METODE LAIN DARI
PENULISAN
Ada sebagian ulama yang ketika
menulis sebenarnya dia banyak menukil dari para imam; akan tetapi tidak dia
sandarkan dikarenakan beberapa alasan. Di antaranya:
[1]- Penulis sudah menyandarkan
ke pemilik perkataan, hanya saja dia tidak menyebutkan kitabnya; seperti yang
dilakukan oleh Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah- dalam dua kitabnya:
“Al-I’tishaam” dan “Al-Muwaafaqaat” [Lihat: Muqaddimah Syaikh Masyhur bin Hasan
Alu Salman dalam “tahqiiq” kitab “Al-Muwaafaqaat” (I/20), dan “Al-I’tishaam”
(hlm. 100)]
[2]- Tidak menyandarkan sama sekali:
kepada kitab maupun penulisnya; seperti yang dilakukan oleh Imam Ibnu Abil ‘Izz
Al-Hanafi -rahimahullaah- dalam kitabnya: “Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah”.
“Jelas sekali tampak pengaruh Al-‘Allamah Ibnul Qayyim pada banyaknya nukilan
dari kitab beliau dalam Syarh (‘Aqidah Thahawiyyah) ini. Dan kemungkinan besar:
beliau (Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi) bertemu dengannya (Ibnul Qayyim) dan
mengambil faedah darinya; akan tetapi dia beliau (Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi)
tidak menjelaskan bahwa dirinya menukil dari beliau (Ibnul Qayyim), demikian
juga dari Syaikhul Islam (beliau menukil darinya akan tetapi tidak menyebutkan
namanya-pent). Mungkin hal ini sengaja beliau lakukan agar faedah dari kitabnya
bisa merata; bisa diambil manfaatnya oleh teman maupun lawan.” [Muqaddimah
tahqiiq “Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah” (I/73)]
[3]- Menukil perkataan akan
tetapi melakukan perubahan yang disesuaikan, sehingga tidak disandarkan;
sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani -rahimahullaah-
[Lihat: Muqaddimah Syaikh Shaghir Ahmad Al-Bakistani -hafizhahullaah- ketika
men-tahqiiq “Taqriibut Tahdziib” (hlm. 20)]
[4]- Tidak Ingat Perkataan Siapa.
Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdullah bin Yusuf Al-Judai’
-hafizhahullaah-:
“Allah mengetahui bahwa diriku
-dalam semua tulisan dan tahqiiq-ku-: tidak pernah sengaja untuk menukil
perkataan ulama tanpa menyandarkannya. Akan tetapi dikarenakan BANYAKNYA
BACAANKU terhadap perkataan ulama -seperti Syaikhul Islam-: TERKADANG SEBAGIAN
UNGKAPAN MEREKA MELEKAT DI PIKIRANKU; AKAN TETAPI KETIKA MENULIS SAYA TIDAK
INGAT: INI PERKATAAN SI FULAN…sehingga masuklah ungkapan tersebut dalam
tulisanku. Dan hal ini tidak dipermasalahkan dalam tulisan ‘ilmiyyah, dan tidak
ada seorang imam pun yang kita teladani; melainkan banyak melakukan hal semacam
ini. Dan ini bukanlah hal yang tercela.”
[“Al-‘Aqiidah As-Salafiyyah Fii
Kalaam Rabbil Bariyyah” (hlm. 16- cet. II)]
[5]- Tidak menyandarkan nukilan
dikarenakan tulisan merupakan hasil ringkasan dari berbagai perkataan; seperti
yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah-
dalam Tafsir-nya; dimana “dalam fikiran beliau mengalir perkataan-perkataan
para Salaf; dari kalangan para Shahabat, Tabi’in dan Ulama Umat mengenai
tafsir. Seolah-olah belia -rahimahullaah- mengumpulkan berbagai perkataan
mengenai tafsir ayat; kemudian beliau susun dengan gaya bahasa beliau yang
sudah dikenal (keindahan dan kemudahannya-pent).” [Muqaddimah tahqiiq
“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlm. 4-5), cetakan: “Daar Ibnil jauzi”]
[6]- Tidak menyandarkan perkataan
karena: untuk melatih para pelajar; agar mereka mau melakukan “Bahts”
(pembahasan), sebagaimana dikatakan oleh: Fadhilatul Ustadz ‘Abdul Hakim bin
‘Amir Abdat -hafizhahullaah- kepada kami (di kelas). Karena seorang pelajar
yang sudah mengetahui rujukan yang disebutkan; maka dia akan segera merujuk ke
kitab dan nomor halaman. Adapun jika dia tidak mengetahui; maka dia akan
mencari dan melakukan pembahasan.
[7]- Maka: Asal dari menukil
perkataan adalah: dengan menyandarkannya kepada pemilik perkataan. “Akan tetapi
yang harus diperhatikan: jika engkau membaca di sebagian tulisan ahli ilmu:
suatu ungkapan yang masyhur dari seorang imam, kemudian penulisnya tidak
menyandarkan; maka janga terburu-buru untuk mencela sang penulis…karena mereka
memiliki sebab, udzur, dan berbagai alasan.” [“An-Nubadz Fii Aadab Thalabil ‘Ilmi (hlm. 200)]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar