Syaikh Salim bin
‘Id Al-Hilali hafizhahullaah berkata:
“Cara-Cara
Manhaj Salaf Dalam Melakukan Perubahan:
1. Tashfiyah
(Pemurnian)
Sungguh
perkara-perkara ini tidak akan terwujud kecuali dengan kembalinya kaum muslimin
kepada Islam mereka yang telah dibersihkan dari hal-hal yang memasukinya,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِـيْنَةِ، وَأَخَذْتُـمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيْتُمْ
بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْـجِهَادَ؛ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا؛ لَا
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَـى دِيْـنِكُمْ
“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem Bai’ul ‘Iinah[1],
kalian memegang ekor-ekor sapi dan ridha dengan pertanian, dan kalian
meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kalian,
Dia tidak akan mencabut (kehinaan) itu (dari kalian); hingga kalian kembali
kepada agama kalian.”[2]
Dan yang kami
maksud dengan Tashfiyah (Pemurnian) adalah dalam berbagai perkara:
a. Memurnikan
‘Aqidah Islamiyyah dari pendapat-pendapat berbagai kelompok sesat; seperti:
Mu’tazilah, Jahmiyyah, Khawarij, Murji’ah, Shufiyyah, dan Syi’ah. Seperti:
pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah dan mentakwilnya, penolakan terhadap
hadits-hadits Ahad yang shahih dikarenakan berkaitan dengan ‘aqidah, dan
dzikir-dzikir shufi yang syirik.
b. Memurnikan
madzhab-madzhab Islam dari ijtihad-ijtihad yang salah dan menyelisihi
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan pentingnya hal ini akan tampak bagi
pembahas yang mempelajari fiqih perbandingan madzhab.[3]
c. Memurnikan
kamus-kamus bahasa Arab dari hal-hal yang dimasukkan oleh para ahli Nahwu
belakangan yang menempuh jalan Mu’tazilah; berupa istilah-istilah yang tidak
asalnya dalam bahasa Arab; (yang mereka masukkan) dengan tujuan untuk
melariskan bid’ah takwil. Seperti persangkaan mereka bahwa bahasa terbagi dua:
hakikat dan majaz.
d. Memurnikan
sejarah Islam dari hal-hal yang dimasukkan oleh para pendusta dan pengikut
mereka dari kalangan orientalis, seolah-olah sejarah kaum muslimin dipenuhi
oleh para penyanyi, para pemuda, musik, dan majlis nyanyian. Seolah-olah para
khalifah kaum muslimin adalah para pencari syahwat dan kelezatan; sehingga
mereka tidak perduli terhadap urusan Islam dan kaum muslimin. Seperti yang
mereka lakukan terhadap sejarah khalifah muslim: Harun Ar-Rasyid rahimahullaah.
Dan dalil-dalil
yang menunjukkan atas pentingnya Tashfiyah adalah banyak, di antara yang paling
jelas adalah hadits Ibrahim bin ‘Abdurrahman Al-‘Adzri secara mursal bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَـحْمِلُ هٰذَا
الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ: يَـنْـفُوْنَ عَنْهُ تَـحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ،
وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ، وَتَأْوِيْلَ الْـجَاهِلِيْنَ
“Ilmu ini dibawa -pada setiap generasi- oleh orang-orang ‘adil
(terpercaya) yang menolak: penyelewengan yang dilakukan orang-orang yang ghuluw
(berlebih-lebihan), pemalsuan orang-orang yang batil, dan takwil yang dilakukan
oleh orang-orang yang bodoh.”[4]
Segi
pendalilannya adalah: bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menyifati ahli ilmu yang melaksanakan kewajiban Tashfiyah dengan sifat ‘adaalah
(terpercaya); dimana mereka membersihkan Islam dari penyelewengan, takwil,
dan pemalsuan; agar Islam menjadi murni dan bersih sebagaimana diturunkan
kepada Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
2. Tarbiyah (Pembinaan)
Tashfiyah tidak
akan memberikan buahnya kecuali dengan men-tarbiyah (membina/mendidik) kaum
muslimin di atas Islam yang telah di-tashfiyah (dimurnikan).
Dan yang
dimaksud dengan Tarbiyah adalah: sampainya jiwa manusia kepada kesempurnaannya
yang sesuai dengannya; sedikit demi sedikit.
Murabbi (yang
mentarbiyah) secara hakiki adalah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, karena
Dial ah Yang menciptakan makhluk dan Yang memberi berbagai pemberian,
sebagaimana Dia kabarkan pada penutup surat Al-Qur’an:
{قُلْ أَعُوْذُ بِــرَبِّ النَّاسِ * مَلِكِ
النَّاسِ * إِلٰـهِ النَّاسِ}
“Katakanlah: Aku
berlindung kepada Rabb manusia, Raja manusia, Sesembahan manusia.” (QS. An-Naas:
1-3)
Dan hal tersebut
juga telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اَللّٰهُمَّ
آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِــيُّهَا
وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah,
berikanlah ketakwaan kepada diriku, dan sucikanlah ia; sebab Engkau adalah
sebaik-baik Rabb yang menyucikannya, Engkau Pelindung dan Pemeliharanya.”[5]
Oleh karena
itulah: Tarbiyah dinisbatkan kepada Ar-Rabb (Allah) Tabaaraka Wa Ta’aalaa;
sehingga dikatakan: Tarbiyah Rabbaniyyah.”
-diterjemahkan oleh:
Ahmad Hendrix, dari “Al-Jamaa’aat Al-Islaamiyyah” (hlm.546-548- cet. th.
1425 H/2004 M), karya Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali hafizhahullaah-
[1]
Yaitu: menjual sesuatu dengan bayaran yang tidak kontan, kemudian membelinya
kembali -sebelum mendapatkan bayaran- dengan kontan tapi lebih murah dari harga
sebelumnya.
[2]
HR. Abu Dawud, Ahmad, Al-Baihaqi, dan lainnya, dari beberapa
jalan, dari Ibnu ‘Umar. Dan ada penguat dari hadits Jabir bin ‘Abdullah,
sehingga dua riwayat ini Shahih Lighairihi; sebagaimana saya jelaskan dalam juz
tersendiri: “Ad-Durar ats-Tsamiinah al-Muntaqaah Min Hadiits al-‘Iinah”.
[3]
Untuk rincian masalah ini bisa dilihat: “I’laamul Muwaqqi’iin” karya
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan “Iiqaazh Himam Ulil Abshaar” karya
Al-Fullani.
[4] Telah saya luaskan pembicaraan atas
hadits ini -secara riwayah dan dirayah- dalam juz tersendiri: “Irsyaadul
Fuhuul Ilaa Tahriirin Nuquul Fii Tash-hiih Hadiitsil ‘Uduul”, dan saya
jelaskan bahwa hadits ini Shahih Lighairihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar