Minggu, 26 Februari 2017

59- KALAU TIDAK TAHU; TANYALAH PADA AHLINYA!



KALAU TIDAK TAHU; TANYALAH PADA AHLINYA!

[1]- Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash -radhiyallaahu ‘anhumaa-, dia berkata: Saya dan saudaraku pernah duduk di suatu majlis yang aku tidak ingin tergantikan walau dengan unta merah. Aku dan saudaraku datang (ke masjid); ternyata ada para pembesar Shahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang duduk di salah satu pintu; maka kami tidak suka untuk menyela-nyela di antara mereka, sehingga kami pun duduk menyendiri. Mereka menyebutkan satu ayat dalam Al-Qur’an, kemudian mereka meributkannya (dalam satu lafazh: mereka membicarakan masalah takdir), sampai suara mereka meninggi. Maka Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- keluar dalam keadaan marah, wajah beliau sudah memerah dan beliau melempari mereka dengan debu, lalu bersabda:

مَهْلاً يَا قَوْمِ! بِهَذَا أُهْلِكَتِ الأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ: بِاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ. إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ؛ فَاعْمَلُوا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ؛ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ.

“Pelan-pelan wahai kaum! Dengan sebab ini lah umat-umat sebelum kalian dibinasakan: dengan sebab mereka menyelisihi nabi-nabi mereka dan mereka mempertentangkan kitab-kitab (mereka) sebagiannya dengan yang lain. Sungguh, Al-Qur’an tidaklah turun untuk saling mendustakan, bahkan saling membenarkan. Maka, apa yang kalian ketahui darinya; amalkanlah, dan apa yang tidak kalian ketahui; maka serahkanlah kepada orang yang berilmu tentangnya.”

[HASAN: HR. Ahmad (no. 6668, 6702 & 6741- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Majah (no. 85), Ibnu Abi ‘Ashim dalam “As-Sunnah” (no. 406), dengan sanad yang hasan]

[2]- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Maka beliau memerintahkan orang yang tidak mengetahui suatu (ilmu) dari Al-Qur’an untuk menyerahkannya kepada orang yang berilmu tentangnya, dan orang itu tidak boleh memberat-beratkan diri untuk mengatakan sesuatu yang dia tidak punya ilmu tentangnya.”

[I’laamul Muwaqqi’iin (hlm. 366- cet. Daar Thayyibah)]

[3]- “Maka wajib atas setiap orang untuk menjadi pencari ilmu; dengan mempelajari hal-hal yang memperbaiki lahir dan batinnya, serta apa yang wajib atasnya dalam sehari semalamnya.

Dan hal itu dengan cara mengambilnya dari para ulama, MAKA ORANG YANG BODOH; DIA TIDAK BOLEH MEMBERANIKAN DIRI UNTUK MENETAPKAN HUKUM-HUKUM TANPA DISERTAI KEAHLIAN UNTUK ITU, TUGASNYA HANYALAH BERTANYA.

...فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“…Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ilmu) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Maka orang yang tidak berilmu, bertanya kepada orang yang berilmu.”

[Perkataan Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullaah- dalam “At-Tahqiiqaat Wat Tanqiihaat As-Salafiyyaat ‘Alaa Matnil Waraqaat” (hlm. 541-642)]

[4]- “Dan di dalam sabda beliau: “dan apa yang tidak kalian ketahui; maka serahkanlah kepada orang yang berilmu tentangnya”; (juga) terdapat faedah: …JANGANLAH BERTANYA KEPADA ORANG YANG TIDAK BERILMU.”

[sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (I/197- At-Ta’liiqaatul Hisaan)]

[5]- Akan tetapi, fenomena yang ada -pada zaman sekarang- adalah:

(1) Orang bodoh tidak mau bertanya kepada ahli ilmu; bahkan dia melakukan pembahasan dan merajihkan sendiri -layaknya ahli ilmu dan para penuntut ilmu-, atau

(2) Orang bodoh bertanya kepada yang bukan ahli ilmu.

Allaahul Musta’aan.

[6]- “Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- menegaskan bahwa tugas para penuntut ilmu adalah: untuk menghormati ahli ilmu dan menghormati usaha serta kedudukan mereka, dan hendaknya tidak mendahului mereka, bahkan sepantasnya bagi para penuntut ilmu untuk menjadikan ahli ilmu dan para ulama sebagai rujukan. Jika ada ulama yang ditanya; maka janganlah penuntut ilmu mendahuli untuk menjawabnya; akan tetapi dibiarkan agar ulama lah yang menjawabnya.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“…Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ilmu) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Tugas ahludz dzikr (orang berilmu) adalah menjelaskan, sedangkan selain mereka tugasnya adalah bertanya tentang penjelasan. Maka, ketika itulah masyarakat Islam mulai bertolak dengan para ulamanya dan selain ulamanya. Dalam batasan inilah hidup mereka akan lurus, dan kalau diselisihi; maka hidup mereka akan goncang -sebagaimana terlihat dalam realita kaum muslimin sekarang-.

Maka, wajib atas setiap individu kaum muslimin untuk melihat kepada dirinya masing-masing:

- kalau dia lihat dirinya punya keahlian dalam ilmu, lalu dia ditanya; maka dia harus menjawabnya,

- dan kalu dia lihat dirinya bukan termasuk ahli ilmu; maka berhati-hatilah, jangan sampai dia berbicara mengenai sesuatu yang dia tidak mempunyai ilmu tentangnya, tugas dia adalah diam dan bertanya kepada ahli ilmu.”

[Aaraa-u Al-Imaam Al-Albaani At-Tarbawiyyah (hlm. 130)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar