإنصاف والتردّد إلى العلماء، والإتقان

Tidak ada jalan untuk bagi seorang yang faham terhadap Jarh Wa Ta’dil untuk bisa menjadi ahli (dalam hal ini); melainkan dengan cara: senantiasa menuntut ilmu (Hadits), terus meneliti tentang ilmu ini dan banyak mengulang-ngulang, begadang, serta benar-benar hadir pikirannya dan pemahamannya, dengan disertai ketaqwaan dan agama yang kuat serta tidak berpihak (melainkan hanya kepada kebenaran-pent) dan senantiasa berkonsultasi dengan para ulama dan ahli.”

[5]- MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT DALAM JARH WA TA’DIL

Kaidah umumnya adalah apa yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah-:

الجرح مقدَّمٌ على التعديل إنْ صدر مُبَيَّنًا مِن عارف بأسبابه

“Jarh (celaan/kritikan) lebih didahulukan atas Ta’dil (pujian/rekomendasi); jika Jarh itu muncul disertai penjelasan dari seorang yang ahli dalam permasalahan sebab-sebab Jarh.”

[“Nukhbatul Fikar” (hlm. 193- An-Nukat ‘Alaa Nus-hatin Nazhar)]

Hal itu dikarenakan: seorang yang melakukan Jarh punya ilmu tambahan tentang keadaan orang yang dikritik; yang ilmu ini tidak dimililki oleh orang yang merekomendasi. Maka seorang yang mengkritik setuju dengan orang yang merekomendasi dalam hal: kebaikan secara lahiriah yang diketahui bersama. Akan tetapi dia (yang mengkritik) menjelaskan kejelekannya yang tersamar atas orang yang memberikan rekomendasi.

[Lihat: “Dhawaa-bith Jarh Wa Ta’diil” (hlm. 44), karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu ‘Abdul Lathif -rahimahullaah-]

[6]- JARH WA TA’DIL ADALAH -SECARA UMUM- PERKARA IJTIHADIYYAH

Jarh Wa Ta’dil -sebagaimana permasalahan fiqhiyyah- masuk dalam perkara ijtihadiyyah (dengan tetap diingat: bahwa ada juga perkara yang di-ijmaa’-kan/disepakati).

[Lihat: “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 225-226- cet. II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizahullaah-]

Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallaahu ‘anhumaa-, dia berkata: Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada kami sepulangnya dari Perang Ahzab:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

“Janganlah seorang pun Shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah!”

Maka sebagian mereka mendapati waktu ‘Ashar di jalan; sehingga sebagian mereka berkata: Kita tidak akan Shalat sebelum mendatanginya. Dan sebagian yang lain berkata: Bahkan kita Shalat (di jalan); dan maksud beliau bukanlah (seperti lahiriah sabda beliau) tersebut. Dan (perselisihan) itu disebutkan kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; MAKA BELIAU TIDAK MENCELA SEORANG PUN DARI MEREKA.

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 946 & 4119) dan Muslim (no. 1770)]

Ketika Ka’b bin Malik tidak berangkat Perang Tabuk; maka sesampainya di Tabuk; barulah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ingat kepadanya. Beliau pun bertanya: “Di mana Ka’b bin Malik?” Seorang dari Bani Salimah berkata: “Dia terhalangi oleh keindahan pakaian (kemewahan)nya dan melihat kepada ketiaknya.” [isyarat kepada ‘ujub (berbangga) dengan diri dan pakaiannya]. Mu’adz bin Jabal berkata: “Buruk  sekali perkataanmu! Demi Allah wahai Rasulullah, yang kami ketahui darinya hanyalah kebaikan.” MAKA RASULULLAH -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- DIAM SAJA.

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 4418) dan Muslim (no. 2769), penjelasan dalam kurung [ ] dari Syarh Muslim]

Hadits pertama dijadikan para ulama sebagai dalil: bahwa kesalahan dalam Fiqih -setelah berijtihad bagi ahlinya- tidaklah tercela; karena masalah Fiq-hiyyah -secara umum- masuk dalam kategori ijtihadiyyah.

[Lihat: “Syarh Al-Waraqaat” (hlm. 659-660), karya Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullaah-]

Adapun hadits kedua; maka di dalamnya terdapat isyarat -dalam diamnya Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bahwa: masalah Jarh (celaan) dan Ta’dil (pujian) juga termasuk masalah ijtihadiyyah. Dan pendalilan ini dari saya; seingat saya: belum ada ulama yang berdalil dengan hadits ini untuk masalah ini. Wallaahu A’lam.

[7]- MUQALLID (ORANG YANG TAQLID) DALAM MASALAH JARH WA TA’DIL

Maka, seperti masalah Fiqih; dalam masalah Jarh Wa Ta’dil juga ada: Taqlid; yakni bagi orang awam yang tidak mengetahui kaidah-kaidah Jarh Wa Ta’dil; sehingga tidak bisa merajihkan. Maka tugas orang awam yang lemah dan mudah terkena syubhat: agar menjauhi Ahli Bida’h -terlebih lagi para da’i yang mengajak kepada Bid’ah-. Karena dikhawatirkan dia terjatuh dalam jeratan mereka -sebagaimana terjadi pada banyak orang-orang yang lemah-.

Dan hal ini masuk dalam kategori Hajr Wiqa’i (memboikot Ahlul Bid’ah untuk menjaga diri pribadi). Maka ketika itu: tidak boleh baginya umenyibukkan diri  dengan Jarh, Tabdii’, Hajr, dst. Karena dia adalah orang awam yang Taqlid; maka bagaimana mungkin dia kemudian menjadi Mujtahid dalam waktu yang bersamaan.

Kalau dia mampu naik kepada derajat Ittibaa’ (bisa merajihkan); maka itu urusan lain.

[Lihat: “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 380-381- cet. II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizahullaah-]

[8]- TUGAS DA’I DAN PENDIDIK ORANG-ORANG AWAM

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata:

“Yang wajib adalah: memerintahkan orang-orang awam dengan perkara-perkara yang telah tetap dari nash syari’ dan ijmaa’, dan mereka (harus) dicegah dari menyelami hal-hal rinci yang hanya menimbulkan perpecahan dan perselisihan di antara mereka. Karena perpecahan dan perselisihan termasuk hal terbesar yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.”

[Majmuu’ Fataawaa (XII/237)]

Maka kewajiban penuntut ilmu adalah: untuk menyibukkan waktunya dalam ketaatan kepada Allah, membahas ilmu, dan menghadiri halaqah-halaqah ilmu.

Tidak mengapa baginya untuk mendengarkan tahdzir-an dari ulama Ahlus Sunnah terhadap Ahli Bid’ah agar bisa waspada darinya.

Adapun kita menjadikan seluruh waktu kita untuk membicarakan Ahli Bid’ah -tanpa ada kesibukan menuntut ilmu yang bermanfaat untuk kita-; maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah kesalahan yang besar.

[Lihat: “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih…” (hlm. 192-193- cet. II), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizahullaah-]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar