MENCARI DALIL KEBENARAN YANG SESUAI DENGAN HAWA NAFSU DAN KEINGINAN?!!!
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
وَأَقْسَمُوا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَتْهُمْ آيَةٌ
لَيُؤْمِنُنَّ بِهَا قُلْ إِنَّمَا الآيَاتُ عِنْدَ اللهِ وَمَا يُشْعِرُكُمْ
أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لا يُؤْمِنُونَ
“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan,
bahwa jika datang suatu mukjizat kepada mereka; pastilah mereka akan beriman
kepada-Nya. Katakanlah: “Mukjizat-mukjizat itu hanya ada pada sisi Allah.” Dan
tahukah kamu; bahwa apabila mukjizat (ayat-ayat) datang; mereka tidak juga akan
beriman.” (QS. Al-An’aam: 109)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah- berkata;
“Tatkala beliau (Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) mendakwahi (mengajak) mereka kepada keimanan,
dan beliau tunjukkan bukti (atas kebenaran beliau -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam-) dengan ayat-ayat (mu’jizat-mu’jizat); maka mereka ingin mencari
pembenaran atas (kebatilan) mereka untuk (menipu) orang-orang rendahan dan
orang-orang bodoh dengan berkata: “Coba datangkan ayat (mu’jizat) yang
(semacam) ini dan ayat (mu’jizat) yang semacam itu; jika kamu memang orang yang
benar! Kalau engkau tidak mendatangkannya; maka kami tidak akan
membenarkanmu!!”
Cara semacam ini tidak akan diridhai oleh setiap orang yang jujur
(mencari kebenaran-pent). Oleh karena itulah, Allah -Ta’aalaa- mengabarkan
bahwa kalau Dia memenuhi permintaan mereka; mereka tetap tidak akan beriman,
karena mereka memang sudah mempersiapkan diri mereka agar tetap ridha dengan
agama (keyakinan) mereka (yang bathil/rusak-pent) dan mereka sudah mengetahui
kebenaran; akan tetapi mereka menolaknya.”
[Al-Qawaa-‘idul
Hisaan (hlm. 106-107) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
-rahimahullaah-]
-
diambil dari Buku: “Al-Istinbaath (2)”, Faedah Kedua Puluh Sembilan, karya
Ahmad Hendrix.
Syaikh
Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- berkata dalam Dauroh di Batu-Malang:
“Di antara hal terbesar
yang menghalangi untuk mengambil faedah dari kebaikkan ada 2 (dua) perkara:
Perkara Pertama: Bahwa seseorang bertanya dan
mendengar; dengan tujuan: untuk mendengarkan (mendapatkan) apa yang dia
inginkan; bukan untuk mengetahui kebenaran.
Dan ini adalah musibah
Dan Perkara Kedua: Bahwa seseorang kalau dia mendengar
kebenaran; maka dia menyangka bahwa (kebenaran) itu di arahkan kepada orang
lain (bukan dia yang dimaksud).
Kalau ada ulama yang mengkritik suatu perbuatan, dan
bahwa ini adalah tidak boleh; maka orang itu bukannya berkata: “Saya yang
melakukan perkara (yang dilarang) ini, dan sudah jelas bahwa perkara ini
bathil; maka aku tinggalkan.”
(Dia) tidak (bersikap demikian); bahkan menyangka bahwa yang
dimaksud adalah orang lain, adapun dia; maka bukan (dia yang dimaksud)!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar