CINTA TERLARANG
SEBELUM MASUK PEMBAHASAN INTI; maka perlu diketahui bahwa cinta ada beberapa macam:
PERTAMA:
CINTA IBADAH
Yaitu: Cinta yang mengharuskan adanya penghinaan diri dan
pengagungan kepada yang dicintai, dan didalam hati orang yang mencintai
terdapat adanya pemuliaan dan pengagungan terhadap yang dicintai yang menuntut
adanya pelaksanaan terhadap perintahnya dan menjauhi larangannya.
Cinta seperti ini
harus dikhususkan bagi Allah semata. Inilah yang dinamakan dengan “Mahabbatullaah”
(cinta kepada Allah).
Kalau cinta ibadah
ini dipersembahkan kepada selain Allah, maka pelakunya terjatuh kedalam
kesyirikan. Seperti yang Allah firmankan tentang orang-orang musyrik:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ...
“Dan diantara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain
Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun
orang-yang beriman sangat (lebih) besar cintanya kepada Allah…” (QS.
Al-Baqarah: 165).
“Mahabbah
Syirkiyyah” (cinta yang syirik) ini ada pada orang-orang yang beribadah kepada
kubur orang-orang shalih atau wali-wali, juga terjadi pada sebagian pembantu
(bawahan) kepada tokoh-tokoh atau atasan-atasannya.
[Lihat: “Al-Qaulul Mufiid” (II/44 dan 47-48) karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]
KEDUA: CINTA KARENA ALLAH
Yaitu: Cinta kepada apa-apa yang dicintai Allah dan cinta
kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah. Ini temasuk kesempurnaan iman.
[Lihat: “Fat-hul Majiid” (hlm. 390) karya Syaikh
‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh -rahimahullaah-]
Para ulama menjelaskan cinta jenis ini dalam pembahasan
mereka tentang Al-Walaa’ dan Al-Baraa’.
Al-Walaa’ artinya: Penyesuaian diri seorang hamba terhadap
apa yang disukai dan diridhai Allah, berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan
(keyakinan), dan orang.
Al-Baraa’ artinya: Penyesuaian diri seorang hamba
terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah, berupa perkataan, perbuatan,
kepercayaan (keyakinan), dan orang.
Dari sini kemudian kaitan-kaitan Al-Walaa’ dan Al-Baraa’dibagi
menjadi empat:
1- PERKATAAN, maka dzikir dicintai Allah, sedangkan
mencela dan memaki dibenci Allah.
2- PERBUATAN; shalat, puasa, zakat, sedekah, berbuat
kebajikan, dan mengerjakan sunnah-sunnah Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
dicintai Allah sedangkan zina, minum khamr, berbuat syirik, dan berbuat
bid’ah dibenci Allah.
3- KEPERCAYAAN (KEYAKINAN); iman dan tauhid dicintai Allah
sedang kufur dan syirik dibenci Allah.
4- ORANG; orang-orang yang shalih, para nabi dan
rasul dicintai Allah sedangkan orang-orang kafir, musrik, dan munafiq dibenci
Allah.
[Lihat: Prinsip Dasar Islam (hlm. 221-223) karya
Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]
Maka, masuk dalam kategori Cinta Karena Allah adalah Cinta kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi
wa sallam-. Bahkan beliau harus kita cintai melebihi kecintaan kita kepada
anak-anak kita, orang tua kita, bahkan seluruh manusia.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا يُـؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُـوْنَ أَحَبَّ إِلَـيْـهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ، وَالـنَّاسِ
أَجْـمَعِـيْـنَ.
“Tidaklah beriman seorang diantara kalian hingga aku lebih
dicintainya melebihi kecintannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh
manusia”.
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim
(no. 44), Ahmad (III/275), dan An-Nasa-i (VIII/114-115), dari Shahabat Anas bin
Malik -radhiyallaahu ‘anhu-]
Bahkan, demi sempurnanya kecintaan kita kepada Rasulullah -shallallaahu
‘alaihi wa sallam-, kita harus mencintai beliau melebihi kecintaan kita kepada
diri sendiri.
Sebagaimana yang tedapat dalam kisah ‘Umar bin Al-Khaththab
-radhiyallaahu ‘anhu-, yaitu sebuah hadits dari Shahabat ‘Abdullah bin Hisyam
-radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: “Kami mengiringi Nabi -shallallaahu ‘alaihi
wa sallam-, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin Al-Khaththab -radhiyallaahu
‘anhu-. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apapun selain
diriku.’ Maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: ‘Tidak, demi
(Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, (hal itu belum cukup-pent) hingga aku
sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata: ‘Sungguh sekaranglah
saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai
‘Umar.’”
[Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6632)]
Akan tetapi, “barangsiapa mengklaim (mengaku) cinta kepada Nabi
-shallallaahu ‘alaihi
wa sallam- tanpa mutaaba’ah (mengikuti sunnah beliau-pent), dan tanpa
mendahulukan perkataan belian dari perkataan selain beliau, maka dia telah
berdusta (dalam pengakuannya). Sebagaimana firman (Allah) -Ta’aalaa-:
وَيَقُولُونَ
آمَنَّا بِاللهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ
مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
“Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, “Kami telah
beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (Allah dan Rasul).”
Kemudian mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang
beriman.” (QS. An-Nuur: 47).
Maka (dalam ayat diatas), Dia (Allah) menafikan (meniadakan) keimanan dari orang
yang berpaling dari ketaatan kepada Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.”
[Fat-hul Majiid (hlm.386-387) karya Syaikh
‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh –rahimahullaah-]
Dan juga termasuk BUKTI cinta kepada Rasul -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- adalah: “menolong Sunnah [perkataan, perbuatan, dan
ketetapan beliau]
beliau, membela syari’atnya dan membantah orang-orang yang menentangnya, serta
memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar (amar ma’ruf
nahi munkar).”
[“Fat-hul Baari” (I/83-cet. Daarus Salaam) karya
al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani -rahimahullaah-]
KETIGA: CINTA SECARA TABI’AT
Yaitu: Kecenderungan seorang manusia kepada sesuatu yang
sesuai dengan tabiatnya, seperti: seorang yang haus cinta kepada air minum,
orang yang lapar cinta kepada makanan, orang yang mengantuk cinta kepada tidur,
atau kecintaan seseorang kepada istri dan anaknya.
Maka kecintaan seperti ini -pada asalnya- adalah tidak
tercela, bahkan bisa menjadi ibadah kalau diniatkan untuk ketaatan.
[Lihat: Al-Qaulul Mufiid (II/45-46) karya Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّـمَا
الأَعْمَالُ بِالـنِّــيَّـاتِ وَإِنَّـمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَـوَى...
“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang
diniatkannya…”
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1) dan
Muslim (no. 1907), dari Shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-]
Sebaliknya, kecintaan seperti ini bisa tercela jika
melalaikan dari berdzikir kepada Allah dan menyibukkan diri dari kecintaan
kepada-Nya. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
قُلْ
إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, “Jika
bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah
dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada
orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).
Termasuk kecintaan yang tercela adalah kecintaan yang bisa
memutuskan kecintaan kepada Allah atau menguranginya. Seperti seorang pria yang
jatuh cinta kepada wanita yang tidak halal baginya -sebagaimana akan diluaskan
pembahasannya-.
Jadi, secara garis besar; cinta itu terbagi menjadi dua:
- Cinta Yang Bermanfa’at.
- Cinta Yang Ber-mudharat
(mendatangkan bahaya).
“Cinta yang bermanfa’at ada tiga jenis:
(1)cinta kepada Allah,
(2)cinta karena Allah, dan
(3)cinta kepada sesuatu yang bisa membantu untuk taat kepada
Allah dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya.
Cinta yang ber-mudharat (juga) ada tiga jenis:
(1)cinta (kepada selain Allah) bersama (cinta kepada) Allah
(“Mahabbah Syirkiyyah” = cinta yang syirik),
(2)cinta kepada sesuatu yang di benci Allah, dan
(3)cinta kepada sesuatu yang bisa memutuskan kecintaan
kepada Allah atau bisa mengurangi kecintaan tersebut.
Inilah 6 (enam) macam (cinta) yang menjadi poros
kecintaan-kecintaan para makhluk.
Maka “Mahabbatullaah” (Cinta Kepada Allah) -‘Azza Wa Jalla-
merupakan pokok dari kecintaan-kecintaan yang terpuji dan pokok dari Iman dan
Tauhid, sedangkan dua jenis (cinta yang bermanfaat) yang lainnya merupakan
cabang dari (cinta kepada Allah) ini.
Adapun cinta (kepada selain Allah) bersama (cinta kepada)
Allah (“Mahabbah Syirkiyyah” = cinta yang syirik), maka ini merupakan pokok
kesyirikan dan (pokok dari) kecintaan-kecintaan yang tercela, sedangkan dua
jenis (cinta yang ber-mudharat) yang lainnya, merupakan cabang dari (cinta yang
syirik) ini.
Selanjutnya (perlu diketahui bahwa) Cinta Kepada “Shuwar
Muharramah” (orang-orang yang diharamkan) dan tergila-gila kepadanya; ini
merupakan akibat dari kesyirikan (yang ada pada seorang hamba yang jatuh cinta
tersebut). Semakin seorang hamba dekat dengan kesyirikan dan jauh dari
ke-ikhlas-an; maka kecintaannya kepada orang-orang (yang tidak boleh dicintai)
tersebut semakin kuat. Sebaliknya; semakin banyak ke-ikhlas-an (seorang hamba)
dan semakin kuat tauhid-nya; maka dia akan semakin jauh dari cinta kepada orang-orang
(yang tidak boleh dicintai).
Oleh karena itulah istri al-‘Aziz (Zulaikha) terkena cinta
ini (tergila-gila kepada Nabi Yusuf -‘alaihi salaam-pent) karena kesyirikan
(yang ada pada wanita) tersebut. Adapun Nabi Yusuf -‘alaihi salaam-, maka
beliau selamat (dari cinta tersebut) disebabkan ke-ikhlas-annya. Allah -Ta’aalaa-
berfirman:
... كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ
السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“…Demikianlah, Kami palingkan darinya (Yusuf) keburukan dan
kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf:
24). [Dalam salah satu Qira’ah dibaca:
مِنْ عِـبَـادِنَـا
الْـمُـخْـلِـصِـيْـنَ dengan meng-kasrah-kan huruf لِ
(laam), yang
artinya: “…termasuk hamba Kami yang ikhlash”. Lihat: Tafsiirul Jalaalain (hlm.
488-489-cet. Daarus Salaam)]
(Yang dimaksud dengan) keburukan (dalam ayat ini) adalah:
jatuh cinta, sedangkan kekejian; maksudnya: zina.
Maka orang yang ikhlas; dia telah meng-ikhlash-kan
kecintaannya hanya kepada Allah, sehingga Allah selamatkan dia dari kecintaan
kepada “Shuwar Muharramah” (orang-orang yang diharamkan). Adapun orang musyrik;
maka hatinya tergantung kepada selain Allah, tauhid-nya dan kecintaannya tidak
di-ikhlash-kan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.”
[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 402-403-Mawaaridul
Amaan) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
DARI SINI KITA MASUK KEPADA PEMBAHASAN INTI:
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَا
تَرَكْتُ بَعْدِي فِـتْـنَـةً أَضَـرَّ عَلَى الـرِّجَالِ مِنْ الـنِّسَاءِ
“Tidak ada fitnah
yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.”
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 5096) dan
Muslim (no. 2740), dari Shahabat Usamah bin Zaid -radhiyallaahu ‘anhu-]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah- berkata dalam “Fat-hul
Baarii” (IX/173-cet. Daarus Salaam):
“Di dalam hadits ini (terdapat faedah) bahwa fitnah wanita
lebih berbahaya dari pada fitnah selainnya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah
-Ta’aalaa-:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dihias-hiasi (dijadikan terasa indah) dalam pandangan
manusia cinta terhadap syahwat (yang diinginkan), berupa perempuan, anak-anak,
harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan
ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. ‘Ali ‘Imran: 14)
Maka (dalam ayat ini) Dia (Allah) menjadikan (kecintaan)
kepada mereka (para wanita) termasuk kecintaan kepada syahwat (yang
diinginkan). Allah memulai dengan wanita sebelum (syahwat-syahwat) yang
lainnya; hal ini merupakan isyarat bahwa mereka (para wanita) merupakan pokok
dalam masalah (syahwat) ini.”
Sebelumnya perlu dijelaskan MAKNA FITNAH.
Asal dari makna fitnah adalah: ujian. Kemudian istilah
fitnah digunakan untuk keburukan yang dihasilkan dari ujian tersebut. Pada
akhirnya fitnah digunakan untuk setiap keburukan atau hal-hal yang mengantarkan
kepada keburukkan; seperti:
kekufuran, dosa, kebakaran, terbongkarnya aib, kemaksiat-an, dan lain-lain.
[Lihat: “Fat-hul Baarii” (XIII/5-cet. Daarus Salaam)
karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani -rahimahullaah- dan “An-Nihaayah Fii
Ghariibil Hadiits” (hlm. 691-cet. Daar Ibnil Jauzi) karya Imam Ibnul Atsir -rahimahullaah-]
Di dalam Islam terdapat penjagaan yang sangat ketat agar
laki-laki tidak terkena fitnah wanita. Sampai DALAM MASALAH SHALAT pun terdapat
penjagaan ini. Seperti:
- shalatnya wanita dirumah lebih baik daripada shalat di
masjid,
- kalaupun seorang wanita ingin shalat ke masjid, maka tidak
boleh memakai minyak wangi (parfum),
- kalau sudah sampai di masjid, maka Shaff (barisan)
wanita dibelakang barisan laki-laki (tidak dicampur),
- dan diantara barisan wanita, maka barisan yang terbaik
adalah barisan yang paling belakang,
- kemudian kalau terjadi sesuatu dalam shalat berjama’ah
(seperti: imamnya salah atau yang lainnya), maka -untuk mengingatkan imam-
laki-laki bertasbih dan bagi para wanita cukup dengan bertepuk.
[Lihat: “Hiraasatul Fadhiilah” (hlm. 85-86) karya
Syaikh Bakr Abu Zaid -rahimahullaah-]
Kemudian, DALAM MASALAH PAKAIAN WANITA, Rasulullah -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- mengancam para wanita yang berpakaian akan tetapi telanjang.
Beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ الـنَّارِ لَـمْ أَرَهُـمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ؛ يَـضْرِبُوْنَ بِـهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُـمِيْلَاتٌ
مَائِلَاتٌ، رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ
الْـجَنَّةَ، وَلَا يَـجِدْنَ رِيْـحَهَا، وَإِنَّ رِيْـحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ
مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.
“Ada dua golongan
penghuni Neraka, yang belum pernah aku lihat keduanya, yaitu suatu kaum yang
memegang cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia, dan WANITA-WANITA
YANG BERPAKAIAN TAPI TELANJANG, mereka berjalan berlenggak-lenggok dan kepala
mereka dicondongkan seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk
surga dan tidak akan mencium aroma surga, padahal sesungguhnya aroma surga itu
tercium dari sejauh perjalanan sekian dan sekian.”
[Shahih: HR. Muslim (no. 2128)]
Makna BERPAKAIAN TAPI TELANJANG ada tiga:
1. Pakaian tersebut PENDEK sehingga tidak menutup auratnya
secara sempurna, sedangkan seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali muka dan
telapak tangan.
2. Pakaian tersebut KETAT sehingga membentuk lekuk tubuhnya.
3. Pakaian tersebut TIPIS sehingga bisa
memperlihatkan apa yang ada di balik pakaiannya.
[Lihat: “Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (VI/373) karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]
Di dalam hadits yang lain juga terdapat isyarat tentang celaan
terhadap wanita yang memakai SEPATU DENGAN HAK TINGGI, karena hal itu bisa
mengundang fitnah.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((إِنَّ
الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ، فَاتَّقُوْهَا وَاتَّقُوْا الـنِّسَاءَ)). ثُـمَّ
ذَكَرَ نِسْوَةً ثَلَاثَةً مِنْ بَـنِـيْ إِسْـرَائِـيْـلَ: امْـرَأَتَـيْـنِ
طَوِيْلَــتَيْـنِ تُعْـرَفَـانِ، وَامْرَأَةً قَصِيْرَةً لَا تُعْرَفُ، فَاتَّـخَذَتْ
رِجْلَـيْـنِ مِنْ خَشَبٍ، وَصَاغَتْ خَاتَـمًا، فَحَشَتْهُ مِنْ أَطْيَبِ الطِّيْبِ
الْمِسْكِ، وَجَعَلَتْ لَهُ غَلَقًا، فَإِذَا مَرَّتْ بِالْمَلَإِ أَوْ
بِالْمَجْلِسِ؛ قَالَتْ بِهِ: فَفَتَحَتْهُ، فَفَاحَ رِيْـحُهُ.
“Sungguh dunia itu
hijau dan manis, maka waspadalah terhadap (fitnah) dunia dan waspadalah
terhadap (fitnah) wanita.” Kemudian beliau (Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam-) menyebutkan tentang tiga orang wanita dari kalangan Bani Israil, dua
orang diantaranya berpostur tinggi (sehingga) terkenal, sedangkan satunya
pendek (sehingga) tidak terkenal. Maka dia (wanita yang pendek) membuat dua
buah kaki (buatan) dari kayu dan dia membuat sebuah cincin yang dipenuhi dengan
minyak misik yang paling wangi, kemudian (cincin itu) diberi tutupan. Setiap
dia melewati sekelompok orang atau majlis (orang yang duduk), maka dia kibaskan
tangannya (yang bercincin tersebut) sehingga aroma wangi-pun menyebar.”
[Shahih: HR. Ahmad (no. 11364-cet. Daarul Hadiits)
dan sanadnya shahih sesuai syarat Muslim. Lihat juga Shahih Muslim (no.2252
(18))]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani -rahimahullah- berkata:
“Di dalam hadits ini terdapat peringatan yang jelas bahwa
kebiasaan wanita-wanita yang fasik (berdosa) adalah memakai hal-hal yang bisa
menarik perhatian orang lain kepada mereka. Diantaranya adalah apa yang sudah
tersebar dikalangan mereka (para wanita), yaitu memakai sandal (atau sepatu)
dengan hak tinggi, khususnya yang bagian bawahnya diberi besi agar suaranya
terdengar keras ketika melangkah. Kemungkinan asal dari (sandal/sepatu)
tersebut adalah buatan orang-orrang Yahudi, sebagaimana di isyaratkan dalam hadits ini. Maka hendaknya para wanita muslimah
waspada terhadap hal ini. Wallaahul Musta’aan (Allah-lah sebagai tempat
berlindung).”
[“Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (I/878) karya
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah-]
Syaikh Abdul Malik
bin Ahmad Ramadhani -hafizhahullaah- berkata:
“Dalam (hadits) ini terdapat dalil bahwa (sepatu) hak tinggi
merupakan hasil ciptaan orang-orang Yahudi. Dan mereka (orang-orang Yahudi)
-sampai saat sekarang ini- terus menerus memproduksi pakaian-pakaian yang bisa
menimbulkan fitnah -sebagaimana telah diketahui-.
Setiap orang yang menyaksikan wanita bersepatu hak tinggi
maka dia akan mengetahui hikmah kenapa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
memperingatkan dari hal tersebut. Sungguh sepatu tersebut membuat wanita
menjadi gemulai dalam (gerakan) jalannya, walaupun dia tidak
menginginkan/menyadarinya. Sepatu (hak tinggi) tersebut jaga akan menggambarkan
bentuk tubuhnya walaupun dia dalam keadaan berdiri tegak tanpa gerak. Karena
(dengan dia memakai sepatu tersebut) akan menonjolkan (bagian) dada dan
pantatnya. Sedangkan dua bagian tubuh inilah yang paling mengundang fitnah dari
wanita!!
Ada orang-orang yang memang spesialisasinya adalah
mempelajari bagaimana cara membuat sepatu semacam ini agar bisa mencapai puncak
yang maksimal dalam membuat fitnah bagi para laki-laki. Terkadang para wanita
mu’minah tidak menyadari hal ini. (Adapun) para pelacur, maka mereka sangat
bersemangat dalam hal-hal yang semacam ini…
Bahkan diantara mereka (para wanita) ada yang bersusah-payah
memakai sepatu ini, bahkan kadang sampai timbul bahaya bagi tubuh mereka dan
rasa sakit pada kedua kaki serta tulang punggung mereka, akan tetapi mereka
bersabar dan menahan (rasa sakit)nya, karena mereka punya tujuan (yaitu menarik perhatian kaum lelaki-pent). Akan
tetapi apakah mereka (para wanita) bisa bersabar terhadap siksa Neraka. Allah -Ta’aalaa-
berfirman:
أُولَئِكَ
الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا
أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan
azab dengan ampunan. Maka alangkah sabar (berani)nya mereka menentang api
neraka!” (QS. Al-Baqarah: 175).
Semoga Allah menjaga anak-anak wanita kaum muslimin dari
segala kejelekkan.”
Beliau juga berkata:
“(Hadits) ini juga sebagai dalil bahwa kaum wanita memakai
sepatu hak tinggi -juga memakai minyak wangi (parfum) diluar rumah- adalah
dengan tujuan untuk mengundang fitnah dan dengan tujuan agar kaum lelaki
memperhatikan mereka.”
[“Min Kulli Suuratin Faa-idah” (hlm. 168-169) karya
Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani -hafizhahullaah-]
Maka wajar jika Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
menamakan mereka sebagai pelacur. Beliau bersabda:
أَيُّـمَا
امْـرَأَةٍ اسْـتَـعْـطَـرَتْ، فَـمَـرَّتْ بِقَـوْمٍ لِـيَجِـدُوْا رِيْـحَهَا؛
فَهِيَ زَانِـيَةٌ
“Siapapun wanita yang memakai wangi-wangian, lalu ia
melewati kaum laki-laki agar tercium aromanya; maka ia (seperti) pelacur.”
[Hasan: HR. Ahmad (IV/414, 418), Abu Dawud (no.
4173), At-Tirmidzi (no. 2786), An-Nasa-i (VIII/153), dan Ibnu Hibban (no.
4497-at-Ta’liiqaatul Hisaan), dari Abu Musa al-Asy’ari -radhiyallaahu ‘anhu-.
Di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albani dalam “Shahiihul Jaami’ Ash-Shaghiir” (no.
2701)]
Kemudian, Islam juga memisahkan -dan berusaha menjauhkan-
pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram-nya, sehingga
DITUTUP JALAN-JALAN YANG MENGANATARKAN ZINA, sehingga terlarang bagi
laki-laki untuk berduaan dengan wanita yang bukan mahram-nya.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا
يَـخْـلُـوَنَّ رَجُـلٌ بِامْـرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَـحْـرَمٍ
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan
seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahram-nya.”
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1862) dan
Muslim (no. 1341), dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anumaa-]
“Kita minta perlindungan kepada Allah dari (fitnah) yang
menimpa kaum muslimin, berupa bercampur-baurnya antara laki-laki dan perempuan
pada zaman kita sekarang ini, dimana kaum laki-laki berdua-dua-an dengan kaum
wanita, berjoget (berdansa), serta berpacaran dengan mereka. Sampai-sampai kita
mengingkari negeri-negeri Islam (yang tidak Islami lagi-pent), sehingga kita
merasa asing hidup ditengah-tengah negeri-negeri tersebut, seolah-olah kita
bukan (bagian dari) penduduknya. Innaa lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’uun.”
[Perkataan Syaikh Ahmad Syakir -rahimahullaah- dalam
syarh (penjelasan)nya terhadap kitab “Ar-Risaalah” (hlm. 471)]
Maka, sebelum seseorang jatuh kedalam fitnah wanita,
hendaknya dilakukan TINDAKAN PENCEGAHAN [Lihat: Ad-Daa’ wad
Dawaa’ (hlm. 232-250) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]:
PERTAMA: MENJAGA PANDANGAN
Allah -Ta’aalaa- berfirman:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ اللهَ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ...
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka
menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan
katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan
memelihara kemaluannya;…” (QS. An-Nuur: 30-31).
“Maka Allah -Ta’aalaa- memerintahkan Nabi-Nya -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- agar memerintahkan kaum mu’minin untuk menundukkan
pandangan-pandangan mereka dan agar memberitahu mereka bahwa Dia menyaksikan
dan memperhatikan perbuatan-perbuatan mereka:
يَعْلَمُ
خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan
apa yang tersembunyi dalam dada.” (QS.
Al-Mu’min: 19) [pandangan mata yang khianat adalah: pandangan kepada
hal-hal yang terlarang, seperti mamandang kepada perempuan yang bukan
mahramnya]
Tatkala (perzinaan) itu diawali dari pandangan mata, maka
Dia (Allah) mendahulukan perintah untuk menundukkan pandangan sebelum menjaga
kemaluan. Karena kejadian-kejadian itu diawali dengan pandangan mata.”
[Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 232) karya Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Sayangnya hal ini banyak disepelekan kaum muslimin. Bahkan
banyak diantara mereka yang sengaja “nongkrong” (duduk-duduk) di pinggir jalan
untuk melihat wanita-wanita yang lewat jalan tersebut, yang hal ini mereka
istilahkan dengan cuci mata. Padahal sudah ada peringatan Nabi -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- dari hal yang demikian ini. Beliau bersabda:
((إِيَّاكُمْ
وَالْـجُـلُـوْسَ عَلَى الطُّـرُقَـاتِ))، فَـقَـالُـوْا: مَا لَـنَا بُـدٌّ، إِنَّـمَا
هِيَ مَـجَالِسُـنَا نَتَحَدَّثُ فِـيْـهَا، قَالَ: ((فَإِذَا أَبَيْـتُمْ إِلَّا
الْـمَجَالِسَ؛ فَأَعْطُوا الطَّرِيْـقَ حَـقَّـهَا))، قَالُوا: وَمَا حَقُّ
الطَّرِيْـقِ؟ قَالَ: ((غَضُّ الْـبَصَرِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلاَمِ،
وَأَمْـرٌ بِالْمَعْرُوْفِ، وَنَهْيٌ عَنِ الْـمُنْكَرِ)).
“Waspadalah dari duduk-duduk dijalan-jalan!” Mereka (para
shahabat) berkata: Wahai Rasulullah, kami duduk-duduk (dijalan) untuk
ngobrol-ngobrol disitu. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Kalau kalian tetap ingin (duduk-duduk) dijalan, maka berikanlah hak jalan.
Mereka bertanya: Apa hak jalan itu? Beliau menjawab: “MENUNDUKKAN PANDANGAN,
tidak mengganggu (orang lain), menjawab salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan
melarang dari yang mungkar.”
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 2465, 6229)
dan Muslim (no. 2121)]
KEDUA: MENJAGA LINTASAN HATI DAN PIKIRAN
Hendaknya seorang muslim atau muslimah tidak menggunakan
pikirannya untuk hal-hal yang jorok dan kotor yang tidak ada manfa’atnya dan
hanya angan-angan semata yang tidak ada hakikatnya dan tidak memberikan
kecukupan baginya sedikitpun. Permisalannya seperti seorang yang lapar dan haus
kemudian dia membayangkan makanan dan minuman, padahal dia tidak bisa
memakannya dan meminumnya.
Hendaknya seorang muslim atau muslimah
menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang bermanfa’at, terutama yang
bermanfa’at bagi urusan akhiratnya. Seperti:
- Memikirkan ayat-ayat Allah yang Dia
turunkan (al-Qur’an), memahami, dan men-tadabbur-inya.
- Memikirkan tentang ayat-ayat Allah
yang “kauniyyah” (alam semesta), sehingga bisa mengerti tentang hikmah
Allah, kebaikan-Nya, dan kedermawanan-Nya. Bahkan, dengannya kita bisa
menghayati nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
- Memikirkan nikmat-nikmat Allah dan
kebaikan-kebaikan-Nya atas para makhluk-Nya dimana Dia telah memberikan
berbagai macam kenikmatan, juga memikirkan keluasan rahmat (kasih sayang)-Nya
dan ampunan-Nya.
- Memikirkan aib diri sendiri dan
kekurangan amal-amalnya.
- Memikirkan (amalan) apa yang bisa
dilakukan pada saat sekarang ini dan mengumpulkan semangat untuk menyibukkan
waktunya dengan hal-hal yag bermanfa’at.
[Lihat: Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 236-237) karya Imam
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Dan yang harus diperhatikan bahwa kalau seseorang tidak
mengosongkan hatinya dari pikiran-pikiran yang jelek, maka pikiran-pikiran yang
bermanfa’at tidak akan menetap didalam hatinya.
Maka kita mohon kepada Allah agar dibersihkan hati-hati
kita, sebagaimana do’a yang diajarkan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
... اَللّٰهُمَّ
آتِ نَـفْسِيْ تَـقْـوَاهَا، وَزَكِّـهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ
وَلِـيُّهَا وَمَوْلَاهَا...
“…Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada jiwaku dan sucikanlah
ia, karena Engkau sebaik-baik Rabb yang mensucikannya, Engkau Pelindung dan
Pemeliharanya...”
[Shahih: HR. Muslim (no. 2722), dari Zaid bin
al-Arqam. Lihat: Do’a & Wirid (hlm. 309-310)]
KETIGA: MEHJAGA PERKATAAN
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:
لَـيْسَ
الْمُـؤْمِنُ بِالطَّـعَّانِ، وَلَا اللَّـعَّانِ، وَلَا الْـفَاحِشِ، وَلَا الْـبَذِيْءِ.
“Seorang mu’min bukanlah orang yang
banyak mencela, banyak melaknat, BERKATA JOROK DAN KOTOR.”
[Shahih: HR.
At-Tirmidzi (no. 1977), dan lainnya. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam “Shahiihul
Jaami’ Ash-Shaghiir” (no. 5381)]
Diantara yang bisa mengantarkan kepada
futnah wanita adalah nyanyian-nyanyian -terutama nyanyian-nyanyian yang cabul-,
bahkan nyanyian bisa mengantarkan kepada perzinaan. Oleh karena itulah sebagian
ulama salaf menamakan nyanyian dengan nama “Ruqyatuz Zinaa” (mantranya zina).
Dan ini adalah penamaan yang sesuai dengan hakikatnya dan lafazh-lafazh yang
sesuai dengan maknanya. Tidak ada Ruqyah (mantra) bagi zina yang lebih hebat
pengaruhnya daripada nyanyian dan lagu.
[Lihat:Hukum
Lagu, Musik, dan Nasyid, karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]
Kemudian, perlu diketahui bahwa jeleknya
perkataan yang keluar dari mulut seseorang, menunjukkan kejelekkan apa yang ada
didalam isi hatinya. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:
“Jika anda ingin mengetahui (baik atau
burukkah) apa yang ada dalam hati (seseorang), maka perhatikanlah
omongan-omongannya, maka hal itu akan menunjukkan kepadamu apa yang ada didalam
hati(nya), mau tidak mau (pasti akan nampak).”
[Ad-Daa’ wad
Dawaa’ (hlm. 242-243) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
KEEMPAT:
MENJAGA LANGKAH KAKI
Yakni dengan tidak melangkahkan kakinya
kecuali ketempat yang diharapkan pahala dari Allah dengan langkahnya. Jika
langkahnya tidak bisa menambah pahala, maka lebih baik dia duduk (diam),
terlebih lagi jika langkahnya hanya akan menambah kemaksiatan.
[Lihat: Ad-Daa’
wad Dawaa’ (hlm. 249-250) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
INILAH BEBERAPA
TINDAKAN PENCEGAHAN agar
seorang hamba tidak terkena fitnah wanita.
Adapun kalau seseorang TELAH TERJATUH
dalam fitnah ini, maka jalan yang terbaik adalah MENIKAH.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:
يَا
مَعْشَـرَ الشَّـبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْـبَاءَةَ؛ فَـلْـيَـتَـزَوَّجْ،
فَـإِنَّـهُ أَغَـضُّ لِـلْـبَـصَـرِ، وَأَحْـصَـنُ لِلْـفَـرْجِ، وَمَنْ لَـمْ يَـسْـتَـطِـعْ؛
فَعَـلَـيْـهِ بِالصَّـوْمِ، فَـإِنَّـهُ لَـهُ وِجَـاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara
kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (berpuasa), karena
shaum itu dapat membentengi dirinya.”
[Muttafaqun
‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), dan
lain-lain]
”Maka (dalam hadits ini) beliau (Nabi -shallallaahu
‘alaihi wa sallam-) menunjukkan kepada orang yang jatuh cinta kepada dua cara
pengobatan: yang asal (menikah) dan yang pengganti (berpuasa). Disini beliau
memerintahkan kepada yang asal; dan ini adalah pengobatan yang beliau letakkan
bagi penyakit ini, maka selama seorang mampu untuk menggunakan obat ini, tidak
sepantasnya untuk berpaling kepada selainnya.
Ibnu Majah meriwayatkan dalam (kitab)
Sunan-nya, dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa-, dari Nabi -shallallaahu
‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda:
لَـمْ
يُــرَ لِلْـمُـتَـحَـابَّــيْـنِ مِـثْـلُ الـنِّـكَاحِ.
“Tidak pernah terlihat dua orang yang saling
mencintai seperti (yang terlihat dalam) pernikahan.”
[Shahih: HR.
Ibnu Majah (no. 1847), Al-Hakim (II/160), dan Al-Baihaqi (VII/78). Lihat: “Silsilah
Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (no. 624) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
-rahimahullaah-]
Makna inilah yang diisyaratkan oleh
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- setelah menghalalkan (menikahi) para wanita;
baik (wanita) yang merdeka maupun yang budak -ketika dibutuhkan-, (Allah
isyaratkan) dengan firman-Nya:
يُرِيدُ
اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat lemah.” (QS. An-Nisaa’: 28).
Maka disini Allah menyebutkan bahwa Dia
memberikan keringanan kepada manusia dan Allah mengabarkan tentang kelemahan
manusia; ini menunjukkan bahwa manusia lemah dalam menanggung syahwat (wanita)
ini. Dan bahwa Allah meringankan (beratnya syahwat) ini dengan
menghalalkan bagi manusia: (menikahi) wanita-wanita yang baik; dua, tiga, atau
empat. Dan Allah juga membolehkan bagi manusia (untuk menggauli) budak wanita
miliknya yang dikehendakinya. Kemudian Allah membolehkan baginya untuk menikahi
budak-budak wanita -jika memang dibutuhkan- sebagai pengobatan bagi syahwat ini,
dan sebagai bentuk keringanan dan rahmat (kasih sayang) bagi makhluk (manusia)
yang lemah ini.”
[“Zaadul Ma’aad
Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad” (IV/221-cet. Daarul Fikr) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
-rahimahullaah-]
Maka harus diketahui bahwa CINTA KEPADA
ISTRI termasuk CINTA YANG BERMANFAAT, karena bisa membantu untuk melaksanakan
keta’atan kepada Allah. Dengan menikah, maka seorang laki-laki bisa menjaga
dirinya dan istrinya, sehingga dirinya tidak menginginkan wanita-wanita yang
haram baginya, jiwanya tidak menginginkan selain istrinya. Maka semakin kuat
dan sempurna kecintaan diantara suami istri, semakin sempurna pula maksud dan
tujuan ini.
[Lihat: “Ighaatsatul
Lahfaan” (hlm. 401-Mawaaridul Amaan) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-
berfirman:
هُوَ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ
إِلَيْهَا...
“Dialah (Allah) yang menciptakan kamu
dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar
dia merasa senang kepadanya…” (QS. Al-A’raaf: 189).
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-
berkata:
“Maka (dalam ayat ini) Allah menjadikan ‘illat
(sebab) kecenderungan dan ketentraman seorang laki-laki kepada istrinya
adalah karena dia berasal dari jenis dan unsurnya. Maka ‘illat (sebab)
kecenderungan dan ketentraman -yaitu kecintaan (Adam kepada istrinya)- adalah
karena sang istri berasal darinya. Hal ini menunjukkan bahwa sebab
(kecenderungan dan ketentraman) tesebut bukanlah karena baik (cantik)nya bentuk
(rupa), bukan karena kesamaan visi dan misi, dan bukan pula karena tubuh dan
gaya, walaupun hal-hal ini juga termasuk sebab kecenderungan dan ketentraman
serta kecintaan.”
[Zaadul Ma’aad
Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (IV/218-cet. Daarul Fikr) karya Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Allah juga berfirman:
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا...
“Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tenteram kapadanya, dan Dia menjadikan
diantaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Ruum: 21).
Ketika Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam- ditanya: Siapa orang yang paling anda cintai? Beliau menjawab:
“’Aisyah.”
[HR. Muslim
(no. 2384), dari ‘Amr bin al-‘Ash -radhiyallaahu ‘anhu-]
“Maka tidak tercela bagi laki-laki untuk
mencintai istrinya -bahkan sangat cinta kepadanya-, kecuali jika (kecintaannya)
tersebut menyibukkannya dari kecintaan kepada yang lebih bermanfa’at baginya -yakni
kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya-, serta (jangan sampai kecintaan kepada
istri) mendesak kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena setiap kecintaan
yang mendesak kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga melemahkan dan
menguranginya, maka kecintaan seperti ini adalah tercela. Sebaliknya, jika (kecintaan
kepada istri) tersebut bisa membantu (menambah) untuk cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya dan bisa menguatkannya, maka kecintaan seperti ini adalah terpuji.”
[“Ighaatsatul
Lahfaan” (hlm. 401-Mawaaridul Amaan) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
SEBAGAI
PENUTUP,
maka telah diisyaratkan pada awal-awal pembahasan bahwa: “Cinta Kepada “Shuwar
Muharramah” (orang-orang yang diharamkan) dan tergila-gila kepadanya;
ini merupakan akibat dari kesyirikan (yang ada pada seorang hamba yang jatuh
cinta tersebut). Semakin seorang hamba dekat dengan kesyirikan dan jauh dari
ke-ikhlas-an; maka kecintaannya kepada orang-orang (yang tidak boleh dicintai)
tersebut semakin kuat. Sebaliknya; semakin banyak ke-ikhlas-an (seoarang hamba)
dan semakin kuat tauhid-nya; maka dia akan semakin jauh dari cinta kepada
orang-orang (yang tidak boleh dicintai)….
Maka orang yang ikhlas; dia telah MENG-IKHLAS-KAN
KECINTAANNYA HANYA KEPADA ALLAH, sehingga Allah selamatkan dia dari kecintaan
kepada “Shuwar Muharramah” (orang-orang yang diharamkan). Adapun orang
musyrik; maka hatinya tergantung kepada selain Allah, tauhid-nya dan
kecintaannya tidak di-ikhlash-kan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.”
[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 402-403-Mawaaridul
Amaan) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Maka, UNTUK MERAIH KECINTAAN KEPADA ALLAH, para ulama
menyebutkan sebab-sebab untuk menggapainya:
Pertama: Membaca al-Qur’an dengan mentadabburinya dan
berusaha memahami makna-maknanya serta apa yang dimaksud darinya.
Kedua: Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
ibadah-ibadah yang wajib kemudian dilanjutkan dengan ibadah-ibadah sunnah.
Ketiga: Terus menerus berdzikir (mengingat Allah) dengan
lisan, hati, dan amalan, pada setiap keadaan.
Keempat: Lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah dari
kecintaan-kecintaan pribadi ketika diri dikuasai hawa nafsu.
Kelima: Menelaah nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Keenam: Menyaksikan kebaikan dan nikmat-nikmat Allah, baik
yang lahir maupun yang batin.
Ketujuh: Kepasrahan hati secara total dihadapan Allah.
Kedelapan: Menyendiri pada sepertiga malam terakhir -saat
dimana Allah turun ke langit dunia- dengan membaca al-Qur’an, kemudian diakhiri
dengan taubat dan istighfar.
Kesembilan: Berteman dengan orang-orang shalih yang cinta
kepada Allah dan jujur dalam kecintaannya dan mengambil perkataan dan
nasehat-nasehat mereka yang baik.
Kesepuluh: Menjauhi segala sebab yang bisa menghalangi hati
dari Allah -‘Azza wa Jalla- (berupa dosa dan maksiat).
[Lihat: “Fat-hul Majiid” (hlm.
384-385)]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar