PRINSIP AHLUS SUNNAH DALAM PENETAPAN KEPEMIMPINAN
Imam Ahmad bin
Hanbal -rahimahullaah- menjelaskan siapa yang berhak untuk dikatakan amirul
mukminin (pemimpin kaum mukminin) yang harus ditaati, beliau -rahimahullaah-
berkata dalam “USHUULUS SUNNAH”:
وَمَنْ وَلِـيَ الْـخِلَافَـةَ وَاجْتَمَعَ
الـنَّاسُ عَلَـيْـهِ وَرَضُـوْا بِـهِ، وَمَنْ عَلِـيَهُمْ بِالسَّيْفِ حَتَّى صَارَ
خَلِيْفَـةً، وَسُـمِّيَ أَمِـيْرَ الْمُؤْمِــنِـيْـنَ
“(Juga mendengar dan ta’at kepada) siapa saja yang meraih
kekhilafahan (kepemimpinan) dan manusia berkumpul (sepakat) dan rela atasnya.
Dan (demikian juga) orang yang menguasai mereka dengan pedang (kekerasan)
sehingga menjadi khalifah (pemimpin) dan dia dinamakan amirul mukminin (maka
dia juga harus dita’ati-pent).”
SYARH:
Para Ulama menyebutkan bahwa cara memilih pemimpin yang
ditetapkan oleh Salaf ada dua:
[Lihat: “Fiq-hus Siyaasah asy-Syar’iyyah” (hlm. 135-148),
karya Doktor Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Anbari -hafizhahullaah-]
1. Dengan cara bai’at yang dilakukan oleh Ahlul Halli Wal
‘Aqdi.
2. Istikhlaaf, yakni: Khalifah (pemimpin) yang akan wafat
menentukan satu orang khalifah yang menggantikannya atau menentukan sekelompok
orang agar mereka menentukan satu pemimpin di antara mereka.
[Lihat: “Fat-hul Baarii” (XIII/254-cet. Daarus Salaam)]
Dua cara inilah yang dicontohkan oleh para Shahabat -radhiyallaahu
‘anhum-.
Cara pertama dipraktekkan oleh mereka ketika pengangkatan
Abu Bakr Ash-Shiddiq -radhiyallaahu ‘anhu- sebagai khalifah, dimana para
pembesar Shahabat membai’at beliau di di Saqiifah Bani Sa’idah.
[Lihat: Shahih Al-Bukhari (no. 3667 & 3668)]
Adapun cara kedua, maka dipraktekkan oleh Abu Bakr
Ash-Shiddiq ketika mengangkat ‘Umar bin Al-Khaththab sebagai pengganti beliau [Lihat:
Shahih Al-Bukhari (no. 7218)]. Juga dipraktekan oleh ‘Umar dengan memberikan
amanat kepada enam orang Shahabat -yang kemudian terkenal dengan Ahlu Syuuraa-
untuk memilih pemimpin kaum muslimin di antara mereka [Lihat: Shahih Al-Bukhari
(no. 3700)].
Inilah dua cara yang syar’i dalam memilih pemimpin yang
dicontohkan oleh para Shahabat Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Ada cara yang ketiga yang tidak sesuai dengan syari’at,
yaitu: terpilihnya pemimpin dengan cara kekerasan; berupa: pemberontakan,
kudeta atau yang semisalnya. Ini hukumnya haram dalam syari’at.
Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah-
berkata:
“JALAN UNTUK TERBEBAS (DARI KEZHALIMAN PENGUASA) BUKANLAH
SEPERTI YANG DISANGKA OLEH SEBAGIAN ORANG; YAITU: REVOLUSI DENGAN MENGANGKAT
SENJATA MELAWAN PENGUASA MELALUI KUDETA MILITER. HAL ITU -SELAIN MERUPAKAN
BID’AH ZAMAN SEKARANG-; JUGA MENYELISIHI DALIL-DALIL SYAR’I.”
[Syarh Wa Ta’liiq ‘Alaa Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah
(hlm.69-cet. Al-Maktab Al-Islaami)]
Akan tetapi, apabila ada seseorang yang berhasil menjadi
pemimpin dengan jalan kekerasan tersebut; maka kewajiban kita adalah
mentaatinya. Inilah yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad dalam perkataan beliau
diatas. Hal ini karena melihat sebuah kaidah besar dalam syari’at; yaitu:
kaidah memperhatikan maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan). Dimana
ketidakta’atan kepada pemimipin semacam ini akan menimbulkan kerusakan yang
banyak ditengah-tengah umat.
Dari sini kita mengetahui dua permasalahan penting yang
berkaitan dengan kehidupan kita pada zaman sekarang:
Pertama: Cara memilih pemimpin dengan cara Pemilu adalah
tidak dicontohkan dalam syari’at, terlebih lagi Pemilu merupakan buah dari
Demokrasi yang kufur dan sesat, dimana hukum bukan lagi milik Allah; akan
tetapi diserahkan kepada rakyat.
[Lihat: “Tanwiiru Azh-Zhulumaat Li Kasyfi Mafaasid Wa
Syubuhaat Al-Intikhabaat”, karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah Al-Imam -hafizhahullaah-,
yang diberi rekomendasi dan muqaddimah oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i -rahimahullaah-]
Kedua: Walaupun demikian; akan tetapi siapa yang terpilih
menjadi pemimipin -dengan cara yang salah ini- maka harus kita ta’ati -selama
tidak memerintahkan kepada kemaksiatan-, ini semua demi menjaga kemaslahatan. Karena:
PEMIMPIN YANG MENANG DENGAN PEDANG (KEKERASAN) -YANG DENGANNYA SERING TERJADI
PERTUMPAHAN DARAH- SAJA: KITA WAJIB TA’AT KEPADANYA; TERLEBIH LAGI PEMIMPIN
YANG MENANG DENGAN PEMUNGUTAN SUARA.
Kemudian ada perkara yang ketiga yang berkaitan juga dengan
keadaan di sekitar kita; yaitu: dimana beberapa kelompok/jama’ah kaum muslimin
yang mereka mengangkat seseorang untuk menjadi pimpinan mereka; banyak di
antara mereka yang mem-bai’at pimpinannya dan menganggapnya sebagai
Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukminin) atau khalifah; maka hal ini tidak
benar. Karena yang dinamakan Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukminin)
atau khalifah adalah yang “manusia berkumpul (sepakat) dan rela atasnya”
sebagaimana perkataan Imam Ahmad di atas. Sedangkan yang terjadi di antara
kelompok-kelompok tersebut adalah: masing-masing tidak rela dan tidak mengakui
pimpinan di luar jama’ah mereka.
Maka kita tanya kepada mereka: Bagaimana kalian
mengahadapi sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
إِذَا بُـوْيِــعَ لِـخَـلِـيْـفَـتَـيْـنِ؛
فَاقْـتُـلُوا الآخَـرَ مِنْهُمَا
“Jika di bai’at dua khalifah; maka bunuhlah yang lain
(yang terakhir).”
[Shahih: HR. Muslim (no. 1853) dari Abu Sa’id Al-Khudri
-radhiyallaahu ‘anhu-]
-diambil dari “Syarah Ushulus Sunnah”, karya: Ahmad
Hendrix-
Apa maksud hadits terakhir dlm artikel.. “Jika di bai’at dua khalifah; maka bunuhlah yang lain (yang terakhir).”??
BalasHapusMohon penjelasannya.. jazakallahu khair.