SIAPAKAH USTADZ SUNNAH ITU?
Fadhilatul Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir
Jawas -hafizhahullaah- berkata dalam bukunya yang mulia: “MULIA DENGAN MANHAJ
SALAF” (hlm. 255-264- cet. IX [dengan diringkas]):
“SIFAT-SIFAT YANG DENGANNYA SEORANG
MUSLIM BERHAK DIKATAKAN SEBAGAI SALAFI [AHLUS SUNNAH]:
1. Berhukum dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah dalam semua sisi kehidupannya…
2. Berpegang pada penjelasan dari para
Shahabat tentang setiap permasalahan agama secara umum, dan lebih khusus lagi
mengambil penjelasan mereka dalam masalah ‘Aqidah dan Manhaj…
3. Tidak memperdalam masalah yang tidak
dapat dinalar oleh akal…
4. Memperhatikan Tauhid Uluhiyyah…
5. Tidak berdebat dan tidak bermajlis
dengan Ahlul Bid’ah, tidak mendengarkan perkataan mereka, dan tidak menyampaikan
syubhat-syubhat mereka. Ini adalah jalan para Salafush Shalih…
6. Bersemangat dan bersungguh-sungguh
menyatukan jama’ah dan kalimat kaum muslimin di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah
menurut pemahaman Salaf…
7. Menghidupkan Sunnah-Sunnah Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dalam ibadah, akhlak, dan semua sisi
kehidupan; sehingga mereka menjadi orang-orang yang terasing di tengah-tengah
kaumnya…
8. Tidak fanatik melainkan kepada firman
Allah dan sabda Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang tidak berkata
dari hawa nafsunya…
9. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar…
10. Membantah setiap orang yang
menyelisihi Manhaj Salaf: baik Muslim maupun kafir, setinggi dan serendah apa
pun kedudukannya, baik menyelisihinya dengan sengaja maupun karena kesalahan,
dan hal itu tidak termasuk menjelekkan dan menganggap rendah; tetapi termasuk
nasihat dan kasih sayang terhadap orang yang dibantah…
11. Membedakan antara kesalahan yang
berasal dari ulama-ulama Islam yang mendasari dakwahnya yang dimulai di atas Manhaj
Ahlus Sunnah; sehingga kesalahannya itu termasuk dalam ijtihad -yang diberikan
satu ganjaran, sedang kesalahannya ditolak-, dengan kesalahan-kesalahan para
da’i penyeru Bid’ah; dari orang-orang yang mendasari dakwah mereka yang tidak
dimulai dari Manhaj Ahlus Sunnah; sehingga kesalahan mereka terhitung Bid’ah.
12. Taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah dengan cara mentaati orang yang yang telah dijadikan Allah -Ta’aalaa-
sebagai ulil amri (pemimpin) bagi kita, tidak memberontak kepada mereka, mendo’akan
mereka dengan kebaikan dan keselamatan, dengan tetap menasihatinya secara
jujur.
13. Hikmah dalam berdakwah mengajak
kepada Allah…
14. Memberikan perhatian yang besar
terhadap ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar Salaful Ummah, serta
mengamalkannya, dan meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi baik kecuali
jika mereka memperhatikan ilmu dan amal shalih.
15. Bersemangat melakukan Tashfiyah
(pemurnian) dalam setiap bidang agama dan Tarbiyah (mendidik) generasi di atas
ajaran yang telah dibersihkan tersebut.”
Setelah peningkatan teknologi dan sarana informasi; maka kita
akhirnya jarang melihat kepada buku -terlebih lagi buku-buku dari guru-guru
kita sendiri-, padahal di dalamnya terdapat mutiara-mutiara faedah yang luar
biasa.
Ambillah pelajaran dari Imam Al-Bukhari -yang dijuluki sebagai
Jabalul Hifzh (gunung hafalan); dikarenakan kuatnya hafalan beliau-; akan
tetapi ketika beliau ditanya tentang obat untuk menguatkan hafalan; beliau
menjawab:
إِدَامَةُ
النَّظَرِ فِي
الْكُتُبِ
“Senantiasa melihat kepada kitab-kitab.”
[sebagaimana disebutkan dalam Kitab: Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa
Fadhlihi (no. 2414-cet. Daar Ibnil Jauzi), karya Imam Ibnu ‘Abdil Barr
-rahimahullaah-]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar