Sabtu, 25 Februari 2017

26- TEORI & PRAKTEK



TEORI & PRAKTEK

[1]-  Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata: “Seorang mufti dan hakim tidak akan bisa berfatwa dan menghukumi kecuali dengan dua jenis pemahaman:

Pertama: Pemahaman terhadap realita, (dengan) mendalaminya dan berusaha mengetahui hakikat kejadian (dan keadaan) yang sebenarnya, (yaitu) dengan (cara) mempelajari indikasi dan tanda-tanda, sehingga dia benar-benar menguasai (realita) tersebut.

Kedua: Pemahaman terhadap kewajiban (kita) dalam menghadapi realita tersebut, yaitu: pemahaman terhadap hukum Allah yang terdapat dalam kitab-Nya maupun (sunnah) Rasul-Nya.

Kemudian menggabungkan dua jenis pemahaman tersebut.

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan kemampuannya dalam hal ini; maka (kalau benar) dia mendapat dua pahala atau (kalau salah) dia mendapat satu pahala. Maka yang dinamakan ‘alim (orang yang berilmu) adalah: orang yang mengetahui realita dan mempelajarinya, kemudian pemahamannya (terhadap realita) ini dia gunakan untuk mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya (dalam perkara-perkara tersebut)

Barangsiapa memperhatikan syari’at dan hukum-hukum para Shahabat (Nabi), maka dia akan mendapatkannya dipenuhi dengan (metode) ini. Dan barangsiapa yang tidak menempuh (jalan) ini; maka dia akan menyia-nyiakan hak manusia dan menisbatkan (ketidak adilan) tersebut kepada syari’at (Islam) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.”

[I’laamul Muwaqqi’iin (I/165-166)]

[2]- Imam Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- ditanya:

Apa pendapat anda tentang orang yang memperingatkan agar menjauhi dari membaca kitab-kitab para da’i mu’ashirin (zaman sekarang) dan orang ini berpendapat untuk mencukupkan diri dengan kitab-kitab Salaf dan mengambil Manhaj dari mereka?

Kemudian, bagaimana pandangan yang benar atau yang mencakup tentang kitab-kitab para ulama Salaf -rahimahumullaah- dan kitab-kitab para da’i mu’ashirin (zaman sekarang) dan mufakkir (pemikir)?

Maka, Imam Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- menjawab:

“Saya berpendapat bahwa: mengambil Dakwah dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah di atas segalanya -dan tentunya ini pendapat kita semua; tanpa diragukan lagi-. Kemudian setelah itu: (mengambil) apa yang datang dari Khulafa-ur Rasyidin, dan dari para Shahabat, serta dari para Imam Islam yang terdahulu.

Adapun hal-hal yang dibicarakan oleh (para ulama/da’i) muta-akhirin (zaman belakangan) dan mu’ashirin (zaman sekarang); maka itu mencakup hal-hal yang mereka sendiri lebih mengetahuinya. Jika seseorang bisa memanfaatkan kitab-kitab mereka dari segi ini; maka sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak.

Kita tahu bahwa mu’ashirin mengambil dari para ulama terdahulu; jadi kita pun  mengambil (dari ulama terdahulu) seperti mereka. Akan tetapi, ada perkara-perkara kontemporer yang mereka (para mu’ashirin) lebih mengetahuinya dari pada kita, ditambah lagi: perkara-perkara tersebut belum terjadi di zaman Salaf.

Oleh karena itulah saya berpendapat: Hendaknya seseorang menggabungkan dua kebaikan tersebut:

Pertama: dia bersandar kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Kedua: (bersandar) kepada perkataan Salafush Shalih dari kalangan Khulafa-ur Rasyidin, dan dari para Shahabat, serta dari para Imam Islam. Kemudian kepada apa yang ditulis oleh mu’ashirin tentang perkara-perkara kontemporer yang terjadi di zaman mereka dan belum terjadi di zaman Salaf.”

[Kitaabul ‘Ilmi (hlm. 217)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar