TEORI & PRAKTEK
[1]- Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata: “Seorang mufti dan hakim tidak
akan bisa berfatwa dan menghukumi kecuali dengan dua jenis pemahaman:
Pertama: Pemahaman terhadap realita, (dengan)
mendalaminya dan berusaha mengetahui hakikat kejadian (dan keadaan) yang
sebenarnya, (yaitu) dengan (cara) mempelajari indikasi dan tanda-tanda,
sehingga dia benar-benar menguasai (realita) tersebut.
Kedua: Pemahaman terhadap kewajiban (kita) dalam
menghadapi realita tersebut, yaitu: pemahaman terhadap hukum Allah yang
terdapat dalam kitab-Nya maupun (sunnah) Rasul-Nya.
Kemudian menggabungkan dua jenis pemahaman tersebut.
Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan
kemampuannya dalam hal ini; maka (kalau benar) dia mendapat dua pahala atau
(kalau salah) dia mendapat satu pahala. Maka yang dinamakan ‘alim
(orang yang berilmu) adalah: orang yang mengetahui realita dan mempelajarinya,
kemudian pemahamannya (terhadap realita) ini dia gunakan untuk mengetahui hukum
Allah dan Rasul-Nya (dalam perkara-perkara tersebut)…
Barangsiapa memperhatikan syari’at dan hukum-hukum
para Shahabat (Nabi), maka dia akan mendapatkannya dipenuhi dengan (metode)
ini. Dan barangsiapa yang tidak menempuh (jalan) ini; maka dia akan
menyia-nyiakan hak manusia dan menisbatkan (ketidak adilan) tersebut kepada
syari’at (Islam) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.”
[I’laamul Muwaqqi’iin (I/165-166)]
[2]- Imam Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
-rahimahullaah- ditanya:
Apa pendapat anda tentang orang yang memperingatkan
agar menjauhi dari membaca kitab-kitab para da’i mu’ashirin (zaman sekarang)
dan orang ini berpendapat untuk mencukupkan diri dengan kitab-kitab Salaf dan
mengambil Manhaj dari mereka?
Kemudian, bagaimana pandangan yang benar atau yang
mencakup tentang kitab-kitab para ulama Salaf -rahimahumullaah- dan kitab-kitab
para da’i mu’ashirin (zaman sekarang) dan mufakkir (pemikir)?
Maka, Imam Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
-rahimahullaah- menjawab:
“Saya berpendapat bahwa: mengambil Dakwah dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah di atas
segalanya -dan tentunya ini pendapat kita semua; tanpa diragukan lagi-.
Kemudian setelah itu: (mengambil) apa yang datang dari Khulafa-ur Rasyidin, dan
dari para Shahabat, serta dari para Imam Islam yang terdahulu.
Adapun hal-hal yang dibicarakan oleh (para ulama/da’i)
muta-akhirin (zaman belakangan) dan mu’ashirin (zaman sekarang); maka itu
mencakup hal-hal yang mereka sendiri lebih mengetahuinya. Jika seseorang bisa
memanfaatkan kitab-kitab mereka dari segi ini; maka sungguh dia telah mengambil
bagian yang banyak.
Kita tahu bahwa mu’ashirin mengambil dari para ulama
terdahulu; jadi kita pun mengambil (dari
ulama terdahulu) seperti mereka. Akan tetapi, ada perkara-perkara kontemporer
yang mereka (para mu’ashirin) lebih mengetahuinya dari pada kita, ditambah
lagi: perkara-perkara tersebut belum terjadi di zaman Salaf.
Oleh karena itulah saya berpendapat: Hendaknya
seseorang menggabungkan dua kebaikan tersebut:
Pertama: dia bersandar kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Kedua: (bersandar) kepada perkataan Salafush Shalih
dari kalangan Khulafa-ur Rasyidin, dan dari para Shahabat, serta dari para Imam
Islam. Kemudian kepada apa yang ditulis oleh mu’ashirin tentang perkara-perkara
kontemporer yang terjadi di zaman mereka dan belum terjadi di zaman Salaf.”
[Kitaabul ‘Ilmi (hlm. 217)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar