Jangan Menolak Sunnah Rasul!
Allah Subhaanahu
Wa Ta’aalaa beriman:
{...فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ}
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya
takut akan mendapat fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS.
An-Nuur: 63)
Dalam ayat ini
ada empat pembahasan:
Pembahasan
Pertama: Makna Ayat.
“Firman-Nya: “maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut”, perintah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah: jalan, manhaj, thariqah, sunnah, dan syari’at
beliau. Sehingga semua perkataan dan amalan (manusia) ditimbang dengan perkataan
dan amalan beliau. Apa yang sesuai dengan beliau; maka diterima, dan apa yang
menyelisihinya; maka ditolak perkataan dan amalannya. Sebagaimana dalam hadits
riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang melakukan amal (ibadah) yang tidak ada contohnya dari (ajaran) kami; maka
dia tertolak.”[1]
Jadi
makna ayat ini adalah: hendaklah orang-orang yang menyelisihi syari’at Rasul -baik
(penyelisihan itu) secara lahir maupun batin-; takut dan khawatir “akan
mendapat fitnah (cobaan)” yakni (penyakit) di dalam hati mereka; berupa
kekufuran, kemunafikan atau bid’ah, “atau ditimpa adzab yang pedih”
yakni: di dunia; berupa pembunuhan, hukuman, penjara, dan semisalnya (yang
dilakukan oleh pemerintah yang menegakkan syari’at Islam-pent).”[2]
Pembahasan
Kedua: Ancaman Bagi Orang Yang Menolak Sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Dalam
ayat di atas Allah mengancam orang yang menyalahi perintah Rasul (Sunnah dan
Syari’at beliau) akan ditimpa fitnah (yakni: penyakit hati berupa
kekufuran, kemunafikan atau bid’ah) atau ditimpa adzab yang pedih di dunia.
Imam
Ahmad bin Hambal rahimahullaah berkata:
“Saya
melihat mush-haf (Al-Qur-an); maka saya dapati (penyebutan tentang)
ketaatan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada pada 33
(tiga puluh tiga) tempat.”
Kemudian
beliau membaca ayat:
{...فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ...}
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul-Nya takut akan mendapat fitnah (cobaan)...” (QS. An-Nuur: 63)
Beliau
terus mengulang-ulang ayat tersebut. (Kemudian) beliau berkata:
“Apa
itu fitnah? (Fitnah) itu adalah syirik. Bisa jadi (kalau
seseorang menyelisihi Sunnah Rasul-pent); maka akan ada kesesatan di dalam
hatinya; sehingga hatinya menyimpang dan dia binasa.”
Kemudian
beliau (membaca dan) mengulang-ulang ayat:
{فَلا
وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ...}
“Maka
demi Rabb-Mu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (wahai
Rasul) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…” (QS.
An-Nisaa: 65)
Beliau
(Imam Ahmad) juga berkata:
“Barangsiapa
yang menolak hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka dia berada
di tepi jurang kebinasaan.”[3]
Pembahasan
Ketiga: Antara Penolakan Terhadap Sunnah Dan Realita Yang Ada.
“Dan kemungkaran ini (menolak hadits
dengan pendapat ulama -pent) telah tersebar, khususnya di kalangan orang-orang
yang menyandarkan diri kepada ilmu. Mereka membuat penghalang untuk
menghalang-halangi (manusia) dari mengambil Al-Kitab (Al-Qur-an) dan As-Sunnah,
dan mereka menghalang-halangi dari ittibaa’ (mengikuti) Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, dan dari mengagung-kan perintah dan larangan beliau.
Di antara cara mereka (dalam menghalangi -pent)
adalah dengan perkataan mereka: “Tidak boleh berdalil dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah kecuali mujtahid (ahli ijtihad), sedangkan ijtihad telah terputus
(sudah tidak ada lagi).” Atau perkataan mereka: “(Ulama) yang aku taqlid
kepadanya adalah lebih berilmu darimu dalam ilmu hadits, nasikh dan mansukh-nya.”
Dan perkataan-perkataan lain yang semisal itu, yang puncaknya adalah:
meninggalkan ittibaa’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, padahal beliau tidak mengucapkan menurut hawa nafsu (keinginan)nya. Mereka bersandar
kepada perkataan (ulama) yang bisa salah, padahal ada imam lainnya yang
menyelisihinya dan menolak pendapatnya dengan berdasarkan dalil. Maka tidak ada
seorang imam pun melainkan dia hanya memiliki sebagian ilmu, dan tidak semua
ilmu dia miliki.
Maka kewajiban seorang mukallaf (orang
yang dibebani syari’at): jika dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya telah
sampai kepada orang tersebut dan dia memahami maknanya; maka kewajiban dia
adalah untuk berhenti kepadanya dan mengamalkannya, walaupun ada ulama yang
menyelisihinya, setinggi apa pun kedudukan ulama tersebut. Hal ini sebagaimana
firman Allah Ta’aalaa:
{اتَّبِعُوا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ}
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Rabb-mu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali
kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raaf: 3)
Dan Allah Ta’aalaa berfirman:
{أَوَلَمْ
يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ}
“Apakah
tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur-an)
yang dibacakan kepada mereka? Sungguh, dalam (Al-Qur-an) itu terdapat rahmat
yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
Al-‘Ankabuut: 51)
Dan tidak ada yang
menyelisihi hal ini kecuali orang-orang bodoh yang suka taklid, karena mereka
bodoh terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah, dan mereka berpaling dari keduanya. Dan
orang-orang semacam ini walaupun mereka menyangka bahwa mereka mengikuti para
imam; maka pada hakikatnya mereka telah menyelisihi para imam dan tidak
menempuh jalan mereka (yaitu: mengambil Sunnah Rasul -pent)…
Akan tetapi dalam perkataan
Imam Ahmad rahimahullaah terdapat isyarat bahwa: (seseorang yang) taklid
(kepada ulama) sebelum sampainya dalil (kepadanya); maka ini tidak tercela,
yang diingkari adalah: orang yang telah sampai dalil kepadanya kemudian dia
menyelisihinya, dikarenakan mengikuti pendapat seorang imam. Hal ini
(menyelisihi dalil) muncul dikarenakan: berpaling dari Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya, dan menghadap kepada kitab-kitab (ulama) yang belakangan, serta
merasa tidak butuh kepada dua wahyu (Al-Qur’an & As-Sunnah). Dan hal ini
mirip dengan apa yang terjadi pada Ahlul Kitab, yang Allah firmankan tentang
mereka:
{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ...}
“Mereka menjadikan orang-orang
alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah,…” (QS. At-Taubah: 31)…
Maka wajib atas seseorang
yang jujur terhadap dirinya: jika dia membaca kitab-kitab para ulama, dan
menelitinya, serta memahami pendapat-pendapat mereka: maka hendaklah dia
menimbangnya dengan apa yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena
sungguh, setiap ulama mujtahid dan para pengikutnya serta orang-orang yang
menisbatkan diri kepada madzhabnya; maka setiap dari mereka harus menyebutkan
dalil yang dimilikinya.
Kebenaran dalam masalah (yang
diperselisihkan) adalah satu, dan para imam diberi pahala atas ijtihad mereka.
Maka orang yang jujur: dia menjadikan penelitian dan pembahasan terhadap
perkataan-perkataan mereka (para ulama): sebagai jalan untuk mengetahui dan
menghadirkan berbagai permasalahan (yang diperselisihkan), untuk (nantinya)
membedakan yang benar dari yang salah, dengan dalil-dalil yang disebutkan
mereka. Dan dari situ dia akan mengetahui: siapa ulama yang paling sesuai
dengan dalil untuk kemudian dia ikuti.”[4]
Imam
Syafi’i rahimahullaah berkata:
“Para ulama sepakat bahwa: Bagi siapa saja yang telah jelas baginya
Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka dia (harus
mengambilnya dan) tidak boleh meninggalkannya (hanya) karena (mengikuti)
perkataan orang lain; siapa pun orangnya.”[5]
Pembahasan
Keempat: Para Salaf Sangat Membenci Orang Yang Menentang Hadits Rasul shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Salim
bin ‘Abdullah bin ‘Umar menjelaskan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu
‘anhumaa berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَا تَـمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ
الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْــتَـأْذَنَّـكُمْ إِلَـيْهَا
“Janganlah
kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke Masjid; jika mereka minta izin
kepada kalian untuk pergi ke sana.”
(Tiba-tiba)
Bilal bin ‘Abdullah (salah seorang anak Ibnu ‘Umar-pent) berkata: “Demi Allah,
saya akan larang mereka.”
(Salim
bin ‘Abdullah) berkata: Maka A’bdullah (Ibnu Umar) langsung menghadap kepadanya
dan mencaci makinya dengan cacian yang sangat jelek, tidak pernah saya
mendengarnya mencaci seperti itu. Dia (Ibnu ‘Umar) berkata: “Saya mengabarkan
hadits kepadamu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian
engkau (menentangnya dengan) mengatakan: Demi Allah, saya akan larang mereka?!”[6]
Abu
Qatadah Al-‘Adawi berkata: (Waktu itu) kami sedang di sisi ‘Imran din Hushain radhiyallaahu
‘anhu bersama sekelompok orang, dan Busyair bin Ka’b ikut bersama kami.
Kemudian ‘Imran membawakan hadits kepada kami: Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الْـحَــيَـــاءُ خَــيْـرٌ كُــلُّــهُ
-أَوْ قَــالَ: الْـحَــيَـاءُ كُـلُّـهُ خَـيْـرٌ-
“Malu
adalah kebaikan semuanya.” Atau beliau bersabda: “Malu itu semuanya baik.”
(Tiba-tiba)
Busyair bin Ka’b berkata: “Kami dapati di sebagian kitab atau pada (ungkapan-ungkapan)
hikmah bahwa: (malu) itu ada yang merupakan ketenangan
dan kewibawaan kepada Allah, dan ada juga yang merupakan kelemahan.”
Maka
‘Imran (bin Hushain) marah hingga memerah kedua matanya dan dia berkata:
“Bukankah saya mengabarkan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu (kenapa) engkau menentangnya?!”[7]
“Maka
di antara kaidah umum menurut Salaf adalah: Bahwa lafazh-lafazh syar’i
(baik Al-Qur-an maupun As-Sunnah-pent) harus dihormati.”[8]
-diambil
dari “Al-Istinbaath” (I/105-113), karya Ahmad Hendrix
[1]
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718 (18)), ini
lafazh Muslim.
[3]
Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah (no. 97).
[5]
Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam I’laamul Muwaqqi’iin
(hlm. 17- Daar Thayyibah).
[6]
Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 865, 873, 899, 900 dan 5238) dan
Muslim (no. 442), dan ini lafazh Muslim.
[7]
Shahih: HR. Muslim (no. 37).
[8]
Mu’taqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Fii Tauhiidil Asmaa’ Wash Shifaat (hlm. 105) karya Doktor Muhammad
bin Khalifah At-Tamimi hafizhahullaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar