Minggu, 26 Februari 2017

73- KITAB USHUULUS SUNNAH KARYA IMAM AHMAD BIN HANBAL



KITAB USHUULUS SUNNAH KARYA IMAM AHMAD BIN HANBAL

[1]- Ketika wafatnya Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; kaum muslimin berada diatas satu manhaj (jalan), baik dalam ushuul (prinsip) agama mereka maupun furu’ (cabang)nya, baik dalam ‘Aqidah/keyakinan-nya maupun dalam amaliah/ibadah-nya. Secara umum mereka berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Demikianlah keadaan para Shahabat Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, mereka beragama dengan  mengikuti apa yang difirmankan Allah dan apa yang disabdakan oleh Rasul-Nya. Tidak ada yang menentang dalil dengan akalnya, mereka tidak berbicara dalam masalah agama melainkan sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul. Jika mereka ingin mengetahui permasalahan apapun yang berkaitan dengan agama; maka mereka melihat kepada apa yang terdapat didalam Al-Quran dan As-Sunnah.

[2]- Hal ini terus berlangsung pada zaman pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar bin Al-Khaththab dan awal pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan -radhiyallaahu ‘anhum ajma’iin-. Sampai ketika terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan -radhiyallaahu ‘anhu-; mulailah terjadi kekacauan. Setelah ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu- dibai’at menjadi khalifah; terjadilah peperangan yang tiada henti. Sampai akhirnya terjadilah apa yang dikabarkan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dalam sabda beliau dalam Hadits Perpecahan Umat.

[3]- Pada peperangan-peperangan yang terjadi pada zaman ‘Ali; muncullah dua firqah (kelompok) yang saling berseberangan; yaitu: KHAWARIJ dan SYI’AH.

KHAWARIJ adalah: orang-orang yang memberontak melawan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu bahkan sampai mengkafirkan beliau, sampai akhirnya istilah KHAWARIJ digunakan untuk siapa saja yang memberontak melawan pemerintahan yang sah yang dianggap zhalim. Mereka (KHAWARIJ) juga berpendapat bahwa: pelaku dosa besar adalah kafir dan kelak akan kekal di Neraka.

Adapun SYI’AH; maka mereka adalah orang-orang yang berlebihan dalam membela dan mengkultuskan ‘Ali dan ahlul bait (keluarga) beliau sampai membenci -bahkan mengkafirkan- para shahabat yang lainnya; seperti: Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lain.

[4]- Kemudian pada akhir-akhir zaman para shahabat; muncullah firqah QADARIYYAH yang ekstrim dalam menolak takdir, mereka berpendapat bahwa segala sesuatu terjadi tanpa adanya takdir dari Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-. Maka mereka dikafirkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khath-thab -radhiyallaahu ‘anhumaa-. Dan alhamdulillaah kelompok QADARIYYAH ini pun hilang, hanya saja muncul kelompok QADARIYYAH yang lainnya yang berpendapat bahwa perbuatan makhluk adalah ciptaan mereka sendiri dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan takdir Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.

[5]- Kemudian muncul firqah MURJI’AH yang berseberangan dengan KHAWARIJ dalam salah satu pendapatnya; yakni: kalau Khawarij mengatakan bahwa: pelaku dosa besar adalah kafir, maka Murji’ah berpendapat bahwa: pelaku dosa besar masih sempurna keimanannya; karena amalan tidak masuk dalam kategori iman, sehingga iman pelaku ketaatan sama dengan iman pelaku kemaksiatan.

[6]- Kemudian muncullah kelompok MU’TAZILAH yang berusaha bersikap pertengahan dengan mengatakan: pelaku dosa besar tidak dikatakan kafir dan tidak pula dikatakan beriman, akan tetapi dia berada dalam manzilah baina manzilatain (satu kedudukan di antara dua kedudukan). Hanya saja pendapat mereka (MU’TAZILAH) pada hakikatnya sama dengan pendapat KHAWARIJ; dimana mereka mengatakan: pelaku maksiat tersebut di akhirat nanti dia akan kekal di dalam Neraka.

[7]- Kemudian pada akhir zaman tabi’in muncul firqah Jahmiyyah; para pengikut Jahm bin Shafwan yang mengingkari sifat-sifat Allah; seperti: sifat ketinggian Allah diatas makhluk-Nya, sifat Kalam (berbicara) bagi Allah, dan sifat-sifat lainnya. Keyakinan ini diambil oleh Jahm bin Shafwan dari Ja’d bin Dirham yang tewas disembelih penguasa pada waktu itu.

[8]- Kemudian keyakinan ini diwariskan oleh Jahm kepada Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi salah seorang tokoh MU’TAZILAH; sehingga umumnya ‘Aqidah MU’TAZILAH dan JAHMIYYAH dalam masalah sifat-sifat Allah adalah sama. Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi hidup pada zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid yang beliau berniat untuk membunuh Bisyr ini akan tetapi tidak kesampaian karena Bisyr terus bersembunyi.

[9]- Kemudian setelah wafatnya Harun Ar-Rasyid dan digantikan oleh Al-Ma’mun, maka orang-orang JAHMIYYAH MU’TAZILAH mulai menampakkan taringnya. Mereka mempengaruhi Khalifah Al-Ma’mun agar mau meyakini ‘Aqidah mereka; khususnya ‘Aqidah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Karena mereka menolak sifat Kalam (berbicara) bagi Allah; sehingga mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan Kalamullah (Firman Allah), akan tetapi Allah menciptakan Al-Qur’an. Maka Khalifah Al-Ma’mun terpengaruh dengan ‘Aqidah ini dan berniat memaksa para ulama untuk meyakininya; di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah. Maka Imam Ahmad pun dibawa untuk menghadap Khalifah; akan tetapi belum sempat bertemu; Khalifah meninggal terlebih dahulu.

[10]- Kemudian Khalifah Al-Mu’tashim menggantikan Al-Ma’mun. Al-Mu’tashim inilah yang terus menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal agar beliau mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau dipenjara sampai berbulan-bulan sebelum akhirnya dilepaskan.

[11]- Tatkala Al-Mu’tashim digantikan oleh Al-Watsiq maka pemaksaan terhadap kaum muslimin untuk mengatakan Al-Qur’an makhluk terus berlanjut; untuk kemudian mereda. Dikatakan bahwa Al-Watsiq bertaubat dari keyakinan ini setelah menyaksikan debat antara Imam Ahmad dengan Ibnu Abi Du’ad pembesar JAHMIYYAH MU’TAZILAH.

[12]- Kemudian, muncullah fajar Sunnah dengan diangkatnya Al-Mutawakkil sebagai Khalifah. Karena beliau menyebarkan Sunnah dan mematikan Bid’ah.

[13]- Sejak itulah para ulama mulai menulis kitab-kitab ‘Aqidah -yang sebagiannya mereka namakan dengan kitab Sunnah- untuk menjelaskan ‘Aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- kepada para Shahabat beliau -radhiyallaahu ‘anhum-. Dalam rangka memberikan nasehat kepada kaum muslimin setelah terjadinya perpecahan dikalangan mereka dengan munculnya firqah-firqah Bid’ah yang mengusung pemahaman-pemahaman baru yang pada hakikatnya bukan dari Islam. Pemahaman-pemahaman baru tersebut muncul dikarenakan DANGKALNYA ILMU MEREKA DALAM MEMAHAMI AGAMA. Sebagaimana ada juga sebagian oknum yang memang MNUAFIK; DIA PURA-PURA MASUK ISLAM UNTUK MERUSAK ISLAM DARI DALAM; DENGAN MENYUSUPKAN ‘AQIDAH-‘AQIDAH YANG SESAT, BAHKAN KUFUR.

[14]- Maka di antara kitab yang ditulis oleh para ulama adalah Kitab yang ada dihadapan pembaca ini: Ushuulus Sunnah, yang ditulis langsung oleh Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullaah-, salah satu tokoh pelaku sejarah ketika mulai munculnya firqah-firqah sesat. Sehingga Kitab ini walaupun ringkas; akan tetapi isinya sangat kuat dalam menjelaskan ‘Aqidah yang Haqq (benar), ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan membantah kelompok-kelompok yang sesat yang menyelisihi manhaj (jalan) Nabi dan para Shahabatnya; karena kitab ini ditulis setelah munculnya Ushuulul Firaq (induk-induk dari kelompok-kelompok sesat).

[Diambil dari Muqaddimah Syarh Ushulus Sunnah; karya Ahmad Hendrix]

[15]- Bagi yang membutuhkan kitab Ushulus Sunnah (matan & terjemahan) karya Imam Ahmad bin Hanbal; maka silahkan di-Download di link berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar