SYARAT TAUBAT BAGI AHLUL BID’AH
[1]- Allah Subhaanaahu Wa Ta’aalaa berfirman:
إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا...
“Kecuali mereka yang telah bertaubat,
mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya)…” (QS. Al-Baqarah: 160)
[2]- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah
berkata:
“Dan kefasikan dalam keyakinan adalah
seperti kefasikan Ahli Bid’ah…
Maka, taubatnya mereka -dari segi
keyakinan-keyakinan yang rusak- adalah: dengan benar-benar mengikuti Sunnah,
dan (taubat) semacam ini tidak cukup dari mereka sampai mereka menjelaskan
kerusakan Bid’ah yang mereka dahulu berada di atasnya…
Oleh karena itulah Allah syaratkan
adanya penjelasan dalam Taubat orang yang menyembunyikan apa yang telah
Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk…
Allah Ta’aalaa berfirman:
إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ
أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ * إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا
وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ
“Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan
apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk -setelah
Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an)-; mereka itulah yang
dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat. Kecuali mereka
yang telah bertaubat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan (nya); mereka
itulah yang Aku terima taubatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima taubat, Maha
Penya-yang.” (QS. Al-Baqarah: 159-160).
Dan dosa Ahli Bid’ah melebihi dosa orang
yang menyembunyikan, karena orang yang menyem-bunyikan hanyalah menyembunyikan
kebenaran, sedangkan Ahli Bid’ah: Selain menyembunyikan kebenaran; dia juga mendakwahkan
kepada lawan dari kebenaran.”
[Madaarijus Saalikiin (I/446- cet. Ad-Daar al-‘Aalamiyyah)]
[3]- Pengaruh Dari Bid’ah Bisa Tersisa
Dan Susah Hilangnya
Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallaahu
‘anhu berkata: “Suatu saat kami
keluar bersama Rasulullah r menuju (perang) Hunain -sedangkan kami baru
saja lepas dari kekafiran (baru masuk Islam)- (dan mereka masuk Islam pada
Fat-hu Makkah), ketika kami melewati sebuah pohon bidara; maka kami berkata:
“Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath;
sebagaimana mereka memiliki Dzaatu Anwaath!” Di
saat itu orang-orang musyrik memiliki
sebatang pohon bidara yang mereka i’tikaf di sisinya dan mereka menggantungkan
senjata-senjata perang mereka pada pohon tersebut, (pohon) itu mereka namakan Dzaatu
Anwaath. Tatkala kami mengatakan hal itu; Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Allaahu Akbar! Demi
(Allah) Yang jiwaku di tangan-Nya!! Kalian benar-benar telah mengatakan suatu
perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: “…Buatkanlah
untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan
(berhala). Musa menjawab: Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.” (QS.
Al-A’raaf: 138) Kalian pasti akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum
kalian.”
[HR. At-Tirmidzi (no. 2180), Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitaabus
Sunnah (no. 76) -dan ini lafazhnya-, dan lain-lain. Lihat: Zhilaalul
Jannah (no. 76) karya Syaikh Al-Albani rahimahullaah]
[4]- Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullaah
menjelaskan di antara faedah dari Hadits ini:
“Seorang yang berpindah dari kebatilan
yang hatinya sudah terbiasa dengannya; maka tidak aman kalau di hatinya masih
ada bekas dari kebiasaan tersebut. Karena di sini dikatakan: “sedangkan kami baru saja lepas dari
kekafiran”.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah
mengomentari:
“Dan bekas ini tidak akan hilang kecuali
setelah beberapa waktu lamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar