Minggu, 26 Februari 2017

44- SURURI MENOLAK PENYEBUTAN DAKWAH MEREKA DENGAN DAKWAH SALAFIYYAH



SURURI MENOLAK PENYEBUTAN DAKWAH MEREKA DENGAN DAKWAH SALAFIYYAH

Kitab “Ru’yah Waqi’iyyah Fil Manaahij Al-Jadiidah”, karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari -hafizhahullaah-; merupakan KITAB PERTAMA YANG DITULIS UNTUK MEMBONGKAR SURURI; sebagaiman dikatakan oleh beliau sendiri dalam ceramah Syarah Manhaj Salafish Shalih di Trawas.

Di antara perkataan Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- dalam kitab tersebut (hlm. 21-23- cet. I):

“Antara istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan Salafiyah .

Suatu hal yang perlu dicermati dari tingkah laku da’i-da’i (Sururi) tersebut adalah: mereka menjauhkan diri dari menyebut dakwah mereka dengan dakwah Salafiyah, padahal mereka mengakui dan menegaskan bahwa ‘aqidah mereka adalah ‘Aqidah Salaf!! Mereka hanya mau me-masyhur-kan dakwah mereka dengan nama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka mengulang-ulang hal tersebut dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka.

Dan ini -walaupun mereka tidak memaksudkannya- merupakan takdir Allah yang agung;  agar dakwah yang haq (Dakwah Salafiyyah) tampak berbeda dengan dakwah-dakwah yang menyerupainya (seperti: Dakwah Sururiyyah-pent) dan agar dakwah yang haq tidak tercampur dari segala hal yang mencampurinya atau berpakaian dengan pakaiannya.

Penjelasannya sebagai berikut: Sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul ketika timbul bid’ah-bid’ah yang meyesatkan sebagian manusia. Maka perlu nama untuk membedakan umat Islam yang komitmen berpegang dengan Sunnah. Nama itu adalah Ahlus Sunnah  sebagai lawan Ahlul Bid’ah . Ahlus Sunnah juga disebut Al-Jama’ah; karena mereka adalah kelompok asal (asli); sedangkan orang-orang yang terpecah dari Ahlus Sunnah dikarenakan bid’ah dan hawa nafsu adalah orang-orang yang menyelisihi mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).

Sedangkan saat ini, istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah menjadi rebutan berbagai kaum dan jama’ah yang beraneka ragam. Bisa kita saksikan sendiri: banyak kaum hizbi yang menyebut jama’ah dan organisasi mereka dengan istilah ini. Bahkan beberapa thariqah (tharekat) Sufi melakukan hal yang sama. Sampai-sampai Asy’ariyah, Maturidiyah, Berelwiyah dan lain-lainnya mengatakan: “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Namun mereka semua menolak untuk menamakan diri mereka dengan Salafiyah! Mereka menjauhkan diri untuk menisbatkan diri mereka kepada Manhaj Salaf!! Terlebih lagi dalam kenyataan dan hakikat (keyakinan dan amalan) mereka!!

Ini adalah suatu hal yang biasa bagi kita -alhamdulillaah-, karena termasuk perkara yang sudah maklum di kalangan para da’i yang mengajak kepada Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf: bahwa syi’ar  Ahli Bid’ah adalah tidak menganut prinsip mengikuti Salaf. Karena mengikuti pemahaman Salaf merupakan kata pemutus terhadap mengikuti pemahaman-pemahaman orang-orang zaman sekarang; dimana sebagian mereka: menjadikan akalnya sebagai sumber hukumnya, sebagian lagi: menjadikan pengalamannya sebagai sumber hukumnya, dan yang lain lagi: menjadikan perasaannya sebagai sumber hukumnya.

Demikianlah pemahaman mereka, tanpa memperhatikan “jalan orang-orang yang beriman” (yaitu: jalan para Shahabat) yang wajib diikuti dan didakwahkan. Dan (jalan para Shahabat) itulah jalan Salafush Shalih yang kita menisbatkan diri kepadanya dan kita mengambil petunjuk dari cahayanya.

Oleh karena itulah; syi’ar Ahlus sunnah adalah: mengikuti Salafush Shalih dan meninggalkan segala sesuatu yang bid’ah dan baru dalam agama.

Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya; maka perkataannya terbantah dan tertolak, karena:

لاَ عَيْبَ عَلَى مَنْ أَظْهَرَ مَذْهَبَ السَّلَفِ، وَانْتَسَبَ إلَيْهِ، وَاعْتَزَى إلَيْهِ. بَلْ يَجِبُ قَبُولُ ذَلِكَ مِنْهُ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ لاَ يَكُوْنُ إلاَّ حَقًّا.

“TIDAK ADA AIB BAGI ORANG YANG MENAMPAKKAN MADZHAB SALAF DAN MENISBATKAN DIRI KEPADANYA, BAHKAN WAJIB MENERIMA YANG DEMIKIAN ITU DARINYA BERDASARKAN KESEPAKATAN (PARA ULAMA), KARENA MADZHAB SALAF ITU PASTI BENAR.” (sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Fataawaa (IV/149)).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar