Rabu, 22 Maret 2017

MUQADDIMAH TAKHRIJ

MUQADDIMAH TAKHRIJ HADITS

Berkata Syaikhu Syuyukhina Fadhilatul Ustadz ‘Abdul Hakim bin ‘Amir Abdat -hafizhahullaah-:

“Perkataan beliau [Imam Al-Bukhari]: “Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahih.”

Maksudnya adalah:

PERTAMA: Hakikat Takhrijul Hadits ialah: meriwayatkan hadits dengan sanad dari dirinya.

Contohnya: seperti Imam Al-Bukhari, dia telah meriwayatkan hadits dengan sanad darinya, dari gurunya, dan seterusnya, sampai kepada Nabi -shallaallahu ‘alaihi wa sallam-, atau sampai kepada Sahabat -radhiyallahu ‘anhum-, atau sampai kepada Tabi’in, dan seterusnya. Oleh karena itu: Imam Al-Bukhari -dan saudara-saudaranya sesama perawi hadits- dinamakan “Mukharrij”; yaitu: orang yang mentakhrij hadits, sesuai dengan ta’rif (definisi) di atas.

KEDUA: Adapun ketika cara yang pertama -yang tadi saya terangkan- tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan -yaitu: meriwayatkan hadits dengan sanad darinya sendiri- seperti pada zaman kita sekarang ini, bahkan pada zaman-zaman sebelumnya, disebabkan jarak yang demikian jauhnya, dan hadits telah dicatat dan dikumpulkan oleh para Imam ahli hadits lengkap dengan sanadnya: maka Takhrijul Hadits untuk cara yang kedua ialah: MERIWAYATKAN HADITS DARI KITAB-KITAB HADITS, DENGAN MENGUMPULKAN SANADNYA, KEMUDIAN MENGHUKUMI HADITS TEESEBUT: APAKAH DIA HADITS SAH ATAU TIDAK?

Inilah yang dinamakan Takhrijul Hadits. Oleh karena itu para imam ahli hadits yang datang belakangan: semuanya menempuh cara yang kedua ini.

Adapun semata-mata meriwayatkan atau mengembalikan hadits kepada asalnya -seperti ungkapan: hadits tersebut telah dikeluarkan oleh Abu Dawud, dan At-Tirmidzi, dan An-Nasa-i, dan lain-lain -tanpa menghukumi hadits tersebut: sah atau tidaknya-; maka pada hakikatnya itu bukanlah Takhrijul Hadits.

Dari sini kita mengetahui bahwa: hakikat dari Takhrijul Hadits adalah IJTIHAD, BUKAN TAQLID. Yakni ijtihad dari seorang ahlinya (yang) men-takhrij-nya (dia memberikan ijtihad hukumnya) setelah dia menempuh (tiga jalan):

- Pertama: Mengumpulkan sanad, memeriksanya, meneliti rawi-rawi-nya, matan-nya, atau lafazh-lafazh-nya, dan seterusnya yang berkaitan erat dengan status hukum sebuah hadits.

- Kedua: Melihat dan meneliti dengan cermat keputusan para ahli hadits mengenai status hadits tersebut.

- Ketiga: Keputusan darinya: adakalanya dengan menyetujui sebagian ahli hadits yang men-sah-kannya atau men-dha’if-kannya, dan adakalanya dia menyalahi nya...dan begitulah seterusnya yang menunjukkan kepada para pelajar yang mendalami ilmu yang mulia ini bahwa: hakikat dari takhrijul hadits adalah sebuah ijtihad dari seorang yang ahli men-takhrij-nya, bukan taqlid.

Maka apabila keputusan status hukum terhadap hadits diserahkan saja kepada ahlinya -seperti dia mengatakan bahwa hadits tersebut telah di-sah-kan oleh Imam fulan atau telah di-dha’if- kan oleh Imam Fulan; maka ini adalah taqlid, bukan hakikat dari Takhrijul Hadits. Dan dia harus menjelaskannya dan mengatakannya: Kepada siapa dia menyerahkan keputusan hukum tersebut? Supaya dia jangan (sampai) dituduh sebagai pencuri.

Tentunya hal yang demikian dibolehkan selama dia menyandarkannya dan menyerahkannya kepada ahlinya, bukan kepada orang-orang yang jahil atau yang bukan ahlinya. Dibolehkannya taqlid dalam masalah ini: karena tidak ada seorang pun juga yang selamat; meskipun dia orang yang ahli dalam sebagian pembahasan ilmiahnya, walaupun tidak menjadi kebiasaannya.

Adapun bagi orang-orang awam: maka seluruh keputusan takhrij diserahkan pada ahlinya. Demikian juga bagi para pelajar ilmiah yang tidak mendalami ilmu yang mulia ini -karena pada setiap ilmu ada orang yang mendalaminya dan ahlinya-: mereka disamakan dengan orang-orang awam dalam bab ini, maka seluruh keputusan takhrij diserahkan kepada ahlinya.

Sedikit saya panjangkan masalah takhrij ini: karena seringkali terjadi kesalahan ilmiah dari sebagian pelajar -khususnya para pemula- yang mendalami ilmu yang mulia ini. Ilmu yang sangat besar ini (adalah ilmu) yang membutuhkan waktu cukup lama -sampai puluhan tahun- untuk mempelajarinya, dengan kepandaian yang cukup serta kesabaran yang dalam.”

[Majalah As-Sunnah (hlm. 27-28), No. 1/Tahun XVI, Jumadil Akhir 1433 H / Mei 2012 M]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar