Minggu, 26 Februari 2017

57- MENUNTUT ILMU SEMAKSIMAL MUNGKIN



MENUNTUT ILMU SEMAKSIMAL MUNGKIN

[1]- Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- أَخْبَرَ مُوسَى بِمَا صَنَعَ قَوْمُهُ فِي الْعِجْلِ؛ فَلَمْ يُلْقِ الأَلْوَاحَ، فَلَمَّا عَايَنَ مَا صَنَعُوا، أَلْقَى الأَلْوَاحَ فَانْكَسَرَتْ

“(Mendapat) kabar itu tidak sama dengan melihat langsung, sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- mengabarkan kepada Musa apa yang diperbuat oleh kaumnya terhadap patung anak sapi dan ketika itu (Musa) belum melemparkan lembaran-lembaran (Taurat). Akan tetapi ketika melihat langsung apa yang mereka perbuat; (Musa marah dan) melemparkan lembaran-lembaran itu sampai pecah (rusak).”

[SHAHIH: HR. Ahmad (no. 1842 & 2447- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Abi Hatim dalam “Tafsirnya” (no. 8998), Ibnu Hibban (no. 6223- cet. Daarul Fikr), dan Al-Hakim (no. 3330- cet. Daarul Fikr), dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa-. Dishahihkan oleh Imam Al-Albani -rahimahullaah- dalam Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir (no. 537)]

[2]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Wahai Rabb-ku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang (mantap dengan imanku).” Allah berfirman: “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu, kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka; niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260)

[3]- Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah- berkata:

“Oleh karena itulah; ‘AINUL YAQIN -yaitu: melihat langsung dengan mata kepala- lebih besar dari ‘ILMUL YAQIN -yaitu: ilmu yang didapatkan dari pengabaran-. Dan yang lebih tinggi lagi dari keduanya adalah: HAQQUL YAQIN -yaitu: apa yang dirasakan langsung-.

Sehingga, selayaknya bagi seorang hamba untuk berusaha mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan tidak mencukupkan diri dengan ‘ilmul yaqin kalau memang dia mampu untuk mendapat ‘ainul yaqin; sebagaimana Ibrahim Al-Khalil -‘alaihis salaam- meminta dari Allah agar Allah menunjukkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan yang sudah mati; AGAR BISA MENINGKAT DARI SATU ILMU MENUJU ILMU YANG LEBIH TINGGI LAGI.”

[Al-Mu’iin ‘Alaa Tahshiil Aadaabil ‘ilmi Wa Akhlaaqil Muta’allimiin (hlm. 260)]

[4]- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i -rahimahullaah- berkata:

“Selayaknya bagi para penuntut ilmu untuk mencapai usaha yang maksimal dalam memperbanyak ilmu, dan bersabar atas segala penghalang dalam menuntutnya. Serta mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam mencapai ilmu; baik ilmu yang berupa nash (lafazh dari dalil-dalil) maupun istinbath (pengambilan hukum dari lafazh). Serta berharap kepada Allah agar menolongnya dalam (menuntut ilmu) tersebut; karena kebaikan tidak akan didapatkan melainkan hanya dengan pertolongan-Nya.”

[Ar-Risaalah (hlm. 109, no. 45)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar