JABATAN
& KEPEMIMPINAN
[1]- Dari Abu
Hurairah -radhiyallaahu ‘anhu-, dia berkata: Jibril duduk (menghadap) kepada
Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian melihat ke arah langit,
ternyata ada seorang malaikat yang turun. Maka Jibril berkata: “Malaikat ini
tidak pernah turun -sebelum saat ini- sejak diciptakan.” Tatkala malaikat
tersebut turun; dia berkata: “Wahai Muhammad! Rabb-mu telah mengutusku kepadamu
(untuk memberimu pilihan-pent): Apakah (engkau ingin) Dia menjadikanmu sebagai
seorang raja sekaligus nabi, atau seorang hamba sekaligus rasul?” Jibril
berkata: “Merendahlah kepada Rabb-mu wahai Muhammad!” Maka beliau menjawab:
بَلْ
عَبْدًا رَسُوْلاً
“Bahkan (aku
ingin menjadi) seorang hamba sekaligus rasul.”
[HR. Ahmad
(II/231) dan Ibnu Hibban (no. 6374- cet. Daar Fikr), dengan sanad yang shahih
sesuai syarat Muslim. Lihat: Silsilah
Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (no. 1002)]
Nabi Muhammad
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak bertujuan untuk menjadi raja dan tidak
membuat partai-partai dan kelompok-kelompok untuk tujuan ini. Beliau diutus
untuk memberikan hidayah kepada manusia dan menyelamatkan mereka dari kesesatan
dan kesyirikan, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
Telah
ditawarkan kepada beliau untuk menjadi raja sekaligus nabi, atau hamba
sekaligus rasul; maka beliau lebih memilih untuk menjadi hamba sekaligus rasul.
[Lihat:
Manhajul Anbiyaa Fid Da’wah Ilallaah Fiihi Al- Hikmah Wal ‘Aql (hlm. 115)]
[2]- Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada penduduk Yatsrib pada Bai’at
‘Aqabah kedua:
“Kalian
membai’atku untuk mendengar dan ta’at dalam keadaan semangat maupun malas,
berinfak dalam keadaan sempit maupun lapang, amar ma’ruf nahi munkar, berkata
(yang benar) dalam (agama) Allah dengan tidak takut -di jalan Allah- terhadap
celaan orang yang mencela, dan kalian menolongku; -jika aku datang kepada
kalian- maka kalian bela aku sebagaimana kalian membela diri-diri kalian,
istri-istri kalian, dan anak-anak kalian, DAN BALASAN KALIAN ADALAH SURGA.”
[HR. Ahmad (no.
14393 & 14588- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Hibban (no. 6241- At-Ta’liiqaatul
Hisaan), dan Al-Baihaqi (XII/265 & XIII/203-204- cet. Daarul Fikr), dengan
sanad yang shahih sesuai syarat Muslim. Lihat: Silsilah Al-Ahaadiits
Ash-Shahiihah (no. 63)]
Dalam situasi
yang sangat genting semacam ini, Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
tidak menjanjikan jabatan dan kepemimpinan kepada kaum Anshar, akan tetapi
beliau menjanjikan Surga.
[Lihat:
Manhajul Anbiyaa Fid Da’wah Ilallaah Fiihi Al- Hikmah Wal ‘Aql (hlm. 116)]
[3]- Bahkan
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memperingatkan tentang bahaya rakus
kepada kepemimpinan. Beliau bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ
عَلَى الإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَةِ، فَنِعْمَ
المُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الفَاطِمَةُ
“Kalian nanti
akan berambisi terhadap kepemimpinan, dan hal itu nantinya akan menjadi
penyesalan pada Hari Kiamat, maka kenikmatan (bayi) yang menyusu dan kejelekan
(bayi) yang disapih”
[HR. Al-Bukhari
(no. 7148)]
“kenikmatan
(bayi) yang menyusu”: dikarenakan (nikmat) mendapat kedudukan, harta,
perintahnya didengar (oleh bawahan), serta mendapatkan kelezatan yang nyata
maupun yang tidak nyata; ketika dia mendapatkan (kepemimpinan) tersebut.
“kejelekan
(bayi) yang disapih”; yaitu: ketika terpisah dari kepemimpinan, apakah
(terpisah) dengan sebab kematian ataupun yang lainnya, dan (juga keburukan)
karena mendapatkan dampak-dampak negatif
di akhirat atas (kepemimpinan) tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar