Rabu, 22 Maret 2017

[7]- HADITS KETUJUH

HADITS KETUJUH

حديث: ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ! قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ؛ تُفْلِحُوْا [وَفِيْ رِوَايَةٍ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ، وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا]))

Hadits: “Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung [dalam riwayat lain: Wahai manusia! Sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- memerintahkan kepada kalian untuk beribadah kepada-Nya, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun].”

TAJHRIJ HADITS:

SHAHIH: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 15915 & 18905- cet. Daarul Hadiits), dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (V/61), dari beberapa jalan, dari ‘Abdurrahman bin Abiz Zinad, dari bapaknya, dari Rabi’ah Ad-Dili -seorang Shahabat yang mengalami masa Jahiliyyah, kemudian masuk Islam-, dia berkata: Saya telah melihat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dengan mata kepalaku di pasar Dzul Majaz, beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوْا

“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”

Dan beliau memasuki jalan-jalan (pasar) tersebut, sedangkan manusia mengerumuninya, maka saya lihat tidak ada seorang pun yang bicara, sedangkan beliau tidak diam, beliau terus berkata:

أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوْا

“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”

Hanya saja di belakang beliau ada seorang laki-laki yang juling matanya dan terang wajahnya serta rambutnya memilki dua kepang, dia berkata: “Dia seorang Shaabi’ (keluar dari agama) dan pendusta.” Maka aku bertanya: Siapa orang ini? Mereka menjawab: Muhammad bin ‘Abdillah, dia mengaku menjadi Nabi. Saya bertanya lagi: Siapa orang yang mengatakan bahwa dia pendusta? Mereka menjawab: Itu pamannya sendiri, yaitu: Abu Lahab.

Saya (penulis) berkata: ‘Abdurrahman bin Abiz Zinad adalah seorang rawi yang: “Shaduuq (hasan haditsnya), akan tetapi hafalannya berubah ketika memasuki kota Baghdad.” -sebagaimana disebutkan dalam Kitab “Taqriibut Tahdziib”-.

Bapaknya, yaitu: Abuz Zinad; namanya adalah: ‘Abdullah bin Dzakwan: seorang rawi yang tsiqah dan termasuk perawi Al-Kutubus Sittah.

Dan hadits ini memiliki jalan lain menuju Rabi’ah -bin ‘ibad- Ad-Dili, yang dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad (no. 160244 -cet. Mu’assasah Ar-Risaalah), dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (V/61), dari jalan: Sa’id bin Salamah -yakni: Ibnu Abil Husam-, dia berkata: telah membawakan hadits kepada kami: Muhammad bin Al-Munkadir, bahwa dia mendengar Rabi’ah -bin ‘ibad- Ad-Dili berkata: Saya melihat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berkeliling (mendakwahi) manusia di Mina, di tempat-tempat mereka, (hal itu) sebelum beliau hijrah ke Madinah. Beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ، وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- memerintahkan kepada kalian untuk beribadah kepada-Nya, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”

Dan di belakang beliau ada seseorang yang mengatakan: “Orang ini menyuruh kalian untuk meninggalkan agama nenek moyang kalian.” Maka saya bertanya: Siapa orang ini? Mereka menjawab: Ini Abu Lahab.

Saya (penulis) berkata: Sanad hadits ini adalah sesuai syarat Muslim -yakni: sampai ke Tabi’in-, hanya saja Sa’id bin Salamah bin Abil Husam: ada sedikit kritikan padanya; akan tetapi haditsnya tidak turun dari derajat Hasan. Imam Al-Albani -rahimahullaah- berkata pada “Shahiih As-Siirah An-Nabawiyyah” (no. 642):

“Sanadnya Hasan.”

Peringatan:

Rabi’ah bin ‘Ibad Ad-Dili adalah seorang Shahabat yang haditsnya tidak terdapat dalam Al-Kutubus Sittah. Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah- menyebutkan biografinya dalam: “Ta’jiilul Manfa’ah Bi Zawaa-id Rijaal Al-A-immah Al-Arba’ah” (hlm. 128)

Dan hadits ini memilki “Syaahid” (penguat dari riwayat Shahabat lain), dari hadits riwayat: Thariq bin ‘Abdillah Al-Muharibi, dengan lafazh:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ! قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ؛ تُفْلِحُوْا

“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”

Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 159), dengan sanad yang para perawinya adalah tsiqah.

PENJELASAN HADITS:

[1]- “Sungguh, beliau (Rasulullah) -‘alaihish shalaatu was salaam- memulai (Dakwah) dengan apa yang para nabi memulai dengannya, dan bertolak seperti mereka; dengan Dakwah mereka: berupa ‘AQIDAH TAUHID, mengajak untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah saja; (Dakwah kepada) “Laa Ilaaha Illaallaah, Muhammad Rasuulullaah”.

Tidaklah terbayangkan dari beliau -atau dari nabi lainnya-: untuk memulai (Dakwah) bukan dari pondasi yang agung ini yang merupakan prinsip risalah -secara keseluruhan- yang paling utama…

Maka, tidak kita dapatkan:

1- Seorang nabi pun yang memulai Dakwahnya dengan tashawwuf,

2- atau (nabi) lainnya: dengan filsafat dan ilmu kalam,

3- atau (nabi-nabi) yang lain lagi: dengan politik,

[4- atau dengan masalah-masalah rumah tangga dan percintaan.]

Bahkan, kita dapatkan: mereka semua menempuh manhaj (jalan) yang satu: dengan mentauhidkan Allah -pertama kali- untuk derajat (prioritas) yang pertama.”

[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 72-73 & 123-124), dan tambahan dalam kurung [ ] adalah dari saya]

[2]- Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani -hafizhahullaah- berkata:

“Setiap dakwah yang tidak berpondasi di atas Tauhid dan tidak ber-asas-kan Tauhid; maka tidak ada manfaatnya, tidak akan tetap dan tidak pula kokoh di muka bumi, serta tidak ada pahalanya pada Hari Kiamat. Kalaulah tidak ada kejelekkannya melainkan hanya menyelisihi semua Rasul; maka cukuplah hal itu sebagai dosa. Allah -‘Azza Wa Jalla- berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesmbahan (yang berhak diibadahi) selain Aku, maka sembahlah (beribadahlah kepada)-Ku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)

Dan dalam hal ini terdapat nasehat yang sangat mengena bagi dakwah-dakwah yang tidak mempunyai perhatian terhadap Tauhid, serta tidak prioritas pada Tauhid: Bagaimana bisa sebuah dakwah tidak mengetahui Tauhid sama sekali dan tidak membedakan antara Tauhid dengan syirik?! Bagaimana bisa sebuah dakwah justru memerangi Tauhid dan orang-orang yang bertauhid?!

Betapa banyak orang yang dada-dada mereka tidak lapang untuk menerima dakwah yang diberkahi ini; dengan anggapan bahwa dakwah Tauhid akan membuat orang lari dari agama, atau bahwa manusia bosan dengan pembicaraan tentang Tauhid, dan mereka tidak mempunyai kesan terhadap dakwah Tauhid, serta anggapan bahwa yang sesuai dengan Hikmah adalah dengan menunda dakwah Tauhid.

Maka orang-orang semacam ini telah salah dengan kesalahan yang fatal; karena mereka mencela dakwah para Nabi dengan tanpa mereka sadari dan juga para Nabi dianggap tidak Hikmah (dalam berdakwah)…

Dakwah mengajak kepada ‘Aqidah Salafush Shalih -dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik-: itulah pondasi dakwah dan prioritas utamanya. Betapa pun jama’ah-jama’ah atau kelompok-kelompok -terlebih lagi individu- mengajak kepada bagian-bagian yang lain dari ilmu-ilmu agama; maka sungguh amalan mereka tidak dianggap sama sekali hingga mereka mempunyai perhatian terhadap hak Allah; yaitu: Allah harus di-esa-kan dalam ibadah. Dimana mereka (dalam mendakwahkan Tauhid) tidak takut sama sekali terhadap celaan orang yang mencela, mereka lebih mendahulukan hak Allah atas hak-hak yang lainnya, mereka mengikuti para Rasul Allah; dengan penuh keyakinan bahwa petunjuk merekalah yang paling sempurna, dan bahwa jalan-jalan dakwah yang lain -walaupun banyak pengikut dan penggemarnya-; akan tetapi sebenarnya itu adalah penghias-hiasan dari Syaithan. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Maka apakah pantas orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatan itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi pertunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Maka jangan engkau (Muhammad) binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Fathir: 8)…

Dan manusia yang paling hikmah -yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada Muadz ketika mengutusnya ke Yaman sebagai da’i:

إِنَّكَ سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ؛ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ[وَفِيْ رِوَايَةٍ: إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ]،...

 “Sungguh, engkau akan mendatangi orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani); maka hendaklah pertama kali yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah: Syahadat Laa Ilaaha Illallaah [dalam riwayat yang lain disebutkan: Agar mereka mentauhidkan Allah],…”

[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 1496, 7372) dan Muslim (no. 19]

…Ketahuilah wahai orang-orang yang mendakwahi manusia! Jadilah kalian Ahli Ittiba’ (mengikuti Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-), dan janganlah berbuat Bid’ah, serta agungkanlah hak Allah; niscaya kalian menjadi mulia dalam pandangan Allah. Janganlah kalian tertipu dengan tepuk tangan para pengikut kalian! Atau banyaknya pengikut kalian!! Karena sungguh, mereka tidak akan bermanfaat bagi kalian di Hari Kiamat sama sekali. Dan dakwah kalian di dunia ini tidak akan sukses selama-lamanya selama kalian berpaling dari dakwah yang benar. Segala percobaan dan pengalaman dakwah yang kalian pandang itu bagus, dan kalian anggap bisa mengumpulkan jamaah, serta menarik hati, bahkan bisa membuat air mata menetes; maka janganlah kalian mengikutinya hingga ada bukti dari syari’at (tentang kebenerannya). Karena dakwah adalah -seperti perkara penting agama yang lainnya-: tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan izin Allah dan syari’at dari-Nya, bukan dengan uji coba, perasaan, atau mengikuti kemauan orang-orang awam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata dalam “Majmuu’ul Fataawaa” (XV/161):

“Dan beliau (Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) berdakwah mengajak kepada Allah adalah dengan izin dari Allah, beliau tidak mensyari’atkan agama yang tidak Allah izinkan; sebagaimana firman Allah -Ta’aalaa-:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا * وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا

“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi da’i (penyeru) kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi.” (QS. Al-Ahzaab: 45-46).”

[“Min Kulli Suuratin Faa-idah” (hlm. 114-117), karya Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani -hafizhahullaah-]

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar