Selasa, 24 Oktober 2017

PONDASI & KAIDAH TARBIYAH

[1]- Dan yang dimaksud dengan Tarbiyah adalah: men-tarbiyah (membina/mendidik) kaum muslimin di atas Islam yang telah di-tashfiyah (dimurnikan), agar jiwa mereka sampai kepada kesempurnaan yang sesuai dengannya; sedikit demi sedikit.
[2]- Murabbi (yang mentarbiyah) secara hakiki adalah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, karena Dia lah Yang menciptakan makhluk dan Yang memberi berbagai pemberian, sebagaimana Dia kabarkan pada penutup surat Al-Qur’an:
{قُلْ أَعُوْذُ بِــرَبِّ النَّاسِ * مَلِكِ النَّاسِ * إِلٰـهِ النَّاسِ}
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia, Raja manusia, Sesembahan manusia.” (QS. An-Naas: 1-3)
Dan hal tersebut juga telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اَللّٰهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِــيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada diriku, dan sucikanlah ia; sebab Engkau adalah sebaik-baik Rabb yang menyucikannya, Engkau Pelindung dan Pemeliharanya.”[1]
Oleh karena itulah: Tarbiyah dinisbatkan kepada Ar-Rabb (Allah) Tabaaraka Wa Ta’aalaa; sehingga dikatakan: Tarbiyah Rabbaniyyah.
[3]- Di antara yang menunjukkan atas pentingnya Tarbiyah adalah: firman Allah Ta’aalaa yang menjelaskan tugas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
{كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul (Muhammad) dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 151)
Dan Allah berfirman:
{لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunah). Dan sungguh, sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)
Dan Allah berfirman:
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Dia-lah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunah). Dan sungguh, sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Demikianlah Allah jelaskan tugas Rasul; yaitu: Ta’liim (Pengajaran) dan Tazkiyah (Penyucian). Dan itulah yang dimaskud dengan Tashfiyah dan Tarbiyah, karena tidak akan ada ilmu (yang diajarkan) kecuali dengan Tashfiyah, dan tidak akan terwujud penyucian (jiwa manusia) kecuali dengan Tarbiyah.
[Silahkan lihat kembali pengertian Tashfiyah dan bidang-bidangnya di link berikut: ]
[4]- Pondasi-Pondasi Umum Untuk Tarbiyah Rabbaniyyah:
a. Bersifat Rabbani secara tujuan (ikhlas karena Allah) dan secara wasilah/perantara (menggunakan syari’at Allah)
Allah Ta’aalaa berfirman:
{مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ}
“Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah, dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia: “Jadilah kamu penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Jadilah kamu orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan kitab, dan karena kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran: 79)
b. Tarbiyah (untuk menyucikan jiwa) tidak memiliki cara-cara khusus selain syari’at-syari’at Islam secara keseluruhan (tidak seperti orang-orang Shufi yang memiliki cara-cara tersendiri untuk menyucikan jiwa).
Tatkala telah tetap dalam prinsip Manhaj Rabbani dengan pemahaman Salaf umat ini yang shalih: bahwa (Allah) yang mensyari’atkan tujuan; tidak akan lupa terhadap cara (untuk mencapainya). Oleh karena itulah: Tarbiyah Rabbaniyyah (yang bertujuan untuk menyucikan manusia) tidak memiliki amalan-amalan khusus atau aturan-aturan yang berkaitan dengan sifatnya; selain syari’at-syari’at Islam.
Maka sungguh, jalan yang bisa menyampaikan kepada Tarbiyah Rabbaniyyah dan Tazkiyah Imaniyyah adalah: ibadah; yaitu: istilah yang mencakup segala apa yang Allah cintai dan ridha-i, berupa perkataan dan perbuatan, baik yang lahir (tampak pada anggota tubuh) maupun yang batin (tidak tampak/dalam hati).
Allah Ta’aalaa berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
“Wahai manusia! Beribdahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)
c. Tarbiyah Rabbaniyyah adalah sesuai dengan fitrah manusia.
Allah Ta’aalaa berfirman:
{فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ...}
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus;…” (QS Ar-Ruum: 30)
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ
“Setiap anak yang dilahirkan adalah dilahirkan di atas fitrah.”[2]
Oleh karena itu; maka Tarbiyah Rabbaniyyah berdiri di atas kesiapan jiwa manusia untuk pelatihan dan pembinaan. Dan oleh karena itulah Allah Ta’aalaa bersumpah atas pondasi yang kokoh ini dari awal Surat Asy-Syams sampai firman-Nya:
{وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا * فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا * قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا * وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا}
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10)
Dari sinilah Tarbiyah Rabbaniyyah tegak di atas penjagaan dan pengawasan terhadap fitrah manusia. Di antaranya adalah sifat-sifat fitrah yang sepuluh (sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits-pent), dan haramnya merubah ciptaan Allah; karena hal itu merusak fitrah. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan terhadap semua bakat dan kesiapan manusia, kemudian mengarahkan semua itu kepada kesempurnaan yang sesuai dengannya.
d. Menghadirkan gambaran yang jelas tentang Allah, alam semseta, dan kehidupan (berdasarkan Al-Qur’an & AS-Sunnah).
Asas ini dibangun di atas dua rukun yang penting:
Pertama: Menghadirkan gambaran ini dengan sempurna.
Kedua: Mengikat gambaran ini dengan gerakan (kehidupan) manusia, dan mengubahnya menjadi kekuatan pendorong untuk mewujudkan tuntutan agar manusia menjadi pemimpin di muka bumi di atas Manhaj Allah yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[5]- Kaidah-Kaidah Tarbiyah Rabbaniyyah:
a. Menyatukan sumber pengambilan (agama); karena hal itu merupakan penjaga dari kesesatan, dan pengaman dari penyimpangan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تَرَكْتُ فِـيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَـنْ تَضِلُّوْا مَا إِنْ تَـمَسَّكْـتُمْ بِـهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُـنَّــتِـيْ
“Saya tinggalkan dua perkara untuk kalian yang kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnah-ku.”[3]
b. Memurnikan sumber pengambilan (agama) dari hal-hal yang mengotorinya -sehingga membuat keruh kejernihannya-, dan dari hal-hal yang mencampurinya -sehingga merusak keindahannya-.
c. Menerima (agama) untuk dilaksanakan dan dipraktekkan; sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:  “Kami mempelajari sepuluh ayat dan kami tidak melampauinya sebelum mengamalkannya.”[4]
Amatlah indah perkataan seseorang:
وَعَالِـمٌ بِعِلْمِهِ لَـمْ يَعْمَلَنْ        مُعَذَّبٌ قَبْلَ عُبَّادِ الْوَثَنْ
Seorang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya
akan diadzab sebelum para penyembah berhala
c. Seorang Murabbi hendaknya seorang ‘alim rabbani, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’aalaa:
{إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ...}
“Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para (ulama) rabbani dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya…” (QS. Al-Maa-idah: 44)
Dan firman Allah Ta’aalaa:
{لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ}
“Mengapa para (ulama) rabbani dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (QS. Al-Maa-idah: 63)
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلٰكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَـمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّـخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالًا، فَـسُـئِلُوْا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا، وَأَضَلُّوْا
“Sungguh, Allah tidak akan mencabut ilmu dari para hamba, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sampai ketika Dia tidak menyisakan seorang ulama pun; maka orang-orang menjadikan orang-orang bodoh sebagai tokoh-tokoh mereka, maka ketika mereka ditanya: mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”[5]
d. Bertahap dalam Tarbiyah, sebagaimana dalam firman Allah Ta’aalaa:
{...وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ}
“…Akan tetapi (dia berkata): “Jadilah kamu orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan kitab, dan karena kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran: 79)
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu menafsirkan (orang-orang rabbani) itu dengan berkata: “Ahli hikmah dan para ulama (ahli ilmu).”[6]
Maka hikmah dan ilmu menuntut untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Oleh karena itu Imam Al-Bukhari berkata dalam Kitab Shahih-nya: “Kitab Ilmu, Bab: Berilmu sebelum berkata & beramal. Dan dikatakan: Rabbani adalah: yang mentarbiyah manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum yang besar.”
e. Mengikat orang yang ditarbiyah dengan Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan individu, syaikh (guru), kelompok, papan nama, dan slogan. Sehingga ketika menerima syari’at; maka dalam keadaan pasrah, sehingga membuahkan amalan yang istiqamah, dan dia (orang yang ditarbiyah) itu akan menjadi orang yang mengagungkan Allah Tabaaraka Wa Ta’aala, dan mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itulah Allah mencela orang-orang yang merusak kaidah ini. Dia berfirman:
{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ}
“Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan pendeta-pendeta (Nasrani) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya diperintahkan untuk beribadah kepada satu sembahan (yaitu: Allah); tidak ada yang berhak diibadahi (dengan benar) selain Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31)
f. Memberikan perhatian kepada orang yang ditarbiyah, terus mengawasinya, dan meluruskan perilakunya; sebagaimana dalam Surat Al-‘Ashr:
{وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, serta saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran. (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
-diterjemahkan oleh: Ahmad Hendrix, dari “Al-Jamaa’aat Al-Islaamiyyah” (hlm.547-552- cet. th. 1425 H/2004 M), karya Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali hafizhahullaah, dengan sedikit perubahan urutan & penambahan-



[1] HR. Muslim.
[2] Muttafaqun ‘Alaihi.
[3] Hadits Shahih dengan penguat-penguatnya; sebagaimana saya jelaskan dalam kitabku: “Majma’ul Bahrain Fii Takhriij Ahaadiits al-Wahyain”.
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya dengan sanad yang shahih.
[5] Muttafaqun ‘Alaihi.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad yang hasan. Dan disebutkan oleh Al-Harbi dalam “Ghariibul Hadiits” dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang hasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar