[1]- Disebutkan dalam Kitab “Al-Qalaa-id Al-‘Anbariyyah ‘Alal Manzhuumah Al-Baiquuniyyah” (hlm. 20-cet. th. 1418 H/1997 M), karya Syaikh 'Utsman bin Makki At-Tauzari -rahimahullaah- (wafat setelah th. 1330 H):
“Ilmu Mushthtalah Hadits ada dua bagian:
Pertama: Riwayah; dan definisinya adalah: ilmu yang mencakup penukilan yang disandarkan kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; baik perkataan, perbuatan, maupun persetujuan, dengan tanpa memikirkan dan mendalami tentang (diterima atau tidak)nya.
Kedua: Dirayah; yaitu: memikirkan dan mendalami. Dan definisinya adalah: ilmu untuk mengenal keadaan perawi dan (redaksi) yang dia riwayatkan; dari segi diterima atau tidaknya.
Dengan ungkapan lain:
Riwayah: menghafal (menjaga/mengumpulkan) "masaa-il" (yakni: matan/redaksi Hadits-pent).
Dirayah: mengenal yang shahih darinya dan yang sakit, yang kuat dan yang lemah, yang mengatakan dan menukilkan, dan apakah (perawi yang menukilkan) itu ditsiqahkan (dikuatkan) atau tidak.”
[2]- Syaikh Muhaddits ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- berkata dalam ta’liiq (catatan)nya terhadap "Al-Qalaa-id Al-'Anbariyyah" (hlm. 20-21):
“Saya telah meneliti banyak dari kitab Ilmu Hadits dan Mushthalah Hadits, maka saya melihat -secara keseluruhan- sepakat atas definisi ini dan yang semisalnya!!
Padahal yang lebih layak dengan makna bahasa untuk pengertian dua kata ini tidaklah demikian -menurut saya-:
Maka Riwayah: lebih sesuai dengan ilmu penyandaran (Hadits) untuk memeriksa sanad-sanad, para perawinya, kemudian kritikan/pujian atasnya. Dan mungkin yang mendekatkan makna ini adalah: penamaan Imam Al-Khathib Al-Baghdadi terhadap Kitab-nya tentang Ilmu Hadits dan Mushthalah-nya dengan nama: “Al-Kifaayah Fii ‘Ilmi Ar-Riwaayah”.
Adapun Dirayah; maka: lebih sesuai dengan ilmu istinbath (pengambilan hukum) yang pembahasannya adalah: berusaha memahami nash-nash dari Sunnah (Hadits), fiqih-nya, dan mendalami (makna)nya.
Maka perhatikanlah, Allaahu Ta’aalaa A’lam.”
[3]- Apa yang disebutkan Syaikh ‘Ali Al-Halabi sesuai dengan apa yang dinukil oleh Syaikh Muhammad ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri -rahimahullaah- (wafat th. 1353 H) dalam Muqaddimah Kitab “Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarh Jaami’ At-Tirmidzi” (hlm. 22-cet. Daarul Faihaa’):
“(Ilmu Hadits) terbagi menjadi dua:
Ilmu Riwayah Hadits: ilmu yang membahas tentang tersambungnya hadits-hadits kepada Rasul -‘alaihish shalaatu was salaam-; dari segi keadaan para perawinya secara Dhabth (penjagaannya terhadap Hadits) dan ‘Adaalah (kebaikan agamanya), dan dari segi sanad: apakah bersambung atau terputus, dan lain-lain. Dan (ilmu) ini dikenal dengan “Ushuul Al-Hadiits”.
Ilmu Dirayah Hadits: ilmu yang membahas makna yang difahami dari lafazh-lafazh Hadits dan tentang maksudnya; dengan dibangun di atas kaidah-kaidah Bahasa ‘Arab, dan prinsip-prinsip syari’at, serta disesuaikan dengan keadaan-keadaan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.”
[4]- Dan inilah -sepertinya- yang lebih tepat, dikarenakan makna “Ilmu Hadits” adalah luas; mencakup Fiqih (pemahaman) terhadap makna Hadits dan lainnya. Sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah- dari Abu Syamah (wafat th. 665):
“Dikatakan bahwa Ilmu Hadits sekarang ada 3 (tiga):
1. Yang paling mulia adalah: menghafal matan-matannya, dan mengenal kata-kata yang asing darinya, serta (mengetahui) fiqihnya.
2. Menghafal sanad-sanadnya, mengenal para perawinya, dan membedakan antara yang shahih dengan yang sakit (lemah)…
3. Mengumpulkannya, menulisnya, mendengarnya, mencari jalan-jalannya, serta mencari yang ‘Ali (tinggi sanadnya), dan melakukan perjalanan ke berbagai negeri. Dan orang yang menyibukkan diri dengan hal ini; maka dia telah sibuk dengan sesuatu; sedangkan ada hal lain yang lebih penting dari ilmu-ilmu yang bermanfaat.”
[“An-Nukat ‘Alaa Kitaab Ibnish Shalaah” (I/223-224)]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar