Jumat, 03 Maret 2017

134- CINTA TERLARANG



CINTA TERLARANG

SEBELUM MASUK PEMBAHASAN INTI; maka perlu diketahui bahwa cinta ada beberapa macam:

PERTAMA: CINTA IBADAH

Yaitu: Cinta yang mengharuskan adanya penghinaan diri dan pengagungan kepada yang dicintai, dan didalam hati orang yang mencintai terdapat adanya pemuliaan dan pengagungan terhadap yang dicintai yang menuntut adanya pelaksanaan terhadap perintahnya dan menjauhi larangannya.

    Cinta seperti ini harus dikhususkan bagi Allah semata. Inilah yang dinamakan dengan “Mahabbatullaah” (cinta kepada Allah).

    Kalau cinta ibadah ini dipersembahkan kepada selain Allah, maka pelakunya terjatuh kedalam kesyirikan. Seperti yang Allah firmankan tentang orang-orang musyrik:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ...

“Dan diantara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-yang beriman sangat (lebih) besar cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165).

    “Mahabbah Syirkiyyah” (cinta yang syirik) ini ada pada orang-orang yang beribadah kepada kubur orang-orang shalih atau wali-wali, juga terjadi pada sebagian pembantu (bawahan) kepada tokoh-tokoh atau atasan-atasannya.

[Lihat: “Al-Qaulul Mufiid” (II/44 dan 47-48) karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]

KEDUA: CINTA KARENA ALLAH

Yaitu: Cinta kepada apa-apa yang dicintai Allah dan cinta kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah. Ini temasuk kesempurnaan iman.

[Lihat: “Fat-hul Majiid” (hlm. 390) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh -rahimahullaah-]

Para ulama menjelaskan cinta jenis ini dalam pembahasan mereka tentang Al-Walaa’ dan Al-Baraa’.

Al-Walaa’ artinya: Penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang disukai dan diridhai Allah, berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan (keyakinan), dan orang.

Al-Baraa’ artinya: Penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah, berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan (keyakinan), dan orang.

Dari sini kemudian kaitan-kaitan Al-Walaa’ dan Al-Baraa’dibagi menjadi empat:

1- PERKATAAN, maka dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah.

2- PERBUATAN; shalat, puasa, zakat, sedekah, berbuat kebajikan, dan mengerjakan sunnah-sunnah Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dicintai Allah sedangkan zina, minum khamr, berbuat syirik, dan berbuat bid’ah dibenci Allah.

3- KEPERCAYAAN (KEYAKINAN); iman dan tauhid dicintai Allah sedang kufur dan syirik dibenci Allah.

4- ORANG; orang-orang yang shalih, para nabi dan rasul dicintai Allah sedangkan orang-orang kafir, musrik, dan munafiq dibenci Allah.

[Lihat: Prinsip Dasar Islam (hlm. 221-223) karya Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]

Maka, masuk dalam kategori Cinta Karena Allah adalah  Cinta kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan beliau harus kita cintai melebihi kecintaan kita kepada anak-anak kita, orang tua kita, bahkan seluruh manusia.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَا يُـؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُـوْنَ أَحَبَّ إِلَـيْـهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ، وَالـنَّاسِ أَجْـمَعِـيْـنَ.

“Tidaklah beriman seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia”.

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/275), dan An-Nasa-i (VIII/114-115), dari Shahabat Anas bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu-]

Bahkan, demi sempurnanya kecintaan kita kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, kita harus mencintai beliau melebihi kecintaan kita kepada diri sendiri.

Sebagaimana yang tedapat dalam kisah ‘Umar bin Al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-, yaitu sebuah hadits dari Shahabat ‘Abdullah bin Hisyam -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: “Kami mengiringi Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin Al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apapun selain diriku.’ Maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: ‘Tidak, demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, (hal itu belum cukup-pent) hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’”

[Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6632)]

Akan tetapi, “barangsiapa mengklaim (mengaku) cinta kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tanpa mutaaba’ah (mengikuti sunnah beliau-pent), dan tanpa mendahulukan perkataan belian dari perkataan selain beliau, maka dia telah berdusta (dalam pengakuannya). Sebagaimana firman (Allah) -Ta’aalaa-:

وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ

“Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (Allah dan Rasul).” Kemudian mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang beriman.” (QS. An-Nuur: 47).

Maka (dalam ayat diatas), Dia (Allah)  menafikan (meniadakan) keimanan dari orang yang berpaling dari ketaatan kepada Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.”

[Fat-hul Majiid (hlm.386-387) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh –rahimahullaah-]

Dan juga termasuk BUKTI cinta kepada Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah: “menolong Sunnah [perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau] beliau, membela syari’atnya dan membantah orang-orang yang menentangnya, serta memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar (amar ma’ruf nahi munkar).”

[“Fat-hul Baari” (I/83-cet. Daarus Salaam) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani -rahimahullaah-]

KETIGA: CINTA SECARA TABI’AT

Yaitu: Kecenderungan seorang manusia kepada sesuatu yang sesuai dengan tabiatnya, seperti: seorang yang haus cinta kepada air minum, orang yang lapar cinta kepada makanan, orang yang mengantuk cinta kepada tidur, atau kecintaan seseorang kepada istri dan anaknya.

Maka kecintaan seperti ini -pada asalnya- adalah tidak tercela, bahkan bisa menjadi ibadah kalau diniatkan untuk ketaatan.

[Lihat: Al-Qaulul Mufiid (II/45-46) karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّـمَا الأَعْمَالُ بِالـنِّــيَّـاتِ وَإِنَّـمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَـوَى...

“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang diniatkannya…”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1) dan Muslim (no. 1907), dari Shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-]

Sebaliknya, kecintaan seperti ini bisa tercela jika melalaikan dari berdzikir kepada Allah dan menyibukkan diri dari kecintaan kepada-Nya. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

 “Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).

Termasuk kecintaan yang tercela adalah kecintaan yang bisa memutuskan kecintaan kepada Allah atau menguranginya. Seperti seorang pria yang jatuh cinta kepada wanita yang tidak halal baginya -sebagaimana akan diluaskan pembahasannya-.

Jadi, secara garis besar; cinta itu terbagi menjadi dua:

- Cinta Yang Bermanfa’at.

- Cinta Yang Ber-mudharat (mendatangkan bahaya).

“Cinta yang bermanfa’at ada tiga jenis:

(1)cinta kepada Allah,

(2)cinta karena Allah, dan

(3)cinta kepada sesuatu yang bisa membantu untuk taat kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya.

Cinta yang ber-mudharat (juga) ada tiga jenis:

(1)cinta (kepada selain Allah) bersama (cinta kepada) Allah (“Mahabbah Syirkiyyah” = cinta yang syirik),

(2)cinta kepada sesuatu yang di benci Allah, dan

(3)cinta kepada sesuatu yang bisa memutuskan kecintaan kepada Allah atau bisa mengurangi kecintaan tersebut.

Inilah 6 (enam) macam (cinta) yang menjadi poros kecintaan-kecintaan para makhluk.

Maka “Mahabbatullaah” (Cinta Kepada Allah) -‘Azza Wa Jalla- merupakan pokok dari kecintaan-kecintaan yang terpuji dan pokok dari Iman dan Tauhid, sedangkan dua jenis (cinta yang bermanfaat) yang lainnya merupakan cabang dari (cinta kepada Allah) ini.

Adapun cinta (kepada selain Allah) bersama (cinta kepada) Allah (“Mahabbah Syirkiyyah” = cinta yang syirik), maka ini merupakan pokok kesyirikan dan (pokok dari) kecintaan-kecintaan yang tercela, sedangkan dua jenis (cinta yang ber-mudharat) yang lainnya, merupakan cabang dari (cinta yang syirik) ini.

Selanjutnya (perlu diketahui bahwa) Cinta Kepada “Shuwar Muharramah” (orang-orang yang diharamkan) dan tergila-gila kepadanya; ini merupakan akibat dari kesyirikan (yang ada pada seorang hamba yang jatuh cinta tersebut). Semakin seorang hamba dekat dengan kesyirikan dan jauh dari ke-ikhlas-an; maka kecintaannya kepada orang-orang (yang tidak boleh dicintai) tersebut semakin kuat. Sebaliknya; semakin banyak ke-ikhlas-an (seorang hamba) dan semakin kuat tauhid-nya; maka dia akan semakin jauh dari cinta kepada orang-orang (yang tidak boleh dicintai).

Oleh karena itulah istri al-‘Aziz (Zulaikha) terkena cinta ini (tergila-gila kepada Nabi Yusuf -‘alaihi salaam-pent) karena kesyirikan (yang ada pada wanita) tersebut. Adapun Nabi Yusuf -‘alaihi salaam-, maka beliau selamat (dari cinta tersebut) disebabkan ke-ikhlas-annya. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...  كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“…Demikianlah, Kami palingkan darinya (Yusuf) keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24). [Dalam salah satu Qira’ah dibaca:  مِنْ عِـبَـادِنَـا الْـمُـخْـلِـصِـيْـنَ dengan meng-kasrah-kan huruf لِ (laam), yang artinya: “…termasuk hamba Kami yang ikhlash”. Lihat: Tafsiirul Jalaalain (hlm. 488-489-cet. Daarus Salaam)]

(Yang dimaksud dengan) keburukan (dalam ayat ini) adalah: jatuh cinta, sedangkan kekejian; maksudnya: zina.

Maka orang yang ikhlas; dia telah meng-ikhlash-kan kecintaannya hanya kepada Allah, sehingga Allah selamatkan dia dari kecintaan kepada “Shuwar Muharramah” (orang-orang yang diharamkan). Adapun orang musyrik; maka hatinya tergantung kepada selain Allah, tauhid-nya dan kecintaannya tidak di-ikhlash-kan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 402-403-Mawaaridul Amaan) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

DARI SINI KITA MASUK KEPADA PEMBAHASAN INTI:

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِـتْـنَـةً أَضَـرَّ عَلَى الـرِّجَالِ مِنْ الـنِّسَاءِ

 “Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada  fitnah wanita.”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740), dari Shahabat Usamah bin Zaid -radhiyallaahu ‘anhu-]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah- berkata dalam “Fat-hul Baarii” (IX/173-cet. Daarus Salaam):

“Di dalam hadits ini (terdapat faedah) bahwa fitnah wanita lebih berbahaya dari pada fitnah selainnya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah -Ta’aalaa-:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dihias-hiasi (dijadikan terasa indah) dalam pandangan manusia cinta terhadap syahwat (yang diinginkan), berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. ‘Ali ‘Imran: 14)

Maka (dalam ayat ini) Dia (Allah) menjadikan (kecintaan) kepada mereka (para wanita) termasuk kecintaan kepada syahwat (yang diinginkan). Allah memulai dengan wanita sebelum (syahwat-syahwat) yang lainnya; hal ini merupakan isyarat bahwa mereka (para wanita) merupakan pokok dalam masalah (syahwat) ini.”

Sebelumnya perlu dijelaskan MAKNA FITNAH.

Asal dari makna fitnah adalah: ujian. Kemudian istilah fitnah digunakan untuk keburukan yang dihasilkan dari ujian tersebut. Pada akhirnya fitnah digunakan untuk setiap keburukan atau hal-hal yang mengantarkan kepada keburukkan; seperti: kekufuran, dosa, kebakaran, terbongkarnya aib, kemaksiat-an, dan lain-lain.

[Lihat: “Fat-hul Baarii” (XIII/5-cet. Daarus Salaam) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani -rahimahullaah- dan “An-Nihaayah Fii Ghariibil Hadiits” (hlm. 691-cet. Daar Ibnil Jauzi) karya Imam Ibnul Atsir -rahimahullaah-]

Di dalam Islam terdapat penjagaan yang sangat ketat agar laki-laki tidak terkena fitnah wanita. Sampai DALAM MASALAH SHALAT pun terdapat penjagaan ini. Seperti:

- shalatnya wanita dirumah lebih baik daripada shalat di masjid,

- kalaupun seorang wanita ingin shalat ke masjid, maka tidak boleh memakai minyak wangi (parfum),

- kalau sudah sampai di masjid, maka Shaff (barisan) wanita dibelakang barisan laki-laki (tidak dicampur),

- dan diantara barisan wanita, maka barisan yang terbaik adalah barisan yang paling belakang,

- kemudian kalau terjadi sesuatu dalam shalat berjama’ah (seperti: imamnya salah atau yang lainnya), maka -untuk mengingatkan imam- laki-laki bertasbih dan bagi para wanita cukup dengan bertepuk.

[Lihat: “Hiraasatul Fadhiilah” (hlm. 85-86) karya Syaikh Bakr Abu Zaid -rahimahullaah-]

Kemudian, DALAM MASALAH PAKAIAN WANITA, Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- mengancam para wanita yang berpakaian akan tetapi telanjang. Beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ الـنَّارِ لَـمْ أَرَهُـمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ؛ يَـضْرِبُوْنَ بِـهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُـمِيْلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْـجَنَّةَ، وَلَا يَـجِدْنَ رِيْـحَهَا، وَإِنَّ رِيْـحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.

 “Ada dua golongan penghuni Neraka, yang belum pernah aku lihat keduanya, yaitu suatu kaum yang memegang cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia, dan WANITA-WANITA YANG BERPAKAIAN TAPI TELANJANG, mereka berjalan berlenggak-lenggok dan kepala mereka dicondongkan seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga, padahal sesungguhnya aroma surga itu tercium dari sejauh perjalanan sekian dan sekian.”

[Shahih: HR. Muslim (no. 2128)]

Makna BERPAKAIAN TAPI TELANJANG ada tiga:

1. Pakaian tersebut PENDEK sehingga tidak menutup auratnya secara sempurna, sedangkan seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan.

2. Pakaian tersebut KETAT sehingga membentuk lekuk tubuhnya.

3. Pakaian tersebut TIPIS sehingga bisa memperlihatkan apa yang ada di balik pakaiannya.

[Lihat: “Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (VI/373) karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]

Di dalam hadits yang lain juga terdapat isyarat tentang celaan terhadap wanita yang memakai SEPATU DENGAN HAK TINGGI, karena hal itu bisa mengundang fitnah.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

((إِنَّ الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ، فَاتَّقُوْهَا وَاتَّقُوْا الـنِّسَاءَ)). ثُـمَّ ذَكَرَ نِسْوَةً ثَلَاثَةً مِنْ بَـنِـيْ إِسْـرَائِـيْـلَ: امْـرَأَتَـيْـنِ طَوِيْلَــتَيْـنِ تُعْـرَفَـانِ، وَامْرَأَةً قَصِيْرَةً لَا تُعْرَفُ، فَاتَّـخَذَتْ رِجْلَـيْـنِ مِنْ خَشَبٍ، وَصَاغَتْ خَاتَـمًا، فَحَشَتْهُ مِنْ أَطْيَبِ الطِّيْبِ الْمِسْكِ، وَجَعَلَتْ لَهُ غَلَقًا، فَإِذَا مَرَّتْ بِالْمَلَإِ أَوْ بِالْمَجْلِسِ؛ قَالَتْ بِهِ: فَفَتَحَتْهُ، فَفَاحَ رِيْـحُهُ.

 “Sungguh dunia itu hijau dan manis, maka waspadalah terhadap (fitnah) dunia dan waspadalah terhadap (fitnah) wanita.” Kemudian beliau (Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) menyebutkan tentang tiga orang wanita dari kalangan Bani Israil, dua orang diantaranya berpostur tinggi (sehingga) terkenal, sedangkan satunya pendek (sehingga) tidak terkenal. Maka dia (wanita yang pendek) membuat dua buah kaki (buatan) dari kayu dan dia membuat sebuah cincin yang dipenuhi dengan minyak misik yang paling wangi, kemudian (cincin itu) diberi tutupan. Setiap dia melewati sekelompok orang atau majlis (orang yang duduk), maka dia kibaskan tangannya (yang bercincin tersebut) sehingga aroma wangi-pun menyebar.”

[Shahih: HR. Ahmad (no. 11364-cet. Daarul Hadiits) dan sanadnya shahih sesuai syarat Muslim. Lihat juga Shahih Muslim (no.2252 (18))]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani -rahimahullah- berkata:

“Di dalam hadits ini terdapat peringatan yang jelas bahwa kebiasaan wanita-wanita yang fasik (berdosa) adalah memakai hal-hal yang bisa menarik perhatian orang lain kepada mereka. Diantaranya adalah apa yang sudah tersebar dikalangan mereka (para wanita), yaitu memakai sandal (atau sepatu) dengan hak tinggi, khususnya yang bagian bawahnya diberi besi agar suaranya terdengar keras ketika melangkah. Kemungkinan asal dari (sandal/sepatu) tersebut adalah buatan orang-orrang Yahudi, sebagaimana di isyaratkan dalam hadits ini. Maka hendaknya para wanita muslimah waspada terhadap hal ini. Wallaahul Musta’aan (Allah-lah sebagai tempat berlindung).”

[“Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (I/878) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah-]

Syaikh Abdul Malik  bin Ahmad Ramadhani -hafizhahullaah- berkata:

“Dalam (hadits) ini terdapat dalil bahwa (sepatu) hak tinggi merupakan hasil ciptaan orang-orang Yahudi. Dan mereka (orang-orang Yahudi) -sampai saat sekarang ini- terus menerus memproduksi pakaian-pakaian yang bisa menimbulkan fitnah -sebagaimana telah diketahui-.

Setiap orang yang menyaksikan wanita bersepatu hak tinggi maka dia akan mengetahui hikmah kenapa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memperingatkan dari hal tersebut. Sungguh sepatu tersebut membuat wanita menjadi gemulai dalam (gerakan) jalannya, walaupun dia tidak menginginkan/menyadarinya. Sepatu (hak tinggi) tersebut jaga akan menggambarkan bentuk tubuhnya walaupun dia dalam keadaan berdiri tegak tanpa gerak. Karena (dengan dia memakai sepatu tersebut) akan menonjolkan (bagian) dada dan pantatnya. Sedangkan dua bagian tubuh inilah yang paling mengundang fitnah dari wanita!!

Ada orang-orang yang memang spesialisasinya adalah mempelajari bagaimana cara membuat sepatu semacam ini agar bisa mencapai puncak yang maksimal dalam membuat fitnah bagi para laki-laki. Terkadang para wanita mu’minah tidak menyadari hal ini. (Adapun) para pelacur, maka mereka sangat bersemangat dalam hal-hal yang semacam ini…

Bahkan diantara mereka (para wanita) ada yang bersusah-payah memakai sepatu ini, bahkan kadang sampai timbul bahaya bagi tubuh mereka dan rasa sakit pada kedua kaki serta tulang punggung mereka, akan tetapi mereka bersabar dan menahan (rasa sakit)nya, karena mereka punya tujuan (yaitu  menarik perhatian kaum lelaki-pent). Akan tetapi apakah mereka (para wanita) bisa bersabar terhadap siksa Neraka. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ

“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan azab dengan ampunan. Maka alangkah sabar (berani)nya mereka menentang api neraka!” (QS. Al-Baqarah: 175).
Semoga Allah menjaga anak-anak wanita kaum muslimin dari segala kejelekkan.”

Beliau juga berkata:

“(Hadits) ini juga sebagai dalil bahwa kaum wanita memakai sepatu hak tinggi -juga memakai minyak wangi (parfum) diluar rumah- adalah dengan tujuan untuk mengundang fitnah dan dengan tujuan agar kaum lelaki memperhatikan mereka.”

[“Min Kulli Suuratin Faa-idah” (hlm. 168-169) karya Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani -hafizhahullaah-]

Maka wajar jika Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menamakan mereka sebagai pelacur. Beliau bersabda:

أَيُّـمَا امْـرَأَةٍ اسْـتَـعْـطَـرَتْ، فَـمَـرَّتْ بِقَـوْمٍ لِـيَجِـدُوْا رِيْـحَهَا؛ فَهِيَ زَانِـيَةٌ

“Siapapun wanita yang memakai wangi-wangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar tercium aromanya; maka ia (seperti) pelacur.”

[Hasan: HR. Ahmad (IV/414, 418), Abu Dawud (no. 4173), At-Tirmidzi (no. 2786), An-Nasa-i (VIII/153), dan Ibnu Hibban (no. 4497-at-Ta’liiqaatul Hisaan), dari Abu Musa al-Asy’ari -radhiyallaahu ‘anhu-. Di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albani dalam “Shahiihul Jaami’ Ash-Shaghiir” (no. 2701)]

Kemudian, Islam juga memisahkan -dan berusaha menjauhkan- pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram-nya, sehingga DITUTUP JALAN-JALAN YANG MENGANATARKAN ZINA, sehingga terlarang bagi laki-laki untuk berduaan dengan wanita yang bukan mahram-nya.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَا يَـخْـلُـوَنَّ رَجُـلٌ بِامْـرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَـحْـرَمٍ

“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahram-nya.”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim (no. 1341), dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anumaa-]

“Kita minta perlindungan kepada Allah dari (fitnah) yang menimpa kaum muslimin, berupa bercampur-baurnya antara laki-laki dan perempuan pada zaman kita sekarang ini, dimana kaum laki-laki berdua-dua-an dengan kaum wanita, berjoget (berdansa), serta berpacaran dengan mereka. Sampai-sampai kita mengingkari negeri-negeri Islam (yang tidak Islami lagi-pent), sehingga kita merasa asing hidup ditengah-tengah negeri-negeri tersebut, seolah-olah kita bukan (bagian dari) penduduknya. Innaa lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’uun.”

[Perkataan Syaikh Ahmad Syakir -rahimahullaah- dalam syarh (penjelasan)nya terhadap kitab “Ar-Risaalah” (hlm. 471)]

Maka, sebelum seseorang jatuh kedalam fitnah wanita, hendaknya dilakukan TINDAKAN PENCEGAHAN [Lihat: Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 232-250) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]:

PERTAMA: MENJAGA PANDANGAN

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ اللهَ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ...

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya;…” (QS. An-Nuur: 30-31).

“Maka Allah -Ta’aalaa- memerintahkan Nabi-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- agar memerintahkan kaum mu’minin untuk menundukkan pandangan-pandangan mereka dan agar memberitahu mereka bahwa Dia menyaksikan dan memperhatikan perbuatan-perbuatan mereka:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.”  (QS. Al-Mu’min: 19) [pandangan mata yang khianat adalah: pandangan kepada hal-hal yang terlarang, seperti mamandang kepada perempuan yang bukan mahramnya]

Tatkala (perzinaan) itu diawali dari pandangan mata, maka Dia (Allah) mendahulukan perintah untuk menundukkan pandangan sebelum menjaga kemaluan. Karena kejadian-kejadian itu diawali dengan pandangan mata.”

[Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 232) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

Sayangnya hal ini banyak disepelekan kaum muslimin. Bahkan banyak diantara mereka yang sengaja “nongkrong” (duduk-duduk) di pinggir jalan untuk melihat wanita-wanita yang lewat jalan tersebut, yang hal ini mereka istilahkan dengan cuci mata. Padahal sudah ada peringatan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dari hal yang demikian ini. Beliau bersabda:

((إِيَّاكُمْ وَالْـجُـلُـوْسَ عَلَى الطُّـرُقَـاتِ))، فَـقَـالُـوْا: مَا لَـنَا بُـدٌّ، إِنَّـمَا هِيَ مَـجَالِسُـنَا نَتَحَدَّثُ فِـيْـهَا، قَالَ: ((فَإِذَا أَبَيْـتُمْ إِلَّا الْـمَجَالِسَ؛ فَأَعْطُوا الطَّرِيْـقَ حَـقَّـهَا))، قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيْـقِ؟ قَالَ: ((غَضُّ الْـبَصَرِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلاَمِ، وَأَمْـرٌ بِالْمَعْرُوْفِ، وَنَهْيٌ عَنِ الْـمُنْكَرِ)).

“Waspadalah dari duduk-duduk dijalan-jalan!” Mereka (para shahabat) berkata: Wahai Rasulullah, kami duduk-duduk (dijalan) untuk ngobrol-ngobrol disitu. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Kalau kalian tetap ingin (duduk-duduk) dijalan, maka berikanlah hak jalan. Mereka bertanya: Apa hak jalan itu? Beliau menjawab: “MENUNDUKKAN PANDANGAN, tidak mengganggu (orang lain), menjawab salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan melarang dari yang mungkar.”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 2465, 6229) dan Muslim (no. 2121)]

KEDUA: MENJAGA LINTASAN HATI DAN PIKIRAN

Hendaknya seorang muslim atau muslimah tidak menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang jorok dan kotor yang tidak ada manfa’atnya dan hanya angan-angan semata yang tidak ada hakikatnya dan tidak memberikan kecukupan baginya sedikitpun. Permisalannya seperti seorang yang lapar dan haus kemudian dia membayangkan makanan dan minuman, padahal dia tidak bisa memakannya dan meminumnya.

Hendaknya seorang muslim atau muslimah menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang bermanfa’at, terutama yang bermanfa’at bagi urusan akhiratnya. Seperti:

- Memikirkan ayat-ayat Allah yang Dia turunkan (al-Qur’an), memahami, dan men-tadabbur-inya.

- Memikirkan tentang ayat-ayat Allah yang “kauniyyah” (alam semesta), sehingga bisa mengerti tentang hikmah Allah, kebaikan-Nya, dan kedermawanan-Nya. Bahkan, dengannya kita bisa menghayati nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.

- Memikirkan nikmat-nikmat Allah dan kebaikan-kebaikan-Nya atas para makhluk-Nya dimana Dia telah memberikan berbagai macam kenikmatan, juga memikirkan keluasan rahmat (kasih sayang)-Nya dan ampunan-Nya.

- Memikirkan aib diri sendiri dan kekurangan amal-amalnya.

- Memikirkan (amalan) apa yang bisa dilakukan pada saat sekarang ini dan mengumpulkan semangat untuk menyibukkan waktunya dengan hal-hal yag bermanfa’at.
[Lihat: Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 236-237) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

Dan yang harus diperhatikan bahwa kalau seseorang tidak mengosongkan hatinya dari pikiran-pikiran yang jelek, maka pikiran-pikiran yang bermanfa’at tidak akan menetap didalam hatinya.

Maka kita mohon kepada Allah agar dibersihkan hati-hati kita, sebagaimana do’a yang diajarkan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

... اَللّٰهُمَّ آتِ نَـفْسِيْ تَـقْـوَاهَا، وَزَكِّـهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِـيُّهَا وَمَوْلَاهَا...

“…Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada jiwaku dan sucikanlah ia, karena Engkau sebaik-baik Rabb yang mensucikannya, Engkau Pelindung dan Pemeliharanya...”

[Shahih: HR. Muslim (no. 2722), dari Zaid bin al-Arqam. Lihat: Do’a & Wirid (hlm. 309-310)]

KETIGA: MEHJAGA PERKATAAN

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَـيْسَ الْمُـؤْمِنُ بِالطَّـعَّانِ، وَلَا اللَّـعَّانِ، وَلَا الْـفَاحِشِ، وَلَا الْـبَذِيْءِ.

“Seorang mu’min bukanlah orang yang banyak mencela, banyak melaknat, BERKATA JOROK DAN KOTOR.”

[Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1977), dan lainnya. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam “Shahiihul Jaami’ Ash-Shaghiir” (no. 5381)]

Diantara yang bisa mengantarkan kepada futnah wanita adalah nyanyian-nyanyian -terutama nyanyian-nyanyian yang cabul-, bahkan nyanyian bisa mengantarkan kepada perzinaan. Oleh karena itulah sebagian ulama salaf menamakan nyanyian dengan nama “Ruqyatuz Zinaa” (mantranya zina). Dan ini adalah penamaan yang sesuai dengan hakikatnya dan lafazh-lafazh yang sesuai dengan maknanya. Tidak ada Ruqyah (mantra) bagi zina yang lebih hebat pengaruhnya daripada nyanyian dan lagu.

[Lihat:Hukum Lagu, Musik, dan Nasyid, karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]

Kemudian, perlu diketahui bahwa jeleknya perkataan yang keluar dari mulut seseorang, menunjukkan kejelekkan apa yang ada didalam isi hatinya. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Jika anda ingin mengetahui (baik atau burukkah) apa yang ada dalam hati (seseorang), maka perhatikanlah omongan-omongannya, maka hal itu akan menunjukkan kepadamu apa yang ada didalam hati(nya), mau tidak mau (pasti akan nampak).”

[Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 242-243) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

KEEMPAT: MENJAGA LANGKAH KAKI

Yakni dengan tidak melangkahkan kakinya kecuali ketempat yang diharapkan pahala dari Allah dengan langkahnya. Jika langkahnya tidak bisa menambah pahala, maka lebih baik dia duduk (diam), terlebih lagi jika langkahnya hanya akan menambah kemaksiatan.

[Lihat: Ad-Daa’ wad Dawaa’ (hlm. 249-250) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

INILAH BEBERAPA TINDAKAN PENCEGAHAN agar seorang hamba tidak terkena fitnah wanita.

Adapun kalau seseorang TELAH TERJATUH dalam fitnah ini, maka jalan yang terbaik adalah MENIKAH.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

يَا مَعْشَـرَ الشَّـبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْـبَاءَةَ؛ فَـلْـيَـتَـزَوَّجْ، فَـإِنَّـهُ أَغَـضُّ لِـلْـبَـصَـرِ، وَأَحْـصَـنُ لِلْـفَـرْجِ، وَمَنْ لَـمْ يَـسْـتَـطِـعْ؛ فَعَـلَـيْـهِ بِالصَّـوْمِ، فَـإِنَّـهُ لَـهُ وِجَـاءٌ.

 “Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (berpuasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), dan lain-lain]

”Maka (dalam hadits ini) beliau (Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) menunjukkan kepada orang yang jatuh cinta kepada dua cara pengobatan: yang asal (menikah) dan yang pengganti (berpuasa). Disini beliau memerintahkan kepada yang asal; dan ini adalah pengobatan yang beliau letakkan bagi penyakit ini, maka selama seorang mampu untuk menggunakan obat ini, tidak sepantasnya untuk berpaling kepada selainnya.

Ibnu Majah meriwayatkan dalam (kitab) Sunan-nya, dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa-, dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda:

لَـمْ يُــرَ لِلْـمُـتَـحَـابَّــيْـنِ مِـثْـلُ الـنِّـكَاحِ.

 “Tidak pernah terlihat dua orang yang saling mencintai seperti (yang terlihat dalam) pernikahan.”

[Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 1847), Al-Hakim (II/160), dan Al-Baihaqi (VII/78). Lihat: “Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (no. 624) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah-]

Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- setelah menghalalkan (menikahi) para wanita; baik (wanita) yang merdeka maupun yang budak -ketika dibutuhkan-, (Allah isyaratkan) dengan firman-Nya:

يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat lemah.” (QS. An-Nisaa’: 28).

Maka disini Allah menyebutkan bahwa Dia memberikan keringanan kepada manusia dan Allah mengabarkan tentang kelemahan manusia; ini menunjukkan bahwa manusia lemah dalam menanggung syahwat (wanita) ini. Dan bahwa Allah meringankan (beratnya syahwat) ini dengan menghalalkan bagi manusia: (menikahi) wanita-wanita yang baik; dua, tiga, atau empat. Dan Allah juga membolehkan bagi manusia (untuk menggauli) budak wanita miliknya yang dikehendakinya. Kemudian Allah membolehkan baginya untuk menikahi budak-budak wanita -jika memang dibutuhkan- sebagai pengobatan bagi syahwat ini, dan sebagai bentuk keringanan dan rahmat (kasih sayang) bagi makhluk (manusia) yang lemah ini.”

[“Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad” (IV/221-cet. Daarul Fikr) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

Maka harus diketahui bahwa CINTA KEPADA ISTRI termasuk CINTA YANG BERMANFAAT, karena bisa membantu untuk melaksanakan keta’atan kepada Allah. Dengan menikah, maka seorang laki-laki bisa menjaga dirinya dan istrinya, sehingga dirinya tidak menginginkan wanita-wanita yang haram baginya, jiwanya tidak menginginkan selain istrinya. Maka semakin kuat dan sempurna kecintaan diantara suami istri, semakin sempurna pula maksud dan tujuan ini.

[Lihat: “Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 401-Mawaaridul Amaan) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا...

“Dialah (Allah) yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya…” (QS. Al-A’raaf: 189).

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Maka (dalam ayat ini) Allah menjadikan illat (sebab) kecenderungan dan ketentraman seorang laki-laki kepada istrinya adalah karena dia berasal dari jenis dan unsurnya. Maka ‘illat (sebab) kecenderungan dan ketentraman -yaitu kecintaan (Adam kepada istrinya)- adalah karena sang istri berasal darinya. Hal ini menunjukkan bahwa sebab (kecenderungan dan ketentraman) tesebut bukanlah karena baik (cantik)nya bentuk (rupa), bukan karena kesamaan visi dan misi, dan bukan pula karena tubuh dan gaya, walaupun hal-hal ini juga termasuk sebab kecenderungan dan ketentraman serta kecintaan.”

[Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (IV/218-cet. Daarul Fikr) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

Allah juga berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا...

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kapadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Ruum: 21).

Ketika Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ditanya: Siapa orang yang paling anda cintai? Beliau menjawab: “’Aisyah.”

[HR. Muslim (no. 2384), dari ‘Amr bin al-‘Ash -radhiyallaahu ‘anhu-]

“Maka tidak tercela bagi laki-laki untuk mencintai istrinya -bahkan sangat cinta kepadanya-, kecuali jika (kecintaannya) tersebut menyibukkannya dari kecintaan kepada yang lebih bermanfa’at baginya -yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya-, serta (jangan sampai kecintaan kepada istri) mendesak kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena setiap kecintaan yang mendesak kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga melemahkan dan menguranginya, maka kecintaan seperti ini adalah tercela. Sebaliknya, jika (kecintaan kepada istri) tersebut bisa membantu (menambah) untuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan bisa menguatkannya, maka kecintaan seperti ini adalah terpuji.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 401-Mawaaridul Amaan) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

SEBAGAI PENUTUP, maka telah diisyaratkan pada awal-awal pembahasan bahwa: “Cinta Kepada “Shuwar Muharramah” (orang-orang yang diharamkan) dan tergila-gila kepadanya; ini merupakan akibat dari kesyirikan (yang ada pada seorang hamba yang jatuh cinta tersebut). Semakin seorang hamba dekat dengan kesyirikan dan jauh dari ke-ikhlas-an; maka kecintaannya kepada orang-orang (yang tidak boleh dicintai) tersebut semakin kuat. Sebaliknya; semakin banyak ke-ikhlas-an (seoarang hamba) dan semakin kuat tauhid-nya; maka dia akan semakin jauh dari cinta kepada orang-orang (yang tidak boleh dicintai)….

Maka orang yang ikhlas; dia telah MENG-IKHLAS-KAN KECINTAANNYA HANYA KEPADA ALLAH, sehingga Allah selamatkan dia dari kecintaan kepada “Shuwar Muharramah” (orang-orang yang diharamkan). Adapun orang musyrik; maka hatinya tergantung kepada selain Allah, tauhid-nya dan kecintaannya tidak di-ikhlash-kan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.”

[“Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 402-403-Mawaaridul Amaan) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

Maka, UNTUK MERAIH KECINTAAN KEPADA ALLAH, para ulama menyebutkan sebab-sebab untuk menggapainya:

Pertama: Membaca al-Qur’an dengan mentadabburinya dan berusaha memahami makna-maknanya serta apa yang dimaksud darinya.

Kedua: Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah yang wajib kemudian dilanjutkan dengan ibadah-ibadah sunnah.

Ketiga: Terus menerus berdzikir (mengingat Allah) dengan lisan, hati, dan amalan, pada setiap keadaan.

Keempat: Lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah dari kecintaan-kecintaan pribadi ketika diri dikuasai hawa nafsu.

Kelima: Menelaah nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Keenam: Menyaksikan kebaikan dan nikmat-nikmat Allah, baik yang lahir maupun yang batin.

Ketujuh: Kepasrahan hati secara total dihadapan Allah.

Kedelapan: Menyendiri pada sepertiga malam terakhir -saat dimana Allah turun ke langit dunia- dengan membaca al-Qur’an, kemudian diakhiri dengan taubat dan istighfar.

Kesembilan: Berteman dengan orang-orang shalih yang cinta kepada Allah dan jujur dalam kecintaannya dan mengambil perkataan dan nasehat-nasehat mereka yang baik.

Kesepuluh: Menjauhi segala sebab yang bisa menghalangi hati dari Allah -‘Azza wa Jalla- (berupa dosa dan maksiat).

[Lihat: “Fat-hul Majiid” (hlm. 384-385)]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar