SINDIRAN
ADALAH METODE NABI…MAKA JANGAN DIINGKARI
[1]- Dari Anas
bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu-; bahwa sekelompok orang dari Shahabat Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bertanya
kepada istri-istri Nabi -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- tentang amalan beliau yang tersembunyi. (Setelah
mendengarnya); maka sebagian mereka berkata: “Saya tidak akan menikahi wanita.”
Sebagian lagi berkata: “Saya tidak akan makan daging.” Dan yang lainnya lagi
berkata: “Saya tidak akan tidur di kasur.”
Maka beliau
(Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-)
memuji Allah dan menyanjung-Nya; kemudian berkata:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا
كَذَا وَكَذَا؟ لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kenapa ada
suatu kaum yang berkata demikian dan demikian?! Aku ini puasa dan terkadang
tidak, aku shalat malam dan juga tidur, dan aku menikahi wanita, maka
barangsiapa tidak menyukai Sunnah-ku; maka dia bukan bagian dariku.”
[HR. Al-Bukhari
(no. 5063) dan Muslim (no. 1401), dan ini lafazh Muslim]
[2]- Syaikh
Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:
“Sabda beliau:
“suatu kaum”; ini adalah nakiroh (tidak tertentu), dan Rasul -‘alaihish
shalaatu was salaam- tidak menjelaskan siapa mereka. Karena, SUDAH MENJADI
KEBIASAAN BELIAU; BAHWA BELIAU TIDAK MENYEBUTKAN (NAMA) SESEORANG (YANG BELIAU
KRITIK); WALAUPUN SEBENARNYA BELIAU MENGETAHUINYA…Karena, penyebutan nama dalam
keadaan semacam ini -pada hakikatnya- merupakan celaan, sedangkan YANG DIMAKSUD
BUKANLAH MENCELA ORANG TERTENTU, AKAN TETAPI MAKSUDNYA ADALAH MENJELASKAN
KEBENARAN, DAN (MENJELASKAN) BAHWA (APA YANG DIA LAKUKAN) INI ADALAH BATHIL;
TIDAK DIPERBOLEHKAN.
Karena,
menyebut nama orang (yang dikritik) dalam tempat-tempat umum; tidak akan ada maslahatnya -selama-lamanya-.
Karena kalau seseorang menyebut nama orang lain (yang dikritik); maka bisa
dianggap bahwa mungkin (kritikan itu
muncul) karena permusuhan pribadi dan dia ingin menyebarkan (kejelekan)nya.”
[Fat-hu Dzil
Jalaal Wal Ikraam Bi Syar-hi Buluughil Maraam (V/7-8)]
[3]- Walau pun
kita tidak mengingkari PENYEBUTAN NAMA KETIKA MENGKRITIK JIKA DIPERLUKAN.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata:
“Maka harus
diperingatkan dari bid’ah-bid’ah itu, walaupun hal itu mengharuskan untuk
menyebutkan mereka beserta nama-namanya.”
[Majmuu’
Fataawaa (XXVIII/233)]
Syaikh ‘Abdul
Malik bin Ahmad Ramadhani Al-Jaza-iri -hafizhahullaah- berkata:
“Barangsiapa
yang menyangka bahwa ketika dirinya BERPALING DARI PENYEBUTAN NAMA SECARA
MUTLAK (tidak boleh sama sekali) dengan itu dia telah berbuat baik; maka dia
telah meremehkan perbuatan Muhajirin, Anshar, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in; di
sepanjang masa dengan perbedaan kota, yang mereka mempunyai perhatian terhadap
Jarh Wat Ta’dil (Mencela dan Memuji), mereka tidak segan-segan untuk
menyebutkan ribuan perawi beserta nama-namanya dan nasab-nasabnya, dan juga
tidak merasa sungkan untuk menyifati sebagiannya dengan: Dha’if (Lemah)!
Munkar! Kadzab (Pendusta)! Dajjal! Dan lain-lain.
Kenapa (para
Salaf) menyebutkan nama-nama (orang-orang yang dikritik) tersebut? Jawabnya:
Untuk memperingatkan manusia (dan agar mereka tetap berada) di Jalan Allah
-Ta’aalaa-.”
[Sittu Durar
Min Ushuuli Ahlil Atsar (hlm. 8)]
[4]- Maka dari
penjelasan di atas, semoga kita bisa menjaga keseimbangan; sehingga kita: tidak
mengingkari sindiran, dan tidak juga mengingkari penyebutan nama, akan tetapi
juga tidak berlebihan dengan seringnya menyebutkan nama di tempat/kajian umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar