PENGUASA ADIL DAN PENGUASA ZHALIM
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-
berkata:
“Keadilan yang paling penting bagi penguasa adalah: dimana
dia menghukumi di antara manusia dengan Syari’at Allah; karena Syari’at Allah
itulah keadilan. Adapun penguasa yang berhukum dengan hukum buatan YANG
MENYELISIHI SYARI’AT; maka dia merupakan penguasa yang paling zhalim -wal
‘iyaadzu billaah (kita berlindung kepada Allah)-, dan dia menjadi manusia yang
dijauhkan untuk mendapatkan naungan dari Allah; pada hari tidak ada naungan
melainkan naungan-Nya.”
[“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (III/643)]
Beliau -rahimahullaah- juga berkata:
“Maka keadilan adalah wajib dalam segala hal [dan wajib atas
siapa pun], akan tetapi untuk para penguasa kewajiban tersebut lebih kuat,
lebih utama, dan lebih besar. Karena ketidakadilan -jika terjadi pada
penguasa-; maka akan terjadi kekacauan dan kebencian terhadap penguasa yang
tidak adil.
Akan tetapi SIKAP KITA TERHADAP PENGUASA YANG TIDAK ADIL
ADALAH: KITA BERSABAR; bersabar atas kezhalimannya, bersabar atas ketidakadilannya,
dan bersabar atas pengutamaan (harta rakyat untuk diri)nya. Sampai-sampai
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan kepada para Shahabat
Anshar -radhiyallaahu ‘anhum- dengan bersabda kepada mereka: “Sungguh,
sepeninggalku kalian akan mendapati “Atsarah” -yakni: mengutamakan (harta)
kalian (untuk dirinya)-; maka bersabarlah kalian sampai kalian menemuiku di
telaga.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Hal itu dikarenakan bahwa: dengan menentang penguasa; maka
akan mengakibatkan kejelekan dan kerusakan yang lebih besar dibandingkan
ketidakadilan dan kezhalimannya. Dan sudah maklum bahwa akal dan syari’at:
melarang dari menerjang madharat (kerusakan) yang paling berat di antara dua
madharat, dan memerintahkan untuk mengerjakan madharat yang paling ringan di
antara dua madharat -jika memang harus melakukan salah satunya-.”
[“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (III/641-642)]
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata dalam
“I’laamul Muqaqqi’iin” (hlm. 630- cet. Daaru Thayyibah), “Fasal Tentang “Saddu
Adz-Dzaraa-’i (Menutup Jalan Yang Mengantarkan Kepada Kejelekan)”, ketika
menyebutkan dalil-dalil yang melarang dari perbuatan yang mengantarkan kepada
mafsadat yang lebih kuat; walaupun asal perbuatannya adalah dibolehkan, atau
bahkan disunnahkan:
“Segi (Dalil)
Kesembilan Puluh Delapan: Larangan beliau (Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam-) dari memerangi pemimpin dan (larangan) memberontak melawan penguasa
-meskipun mereka tidak adil dan zhalim- selama mereka menegakkan Shalat; hal
ini merupakan “Saddu Dzarii’ah” (menutup jalan yang mengarah) kepada kerusakan
yang besar dan kejelekan yang banyak -sebagaimana realita yang ada-. Karena
sungguh, dengan sebab memerangi dan memberontak melawan mereka; maka terjadi
kerusakan yang berlipat ganda dibandingkan sebelumnya, dan umat pun masih
merasakan sisa-sisa kejelekan tersebut sampai sekarang.”
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُـحِبُّوْنَهُمْ وَيُـحِبُّوْنَكُمْ، وَيُصَلُّوْنَ
عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ
تُـبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ))
قِـيْـلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَـلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّـيْـفِ؟ فَقَالَ:
((لَا، مَا أَقَامُوا فِـيْكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ
شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ، وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ))
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah: yang
kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, serta kalian mendo’akan
kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendo’akan kebaikan untuk kalian. Dan
seburuk-buruk pemimpin adalah: yang kalian benci kepada mereka dan mereka pun benci
kepada kalian, serta kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Maka
ada yang berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah bagi kami mengangkat pedang untuk
melawan mereka? Beliau bersabda: “Tidak! Selama mereka masih Shalat bersama
kalian! Jika kalian melihat pemimpin kalian mendatangi suatu hal yang tidak
kalian sukai; maka bencilah amalannya, dan janganlah membatalkan bai’at keta’atan.”
[HR. Muslim (no. 1855)]
Hasan Al-Bashri (seorang tabi’im, wafat th. 110 H) berkata:
“Demi Allah, seandainya manusia ketika mereka mendapatkan
ujian dari arah penguasa mereka: kemudian mereka bersabar; maka tidak akan lama
untuk kemudian Allah -‘Azza Wa Jalla- mengangkat (uijian) tersebut dari mereka.
Akan tetapi mereka terburu-buru dengan menggunakan pedang; sehingga mereka pun
diserahkan (oleh Allah) kepada diri-diri mereka sendiri (Allah tidak menolong
mereka-pent). Demi Allah, mereka tidak pernah membawa kebaikan satu hari pun.”
Kemudian beliau membaca:
...وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي
إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ
وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“…Dan telah sempurnalah firman Rabb-mu yang baik itu
(sebagai janji) untuk Bani Isra-il DISEBABKAN KESABARAN MEREKA. Dan Kami
hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka
bangun.” (QS. Al-A’raaf: 137)
[Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam “Asy-Syarii’ah” (hlm.
38)]
“Maka kita memohon kepada Allah -Ta’aalaa- agar memudahkan
kaum muslimin untuk mendapatkan para penguasa yang adil; yang menghukumi mereka
dengan Kitabullah dan dengan Syari’at yang Dia pilihkan untuk hamba-hamba-Nya.”
[“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (III/644), karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]
-diterjemahkan
dari: “Al-Majmuu’ah Al-Hadiitsiyyah” (I/44-47), karya Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar