[Penetapan Sifat Ridha Dan
Murka Bagi Allah]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah
berkata:
[1]- Pembahasan Ayat Pertama
{...رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ...}
“…Allah ridha kepada mereka dan mereka
pun ridha kepada-Nya…” (QS. At-Taubah: 100)
Di sini ada beberapa pembahasan:
(1)- Kelengkapan ayat ini:
{وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100)
(2)- Makna ayat ini
Maka ayat ini berkaitan dengan keutamaan
para Shahabat dari kalangan Muhajirin (yang hijrah dari Makkah ke Madinah) dan
Anshar (asli penduduk Madinah yang menolong para Muhajirin), serta keutamaan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka semua mendapatkan
keridhaan dari Allah dan Allah pun ridah kepada mereka, dan Allah siapkan bagi
mereka: surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya.
(3)- Penetapan sifat “Ar-Ridhaa” bagi
Allah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah
berkata:
“Maka kita katakan: Ridha adalah sifat
Allah ‘Azza Wa Jalla dan ini sifat yang hakiki bagi-Nya yang berkaitan
dengan Masyii-ah (kehendak) Allah. Dan (Ridha) ini termasuk sifat fi’liyyah
(berkaitan dengan perbuatan Allah). (Yakni:) Allah ridha terhadap
orang-orang yang beriman, orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang berlaku
adil, dan orang-orang yang bersyukur. Dan Allah tidak ridha terhadap
orang-orang kafir, orang-orang yang fasik, dan orang-orang munafik…Dan Allah
(juga) meridhai sebagian amalan dan membenci amalan-amalan (lainnya).”
[“Syarh
Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (I/260), karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullaah]
[2]- Pembahasan Ayat Kedua
{وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ...}
“Dan barangsiapa membunuh seorang yang
beriman dengan sengaja; maka balasannya ialah Neraka Jahannam, dia kekal di
dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya…” (QS. An-Nisaa’:
93)
Di sini ada beberapa pembahasan:
(1)- Kelanjutan ayat ini:
{...وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا}
“…serta menyediakan adzab yang besar
baginya.”
(2)- Orang yang membunuh orang mukmin
dengan sengaja; maka diancam dengan 5 hukuman:
1. Neraka Jahannam.
2. Kekal di dalam Neraka Jahannam.
3. Allah murka kepadanya.
4. Allah melaknatnya.
5. Allah menyediakan adzab yang besar
baginya.
(3)- Pelaku dosa besar tidaklah kafir
sehingga jika dia masuk Neraka; maka tidak akan kekal di dalamnya.
Adapun ancaman dengan kekal di Neraka
Jahannam dalam ayat ini; maka ini adalah di antara sebab untuk menjadikan
seseorang kekal di Neraka; yaitu: membunuh mukmin dengan sengaja. Akan tetapi
kalau ada sesuatu yang mengahlanginya dari kekekalan di Neraka; maka sebab
tersebut tidak terlaksana.
Sedangkan kalau si pembunuh adalah
seorang mukmin; maka ini merupakan penghalang baginya untuk kekal di Neraka
walaupun dia melakukan dosa besar.
[Lihat: “Syarh
Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (I/264), karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullaah]
(4)- Di dalam ayat ini terdapat
penetapan sifat “Al-Ghadhab” (murka) bagi Allah yang layak bagi-Nya, dan
ini termasuk sifat fi’liyyah (yang berkaitan dengan perbuatan Allah).
[3]- Pembahasan Ayat Ketiga
{ذٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ
اللهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}
“Yang demikian itu, karena sesungguhnya
mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah, dan membenci (apa yang
menimbulkan) keridhaan-Nya…” (QS. Muhammad: 28)
Di sini ada beberapa pembahasan:
(1)- “Yang demikian itu” adalah
berkaitan dengan ayat sebelumnya:
{فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ
الْمَلائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ}
“Maka bagaimana (nasib mereka) apabila
malaikat (maut) mencabut nyawa mereka, memukul wajah dan punggung mereka?” (QS. Muhammad: 27)
(2)- Makna ayat:
Yang demikian itu (yakni: dipukulnya
wajah dan punggung mereka) karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang
menimbulkan kemurkaan Allah, dimana mereka melakukan semua hal yang membuat
Allah murka; berupa perkataan, perbuatan, dan juga keyakinan yang rusak. Adapun
hal-hal yang membuat Allah ridha; maka mereka justru membenci hal-hal yang
menimbulkan keridhaan-Nya. Sehingga itulah balasan bagi mereka; yaitu: ketika
matinya; maka para malaikat memukul wajah dan punggung mereka.
(3)- Di dalam ayat ini terdapat
penetapan sifat “As-Sukht” (murka) bagi Allah, yang maknanya dekat
dengan makna “Al-Ghadhab” dan juga terdapat penetapan sifat “Ar-Ridhaa”
bagi Allah.
[4]- Pembahasan Ayat Keempat
{فَلَمَّا آسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ...}
“Maka ketika mereka membuat kami murka;
Kami hukum mereka…” (QS. Az-Zukhruf: 55)
Di sini ada beberapa pembahasan:
(1)- Dalam ayat ini terdapat bantahan
atas orang yang mentakwilkan sifat murka dengan “Al-Intiqaam” (menghukum)
atau “Iraadatul Intiqaam” (keinginan untuk menghukum). Maka dalam ayat
ini disebutkan bahwa hukuman/siksaan adalah sebagai akibat dari kemurkaan
Allah. Sebagaimana kita katakan bahwa pahala adalah akibat dari keridhaan
Allah.
(2)- Maka Allah Subhaanahu Wa
Ta’aalaa murka dan marah kepada mereka, kemudian Dia menghukum dan menyiksa
mereka.
(3)- Maka dalam ayat ini terdapat
penetapan sifat “Al-Asaf” bagi Allah yang maknanya adalah “Al-Ghadhab”
(murka).
Karena kata “Al-Asaf” bisa juga
bermakna “Al-Huzn” (sedih), maka ini tidak dimutlakkan kepada Allah.
Dalam ayat ini juga terdapat sifat “Al-Intiqaam”
(menghukum) bagi Allah.
[5]- Pembahasan Ayat Kelima
{...وَلَكِنْ
كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ...}
“...tetapi Allah tidak menyukai
keberangkatan mereka; maka Dia melemahkan keinginan mereka…” (QS. At-Taubah:
46)
Di sini ada dua pemabahasan:
(1)- Makna ayat ini
Ayat ini berkaitan tentang orang-orang
munafik yang tidak keluar bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dalam peperangan, karena Allah Ta’aalaa tidak menyukai keberangkatan
mereka, dikarenakan amalan mereka tidak ikhlas, dan juga karena kalau mereka
keluar; maka sikap mereka adalah seperti apa yang Allah firmankan:
{لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ
إِلا خَبَالا وَلأوْضَعُوا خِلالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ...}
“Jika (mereka berangkat bersamamu),
niscaya mereka tidak akan menambah (kekuatan)mu, malah hanya akan membuat
kekacauan, dan mereka tentu bergegas maju ke depan di celah-celah barisanmu
untuk mengadakan kekecauan (di barisanmu)…” (QS. At-Taubah: 47)
(2)- Maka dalam ayat ini terdapat
penetapan sifat “Al-Kurh” (tidak menyukai) bagi Allah.
[6]- Pembahasan Ayat Keenam
{كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ
تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ}
“Sangatlah dibenci di sisi Allah: jika
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff:
3)
Dalam ayat ini terdapat penetapan sifat “Al-Maqt”
(benci) bagi Allah.
Di sini disebutkan bahwa Allah membenci
seorang hamba yang mengatakan apa yang tidak dia kerjakan. Oleh karena itulah
hendaknya seorang yang memerintahkan kebaikan; maka dia menjadi orang yang
pertama kali melaksanakan. Dan hendaknya orang yang melarang dari kejelekan;
maka dia menjadi orang yang paling menjauhi kejelekan tersebut.
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar