[1]- Dan yang
dimaksud dengan Tarbiyah adalah: men-tarbiyah (membina/mendidik) kaum muslimin di
atas Islam yang telah di-tashfiyah (dimurnikan), agar jiwa mereka sampai
kepada kesempurnaan yang sesuai dengannya; sedikit demi sedikit.
[2]- Murabbi (yang
mentarbiyah) secara hakiki adalah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, karena
Dia lah Yang menciptakan makhluk dan Yang memberi berbagai pemberian,
sebagaimana Dia kabarkan pada penutup surat Al-Qur’an:
{قُلْ أَعُوْذُ بِــرَبِّ النَّاسِ * مَلِكِ
النَّاسِ * إِلٰـهِ النَّاسِ}
“Katakanlah: Aku
berlindung kepada Rabb manusia, Raja manusia, Sesembahan manusia.” (QS. An-Naas:
1-3)
Dan hal tersebut
juga telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اَللّٰهُمَّ
آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِــيُّهَا
وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah,
berikanlah ketakwaan kepada diriku, dan sucikanlah ia; sebab Engkau adalah
sebaik-baik Rabb yang menyucikannya, Engkau Pelindung dan Pemeliharanya.”[1]
Oleh karena
itulah: Tarbiyah dinisbatkan kepada Ar-Rabb (Allah) Tabaaraka Wa Ta’aalaa;
sehingga dikatakan: Tarbiyah Rabbaniyyah.
[3]- Di antara
yang menunjukkan atas pentingnya Tarbiyah adalah: firman Allah Ta’aalaa
yang menjelaskan tugas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
{كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ
يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}
“Sebagaimana
Kami telah mengutus kepadamu Rasul (Muhammad) dari kalangan kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an)
dan Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS.
Al-Baqarah: 151)
Dan
Allah berfirman:
{لَقَدْ
مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh,
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus
seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (As-Sunah). Dan sungguh,
sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS.
Ali ‘Imran: 164)
Dan
Allah berfirman:
{هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ
قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Dia-lah yang mengutus seorang Rasul kepada
kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan
ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an)
dan Hikmah (As-Sunah). Dan sungguh, sebelumnya mereka benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Demikianlah
Allah jelaskan tugas Rasul; yaitu: Ta’liim (Pengajaran) dan Tazkiyah
(Penyucian). Dan itulah yang dimaskud dengan Tashfiyah dan Tarbiyah,
karena tidak akan ada ilmu (yang diajarkan) kecuali dengan Tashfiyah,
dan tidak akan terwujud penyucian (jiwa manusia) kecuali dengan Tarbiyah.
[Silahkan
lihat kembali pengertian Tashfiyah dan bidang-bidangnya di link berikut: ]
[4]- Pondasi-Pondasi
Umum Untuk Tarbiyah Rabbaniyyah:
a. Bersifat Rabbani
secara tujuan (ikhlas karena Allah) dan secara wasilah/perantara (menggunakan
syari’at Allah)
Allah Ta’aalaa
berfirman:
{مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللهُ
الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا
لِي مِنْ دُونِ اللهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ}
“Tidak mungkin bagi seseorang yang telah
diberi kitab oleh Allah, serta hikmah, dan kenabian, kemudian dia berkata
kepada manusia: “Jadilah kamu penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.”
Akan tetapi (dia berkata): “Jadilah kamu orang-orang rabbani, karena kamu
selalu mengajarkan kitab, dan karena kamu tetap mempelajarinya.” (QS.
Ali ‘Imran: 79)
b.
Tarbiyah (untuk menyucikan jiwa) tidak memiliki cara-cara khusus selain
syari’at-syari’at Islam secara keseluruhan (tidak seperti orang-orang Shufi
yang memiliki cara-cara tersendiri untuk menyucikan jiwa).
Tatkala
telah tetap dalam prinsip Manhaj Rabbani dengan pemahaman Salaf umat ini yang
shalih: bahwa (Allah) yang mensyari’atkan tujuan; tidak akan lupa terhadap cara
(untuk mencapainya). Oleh karena itulah: Tarbiyah Rabbaniyyah (yang bertujuan
untuk menyucikan manusia) tidak memiliki amalan-amalan khusus atau
aturan-aturan yang berkaitan dengan sifatnya; selain syari’at-syari’at Islam.
Maka
sungguh, jalan yang bisa menyampaikan kepada Tarbiyah Rabbaniyyah dan Tazkiyah
Imaniyyah adalah: ibadah; yaitu: istilah yang mencakup segala apa yang
Allah cintai dan ridha-i, berupa perkataan dan perbuatan, baik yang lahir (tampak
pada anggota tubuh) maupun yang batin (tidak tampak/dalam hati).
Allah Ta’aalaa
berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
“Wahai manusia! Beribdahlah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS.
Al-Baqarah: 21)
c. Tarbiyah
Rabbaniyyah adalah sesuai dengan fitrah manusia.
Allah Ta’aalaa
berfirman:
{فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ
ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ...}
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah. (Itulah) agama yang lurus;…” (QS Ar-Ruum: 30)
Dan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ
يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ
“Setiap anak yang dilahirkan adalah
dilahirkan di atas fitrah.”[2]
Oleh karena itu;
maka Tarbiyah Rabbaniyyah berdiri di atas kesiapan jiwa manusia untuk pelatihan
dan pembinaan. Dan oleh karena itulah Allah Ta’aalaa bersumpah atas
pondasi yang kokoh ini dari awal Surat Asy-Syams sampai firman-Nya:
{وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا * فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا * قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا * وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا}
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya,
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sungguh
beruntung orang yang menyucikan (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang
mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10)
Dari
sinilah Tarbiyah Rabbaniyyah tegak di atas penjagaan dan pengawasan terhadap
fitrah manusia. Di antaranya adalah sifat-sifat fitrah yang sepuluh
(sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits-pent), dan haramnya merubah ciptaan
Allah; karena hal itu merusak fitrah. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan
terhadap semua bakat dan kesiapan manusia, kemudian mengarahkan semua itu
kepada kesempurnaan yang sesuai dengannya.
d. Menghadirkan
gambaran yang jelas tentang Allah, alam semseta, dan kehidupan (berdasarkan
Al-Qur’an & AS-Sunnah).
Asas
ini dibangun di atas dua rukun yang penting:
Pertama:
Menghadirkan gambaran ini dengan sempurna.
Kedua:
Mengikat gambaran ini dengan gerakan (kehidupan) manusia, dan mengubahnya
menjadi kekuatan pendorong untuk mewujudkan tuntutan agar manusia menjadi
pemimpin di muka bumi di atas Manhaj Allah yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
[5]-
Kaidah-Kaidah Tarbiyah Rabbaniyyah:
a. Menyatukan
sumber pengambilan (agama); karena hal itu merupakan penjaga dari kesesatan,
dan pengaman dari penyimpangan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
تَرَكْتُ فِـيْكُمْ
أَمْرَيْنِ لَـنْ تَضِلُّوْا مَا إِنْ تَـمَسَّكْـتُمْ بِـهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُـنَّــتِـيْ
“Saya tinggalkan dua perkara untuk kalian
yang kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitabullah dan
Sunnah-ku.”[3]
b. Memurnikan sumber pengambilan
(agama) dari hal-hal yang mengotorinya -sehingga membuat keruh kejernihannya-,
dan dari hal-hal yang mencampurinya -sehingga merusak keindahannya-.
c. Menerima
(agama) untuk dilaksanakan dan dipraktekkan; sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا
لا تَفْعَلُونَ}
“Wahai
orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan?
(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)
‘Abdullah
bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:
“Kami mempelajari sepuluh ayat dan kami tidak melampauinya sebelum
mengamalkannya.”[4]
Amatlah indah
perkataan seseorang:
وَعَالِـمٌ
بِعِلْمِهِ لَـمْ يَعْمَلَنْ مُعَذَّبٌ
قَبْلَ عُبَّادِ الْوَثَنْ
Seorang berilmu
yang tidak mengamalkan ilmunya
akan diadzab
sebelum para penyembah berhala
c. Seorang
Murabbi hendaknya seorang ‘alim rabbani, sebagaimana difirmankan oleh Allah
Ta’aalaa:
{إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى
وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا
وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ
وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ...}
“Sungguh,
Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang
dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas
perkara orang Yahudi, demikian juga para (ulama) rabbani dan pendeta-pendeta
mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka
menjadi saksi terhadapnya…” (QS. Al-Maa-idah: 44)
Dan
firman Allah Ta’aalaa:
{لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ
وَالأحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا
كَانُوا يَصْنَعُونَ}
“Mengapa
para (ulama) rabbani dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan
perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.”
(QS. Al-Maa-idah: 63)
Dan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ
لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلٰكِنْ
يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَـمْ يُبْقِ عَالِمًا؛
اتَّـخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالًا، فَـسُـئِلُوْا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ
عِلْمٍ، فَضَلُّوْا، وَأَضَلُّوْا
“Sungguh, Allah tidak akan mencabut ilmu dari
para hamba, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sampai
ketika Dia tidak menyisakan seorang ulama pun; maka orang-orang menjadikan
orang-orang bodoh sebagai tokoh-tokoh mereka, maka ketika mereka ditanya: mereka
berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”[5]
d. Bertahap
dalam Tarbiyah, sebagaimana dalam firman Allah Ta’aalaa:
{...وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا
كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ}
“…Akan tetapi (dia berkata): “Jadilah kamu
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan kitab, dan karena kamu
tetap mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran: 79)
Ibnu
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu menafsirkan (orang-orang rabbani) itu dengan
berkata: “Ahli hikmah dan para ulama (ahli ilmu).”[6]
Maka
hikmah dan ilmu menuntut untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Oleh karena
itu Imam Al-Bukhari berkata dalam Kitab Shahih-nya: “Kitab Ilmu, Bab: Berilmu sebelum
berkata & beramal. Dan dikatakan: Rabbani adalah: yang mentarbiyah manusia
dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum yang besar.”
e. Mengikat
orang yang ditarbiyah dengan Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan individu, syaikh
(guru), kelompok, papan nama, dan slogan. Sehingga ketika menerima
syari’at; maka dalam keadaan pasrah, sehingga membuahkan amalan yang istiqamah,
dan dia (orang yang ditarbiyah) itu akan menjadi orang yang mengagungkan Allah Tabaaraka
Wa Ta’aala, dan mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh
karena itulah Allah mencela orang-orang yang merusak kaidah ini. Dia berfirman:
{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا
لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ}
“Mereka
menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan pendeta-pendeta (Nasrani) mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal
mereka hanya diperintahkan untuk beribadah kepada satu sembahan (yaitu: Allah);
tidak ada yang berhak diibadahi (dengan benar) selain Dia. Maha Suci Dia dari
apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31)
f. Memberikan
perhatian kepada orang yang ditarbiyah, terus mengawasinya, dan meluruskan perilakunya;
sebagaimana dalam Surat Al-‘Ashr:
{وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
* إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shalih, serta saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk
kesabaran.”
(QS. Al-‘Ashr: 1-3)
-diterjemahkan oleh:
Ahmad Hendrix, dari “Al-Jamaa’aat Al-Islaamiyyah” (hlm.547-552- cet. th.
1425 H/2004 M), karya Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali hafizhahullaah,
dengan sedikit perubahan urutan & penambahan-
[1] HR. Muslim.
[2] Muttafaqun ‘Alaihi.
[3] Hadits Shahih dengan
penguat-penguatnya; sebagaimana saya jelaskan dalam kitabku: “Majma’ul
Bahrain Fii Takhriij Ahaadiits al-Wahyain”.
[4]
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya dengan sanad yang shahih.
[5] Muttafaqun ‘Alaihi.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Khathib
Al-Baghdadi dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad yang hasan. Dan disebutkan oleh
Al-Harbi dalam “Ghariibul Hadiits” dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang
hasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar