MUQADDIMAH QAWAA’ID FIQ-HIYYAH
Oleh Syaikh Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhaili hafizhahullaah
Dauroh Batu - Malang (1439 H / 2018 M)
-diterjemahkan dengan ringkas oleh: Ahmad
Hendrix Eskanto-
[1]- PENGERTIAN QAWAA’ID FIQ-HIYYAH
(1)- Pengertian Qawaa-‘id
Al-Qawaa-‘id jamak dari al-Qaa-‘idah. Maknanya secara
bahasa berputar pada 2 (dua) makna:
1. At-Tsubuut (tetap), jadi al-Qaa-‘idah
maknanya ats-Tsaabitah (sesuatu yang tetap).
Seperti wanita yang sudah tua dinamakan al-Qaa-‘idah.
Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ...}
“Dan para perempuan tua…” (QS. An-Nuur: 40)
Yaitu perempuan yang sudah tua usianya, hingga
menjadi sedikit gerakannya, maka seakan-akan ia menetap di tempatnya.
2. Al-Asaas & al-Ashlu (pondasi)
bagi hal yang ada di atasnya, baik secara nyata maupun secara makna.
Maka kita katakan -sebagai contoh-: Qawaa-‘idul
Bait (kaidah-kaidah rumah), yakni pondasi rumah. Dan ini adalah sesuatu
yang nyata.
Contoh lain: kita katakan dalam masalah ilmu: “Qaa-‘idatuka
Fil ‘Ilmi Qawiyyah (kaidahmu dalam ilmu adalah kuat)”. Jika kita dapati
penuntut ilmu yang memiliki ta’shiil (pondasi); dimana jika ia bicara;
maka engkau akan dapatkan ilmu dalam perkataannya, Maka orang ini kita katakan:
“Qaa-‘idatuhu Qawiyyah (kaidahnya kuat) ”, yakni: pondasi ilmunya -yang
ia bangun ilmunya di atas pondasi tersebut- adalah kuat.
Sebaliknya, jika engkau dapati ada penuntut
ilmu yang ia memiliki ijazah yang tinggi, akan tetapi jika engkau membongkarnya
(menelitinya); maka engkau tidak
mendapati apa-apa pada dirinya. Maka engkau katakan tentang orang ini: “Qaa-‘idatuhu
Waahiyah (kaidahnya lemah)”, yakni: pondasi ilmunya -yang ia bangun ilmunya
di atas pondasi tersebut- adalah lemah.
Dan kedua makna di atas adalah cocok untuk
mengartikan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah, sehingga Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah: tetap
dan merupakan pondasi bagi (permasalahan) yang dibangun di atasnya.
(2)- Pengertian Fiqih
Al-Fiq-hu secara bahasa adalah: al-Fahmu (pemahaman).
Dan sebagian ulama mengatakan bahwa al-Fiq-hu adalah: “Fahmu
al-Asy-yaa’ ad-Daqiiqah (memahami hal-hal yang rumit)”, bukan semata-mata
hanya memahami secara umum. Akan tetapi bagi yang memperhatikan kamus-kamus dan
juga dalil-dalil; maka akan ia dapati bahwa Al-Fiq-hu secara bahasa
maknanya: al-Fahmu (pemahaman) secara umum.
Adapun Fiqih dalam istilah para ulama kita;
maka memiliki 4 (empat) makna:
1. Fahmu ad-Diin (memahami agama).
Maka orang yang berbicara tentang ‘Aqidah
dinamakan Faqiih, orang yang berbicara tentang Hadits dinamakan Faqiih,
orang yang berbicara tentang hukum-hukum (Fiqih) dinamakan Faqiih;
karena Fiqih maknanya: memahami agama (secara umum). Dan inilah yang dimaksud
dengan Fiqih pada generasi pertama. Sehingga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam:
((مَنْ
يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ))
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya; maka Dia
akan memahamkannya terhadap agama.”
Maknanya adalah: pemahaman agama secara umum, sehingga
hadits ini merupakan pujian bagi setiap orang yang memahami agama; baik dalam
masalah: ‘Aqidah, Fiqih, ataupun lainnya.
2. Makna Kedua dari Fiqih adalah:
الْـعِـلْـمُ بِـالْأَحْـكَـامِ الـشَّـرْعِـيَّـةِ
الْـعَـمَـلِـيَّـةِ الْـمُـكْـتَـسَـبُ مِـنَ الْأَدِلَّـةِ
الـتَّـفْـصِـيْـلِــيَّـةِ
“Ilmu terhadap hukum-hukum syar’i berupa amalan, yang (ilmu
tersebut) didapat dari dalil-dalil yang rinci.”
Fiqih dengan makna ini adalah khusus bagi para (ulama)
Mujtahid, karena ilmunya didapat dari dalil (secara langsung), dan ini adalah
ilmunya para (ulama) Mujtahid.
Dan ilmu di sini maksudnya adalah al-Idraak (mengetahui),
baik secara yakin maupun hanya persangkaan kuat saja.
3. Makna Ketiga dari Fiqih adalah:
الْـعِـلْـمُ بِـالْأَحْـكَـامِ الـشَّـرْعِـيَّـةِ
الْـعَـمَـلِـيَّـةِ مَـعَ أَدِلَّـتِـهَـا الـتَّـفْـصِـيْـلِــيَّـةِ
“Ilmu terhadap hukum-hukum syar’i berupa amalan, disertai
dalil-dalilnya yang rinci.”
Maka di sini ada perbedaan:
- Pada Makna Kedua: Faqih (Ahli Fiqih) adalah: orang yang
mengambil hukum secara langsung dari dalil-dalil.
- Adapun pada Makna Ketiga: Faqih (Ahli Fiqih) mengetahui
hukum dan dalilnya, akan tetapi bukan ia yang langsung mengambil hukum dari
dalil, akan tetapi yang mengambil hukum langsung dari dalilnya adalah para
imam, kemudian Faqih (Ahli Fiqih) ini mengambil hukum-hukum tersebut dan ia pun
mengetahui dalil-dalilnya.
Dan di antara para ulama ada yang menggabungkan 2 (dua)
makna tersebut. Contohnya: Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah penulis kitab
al-Mughni. Maka engkau dapati bahwa mayoritas Fiqih-nya adalah dengan
Makna Ketiga ini, dimana ia mengetahui hukum-hukum syar’i berupa amalan bersama
dalil-dalilnya. Maka beliau menyebutkan hukum dan dalilnya, akan tetapi bukan
beliau yang mengambil hukum tersebut secara langsung dari dalilnya. Akan tetapi
di samping itu beliau terkadang juga melakukan istinbaath (mengambil
hukum langsung dari dalilnya).
Dan Makna Ketiga ini sangatlah penting, karena jika kita
tidak menyebutkannya; maka kita akan mengeluarkan banyak ulama dari kategori
Faqih (Ahli Fiqih), seperti: Imam Ibnu Qudamah, Imam Ibnu ‘Abdil Barr, dan Imam
An-Nawawi, karena Fiqih mereka secara umum adalah dari jenis ini.
4. Makna Keempat dari Fiqih adalah:
حِـفْـظُ الْـفُـرُوْعِ الْـفِـقْـهِـيَّـةِ
“Menghafal cabang-cabang (perkara-perkara) Fiqih.”
Maka orang yang menghafal cabang-cabang (perkara-perkara)
Fiqih walaupun tidak hafal dalil-dalilnya: ia dinamakan Faqih (Ahli Fiqih)
dalam istilah para ulama belakangan. Seperti banyak Ahli Fiqih Madzhab-Madzhab,
yang engkau akan dapati dirinya menghafal cabang-cabang (perkara-perkara)
Madzhab, akan tetapi kalau engkau bertanya kepadanya tentang dalil; maka ia
tidak mengetahui dalilnya. Dan banyak dari syaikh yang mengajar Fiqih pada
zaman sekarang dan mereka menisbatkan diri kepada Madzhab: ia membawakan banyak
sekali Madzhab -contohnya- Madzhab Syafi’i, jika engkau bertanya kepadanya: Apa
dalilnya? Dia akan menjawab: “Hah?”
Maka keempat makna di atas adalah sesuai dengan Qawaa-‘id
Fiq-hiyyah, akan tetapi yang paling sesuai dan paling sempurna adalah Makna
Keempat, sehingga Qawaa-‘id Fiq-hiyyah dengan makna ini seolah-olah: Kaidah-Kaidah
untuk menghafal cabang-cabang (perkara-perkara) Fiqih, yakni: kaidah-kaidah
yang dengannya engkau bisa menguasai cabang-cabang (perkara-perkara) Fiqih.
(3)- Pengertian Qawaa-‘id Fiq-hiyyah
Dikatakan al-Qawaa’idul Fiq-hiyyah dan bisa juga
dikatakan: Qawaa-‘idul Fiq-hi.
Dan pengertian terbaik untuk Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah:
حُـكْـمٌ كُـلِّـيٌّ يُـــتَـعَـرَّفُ مِـنْـهُ حُـكْـمُ
الْـجُــزْئِــــيَّـاتِ الْــفِـقْـهِـيَّـةِ مُـبَـاشَـرَةً فِـيْ أَكْـثَـرَ
مِـنْ بَـابٍ وَاحِـدٍ
“Hukum menyeluruh yang dengannya diketahui
secara langsung: hukum permasalahan-permasalahan parsial dalam Fiqih, dalam
banyak bab.”
Kalau ada yang mengatakan: Bagaimana bisa
dikatakan kulliy “menyeluruh”, sedangkan setiap kaidah pasti
memiliki mustatsnayaat (perkara-perkara parsial yang dikecualikan dan
keluar dari kaidah teresbut, padahal secara lahiriyah harusnya masuk dalam
kaidah -pent). Seharusnya jangan dikatakan kulliy “menyeluruh” akan
tetapi dikatakan aghlabiy (mencakup mayoritas). Dan inilah yang dipilih
oleh sebagian ulama, dimana mereka mengatakan bahwa Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah
aghlabiy (berlaku secara mayoritas saja). Akan tetapi ini pendapat yang
lemah menurutku Wallaahu A’lam.
Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah kulliy “menyeluruh”,
adapun mustatsnayaat (perkara-perkara parsial yang dikecualikan dan
keluar dari kaidah tersebut, padahal secara lahiriyyah harusnya masuk dalam
kaidah- pent); maka tidak merusak sifat kulliy “menyeluruh” dari
Qawaa-‘id Fiq-hiyyah. Kenapa demikian? Karena mustatsnayaat tidaklah ia
keluar dari kaidah melainkan karena suatu ‘illah (alasan), sehingga ia
sama sekali tidak pantas untuk masuk ke dalam kaidah. Dan kita memiliki suatu prinsip
yang kita yakini; yaitu: bahwa syari’at tidak akan memisahkan antara
perkara-perkara yang sama. Bahkan perkara-perkara yang sama tersebut di dalam
syari’at memiliki satu hukum. Maka jika kita dapati syari’at memisahkan; dari sini
kita tahu bahwa yang dipisahkan itu keluar dari hukum dikarenakan ‘illah (alasan)
khusus, yakni; di dalamnya terdapat perbedaan yang dapat mempengaruhi hukum.
[2]- PERBEDAAN QAWAA’ID FIQ-HIYYAH DENGAN USHUL
FIQIH
Dari pengertian Qawaa-‘id Fiq-hiyyah; maka kita
ketahui bahwa kita bisa langsung mengetahui hukum suatu perkara hanya dengan
menggunakan kaidah. Karena dalam pengertian yang kita sebutkan terdapat
kalimat: “secara langsung”. Di sinilah letak perbedaan Qawaa-‘id
Fiq-hiyyah dengan Ushul Fiqih, karena Ushul Fiqih adalah: “Hukum-hukum
menyeluruh yang dengannya diketahui hukum permasalahan-permasalahan parsial
dalam Fiqih, akan tetapi tidak secara langsung. Yakni: harus dengan perantaraan
dalil.”
Saya beri contoh: Kalau ada orang bertanya
kepadaku: “Wahai Syaikh, saya telah selesai dari shalat Zhuhur. Dan setelah
shalat; saya ragu apakah tadi saya shalat tiga raka’at atau empat raka’at. Apakah
shalat saya sah ataukah saya harus mengulangi shalat?” Maka saya jawab: “Shalatmu
sah, karena secara kaidah (yakni: di dalam Qawaa-‘id Fiq-hiyyah disebutkan) bahwa
al-Yaqiinu Laa Yazuulu Bisy Syakk (keyakinan tidak akan hilang hanya karena
adanya keraguan). Tatkala engkau telah selesai dari shalatmu; maka yang yakin
adalah bahwa engkau telah menyelesaikan shalatmu dengan sempurna, karena
seorang muslim tidaklah ia menyelesaikan shalat dengan kurang, kemudian kamu
ragu, maka kaidahnya al-Yaqiinu Laa Yazuulu Bisy Syakk (keyakinan tidak
akan hilang hanya karena adanya keraguan).
Akan tetapi kalau ada orang yang datang
kepadaku dan bertanya: “Apa hukumnya membiarkan jenggot (agar memanjang)?” Maka
saya jawab: “Membiarkan jenggot (agar memanjang) hukumnya wajib.” Kalau ia
bertanya: “Kenapa hukumnya wajib?” Saya jawab: “Karena di dalam Ushul Fiqih
disebutkan: al-Amru Lil Wujuub (perintah adalah menunjukkan wajibnya
hukum).” Apakah jawabanku ini telah mencukupi? Belum mencukupi, karena tidak
boleh bagiku untuk mengambil hukum dari Ushul Fiqih. Akan tetapi jawaban yang
benar (lengkap) adalah: “Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((اعْــفُــوا
الـلِّـحَـى))
“Biarkanlah jenggot itu (memanjang)!”
Dan kata u’fuu (biarkanlah) adalah amr
(perintah), sedangkan dalam Ushul Fiqih disebutkan: al-Amru Lil Wujuub (perintah
adalah menunjukkan wajibnya hukum).”
Jadi, kalau ingin menghukumi dengan menggunakan
Ushul fiqih; maka harus dengan membawakan dalilnya. Adapun dalam Qawaa-‘id
Fiq-hiyyah; maka hukum langsung bisa diikat dengan kaidah.
[3]- BOLEHKAH BERDALIL DENGAN QAWAA-‘ID
FIQ-HIYYAH?
Maka di antara hal terpenting yang harus
diketahui dalam pembahasan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah adalah: Bolehkah berdalil
dengan Qawaa-‘id Fiq-hiyyah? Yakni: Bolehkah bagi seorang yang berfatwa untuk menggunakan
Qawaa-‘id Fiq-hiyyah sebagai dalil? Maka inilah yang dibahas oleh para ulama.
Dan setelah diteliti; maka yang benar adalah
bahwa kaidah-kaidah dalam Qawaa-‘id Fiq-hiyyah terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
Bagian Pertama: Kaidah-kaidahnya berupa dalil-dalil itu
sendiri. Yakni: para ulama mengambil kaidah-kaidah tersebut langsung dari
dalil; secara lafazh maupun maknanya. Seperti: kaidah al-Kharaaj bidh Dhamaan dan
kaidah Laa Dharar wa Laa Dhiraar. Maka keduanya merupakan hadits yang
diambil oleh para ulama untuk kemudian mereka jadikan sebagai dua buah kaidah
dalam Qawaa-‘id Fiq-hiyyah.
Maka untuk bagian pertama ini: boleh berhujjah
dan berdalil dengannya, dan kebolehan ini merupakan perkara yang tidak
diragukan lagi.
Bagian Kedua: kaidah-kaidah yang diambil dari dalil-dalil.
Yakni: lafazhnya merupakan buatan para ulama, akan tetapi maknanya terdapat
dalam dalil-dalil. Seperti: kaidah al-Umuur bi Maqaashidihaa (segala
perkara adalah sesuai dengan niatnya), maka lafazh semacam ini tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi maknanya terdapat dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah; seperti hadits:
((إِنَّـمَا الْأَعْـمَـالُ بِـالـنِّــيَّـاتِ،
وَإِنَّـمَا لِـكُـلِّ امْــرِئٍ مَـا نَــوَى))
“Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada
niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai
dengan apa yang diniatkannya.”
Dan untuk bagian kedua ini juga: boleh
berhujjah dan berdalil dengannya. Karena dibolehkan bagi seorang Faqih untuk
berdalil dengan makna sebuah dalil (menyebutkan dalil hanya secara makna saja -pent),
yakni: tidak disyaratkan bagi Faqih bahwa ia harus menghafal dalil. Walaupun
yang lebih baik bagi Faqih adalah: ia membawakan dalil sesuai dengan lafazhnya,
akan tetapi kalau ia lupa lafazh dalil; maka boleh baginya untuk menyebutkan
makna dari dalil tersbut.
Bagian Ketiga: kaidah-kaidah yang dinamakan al-Qawaa-‘id
al-Istiqraa-iyyah (kaidah-kaidah yang diperoleh dari mengumpulkan
permasalahan-permasalahan parsial dalam Fiqih, yang kemudian diambil kesimpulan
darinya: berupa sebuah kaidah -pent). Maka ini tidak diambil dari dalil, akan
tetapi diambil dari penelitian terhadap hukum-hukum (Fiqih).
Dan pendapat yang benar untuk penggunaan kaidah
ini adalah: bahwa penggunaannya adalah sebagaimana penggunaan Qiyas; yakni:
tidak dibolehkan melainkan ketika tidak didapati adanya dalil. Seperti kaidah at-Taabi’
Taabi’; maka tidak boleh bagi Faqih untuk menggunakannya kecuali jika ia
tidak menemukan dalil, kemudian baru ia berdalil dengannya karena hal ini sama
dengan Qiyas, yakni: menyamakan suatu perkara dengan yang serupa dengannya.
[4]- ANTARA QAA-‘IDAH (قَـاعِـدَة) DAN DHAABITH (ضَــابِـط)
Telah disebutkan dalam pengertian Qawaa-‘id
Fiq-hiyyah bahwa: Kaidah Fiqih berlaku “dalam banyak bab”. Sedangkan
pengertian Dhabith adalah sama dengannya, akan tetapi ia hanya berlaku dalam
satu bab saja. Jadi Dhaabith adalah:
حُـكْـمٌ كُـلِّـيٌّ يُـــتَـعَـرَّفُ مِـنْـهُ حُـكْـمُ
الْـجُــزْئِــــيَّـاتِ الْــفِـقْـهِـيَّـةِ مُـبَـاشَـرَةً فِـيْ بَـابٍ
وَاحِـدٍ
“Hukum menyeluruh yang dengannya diketahui
secara langsung: hukum permasalahan-permasalahan parsial dalam Fiqih, dalam satu
bab.”
Seperi kaidah: Al-Ashlu fil Awaani
ath-Thahaarah (hukum asal dari bejana adalah suci). Maka ini adalah hukum
menyeluruh yang dengannya diketahui hukum dari banyak permasalahan, akan tetapi
hanya dalam satu bab saja; yaitu: Bab Bejana. Inilah Dhaabith, dan
kebanyakan ulama tidak menamakannya sebagai Qaa-‘idah.