MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٣]- وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ
[3]- “Tidak ada sesuatu
pun yang melemahkan-Nya.”
PENJELASAN:
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi
(afat th. 792 H) rahimahullaah berkata:
“(Tidak ada sesuatu pun yang
melemahkan Allah) dikarenakan kesempurnaan Qudrah (kekuasaan)-Nya.
Allah Ta’aalaa berfirman:
{...إِنَّ
اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ}
“Sungguh, Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20)…
{...وَمَا
كَانَ اللهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الأرْضِ
إِنَّهُ كَانَ عَلِيْمًا قَدِيْرًا}
“…Dan tidak ada
sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sungguh,
Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS. Fathir: 44)…
Maka penafian ini
(“Tidak
ada sesuatu pun yang melemahkan-Nya.”) adalah untuk penetapan
kesempurnaan dari lawan (sifat yang dinafikan) tersebut (penafian kelemahan
untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan bagi Allah- pent).
Demikian juga
setiap penafian dalam sifat-sifat Allah Ta’aalaa dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah; maka untuk penetapan kesempurnaan dari lawan (sifat yang dinafikan)
tersebut.
- Seperti
(penafian sifat zhalim) dalam firman Allah:
{...وَلَا
يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا}
“…Dan Rabb-mu
tidak menzhalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Dikarenakan kesempurnaan
keadilan-Nya.
- Dan firman-Nya:
{...لا
يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ...}
“…Tidak ada yang
tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah, baik yang di langit maupun yang
di bumi…” (QS. Saba’: 3)
Dikarenakan kesempurnaan ilmu-Nya.
- Dan firman-Nya:
{...وَمَا
مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ}
“…dan Kami
sedikit pun tidak ditimpa keletihan.” (QS. Qaaf: 38)…
Oleh karena
itulah penetapan sifat-sifat Allah dalam Al-Qur’an disebutkan secara rinci,
adapaun penafian; maka secara global. Berbeda dengan cara Ahli Kalam yang
tercela: mereka menafikan secara rinci dan menetapkan secara global.”[1]
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٤]- وَلَا إِلٰهَ غَيْرُهُ
[4]- “Tidak ada sesembahan
yang berhak diibadahi selain Dia.”
Inilah Tauhid
Uluhiyyah. Tauhid inilah yang menjadi bagian terpenting dari dakwah para Rasul -sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an-, sehingga Tauhid Uluhiyyah inilah yang menjadi inti
permusuhan dan pertentangan yang terjadi antara para rasul dengan kaumnya yang
membangkang.[2]
Allah Ta’aalaa
berfirman:
{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلًا
أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ...}
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul
untuk setiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja) dan
jauhilah Thaaghuut (sesembahan selain Allah)’…” (QS. An-Nahl: 36)
Deikian
juga perselisihan antara Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengann
kaumnya. Karena secara umum mereka mengakui Rububiiyah Allah, sebagaimana dalam
firman-Nya:
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُوُلُنَّ اللهُ...}
“Dan sungguh, jika engka
(Muhammad) tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”
Tentu mereka akan menjawab: “Allah”…” (QS. Luqman: 25).
Akan
tetapi mereka mengingkari dan tidak mau tunduk dalam Tauhid Uluhiyyah, sehingga
muncul perkataan mereka yang Allah hikayatkan dalam Al-Qur’an:
{أَجَعَلَ الآلِـهَةَ إِلٰـهًا وَاحِدًا
إِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ}
“Apakah dia
(Muhammad) menjadikan sesembahan-sesembahan itu sesembahan yang satu saja? Sungguh,
ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan. (QS. Shaad: 5)
Sehingga
Allah sering menunjukkan dalil atas Tauhid
Uluhiyyah kepada orang-orang musyrik: dengan Tauhid Rububiyyah, yakni:
Penciptaan-Nya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir,
penciptaan langit dan bumi serta seisinya, diturunkannya hujan, ditumbuhkannya
tumbuh-tumbuhan, dikeluarkannya buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba,
dan lain-lain: Maka, sangat tidak pantas bagi orang-orang musyrik untuk
menyekutukan Allah dengan selain-Nya; berupa benda-benda maupun orang-orang,
yang orang-orang musyrik itu sendiri
mengetahui bahwa sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak bisa berbuat
sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.
{يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَــتَّقُوْنَ * الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا
وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ
الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَـجْعَلُوا لِلَٰهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُوْنَ}
“Wahai
manusia! Sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah)
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan
Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan
(hujan) itu buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu
mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٥]- قَدِيْـمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ
[5]- “Allah Qadiim (terdahulu)
tanpa permulaan, kekal tanpa akhir.
PENJELASAN:
Syaikh
‘Ali bin ‘Abdul Qadir As-Saqqaf hafizhahullaah berkata:
“Dikabarkan
tentang Allah ‘Azza Wa Jalla (dalam bahasa Arab) dengan Qadiim
(Yang terdahulu), akan tetapi (Qidam) bukanlah sifat Allah, dan Al-Qadiim
bukanlah nama Allah.
Al-Hafizh
Ibnul Qayyim berkata dalam Badaa’iul Fawaa-id (I/162):
“Apa
yang digunakan untuk Allah dalam Nama-Nama d& Sifat-Sifat adalah Tauqiifiy
(harus berdasarkan dalil). Adapun yang digunakan untuk mengabarkan tentang
Allah; maka tidak wajib untuk Tauqiifiy; seperti: Qidam (terdahulu),
Syai’ (sesuatu), Wujud (ada), Qiyaamuhu Binafsihi (berdiri
sendiri).” Sekian perkataan beliau…
Dan
dalam hadits shahih (tentang do’a masuk masjid):
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ
الْكَرِيْـمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْـمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku berlindung
kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya yang mulia, dan shulthaan (kekuasaan)-Nya
yang qadiim (terdahulu); dari syaithan yang terkutuk.” HR. Abu Dawud…
Maka di
dalam hadits ini terdapat penyifatan shulthaan (kekuasaan) Allah ‘Azza
Wa Jalla dengan Qidam (terdahulu).”[3]
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٦]- لَا يَفنَى وَلَا يَبِيْدُ
[6]- “Allah tidak fana dan
tidak pula binasa.”
PENJELASAN:
Syaikh Doktor Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan hafizhahullaah berkata:
“Allah disifati
dengan kehidupan yang kekal dan selamanya Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَتَوَكَّلْ عَلَى الْـحَيِّ الَّذِيْ
لَا يـَمُوْتُ...}
“Dan
bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati…”
(QS. Al-Furqaan: 58)…
Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{كُلُّ
مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الـْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ}
“Semua yang
ada di bumi itu binasa. Tetapi wajah Rabb-mu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan
tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)”[4]
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٧]- وَلَا يَكُوْنُ إِلَّا مَـا يُرِيْـدُ
[7]- “Tidak ada sesuatu
pun yang terjadi kecuali atas iraadah (kehendak)-Nya.”
PENJELASAN:
Imam Ibnu
Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullaah berkata:
“Ini merupakakan
bantahan atas Qadariyyah dan Mu’tazilah, karena mereka menyangka bahwa: Allah menghendaki
keimanan dari seluruh manusia, akan tetapi orang kafir (kenapa dia menjadi kafir,
karena dia) menghendaki kekafiran (dan kehendaknya mengalahkan kehendak Allah-pent).
Dan pendapat mereka (Qadariyyah) ini adalah bathil dan tertolak, karena menyelisihi
Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta akal yang sehat…
Mereka dinamakan
Qadariyyah dikarenakan: mereka mengingkari takdir…
Adapun Ahlus
Sunnah; maka mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah walaupun menghendaki kemaksiatan
secara takdir; akan tetapi Dia tidak mencintainya, tidak meridhainya, dan tidak
memerintahkan dengannya, bahkan Dia membencinya, murka atasnya, dan tidak menyukainya,
serta melarang darinya. Inilah pendapat para Salaf secara keseluruhan, mereka mengatakan:
مَا شَاءَ اللهُ كَانَ، وَمَا لَـمْ يَشَأْ لَـمْ يَكُنْ
Apa yang
Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.”[5]
Dan para muhaqqiq (peneliti)
dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan bahwa: “Iraadah” terbagi menjadi 2
(dua):
Pertama: “Iraadah
Kauniyyah”, maka “Iraadah” ini semakna dengan “Masyii-ah”.
Dan “Iraadah” ini:
1. Berkaitan dengan hal-hal
yang Allah cintai dan juga yang tidak Allah cintai.
Maka, kalau ada yang
bertanya: “Apakah Allah menghendaki terjadinya kekufuran pada hamba?”
Jawabannya: “Allah menghendakinya dengan “Iraadah Kauniyyah”, kalaulah
Allah tidak menghendakinya; maka tidak akan terjadi.”
2. Pasti terjadinya hal-hal
yang Allah kehendaki secara “Iraadah Kauniyyah” ini, dan tidak mungkin
akan terluput.
Kedua: “Iraadah
Syar’iyyah”, yaitu semakna dengan: “Mahabbah” (kecintaan) Allah
(terhadap sesuatu).
Dan “Iraadah” ini:
1. Khusus berkaitan dengan
hal-hal yang Allah cintai, sehingga Allah tidak menghendaki kekufuran dan kefasikan
secara “Iraadah Syar’iyyah”.
2. Tidak mesti terjadi,
yakni: Allah mengendaki -dengan “Iraadah Syar’iyyah”-: agar semua
manusia beribadah kepada-Nya; akan tetapi kenyataannya: tidak semua makhluk
beribadah kepada-Nya.
Sehingga perbedaan antara
“Iraadah Kauniyyah” dengan “Iraadah Syar’iyyah” bisa dilihat dari dua
segi:
(1)-. “Iraadah Kauniyyah”
adalah pasti terjadi, sedangkan “Iraadah Syar’iyyah” tidak mesti
terjadi.
(2)- “Iraadah Syar’iyyah”
khsusus berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai, sedangkan “Iraadah
Kauniyyah” adalah umum; berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai maupun
yang tidak Dia cintai.[6]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
[1] Syarh
Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 106-107- cet. Al-Maktab Al-Islaami),
dengan diringkas.
[2]
Lihat: Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah (hlm. 41), karya Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullaah.
[3] Shifaatullaah
‘Azza Wa Jalla Al-Waaridah Fil Kitaab Was Sunnah (hlm. 200-201).
[4] At-Ta’liiqaat
Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 35-36).
[5] Syarh
Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 113-114- cet. Al-Maktab Al-Islaami).
[6] Lihat:
Syarh Al-‘Aqiidah Al-Wasithiyyah (I/222-223), karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.