Rabu, 28 Agustus 2019

Faedah Ketujuh Belas dari "Al-Istinbaath" (1)


Jangan Menolak Sunnah Rasul!


Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa beriman:
{...فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)
Dalam ayat ini ada empat pembahasan:
Pembahasan Pertama: Makna Ayat.
 “Firman-Nya: “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut”, perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah: jalan, manhaj, thariqah, sunnah, dan syari’at beliau. Sehingga semua perkataan dan amalan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan amalan beliau. Apa yang sesuai dengan beliau; maka diterima, dan apa yang menyelisihinya; maka ditolak perkataan dan amalannya. Sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan amal (ibadah) yang tidak ada contohnya dari (ajaran) kami; maka dia tertolak.”[1]
Jadi makna ayat ini adalah: hendaklah orang-orang yang menyelisihi syari’at Rasul -baik (penyelisihan itu) secara lahir maupun batin-; takut dan khawatir “akan mendapat fitnah (cobaan)” yakni (penyakit) di dalam hati mereka; berupa kekufuran, kemunafikan atau bid’ah, “atau ditimpa adzab yang pedih” yakni: di dunia; berupa pembunuhan, hukuman, penjara, dan semisalnya (yang dilakukan oleh pemerintah yang menegakkan syari’at Islam-pent).”[2]
Pembahasan Kedua: Ancaman Bagi Orang Yang Menolak Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ayat di atas Allah mengancam orang yang menyalahi perintah Rasul (Sunnah dan Syari’at beliau) akan ditimpa fitnah (yakni: penyakit hati berupa kekufuran, kemunafikan atau bid’ah) atau ditimpa adzab yang pedih di dunia.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaah berkata:
“Saya melihat mush-haf (Al-Qur-an); maka saya dapati (penyebutan tentang) ketaatan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada pada 33 (tiga puluh tiga) tempat.”
Kemudian beliau membaca ayat:
{...فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ...}
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat fitnah (cobaan)...” (QS. An-Nuur: 63)
Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut. (Kemudian) beliau berkata:
“Apa itu fitnah? (Fitnah) itu adalah syirik. Bisa jadi (kalau seseorang menyelisihi Sunnah Rasul-pent); maka akan ada kesesatan di dalam hatinya; sehingga hatinya menyimpang dan dia binasa.”
Kemudian beliau (membaca dan) mengulang-ulang ayat:
{فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ...}
“Maka demi Rabb-Mu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (wahai Rasul) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…” (QS. An-Nisaa: 65)
Beliau (Imam Ahmad) juga berkata:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.”[3]
Pembahasan Ketiga: Antara Penolakan Terhadap Sunnah Dan Realita Yang Ada.
“Dan kemungkaran ini (menolak hadits dengan pendapat ulama -pent) telah tersebar, khususnya di kalangan orang-orang yang menyandarkan diri kepada ilmu. Mereka membuat penghalang untuk menghalang-halangi (manusia) dari mengambil Al-Kitab (Al-Qur-an) dan As-Sunnah, dan mereka menghalang-halangi dari ittibaa’ (mengikuti) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan dari mengagung-kan perintah dan larangan beliau.
Di antara cara mereka (dalam menghalangi -pent) adalah dengan perkataan mereka: “Tidak boleh berdalil dengan Al-Kitab dan As-Sunnah kecuali mujtahid (ahli ijtihad), sedangkan ijtihad telah terputus (sudah tidak ada lagi).” Atau perkataan mereka: “(Ulama) yang aku taqlid kepadanya adalah lebih berilmu darimu dalam ilmu hadits, nasikh dan mansukh-nya.” Dan perkataan-perkataan lain yang semisal itu, yang puncaknya adalah: meninggalkan ittibaa’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau tidak mengucapkan menurut hawa nafsu (keinginan)nya. Mereka bersandar kepada perkataan (ulama) yang bisa salah, padahal ada imam lainnya yang menyelisihinya dan menolak pendapatnya dengan berdasarkan dalil. Maka tidak ada seorang imam pun melainkan dia hanya memiliki sebagian ilmu, dan tidak semua ilmu dia miliki.
Maka kewajiban seorang mukallaf (orang yang dibebani syari’at): jika dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya telah sampai kepada orang tersebut dan dia memahami maknanya; maka kewajiban dia adalah untuk berhenti kepadanya dan mengamalkannya, walaupun ada ulama yang menyelisihinya, setinggi apa pun kedudukan ulama tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ}
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raaf: 3)
Dan Allah Ta’aalaa berfirman:
{أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ}
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur-an) yang dibacakan kepada mereka? Sungguh, dalam (Al-Qur-an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-‘Ankabuut: 51)
Dan tidak ada yang menyelisihi hal ini kecuali orang-orang bodoh yang suka taklid, karena mereka bodoh terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah, dan mereka berpaling dari keduanya. Dan orang-orang semacam ini walaupun mereka menyangka bahwa mereka mengikuti para imam; maka pada hakikatnya mereka telah menyelisihi para imam dan tidak menempuh jalan mereka (yaitu: mengambil Sunnah Rasul -pent)…
Akan tetapi dalam perkataan Imam Ahmad rahimahullaah terdapat isyarat bahwa: (seseorang yang) taklid (kepada ulama) sebelum sampainya dalil (kepadanya); maka ini tidak tercela, yang diingkari adalah: orang yang telah sampai dalil kepadanya kemudian dia menyelisihinya, dikarenakan mengikuti pendapat seorang imam. Hal ini (menyelisihi dalil) muncul dikarenakan: berpaling dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan menghadap kepada kitab-kitab (ulama) yang belakangan, serta merasa tidak butuh kepada dua wahyu (Al-Qur’an & As-Sunnah). Dan hal ini mirip dengan apa yang terjadi pada Ahlul Kitab, yang Allah firmankan tentang mereka:
{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ...}
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah,…” (QS. At-Taubah: 31)…
Maka wajib atas seseorang yang jujur terhadap dirinya: jika dia membaca kitab-kitab para ulama, dan menelitinya, serta memahami pendapat-pendapat mereka: maka hendaklah dia menimbangnya dengan apa yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena sungguh, setiap ulama mujtahid dan para pengikutnya serta orang-orang yang menisbatkan diri kepada madzhabnya; maka setiap dari mereka harus menyebutkan dalil yang dimilikinya.
Kebenaran dalam masalah (yang diperselisihkan) adalah satu, dan para imam diberi pahala atas ijtihad mereka. Maka orang yang jujur: dia menjadikan penelitian dan pembahasan terhadap perkataan-perkataan mereka (para ulama): sebagai jalan untuk mengetahui dan menghadirkan berbagai permasalahan (yang diperselisihkan), untuk (nantinya) membedakan yang benar dari yang salah, dengan dalil-dalil yang disebutkan mereka. Dan dari situ dia akan mengetahui: siapa ulama yang paling sesuai dengan dalil untuk kemudian dia ikuti.”[4]
Imam Syafi’i rahimahullaah berkata:
“Para ulama sepakat bahwa: Bagi siapa saja yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka dia (harus mengambilnya dan) tidak boleh meninggalkannya (hanya) karena (mengikuti) perkataan orang lain; siapa pun orangnya.”[5]       
Pembahasan Keempat: Para Salaf Sangat Membenci Orang Yang Menentang Hadits Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar menjelaskan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَـمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْــتَـأْذَنَّـكُمْ إِلَـيْهَا
“Janganlah kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke Masjid; jika mereka minta izin kepada kalian untuk pergi ke sana.”
(Tiba-tiba) Bilal bin ‘Abdullah (salah seorang anak Ibnu ‘Umar-pent) berkata: “Demi Allah, saya akan larang mereka.”
(Salim bin ‘Abdullah) berkata: Maka A’bdullah (Ibnu Umar) langsung menghadap kepadanya dan mencaci makinya dengan cacian yang sangat jelek, tidak pernah saya mendengarnya mencaci seperti itu. Dia (Ibnu ‘Umar) berkata: “Saya mengabarkan hadits kepadamu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian engkau (menentangnya dengan) mengatakan: Demi Allah, saya akan larang mereka?!”[6]
Abu Qatadah Al-‘Adawi berkata: (Waktu itu) kami sedang di sisi ‘Imran din Hushain radhiyallaahu ‘anhu bersama sekelompok orang, dan Busyair bin Ka’b ikut bersama kami. Kemudian ‘Imran membawakan hadits kepada kami: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْـحَــيَـــاءُ خَــيْـرٌ كُــلُّــهُ -أَوْ قَــالَ: الْـحَــيَـاءُ كُـلُّـهُ خَـيْـرٌ-
“Malu adalah kebaikan semuanya.” Atau beliau bersabda: “Malu itu semuanya baik.”
(Tiba-tiba) Busyair bin Ka’b berkata: “Kami dapati di sebagian kitab atau pada (ungkapan-ungkapan) hikmah bahwa: (malu) itu ada yang merupakan ketenangan dan kewibawaan kepada Allah, dan ada juga yang merupakan kelemahan.”
Maka ‘Imran (bin Hushain) marah hingga memerah kedua matanya dan dia berkata: “Bukankah saya mengabarkan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu (kenapa) engkau menentangnya?!”[7]
“Maka di antara kaidah umum menurut Salaf adalah: Bahwa lafazh-lafazh syar’i (baik Al-Qur-an maupun As-Sunnah-pent) harus dihormati.”[8]
-diambil dari “Al-Istinbaath” (I/105-113), karya Ahmad Hendrix



[1] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718 (18)), ini lafazh Muslim.
[2] Tafsiir Ibni Katsiir (hlm. 955-al-Mishbaahul Muniir).
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah (no. 97).
[4] Fat-hul Majiid (hlm. 455-456 -tahqiiq Syaikh Walid Al-Furayyan).
[5] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam I’laamul Muwaqqi’iin (hlm. 17- Daar Thayyibah).
[6] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 865, 873, 899, 900 dan 5238) dan Muslim (no. 442), dan ini lafazh Muslim.
[7] Shahih: HR. Muslim (no. 37).
[8] Mu’taqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Fii Tauhiidil Asmaa’ Wash  Shifaat (hlm. 105) karya Doktor Muhammad bin Khalifah At-Tamimi hafizhahullaah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar