KALAU
TIDAK TAHU; TANYALAH PADA AHLINYA!
[1]- Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash -radhiyallaahu ‘anhumaa-, dia berkata: Saya dan
saudaraku pernah duduk di suatu majlis yang aku tidak ingin tergantikan walau
dengan unta merah. Aku dan saudaraku datang (ke masjid); ternyata ada para
pembesar Shahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang duduk di
salah satu pintu; maka kami tidak suka untuk menyela-nyela di antara mereka,
sehingga kami pun duduk menyendiri. Mereka menyebutkan satu ayat dalam
Al-Qur’an, kemudian mereka meributkannya (dalam satu lafazh: mereka
membicarakan masalah takdir), sampai suara mereka meninggi. Maka Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- keluar dalam keadaan marah, wajah beliau sudah
memerah dan beliau melempari mereka dengan debu, lalu bersabda:
مَهْلاً
يَا قَوْمِ! بِهَذَا أُهْلِكَتِ الأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ: بِاخْتِلَافِهِمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ. إِنَّ الْقُرْآنَ
لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا،
فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ؛ فَاعْمَلُوا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ؛ فَرُدُّوهُ
إِلَى عَالِمِهِ.
“Pelan-pelan
wahai kaum! Dengan sebab ini lah umat-umat sebelum kalian dibinasakan: dengan
sebab mereka menyelisihi nabi-nabi mereka dan mereka mempertentangkan
kitab-kitab (mereka) sebagiannya dengan yang lain. Sungguh, Al-Qur’an tidaklah
turun untuk saling mendustakan, bahkan saling membenarkan. Maka, apa yang
kalian ketahui darinya; amalkanlah, dan apa yang tidak kalian ketahui; maka
serahkanlah kepada orang yang berilmu tentangnya.”
[HASAN: HR.
Ahmad (no. 6668, 6702 & 6741- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Majah (no. 85),
Ibnu Abi ‘Ashim dalam “As-Sunnah” (no. 406), dengan sanad yang hasan]
[2]- Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:
“Maka beliau
memerintahkan orang yang tidak mengetahui suatu (ilmu) dari Al-Qur’an untuk
menyerahkannya kepada orang yang berilmu tentangnya, dan orang itu tidak boleh
memberat-beratkan diri untuk mengatakan sesuatu yang dia tidak punya ilmu
tentangnya.”
[I’laamul
Muwaqqi’iin (hlm. 366- cet. Daar Thayyibah)]
[3]- “Maka
wajib atas setiap orang untuk menjadi pencari ilmu; dengan mempelajari hal-hal
yang memperbaiki lahir dan batinnya, serta apa yang wajib atasnya dalam sehari
semalamnya.
Dan hal itu
dengan cara mengambilnya dari para ulama, MAKA ORANG YANG BODOH; DIA TIDAK
BOLEH MEMBERANIKAN DIRI UNTUK MENETAPKAN HUKUM-HUKUM TANPA DISERTAI KEAHLIAN
UNTUK ITU, TUGASNYA HANYALAH BERTANYA.
...فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“…Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ilmu) jika
kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Maka orang yang tidak berilmu, bertanya kepada orang yang berilmu.”
[Perkataan Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullaah-
dalam “At-Tahqiiqaat Wat Tanqiihaat As-Salafiyyaat ‘Alaa Matnil Waraqaat” (hlm.
541-642)]
[4]- “Dan di
dalam sabda beliau: “dan apa yang tidak kalian ketahui; maka serahkanlah kepada
orang yang berilmu tentangnya”; (juga) terdapat faedah: …JANGANLAH BERTANYA
KEPADA ORANG YANG TIDAK BERILMU.”
[sebagaimana
dikatakan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (I/197- At-Ta’liiqaatul
Hisaan)]
[5]- Akan
tetapi, fenomena yang ada -pada zaman sekarang- adalah:
(1) Orang bodoh
tidak mau bertanya kepada ahli ilmu; bahkan dia melakukan pembahasan dan
merajihkan sendiri -layaknya ahli ilmu dan para penuntut ilmu-, atau
(2) Orang bodoh
bertanya kepada yang bukan ahli ilmu.
Allaahul
Musta’aan.
[6]- “Syaikh
Al-Albani -rahimahullaah- menegaskan bahwa tugas para penuntut ilmu adalah:
untuk menghormati ahli ilmu dan menghormati usaha serta kedudukan mereka, dan
hendaknya tidak mendahului mereka, bahkan sepantasnya bagi para penuntut ilmu
untuk menjadikan ahli ilmu dan para ulama sebagai rujukan. Jika ada ulama yang
ditanya; maka janganlah penuntut ilmu mendahuli untuk menjawabnya; akan tetapi
dibiarkan agar ulama lah yang menjawabnya.
Allah
-Ta’aalaa- berfirman:
...فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“…Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ilmu) jika
kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Tugas ahludz
dzikr (orang berilmu) adalah menjelaskan, sedangkan selain mereka tugasnya
adalah bertanya tentang penjelasan. Maka, ketika itulah masyarakat Islam mulai
bertolak dengan para ulamanya dan selain ulamanya. Dalam batasan inilah hidup
mereka akan lurus, dan kalau diselisihi; maka hidup mereka akan goncang
-sebagaimana terlihat dalam realita kaum muslimin sekarang-.
Maka, wajib
atas setiap individu kaum muslimin untuk melihat kepada dirinya masing-masing:
- kalau dia
lihat dirinya punya keahlian dalam ilmu, lalu dia ditanya; maka dia harus
menjawabnya,
- dan kalu dia
lihat dirinya bukan termasuk ahli ilmu; maka berhati-hatilah, jangan sampai dia
berbicara mengenai sesuatu yang dia tidak mempunyai ilmu tentangnya, tugas dia
adalah diam dan bertanya kepada ahli ilmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar