Rabu, 22 Maret 2017

[6]- HADITS KEENAM

HADITS KEENAM

حديث: ((لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ: مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ))

Hadits: “Tidak termasuk dari umatku: orang yang tidak menghormati orang yang tua di antara kami, dan tidak menyayangi anak kecil di antara kami, serta tidak mengetahui hak ulama kami.”

TAKHRIJ HADITS:

HASAN: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 22654- cet. Daarul Hadiits), dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Harun, telah mebawakan hadits kepada kami: Ibnu Wahb, telah membawakan hadits kepadaku: Malik bin Al-Khair Az-Ziyadi, dari Abu Qabil Al-Mu’afiri, dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: … kemudian disebutkan lafazh haditsnya.

Harun adalah: Ibnu Ma’ruf Al-Marwazi: seorang perawi yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Bukhari dan Muslim.

Ibnu Wahb adalah: ‘Adullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi Maula mereka, Abu Muhammad Al-Mishri: seorang perawi yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Kutubus Sittah.

Malik bin Al-Khair Az-Ziyadi, biografinya dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dalam “Al-Jarh Wat Ta’diil” (VIII/208), dan beliau tidak menyebutkan Jarh maupun Ta’diil terhadapnya. Akan tetapi banyak perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits darinya, dan dia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban; oleh karena itulah Imam Adz-Dzahabi berkata dalam “Miizaanul I’tidaal” (III/426):

“Termasuk jajaran Shaduq (hasan hadits-nya). Ibnul Qath-than berkata: “Dia termasuk rawi yang tidak tetap ‘adaalah (ke-tsiqah-an)nya.” Maksudnya: Tidak ada seorang (ulama) pun yang tegas mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tsiqah. Dan dalam perawi dua kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) banyak para perawi yang semacam ini, yang kami tidak mengetahui adanya (ulama) yang men-tsiqah-kan mereka. Dan pendapat Jumhur (kebanyakan) ulama: bahwa siapa saja yang termasuk Syaikh (dikenal dalam hadits), dan sekelompok rawi telah meriwayatkan darinya, dan dia tidak meriwayatkan sesuatu yang mungkar; maka haditsnya adalah Shahih.”

Imam Al-Albani -rahimahullaah- berkata dalam “Ash-Shahiihah” (II/494 & 709):

“Kemudian saya mendapatkan seorang hafizh yang menegaskan tentang ke-tsiqah-annya…saya lihat dalam “Taariikh Abii Zur’ah Ad-Dimasyqi” (I/442/1094), bahwa dia berkata kepada Ahmad bin Shalih Al-Mishri Ath-Thabari: Apa pendapat anda tentang Malik bin Al-Khair Az-Ziyadi? Dia menjawab: “Tsiqah.”

Saya (Syaikh Al-Albani) berkata: Ini adalah sebuah faedah yang jarang didapatkan, dimana kitab-kitab biografi yang ma’ruf: tidak menyebutkannya. Dan yang menunjukkanku atas hal ini adalah: Al-Akh ‘Ali Al-Halabi -semoga Allah membelanya dan membalasnya dengan kebaikan-.”

Dan Abu Qabil; namanya adalah: Yahya bin Hani’ bin Nashir Al-Mu’afiri Al-Mishri: di-tsiqah-kan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, dan lainnya. Abu Hatim berkata: “Shalih haditsnya.” Ibnu Hibban menyebutkannya dalam “Ats-Tsiqaat” dan berkata: “Dan dia yukhti’ (ada kesalahan).” Dan As-Saji menyebutkannya dalam “Adh-Dhu’afaa’”, dan menghikayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa dia men-dha’if-kannya -sebagaimana disebutkan dalam “Tahdziibut Tahdziib”-.

Maka derajat minimalnya adalah: Hasan haditsnya.

Dan derajat sanad hadits ini minimal adalah: Hasan, dan Imam Al-Albani membawakannya dalam “Shahiihul Jaami’” dengan lafazh:

((لَيْسَ مِنَّا))

“Bukan termasuk dari kami…” dan beliau meng-hasan-kannya.

Dan dua kalimat pertama: memiliki “Syaahid” (penguat dari Shahabat lain), dari ‘Abdullah bin ‘Amr; dan telah kami takhrij dalam kitab kami: “Qurratul ‘Ainain Fii Takhriij Ahaadiits “Riyaadhish Shaalihiin” Mimmaa Laisa Fish Shahiihain” (no. 46). Lihat: “Al-Majmuu’ah Al-Hadiitsiyyah” (no. 102).

PENJELASAN HADITS:

Imam An-Nawawi -rahimahullaah- berkata dalam “Riyaadhush Shaalihiin”:

“Bab: Menghormati para ulama dan orang-orang yang memiliki keutamaan, serta lebih mendahulukan mereka atas selainnya, mengangkat majlis-majlis mereka, dan menampakkan martabat mereka.”

Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata -menjelaskan perkataan Imam An-Nawawi tersebut- dalam “Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (III/230-231):

“Yakni: hal-hal mulia yang berkaitan dengan semisal ini.

Yang dimaksudkan penulis dengan ulama adalah: ulama syari’at yang merupakan pewaris Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, karena para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar…mereka hanya mewariskan ilmu.

Ilmu adalah: syari’at Allah, barangsiapa yang mengambil ilmu; maka dia telah mengambil bagian yang melimpah dari warisan para ulama.

Maka jika para nabi memiliki hak untuk dihormati, diagungkan, dan dimuliakan; demikian juga yang mewarisi mereka: memiliki bagian dari hak tersebut untuk dihormati, diagungkan, dan dimuliakan. Oleh karena itulah penulis -rahimahullaah- membuat bab untuk masalah yang agung ini; karena ini merupakan masalah yang agung dan penting.

Dengan memuliakan para ulama; maka Syari’at juga akan dimuliakan, karena mereka adalah pembawanya, dan dengan menghinakan para ulama; maka Syari’at juga akan dihinakan. Karena jika para ulama dihinakan dan (wibawa) mereka jatuh di mata manusia; maka Syari’at juga akan dihinakan; karena mereka lah para pembawanya. Dan Syari’at tidak akan ada harganya lagi di sisi manusia, dan jadilah setiap orang meremehkan dan merendahkan para ulama; sehingga Syari’at menjadi terbengkalai…

Jika manusia telah menghinakan para ulama; maka setiap orang akan mengatakan: “Saya lah ulama, saya seorang yang cerdas, sangat faham, sangat ‘alim. Saya ibarat lautan yang tak bertepi.” Dan setiap orang akan bicara sesuai keinginannya, dan berfatwa sesuai kehendaknya, sehingga rusak lah Syari’at dengan sebab perkara yang muncul dari sebagian orang bodoh ini.”

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar