MINTALAH FATWA
PADA HATIMU…
[1]- Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
اِسْتِفْتِ
قَلْبَكَ، اَلْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ
الْقَلْبُ، وَالْإِثْـمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ
أَفْتَاكَ النَّاس وَأَفْتَوْكَ
“Mintalah fatwa pada dirimu: Kebajikan adalah yang membuat
tenteram jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah yang menggoncangkan di jiwa dan
meragukan di hati, walaupun manusia memberi fatwa kepadamu dan mereka memberi
fatwa kepadamu.”
[Lihat: “Al-Arba’iin AN-Nawawiyyah” no. 27]
[2]- Hadits ini
adalah berkaitan dengan apa yang diistilahkan dengan: “Tahqiiqul Manaath
Al-Khaashsh” (perwujudan “Manaath” secara khusus); yakni: Penerapan hukum
syar’i terhadap perkara/realita yang ada.
[Lihat: “Al-Muwaafaqaat” (V/24-245), karya Imam Asy-Syathibi
dan “Syarh Al-Waraqaat” (hlm. 559-560), karya Syaikh Masyhur bin Hasan Alu
Salman]
[3]- Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah- berkata:
“Ketahuilah bahwa setiap masalah adalah membutuhkan kepada
dua pandangan: (1)melihat kepada hukum syar’i, dan (2)melihat kepada “Manaath”
(keterkaitannya)…
Maka (contohnya seperti):
- bagi orang yang memiliki daging hewan sembelihan; maka
halal baginya untuk memakannya, dikarenakan ke-halal-annya jelas baginya,
karena telah terpenuhi syarat ke-halal-an; dengan terwujud “Manaath” (daging)
tersebut jika ditinjau dari sudut pandangnya,
- atau orang yang memiliki daging bangkai; maka tidak halal
baginya untuk memakannya, dikarenakan ke-haram-annya jelas baginya, karena
telah hilang syarat ke-halal-an, dengan terwujud “Manaath” (daging) tersebut
jika ditinjau dari sudut pandangnya.
Dan masing-masing dari dua “Manaath” tersebut kembali kepada
apa yang ada dalam hati dan yang jiwa tenang kepadanya; bukan kepada dzat
perkara itu sendiri. Tidakkah anda perhatikan bahwa bisa jadi dagingnya SATU
dzatnya, dimana ada yang meyakini ke-halal-annya -sesuai dengan “Manaath” yang
terwujud baginya-, akan tetapi ada orang lain yang meyakini ke-haram-annya
-sesuai dengan “Manaath” yang terwujud baginya-. Sehingga yang pertama
memakannya dengan halal, dan kewajiban yang kedua adalah menjauhinya dikarenakan
ke-haram-annya (baginya)…
Maka hukum syari’at di sini sudah jelas. Adapun yang
penerapannya meragukan bagimu; maka tinggalkanlah, dan jangan sampai kamu
mengambilnya! Dan inilah makna sabda beliau -kalau Shahih-: “Mintalah fatwa
kepada hatimu…walaupun mereka memberi fatwa”. Karena perwujudan “Manaath”-mu
adalah khusus bagimu; tidak berkaitan dengan orang lain yang keadaannya
sepertimu.
Hal ini akan semakin jelas ketika: ada “Manaath” yang masih
musykil (janggal) bagimu sedangkan orang lain tidak menganggapnya musykil
(janggal); karena tidak nampak baginya hal yang telah nampak bagimu…
Tapi, terkadang anda tidak memiliki kemampuan atau
ketenangan untuk mewujudkan “Manaath”; sehingga orang lain lah yang
mewujudkannya untukmu, dan anda TAKLID kepadanya. Dan keadaan ini tidak masuk
dalam kandungan Hadits.”
[“Al-I’tishaam” (II/666-668- tahqiiq Syaikh Salim
Al-Hilali)]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar