Jumat, 03 Maret 2017

138- MINTALAH FATWA PADA HATIMU…



MINTALAH FATWA PADA HATIMU…

[1]- Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

اِسْتِفْتِ قَلْبَكَ، اَلْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْـمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاس وَأَفْتَوْكَ

“Mintalah fatwa pada dirimu: Kebajikan adalah yang membuat tenteram jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah yang menggoncangkan di jiwa dan meragukan di hati, walaupun manusia memberi fatwa kepadamu dan mereka memberi fatwa kepadamu.”

[Lihat: “Al-Arba’iin AN-Nawawiyyah” no. 27]

[2]- Hadits ini adalah berkaitan dengan apa yang diistilahkan dengan: “Tahqiiqul Manaath Al-Khaashsh” (perwujudan “Manaath” secara khusus); yakni: Penerapan hukum syar’i terhadap perkara/realita yang ada.

[Lihat: “Al-Muwaafaqaat” (V/24-245), karya Imam Asy-Syathibi dan “Syarh Al-Waraqaat” (hlm. 559-560), karya Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman]

[3]- Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah- berkata:

“Ketahuilah bahwa setiap masalah adalah membutuhkan kepada dua pandangan: (1)melihat kepada hukum syar’i, dan (2)melihat kepada “Manaath” (keterkaitannya)…

Maka (contohnya seperti):

- bagi orang yang memiliki daging hewan sembelihan; maka halal baginya untuk memakannya, dikarenakan ke-halal-annya jelas baginya, karena telah terpenuhi syarat ke-halal-an; dengan terwujud “Manaath” (daging) tersebut jika ditinjau dari sudut pandangnya,

- atau orang yang memiliki daging bangkai; maka tidak halal baginya untuk memakannya, dikarenakan ke-haram-annya jelas baginya, karena telah hilang syarat ke-halal-an, dengan terwujud “Manaath” (daging) tersebut jika ditinjau dari sudut pandangnya.

Dan masing-masing dari dua “Manaath” tersebut kembali kepada apa yang ada dalam hati dan yang jiwa tenang kepadanya; bukan kepada dzat perkara itu sendiri. Tidakkah anda perhatikan bahwa bisa jadi dagingnya SATU dzatnya, dimana ada yang meyakini ke-halal-annya -sesuai dengan “Manaath” yang terwujud baginya-, akan tetapi ada orang lain yang meyakini ke-haram-annya -sesuai dengan “Manaath” yang terwujud baginya-. Sehingga yang pertama memakannya dengan halal, dan kewajiban yang kedua adalah menjauhinya dikarenakan ke-haram-annya (baginya)…

Maka hukum syari’at di sini sudah jelas. Adapun yang penerapannya meragukan bagimu; maka tinggalkanlah, dan jangan sampai kamu mengambilnya! Dan inilah makna sabda beliau -kalau Shahih-: “Mintalah fatwa kepada hatimu…walaupun mereka memberi fatwa”. Karena perwujudan “Manaath”-mu adalah khusus bagimu; tidak berkaitan dengan orang lain yang keadaannya sepertimu.

Hal ini akan semakin jelas ketika: ada “Manaath” yang masih musykil (janggal) bagimu sedangkan orang lain tidak menganggapnya musykil (janggal); karena tidak nampak baginya hal yang telah nampak bagimu…

Tapi, terkadang anda tidak memiliki kemampuan atau ketenangan untuk mewujudkan “Manaath”; sehingga orang lain lah yang mewujudkannya untukmu, dan anda TAKLID kepadanya. Dan keadaan ini tidak masuk dalam kandungan Hadits.”

[“Al-I’tishaam” (II/666-668- tahqiiq Syaikh Salim Al-Hilali)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar