KHILAF (PERSELISIHAN) TENTANG JATUH
CINTA: APAKAH HAL TERPAKSA; DILUAR KUASA ATAUKAH MENGIKUTI HAWA; SEHINGGA
SEORANG MAMPU UNTUK MENGHINDARINYA?
[1]- Sekelompok orang berpendapat bahwa
jatuh cinta merupakan suatu hal yang diluar kuasa manusia. Kelompok ini
berkata:
“Banyak para Salaf yang menafsirkan
firman Allah -Ta’aalaa-:
...رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ
لَنَا بِهِ...
“…Wahai Rabb kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya…” (QS.
Al-Baqarah: 286)
(mereka menafsirkannya)
dengan: “jatuh cinta”. Dan ini bukan pengkhususan (ayat ini dengan jatuh
cinta), akan tetapi maksud mereka hanyalah mencontohkan: bahwa: “jatuh cinta”
termasuk dalam hal yang di luar kesanggupan.
Dan maksud dari “(Engkau)
pikulkan” adalah: mentakdirkan; bukan mensyari’atkan.”
[2]- Kelompok yang lain
berkata:
“Bahkan (jatuh cinta) itu
suatu pilihan yang mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa, bahkan (jatuh
cinta) itu merupakan: berkuasanya hawa nafsu. Padahal Allah memuji orang yang
menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, Allah -Ta’aalaa- berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ
الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Rabb-nya, dan menahan diri dari (keinginan) hawa
nafsunya; maka sungguh: Surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naazi’aat:
40-41)
Maka tidak mungkin kalau
seorang insan menahan diri dari sesuatu yang di luar kuasanya.”
[3]- Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:
“Keputusan yang benar di
antara dua kelompok tersebut adalah: bahwa awal “jatuh cinta” dan
sebab-sebabnya adalah: suatu pilihan yang masih masuk dalam kuasa seorang
insan. Karena: memandang, memikirkan dan mencari kecintaan: ini semua adalah
pilihan, kalau dia lakukan sebab-sebab (jatuh cinta) tersebut; (mungkin)
akibatnya (berupa jatuh cinta) adalah: berada di luar kuasanya…
Dan ini seperti orang yang
mabuk karena minum khamr. Karena meminum hal yang memabukkan adalah: pilihan
(seseorang), adapun kemudian dia menjadi mabuk; maka (perbuatannya setelah dia
mabuk) adalah: di luar kuasanya. Sehingga kalau sebab itu dilakukan seseorang
dengan pilihannya; maka tidak ada udzur bagi
akibat yang dihasilkan -walaupun di luar kekuasaannya-, ketika sebabnya
(minum khamr) adalah terlarang; maka tidak ada udzur bagi mabuknya dia.
Dan tidak diragukan lagi
bahwa: terus menerus melihat dan senantiasa memikirkan itu: ibarat meminum hal
yang memabukkan; sehingga seseorang dicela atas sebab ini.”
[Raudhatul Muhibbiin Wa
Nuz-hatul Musytaqiin (I/225)]
[4]- Maka dari sini kita bisa
mengambil kesimpulan tentang alasan yang diberikan oleh SEBAGIAN ustadz yang
duduk “ngisi kajian” BERSAMA ARTIS, dengan alasan: terpaksa karena dorongan
dari panitia -atau yang semisalnya-, atau ustadz yang berfoto bersama para
wanita (tua/muda), mungkin alasannya: terpaksa karena permintaan dari mereka.
Kalaulah kita terima
“keterpaksaan” mereka; apakah kita juga menerima sebab-sebabnya; berupa: sering
mengikuti “selera” para panitia kajian dalam urusan Dakwah (padahal mengatur
Dakwah adalah hak dari ahli ilmu), atau sering bergaul -secara berlebihan-
dengan para artis (sampai berkunjung ke rumah mereka dan di ekspose?!), atau
terlampau dekat dengan para ummahaat dan sering bersama mereka -di kajian atau
pun di luarnya-.
Pertanyaannya: Apakah
sebab-sebab semacam ini bisa bisa ditolerir?
...فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar